"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Menyambut Bulan Suci Ramadhan



إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُاَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Pada kesempatan khutbah kali ini, khatib tidak pernah bosan-bosannya untuk menghimbau diri khatib secara pribadi dan para jama’ah sekalian untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah di mana saja kita berada dengan berupaya semaksimal mungkin mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena tidak ada bekal terbaik di hari kiamat kelak yang membuat kita mulia di sisiNya melainkan dengan taqwa. Karena tidak ada yang mampu menjadi tameng kita dari adzab dan api neraka-Nya melainkan adalah taqwa yang kita miliki.

Allah Ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى 

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS. al-Baqarah:197)

Dan Rasulullah bersabda,

اِتَّقِ اللهَ حَيْثمُاَ كُنْتَ وَأَتبِْعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلقٍُ حَسَنٍ (رَوَاهُ التِّرْمِذِي)

“Bertakwalah kamu di mana saja kamu berada, dan sertakanlah olehmu kejahatan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskannya (kejahatan tersebut), serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. (HR. at-Tirmidzi, dengan sanad hasan shahih).

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Semua manusia akan senantiasa hidup terus maju kedepan, dan dihadapan kita tentunya masih banyak hal-hal serta tanggung yang harus diselesaikan, dan tentunya bagi seorang mukmin hari-hari adalah sebuah kesempatan yang berharga untuk beramal dan berinvestasi sebanyak-banyaknya yang tidak akan pernah ia sia-siakan begitu saja. Sehingga ia selalu berupaya untuk mengisi lembaran-lembaran hidupnya dengan sesuatu yang mendatangkan keridhaan dan kecintaan Allah Ta’ala. Sebagaimana dia tahu Rasulullah bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ اْلمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ (رواه الترمذي)

Diantara kesempurnaan (kebaikan) Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya.”. (HR. at-Tirmidzi)

Jika hari-hari yang biasa dijalani oleh seorang mukmin begitu ia manfaatkan sebaik mungkin, apalagi jika ia berada di hari-hari yang di dalamnya terdapat keutamaan-keutamaan yang Allah Ta'ala tawarkan kepada kita, keistimewaan yang telah disediakan dan begitu menjanjikan, tentunya betul-betul tidak sedikitpun ia akan sisakan hari dan waktunya kecuali untuk mengejar dan meraih semua bonus-bonus dan keistimewaan yang sangat menggiurkan. Dia akan tampak agresif dan kompetitif dan siap bersaing serta berupaya mengungguli rival-rivalnya demi sebuah prestasi yang akan diraih. 

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيرٌ 

“…Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah:148)

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Hari-hari yang indah dan didambakan itu kini hampir datang kepada kita, hari-hari yang terdapat pada bulan yang sangat istimewa di mata Sang Pemiliknya dan bagi siapapun yang mengetahui keistimewaannya, tamu nan agung yang selalu dinanti-nanti oleh semua orang yang merindukannya, dia adalah bulan ramadhan bulan rahmah, bulan maghfirah, bulan berkah, bulan sabar, bulan Qur’an, bulan shadaqah, bulan pendidikan dan madrasah orang-orang yang beriman, bulan dilipat-gandakan pahala dari setiap amalan yang dikerjakan di dalamnya dan masih banyak lagi nama-nama yang indah untuknya yang belum disebutkan, sesuai dengan banyaknya kebaikan dan keutamaan di dalamnya.

Allah Ta’ala berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ اَّلذِي أُنْزِلَ فِيهِ اْلقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ اْلهُدَى وَاْلفُرْقَانِ 

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS. 2: 185)

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda,

كَانَ رَسُولُ اللهِ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ يَقُولُ: قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ, شَهْرٌ مُبَارَكٌ, كَتَبَ اللهُ عَليَْكُمْ صِيَامَهُ, فِيهِ تُفْتَحُ أَبْوَابُ اْلجَنَّةِ, وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ اْلجَحِيمِ, وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ, فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ (رواه أحمد والنسائي)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya memberi kabar gembira kepada para shahabatnya dengan bersabda,’Telah datang kepada kalian bulan suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan kalian berpuasa Ramadhan, Pada bulan ini pintu-pintu langit dibuka dan pintu-pintu jahannam ditutup, tangan-tangan syetan dibelunggu, dan di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, maka barangsiapa yang dijauhkan (diharamkan) dari kebaikannya, maka benar-benar telah dijauhkan.” (HR. an-Nasa’i)

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Dan wahai hamba-hamba Allah yang haus akan pengabdian dan ketaatan kepada-Nya, jangan biarkan ia berlalu dan lewat begitu saja di depan mata, cukuplah ramadhan yang lalu menjadi pelajaran dan sekaligus penyesalan yang nyata, karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang ada, yang telah Allah anugerahkan kepada kita, dengan hanya membawa sedikit dari sekian banyak dan berlimpah ruahnya kebaikan-kebaikanNya yang tersedia. Atau boleh jadi tidak sedikitpun pahala yang terbawa, karena banyak amalan utama yang tak terjaga, dan hilang dengan sia-sia. 

