"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Bayi dapat memberi Sayafaat


Bayi dapat Memberi Syafaat


Dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ماتَ ولدُ العَبْدِ ، قالَ اللهُ لمَلَائِكَتِهِ : قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ: قَبَضْتُم ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ فَيَقُولُونَ : نَعَمْ . فَيَقُولُ : مَاْذَا قالَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُولُونَ : حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ . فَيَقُولُ اللّهُ : ابْنُوا لِعَبْدِيْ بَيْتًا فِيْ الجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بيتَ الحَمْدِ

“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah bertanya kepada malaikat, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?‘ Mereka menjawab, ‘Ya’. Allah bertanya lagi, ‘Apakah kalian mencabut nyawa buah hatinya?‘ Mereka menjawab, ‘Ya’. Allah bertanya lagi, ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku?‘ Malaikat menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raajiun‘. Kemudian Allah berfirman, ‘Bangunkan untuk hamba-Ku satu rumah di surga. Beri nama rumah itu dengan Baitul Hamdi (rumah pujian)‘.” (HR. Tirmidzi 1037, Ibu Hibban 2948 dihasankan al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَمُوتُ لِمُسْلِمٍ ثَلاَثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ فَيَلِجُ النَّارَ إِلاَّ تَحِلَّةَ الْقَسَمِ

“Jika ada seorang muslim yang tiga anaknya meninggal, maka dia tidak akan masuk neraka. Kecuali karena membenarkan sumpah.” (HR. Bukhari 1251 dan Ahmad 7265).

Dalam riwayat yang lain dinyatakan,

لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ

“Selama anak itu belum baligh.” (HR. Bukhari 1248)

Kemudian, dalam riwayat lain, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنَ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلاَثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ ، إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ

“Tidaklah seorang muslim yang ditinggal mati oleh tiga anaknya, yang belum baligh, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan rahmat yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Bukhari 1248 dan Nasai 1884)

Kemudian, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ لَهُ ثَلاَثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ كَانَ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ ، أَوْ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang ditinggal mati tiga anaknya yang belum baligh, maka anak itu akan menjadi hijab (tameng) baginya dari neraka, atau dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari – bab 91)

Termasuk bayi keguguran, yang meninggal dalam kandungan,

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ إِنَّ السِّقْطَ لَيَجُرُّ أُمَّهُ بِسَرَرِهِ إِلَىْ الجَنَّةِ إِذَا احْتَسَبَتْهُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, sesungguhnya janin yang keguguran akan membawa ibunya ke dalam surga dengan ari-arinya APABILA IBUNYA BERSABAR (atas musibah keguguran tersebut).” (HR Ibnu Majah 1609 dan dihasankan al-Mundziri serta al-Albani)

Sungguh istimewa pahala bagi orang tua yang bersabar atas musibah meninggalnya anaknya.

قلت لأبي هريرة: إنه قد مات لي ابنان، فما أنت محدثي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث تطيب به أنفسنا عن موتانا؟ قال: قال: نعم صغارهم دعاميص الجنة يتلقى أحدهم أباه – أو قال أبويه – فيأخذ بثوبه – أو قال: بيده – كما آخذ أنا بصنفة ثوبك هذا فلا يتناهى – أو قال: فلا ينتهي – حتى يدخله الله وأباه الجنة

“Aku berkata kepada Abu Hurairah, kedua anakku telah meninggal, bisakah engkau menyampaikan sebuah hadits dari rasulullah ﷺ untuk menghibur hati kami?
Beliaupun berkata: iya, anak – anak kaum muslimin yang masih kecil, mereka adalah penghuni surga, ia nantinya akan bertemu dengan orang tuanya lalu memegang bajunya, seperti aku memegang bajumu ini, dan ia tidak melepaskannya sampai Allah ﷻ memasukkan orang tuanya ke dalam surga.” ( HR. Muslim : 2635).