Allah Ta’ala berfirman,

ياأيهاالَّذِينَ ءَامَنُوااتَّقُوااللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوااللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوااللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr:18-19)

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
Khutbah Kedua

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وبعد,
Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Pernahkah kita berpikir kalau ramadhan ini adalah ramadhan terakhir yang Allah taqdirkan buat kita, maka apa yang kita akan perbuat di dalamnya?

Seseorang yang tahu kalau hidupnya akan berakhir saat itu, pastinya dia akan menyiapkan segala bekalnya dengan sebaik dan sesempurna mungkin. Maka dia akan menjadikan ramadhannya kali ini menjadi ramadhan terbaik dan berkualitas dari sebelum-sebelumnya.

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Tentunya untuk menjadikan ramadhan lebih baik dan berkualitas, dibutuhkan persiapan yang ekstra serius dan sungguh-sungguh. Khususnya yang lebih diprioritaskan adalah menyiapkan ilmu-ilmu syar’i seputar ramadhan itu sendiri. Sehingga dengan bekal tersebut betul-betul seseorang akan menjalani ramadhannya dengan Iman dan ihtisab (hanya mengharap pahala dan ridha Allah semata), 

Rasulullah bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا عُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه)

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan hanya mengharap pahala dari Allah (ihtisab), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaq’alaih).

Dalam hadits yang lain,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا عُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه)

“Barangsiapa mendirikan shalat malam Ramadhan (tarawih) karena iman dan hanya mengharap pahala dari Allah (ihtisab), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaq’alaih)

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Hanya dengan bekal ilmu syar’i yang cukuplah, insya Allah ibadah yang dijalani selama sebulan penuh menjadi ibadah yang maqbulah (diterima oleh Allah Ta’ala) karena semata-mata melaksanakan perintah Allah melalui tuntunan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam.

Bukan hanya itu saja yang akan diterima olehnya, Allah akan memasukkannya ke dalam golongan hamba-hambaNya yang bertakwa (al-Muttaqun), karena tujuan disyariatkannya puasa Ramadhan itu sendiri adalah agar orang yang melaksanakan ibadah di dalamnya, menjadi hamba-hamba Allah yang bertakwa yang tidak ada balasannya kecuali dipersiapkan Surga untuknya.

Sebagaimana firman-Nya,

يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلىَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah:183)

Allah Ta’ala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ 

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imran:133)

Ma’asyirol Muslimin yang dirahmati Allah

Demikianlah, semoga khutbah yang singkat ini bisa menjadi renungan dan motivasi bagi kita semua untuk menjadikan ramadhan kali ini menjadi lebih berarti dan penuh berkah ilahi. Amin.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.

Syari'at Islam tentang Khitan




DALIL SEPUTAR KHITAN

Surat An-Nahl :123

ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفاً وما كان من المشركين

Artinya: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”

Surat Al Hajj 78

حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ

Artinya: Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.

Hadits riwayat Bukhary & Muslim

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأََظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

Artinya: Fithrah itu ada lima: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis . (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits riwayat Bukhary & Muslim.

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ

Artinya: Ibrahim ‘alaihissalam telah berkhitan dengan qadum (nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau berumur 80 tahun

Hadits riwayat Abu Dawud
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
Artinya: Hilangkan darimu rambut kekafiran ( yang menjadi alamat orang kafir ) dan berkhitanlah

Hadits riwayat Baihaqi

الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
Artinya: Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.

Hadits riwayat Ar-Rafi'i dan As-Syaukani

اختنوا أولادكم يوم السابع فإنه أطهر وأسرع لنبات اللحم.

Artinya: Khitanlah anak laki-lakimu pada hari ketujuh karena sesungguhnya itu lebih suci dan lebih cepat tumbuh daging (cepat besar badannya)

Hadits riwayat As-Syaukani
من أسلم فليختتن
Artinya: Barangsiapa yang masuk Islam maka hendaknya dia berkhitan

Atsar Sahabat.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Al aqlaf (yaitu orang yang belum berkhitan), tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya"

HUKUM KHITAN 

Berdasarkan sejumlah dalil dari Quran dan hadits di atas, maka ulama dari keempat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali memiliki pandangan yang sama dalam satu hal: bahwa khitan itu dianjurkan dalam agama (masyruk - مشروع) baik bagi laki-laki dan perempuan. Namun, apakah anjuran tersebut bersifat wajib ataukah hanya sunnah, mereka berbeda pendapat dengan rincian sebagai berikut:
  • Pendapat mu'tamad (diunggulkan) dari madzhab Hanbali dan Syafi'i adalah khitan wajib bagi pria dan wanita. 
  • Pendapat yang muktamad (diunggulkan) dalam madzhab Hanafi, Maliki dan pendapat minoritas dari madzhab Syafi'i adalah wajib khitan bagi pria dan sunnah bagi wanita. 