Bagaimana dengan anak Hasil Zina

Allah Ta’ala berfirman

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّـهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Sungguh Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa saja” (QS Al-Maidah 27)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً

“Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja” [HR Muslim 1015]

Dan kita sepakat bahwa seorang yang berzina tidak bisa disebut ia orang yang beriman saat berzina, sehingga tidak bisa disebut anak hasil zina adalah hasil dari perbuatan baik. Disebutkan dalam hadits

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهْوَ مُؤْمِنٌ

“Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina” [HR Bukhari 2475 dan Muslim 57]

Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang-Undang (UU) No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” (Fatwa Muhammadiyah: 2008).

Apakah Ada Roh Gentayangan...?


Apakah Ada Roh Gentayangan...?


Banyak sekali anggapan-anggapan yang beredar di masyarakat mengenai kepercayaan roh gentayangan atau roh yang kembali ke rumah pada malam Jumat. Bahkan kepercayaan ini sudah mendarah daging di masyarakat kita, yang sebagian besar masih awam akan ilmu agama.

Keyakinan bahwa roh akan kembali kepada keluarganya di alam nyata setiap malam jumat, roh gentayangan, kemudian ia berdiam di rumah selama 40 hari adalah keyakinan yang tidak dibenarkan (menyimpang) dan bertentangan dengan syariat Islam. Mengapa demikian? Simak alasannya,

Dalil Terkait Arwah Gentayangan, Apakah Shahih?

Ada beberapa hadits yang dijadikan oleh sebagian orang sebagai dasar kepercayaan semacam ini. Hadits tersebut dinyatakan bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan terdapat dalam kitab Durratun-Nashihin.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْراً فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِياَلِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذاَ أَتَمَّ شَهْراً رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قَبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْ لَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِيْ الصُّوْرِ .

(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka rohnya berkeliling-keliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka rohnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling-keling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta orang yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka rohnya dinaikkan ke tempat di mana para roh berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.

Namun dalam kitab-kitab hadits seperti al-Jami’ al-Kabir juga ditemukan ada matan lain yang mirip dengan hadits di atas. Matan lain yang dimaksud adalah sebagai berikut:

اَلْمَيِّتُ إِذاَ مَاتَ دِيْرَ بِهِ دَارُهُ شَهْرًا يَعْنِيْ بِرُوْحِهِ وَحَوْلَ قَبْرِهِ سَنَةً ثُمَّ تُرْفَعُ إِلَى السَّبَبِ الَّذِيْ تَلْتَقِيْ فِيْهِ أَرْواَحُ اْلأَحْياَءِ وَاْلأَمْواَتِ

“Seseorang apabila meninggal, maka rohnya dibawa berputar-putar di sekeliling rumahnya selama satu bulan, dan di sekeliling makamnya selama satu tahun, kemudian roh itu dinaikkan ke suatu tempat di mana roh orang hidup bertemu dengan roh orang mati.”

{Matan ini dicatat oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722], dari Abu ad-Darda’ tanpa menyebutkan sanadnya. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262). Namun Al Imam As Suyuthi dalam kedua kitab ini hanya mengutip dari ad-Dailami, dan ia menyatakan bahwa ad-Dailami tidak menyebutkan sanadnya. Dengan demikian matan ini pun juga tidak terdapat dalam sumber-sumber orisinal hadits.}


1. Allah mengingkari permintaan orang yang mati untuk dikembalikan ke dunia

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ۝ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ۝

(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal yang saleh yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang dia ucapkan saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (Q.S. Al-Mukminun 23: 99-100)

Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada alam barzakh yaitu dinding pemisah antara dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki alam barzakh, tidak akan lagi bisa keluar lagi darinya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559)

2. Roh mereka berada di alam yang lain, alam kubur, yang berbeda dengan alam dunia

Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada alam barzakh (dinding pemisah) antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka.

Roh orang baik berada di tempat yang baik. Sebaliknya, roh orang jelek berada di tempat yang jelek. Dalam sebuah riwayat, seorang tabi’in bernama Masruq bin Al-Ajda’ Rahimahullah pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah,

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ۝

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imran 3: 169)

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,

“Roh-roh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab: “Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.” Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: “Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan roh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.” Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (H.R. Muslim no. 1887)

Kemudian disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ketika saudara kalian meninggal di perang Uhud, Allah menjadikan roh mereka di perut burung hijau. Mendatangi sungai surga, makan buah surga, dan beristirahat di sarang dari emas, menggantung di bawah ‘Arsy. Ketika mereka merasakan lezatnya makanan, minuman, dan tempat istirahat, mereka mengatakan: ‘Siapa yang bisa memberi tahu kepada saudara-saudara muslim lainnya tentang kabar kami bahwa kami hidup di surga, dan kami mendapat rizki. Agar mereka tidak menghindari jihad dan tidak pengecut ketika perang. Lalu Allah menjawab: ‘Aku yang akan sampaikan kabar kalian kepada mereka.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya” (H.R. Abu Daud no. 2520)

Demikian pula roh orang yang jahat, mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Jika roh itu bisa kembali dan tinggal bersama keluarganya selama rentang tertentu, tentu yang paling layak mendapatkan keadaan ini adalah roh para nabi dan rasul, para sahabat, atau para syuhada yang meninggal di medan jihad. Sementara hadits -hadits di atas merupakan bukti bahwa hal itu tidak terjadi. Allah tempatkan roh mereka di surga dan terpisah sepenuhnya dari alam dunia.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak pernah ditanya, benarkah roh orang yang meninggal akan kembali ke keluarganya dan bisa melihat semua keadaan keluarganya selama 40 hari? Jawaban beliau,

Seseorang setelah meninggal, dia menghilang dari kehidupan dunia ini, dan berpindah ke alam akhirat. Dan rohnya tidak kembali ke keluarganya, dan tidak mengetahui semua keadaan keluarganya. Kabar yang menyebutkan bahwa roh kembali ke keluarga selama 40 hari adalah khurafat, yang sama sekali tidak memiliki dalil. Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. (Fatwa Islam, 13183).

Apa kesimpulan dari semua permasalahan ini? Kesimpulannya adalah kembalikan permasalahan ini kepada dalil!

Prinsip ini jangan sampai lepas dari lubuk hati kita. Apapun yang kita dengar, siapapun yang menyampaikan, kembalikan keterangan itu kepada dalil. Tidak semua keterangan yang disampaikan da’i benar adanya. Mereka yang punya dalil, itulah yang menjadi pegangan. Karena informasi tentang syariat, apalagi terkait keyakinan baru boleh kita terima ketika ada dasar pijakannya. Mengingat semua harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sebagaimana yang Allah tegaskan,

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Isra’ 17: 36).

Tempat Tinggal Ruh

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, hakikat ruh itu tidak sama dengan jasad. Walaupun misalnya ruh itu ada di langit yang penuh kenikmatan layaknya surga, ruh tetap dapat berhubungan dengan kubur di mana tempat ia dimakamkan atau tempat ia meninggal. Hal itu karena ruh bisa bergerak dengan cepat.

Selain itu, ruh pun bisa merasakan sakit (karena disiksa atau mendapat penderitaan) yang rasa sakitnya bisa melebihi sakit di dunia. Ruh juga bisa merasa sehat, senang, susah, merintih, dan bisa merasakan kebebasan serta terbelenggu. Saat ruh masih berada dalam jasadnya, maka ia seperti bayi dalam kandungan. Sementara saat ruh keluar dari jasadnya, maka ia seperti bayi yang telah keluar dari kandungan ibunya.

Tempat ruhnya manusia itu berbeda-beda. Ada yang tempatnya mulia di tempat yang tertinggi (langit ketujuh) yang indah layaknya surga. Namun, ada juga yang masih di bumi dan tidak bisa naik ke langit. Tempat-tempat tinggal ruh yang berbeda-beda ini berdasarkan penglihatan langsung Nabi Muhammad Saw. ketika diajak Malaikat Jibril melakukan perjalanan Isra Mi’raj ke Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Berikut penjelasan tempat tinggal ruh seperti yang redaksi rangkum dalam buku Fiqih Sunah Sayyid Sabiq:

1. Ruh para syuhada tempatnya di dalam tempat makanan burung hijau yang beterbangan di surga ke sana kemari.

2. Ruh para syuhada yang masih memiliki utang ruhnya masih tertahan belum bisa masuk surga karena utangnya yang belum dibayar.