TUJUAN KHITAN (SUNAT) 
  • Tujuan utama syariah kenapa khitan itu disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat shalat. Karena, tidak sah shalat seseorang apabila ada najis yang melekat pada badannya. Dengan khitan, maka najis kencing yang melihat disekitar kulfa (kulub) akan jauh lebih mudah dihilangkan bersamaan dengan saat seseorang membasuh kemaluannya setelah buang air kecil. 
  • Mengikuti sunnah Rasulullah.
  • Mengikuti sunnah Nabi Ibrahim.

Dalil Hadits Tentang Shalat Tarawih

Shahih Bukhori : Shalat Tarawih

Dalil-dalil Shalat Tarawih

Hadits Dari 'Aisyah Ummul Mukminin

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah radliallahu 'anha isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat. Dan itu pada bulan Ramadhan. (Shahih Bukhari, Hadits no. 1872)

Hadits Dari 'Aisyah Ummul Mukminin

حدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Aisyah Ummul Mu'minin radliallahu 'anha berkata; "Pada suatu malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat di masjid, maka orang-orang mengikuti shalat Beliau. Pada malam berikutnya Beliau kembali melaksanakan shalat di masjid dan orang-orang yang mengikuti bertambah banyak. Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang banyak sudah berkumpul namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika pagi harinya, Beliau bersabda: "Sungguh aku mengetahui apa yang kalian lakukan tadi malam dan tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar shalat bersama kalian. Hanya saja aku khawatir nanti diwajibkan atas kalian". Kejadian ini di bulan Ramadhan. (Shahih Bukhari)

Hadits Dari 'Aisyah Ummul Mukminin

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat Beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama Beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya Beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah Beliau selesai shalat Fajar, Beliau menghadap kepada orang banyak kemudian Beliau membaca syahadat lalu bersabda: "Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya". Kemudian setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, tradisi shalat (tarawih) secara berjamaah terus berlangsung seperti itu. (Shahih Bukhari, Hadits no. 1873)

Hadits Dari Abu Hurairoh.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Humaid bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang menegakkan Ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya". Ibnu Syihab berkata; Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat, namun orang-orang terus melestarikan tradisi menegakkan malam Ramadhan (secara bersama, jamaah), keadaan tersebut terus berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal-awal kekhilafahan 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu. (Shahih Bukhari, Hadits no. 1870)

Hadits dari Ibnu Syihab

وَعَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ

Dan dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari 'Abdurrahman bin 'Abdul Qariy bahwa dia berkata; "Aku keluar bersama 'Umar bin Al Khaththob radliallahu 'anhu pada malam Ramadhan menuju masjid, ternyata orang-orang shalat berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, ada yang shalat sendiri dan ada seorang yang shalat diikuti oleh ma'mum yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang. Maka 'Umar berkata: "Aku pikir seandainya mereka semuanya shalat berjama'ah dengan dipimpin satu orang imam, itu lebih baik". Kemudian Umar memantapkan keinginannya itu lalu mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah yang dipimpin oleh Ubbay bin Ka'ab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya pada malam yang lain dan ternyata orang-orang shalat dalam satu jama'ah dengan dipimpin seorang imam, lalu 'Umar berkata: "Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini. Dan mereka yang tidur terlebih dahulu adalah lebih baik daripada yang shalat awal malam, yang ia maksudkan untuk mendirikan shalat di akhir malam, sedangkan orang-orang secara umum melakukan shalat pada awal malam. (Shahih Bukhari, Hadits no. 1871)

Hadis dari Tsa’labah bin Abi Malik,

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة في رمضان فرأى ناسا في ناحية المسجد يصلون فقال : ما يصنع هؤلاء ؟ قال قائل : يا رسول الله هؤلاء ناس ليس معهم قرآن وأبي بن كعب يقرأ وهم معه يصلون بصلاته فقال : ” قد أحسنوا ” أو ” قد أصابوا ” ولم يكره ذلك منهم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada malam Ramadhan. Beliau melihat ada beberapa orang yang shalat jamaah di salah satu sudut masjid. Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Salah satu sahabat menjawab, ‘Wahai Rasulullah, mereka sekelompok orang yang belum hafal Alquran. Ketika itu, Ubay bin Ka’b sedang shalat malam. Lalu mereka bergabung menjadi makmumnya Ubay.’ Kemudian beliau berkomentar, “Mereka telah berbuat benar.” dan beliau tidak membencinya. (HR. Baihaqi, dan beliau mengatakan: Hadis mursal yang hasan. Kemudian dalam jalur lain terdapat riwayat yang maushul (bersambung)).