3. Ada ruh yang tertahan di pintu surga seperti yang disampaikan dalam hadits Nabi saw., “Aku melihat saudara kalian tertahan di pintu surga.”

4. Ada ruh yang masih tertahan di kuburannya, sebagaimana hadits seorang pencuri mantel yang mati sebagai syahid. Ketika kaum muslimin berkata, “Ia akan masuk surga.” Rasulullah lalu bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang ia curi akan menjadi api di dalam kuburannya.”

5. Ada ruh yang tempatnya di pintu surga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas, “Para syuhada berada di sungai yang berada di pintu surga di dalam sebuah kubah hijau. Rezeki mereka datang pagi dan sore.” (H.R. Ahmad).

6. Ada ruh yang khusus diberikan dua sayap oleh Allah Swt. seperti pada Ja’far bin Abu Thalib yang bisa terbang ke mana saja di surga.

7. Ada ruh yang tertahan di bumi dan tidak bisa terbang ke langit. Ruh yang seperti ini adalah ruh yang sebelumnya adalah ruh yang hina karena hanya mementingkan urusan duniawi dan hanya layak berada di bumi dan tidak pantas naik ke langit. Ruh ini juga yang selama hidup di dunia tidak berusaha mengenal Allah Swt., mencintai, dan mendekat kepada-Nya.

8. Ada ruh yang setelah terlepas dari jasadnya dikumpulkan dengan orang-orang yang mulia kawan-kawan seperjuangannya dan akan tinggal bersama mereka karena selama di dunia selalu berusaha mencintai dan medekat kepada Allah Swt.

9. Ada ruh yang berada di dalam tungku para pelacur dan ada ruh yang berada di dalam sugai darah. Di sana mereka berenang di sana dan menelan batu.

Hukum Seputar Para Lansia



Hukum Seputar Para Lansia 


1. Sholat diwajibkan kepada setiap mukallaf (Baligh & Berakal) sampai ajal tiba

Usia baligh berbeda tiap individu, yang ditandai dengan keluarnya mani baik dalam mimpi atau dalam keadaan bangun, tumbuhnya bulu kemaluan, atau telah genap berusia 15 tahun, dan khusus bagi wanita ada tanda tambahan yaitu keluarnya darah haidh.
(lihat syarhul mumti’ : 4/224).

Rasulullah ﷺ bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal”.
(Abu Dawud : 3825 dan selainnya, dan dinyatakan shohih oleh syaikh albany)

Selama dia masih dalam masa taklif (baligh dan berakal), maka wajib baginya untuk melakukan sholat sampai bertemu dengan ajalnya, Allah ﷻ berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).
(QS Al-Hijr : 99)

Dalam riwayat abu dawud ada tambahan lafazh pada hadits “orang yang diangkat pena taklif dari dirinya” yang telah kita sebutkan diatas, yaitu disebabkan pikun (الخَرِف).

2. Hukum sholat bagi orang yang sudah pikun

Demensia adalah suatu kondisi menurunnya cara berpikir dan daya ingat seseorang yang biasanya terjadi pada lansia (usia 65 tahun ke atas). Orang tua/lansia yang sudah pikun  tidak lagi diwajibkan mengerjakan sholat, karena hilangnya syarat taklif dari dirinya yaitu akal. ia sudah tidak mengingat waktu sholat sementara untuk sholat dibutuhkan niat

Tapi jika kepikunannya hilang di salah satu waktu sholat, maka wajib baginya mengerjakan sholat pada waktu tersebut. Tetaplah ingatkan orang orang yang sudah pikun itu untuk mengerjakan sholat, karena mungkin saja sesekali dia sadar, maka ketika sadar itulah ia memiliki kewajiban untuk sholat.

3. Tata cara sholat bagi lansia yang tidak bisa mengerjakan sholat dengan sempurna

Orang tua yang tidak bisa melakukan gerakan sholat dengan sempurna, seperti tidak bisa berdiri dengan sempurna, ruku’ dengan sempurna atau bahkan tidak bisa lagi berdiri, maka dia tetap berkewajiban untuk melakukan sholat sesuai dengan kemampuannya, kewajiban sholat tidak hilang darinya selama masih memiliki nafas dan akal.

Allah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertaqwalah kalian sesuai dengan kadar kemampuan kalian.” (QS. Attaghabun: 16)

Begitu pula dengan sabda rasulullah ﷺ :

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan”.
(HR Bukhari : 1050)

ُالمَيسُورُ لا يَسقُطُ بالمَعسُور

“Perbuatan yang bisa dikerjakan tidak gugur disebabkan ada perbuatan lain yang sulit dikerjakan”

Contoh dari kaedah ini adalah, seseorang yang tidak bisa melakukan sujud namun sanggup untuk berdiri, dia tetap berkewajiban untuk sholat dalam keadaan berdiri.

4. Jika lansia tertinggal beberapa gerakan sholat ketika berjamaah

Tidak batal sholat seseorang apabila tertinggal dari gerakan imam ketika sholat berjamaah disebabkan sebuah udzur bukan karena kesengajaan, dan tidak mengapa untuk tetap megikuti imam dalam sholatnya, termasuk dalam perkara ini lambatnya gerakan seseorang karena faktor usia.

Allah ﷻ berfirman:

لأ يكلف الله نفسا إلا وسعها

“Allah tidaklah membebani seseorang melebihi dari kesanggupannya”
(QS. Al-baqarah: 286).

Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin berkata:

أن يكون لعذرٍ ، فإنَّه يأتي بما تخلَّفَ به ، ويتابعُ الإمامَ ولا حَرَجَ عليه، حتى وإنْ كان رُكناً كاملاً أو رُكنين، فلو أن شخصاً سَها وغَفَلَ، أو لم يسمعْ إمامَه حتى سبقَه الإمامُ برُكنٍ أو رُكنين، فإنه يأتي بما تخلَّفَ به، ويتابعُ إمامَه،

“Apabila ketinggalan gerakan imam disebabkan udzur, maka dia kerjakan apa yang ketinggalan tersebut, dan mengikuti imamnya, ini tidak mengapa, walaupun ketinggalan satu rukun atau dua rukun.
Jikalau seseorang lalai dalam sholatnya atau tidak mendengar suara imamnya, sehingga dia ketinggalan satu atau dua rukun, maka dia kejar ketertinggalan tersebut, dan tetap mengikuti imam setelahnya.”
(Syarhul Mumti’ : 4/186).

5. “Salisul baul/salasul baul adalah keluarnya air kencing terus menerus tanpa disengaja.

Kita telah mengetahui bahwa keluarnya air kencing adalah pembatal wudhu. Demikian juga keluarnya madzi, termasuk pembatal wudhu. Sehingga masalah ini dapat diqiyaskan dengan kasus orang terus-menerus keluar madzi. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ia berkata:

كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً وكُنْتُ أسْتَحْيِي أنْ أسْأَلَ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فأمَرْتُ المِقْدَادَ بنَ الأسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقالَ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ ويَتَوَضَّأُ

“Dahulu aku terkena penyakit madza’ (keluar madzi terus-menerus). Dan aku malu untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang hal ini) karena posisi putri beliau sebagai istriku. Maka aku perintahkan Al-Miqdad bin Al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi. Nabi menjawab: hendaknya ia mencuci zakarnya dan berwudhu (untuk setiap shalat)” (HR. Al-Bukhari no.178, Muslim no. 303).

para ulama juga menganalogikan keadaan tersebut dengan wanita yang mengalami istihadhah. Darah penyakit yang senantiasa keluar dari alat kelamin.

Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz menyatakan,

“Kewajiban shalat tidak gugur selama akal masih ada. Wajib bagi dia untuk shalat akan tetapi harus berwudhu setiap kali akan shalat. Jika seseorang ditimpa oleh Salasul Baul/ beser yang terus-menerus atau pipis yang terus-menerus. Maka ia harus wudhu setiap kali akan shalat. Dan ia melakukan shalat sesuai dengan waktunya sama seperti wanita yang istihadhah yang senantiasa keluar darah darinya. 

Akan tetapi untuk lelaki selayaknya tidak menjamak, supaya ia bisa melakukan shalat bersama jamaah. Adapun wanita maka tidak mengapa jika ia ingin menjamak.” (Fatawa Syaikh Bin Baz, no. 10921).
Dalil yang mendasari hal ini adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang mengalami istihadhah sebagai berikut,

ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ

“Berwudhulah kamu setiap kali shalat hingga waktu itu tiba” (HR. Bukhari no. 226).

Menurut Tim Konsultasi Syariah Ditjen Bimas Islam

Dalam fiqih Islam, terdapat istilah salasul baul (kencing tak terkontrol) bagi orang yang air kencingnya tidak terkontrol dan tidak sadar akan keluarnya. Para ulama mewajibkan segera ganti pakaian yang terkena hadats dan berwudhu saat masuk waktu salat.

Kemudian pakaikan popok sekali pakai atau diaper agar urine tidak berceceran keluar, tanpa mempedulikan apa yang keluar darinya saat salat atau setelahnya. Selain itu, dibolehkan juga baginya untuk menjama' dua waktu salat dengan alasan sedang sakit atau karena faktor lainnya.

وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُولُ : (( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 82]

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Jika seseorang meninggalkan shalat, maka tidak ada antara dirinya dan kesyirikan itu pembatas, bahkan ia akan terjatuh dalam syirik. Istilah syirik dan kafir kadang bisa bermakna sama yaitu kafir kepada Allah.” (Syarh Shahih Muslim, 2:64)

وَعَنْ بُرَيْدَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ )) .

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadirs ini hasan shahih.) [HR. Tirmidzi, no. 2621 dan An-Nasa’i, no. 464. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.]

Ber-amar Ma'ruf Nahyi Munkar 1



عن ابي سعيد الخدري -رضي الله عنه- قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من رأى منكم منكرا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان
وفي رواية : ليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل

Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no. 49)

Dalam riwayat lain, “Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun)”

Hadits ini adalah hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.”

Substansi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Substansi Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu adalah upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, bukan untuk satu golongan atau kelompok tertentu saja. Terlaksananya Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan pengejawantahan dari Islam Rahmatan lil ‘alamin. Dengan kata lain, Islam rahmatan lil’alamin akan dirasakan semua pihak manakala Amar Ma’ruf Nahi Munkar berjalan dengan baik.

؛eringatan Allah dalam QS. Al-Anfal/8 ayat 25 :

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal/8: 25)

Melalui amar ma’ruf nahi munkar Allah SWT memberikan penghargaan yang tinggi bagi umat Islam dengan predikat umat terbaik (khaira ummah):

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ ١١٠

Artinya : “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imran/3 : 110).

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah SWT kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Allah berfirman :

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ 

Artinya : "Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran/3 : 104).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini (QS. Ali Imran: 104): “Maksudnya, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar”. Artinya amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardhu kifayah. Namun sebagian ulama tafsir mengatakan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya fardhu ‘ain, dengan menjelaskan bahwa kata مِّنْ dalam ayat مِّنْكُمْ untuk penjelas, dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat tersebut, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata:

مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ

Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.

Menyebabkan Doá tidak terkabul

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهِ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلاَ يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya (agar supaya dihindarkan dari siksa tersebut) akan tetapi Allah Azza wa Jalla tidak mengabulkan do’a kalian. (HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’)









Label