Hadits dari Salamah bin Aburrahman

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada saya Malik dari Sa'id Al Maqbariy dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwasanya dia bertanya kepada 'Aisyah radliallahu 'anha tentang cara shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka 'Aisyah radliallahu 'anha menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (melaksanakan shalat malam) di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at, Beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya kemudian Beliau shalat empat raka'at lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian Beliau shalat tiga raka'at. Lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum melaksanakan witir?" Beliau menjawab: "Wahai 'Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur". (Shahih Bukhari, Hadits no. 1874)

Hadits dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu,

قمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة ثلاث وعشرين في شهر رمضان إلى ثلث الليل الأول ثم قمنا معه ليلة خمس وعشرين إلى نصف الليل ثم قام بنا ليلة سبع وعشرين حتى ظننا أن لا ندرك الفلاح
Kami shalat tarawih bulan Ramadhan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ke-23 hingga sepertiga malam pertama, kemudian kami shalat lagi pada malam ke-25, hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke-27 hingga akhir malam, sampai kami khawatir tidak bisa ngejar sahur. (HR. Ibn Abi Syaibah, An-Nasai, Imam Ahmad dishahihkan oleh Al-Hakim).
Al-Hakim mengatakan setelah menyebutkan hadis ini:
وفيه الدليل الواضح أن صلاة التراويح في مساجد المسلمين سنة مسنونة وقد كان علي بن أبي طالب يحث عمر رضي الله عنهما على إقامة هذه السنة إلى أن أقامها
Hadis ini dalil yang sangat jelas bahwa shalat tarawih yang dilakukan di masjid kaum muslimin adalah sunah yang menjadi kebiasaan masa silam. Ali bin Abi Thalib memotivasi Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk melestarikan sunah ini, hingga Umar melaksanakannya. (Al-Mustadrak, 1/607).
Sejarah Shalat Tarawih

Demikian yang diceritakan Ibunda kaum mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud, dan yang lainnya, Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan sejarah perjalanan shalat tarawih,

Dulu para sahabat melaksanakan shalat malam Ramadhan di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terpencar-pencar. Ada shalat jamaah 5 orang, ada juga 6 orang shalat jamaah, dan ada yang kurang atau lebih dari itu. Suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk meletakkan tikar di dekat pitu rumahku (pintu rumah Aisyah, berada di sebelah kiri masjid, bagian depan). Kemudian setealah isya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam di atas tikar itu setelah menjalankan shalat isya. Para sahabat yang berada di masjid, segera berkumpul dan bermakmum kepada beliau. Setelah berlalu 1/3 malam, beliau usai, dan masuk rumah.

Di pagi harinya, banyak sahabat membicarakan shalat itu, sehingga di malam berikutnya, masjid nabawi dipenuhi orang, menantikan shalat malam berjamaah.

Di malam Ramadhan ke-25, beliau keluar dan mengimami para sahabat dengan jumlah jamaah lebih banyak. Pagi harinya, perbincangan itu semakin tersebar. Hingga di malam 27, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembangunkan keluarganya dan melaksanakan shalat malam hingga akhir malam, dengan jamaah sangat banyak.

Di malam berikutnya, beliau tidak keluar rumah. Setelah beliau mengimami shalat isya, beliau masuk rumah, sementara masjid penuh para sahabat, menunggu shalat. Beliaupun bertanya kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apa yang terjadi dengan para sahabat?’

‘Wahai Rasulullah, banyak orang mendengar tentang shalat anda kemarin, dan mereka ingin agar anda mengimami mereka.’ Jawab Aisyah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar tikar kemarin digulung. Malam itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap ibadah di rumah, sampai subuh. Beliau keluar untuk mengimami shalat subuh, kemudian berkhutbah,
أيها الناس أما والله ما بت والحمد لله ليلتي هذه غافلا ولكن خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها فاكلفوا من الأعمال ما تطيقون فإن الله لا يمل حتى تملوا
Wahai sekalian manusia, demi Allah, tadi malam saya tidak sedang lalai (tidak tidur) – walhamdu lillah – namun saya khawatir akan diwajibkan kepada kalian shalat malam ini, sehingga kalian tidak sanggup melakukannya. Lakukanlah amal sunah yang mampu kalian lakukan, karena Allah tidak bosan menerima amal kalian, sampai kalian bosan dalam bersamal. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud)

Pendidikan : Larangan dalam memukul



Allah Ta'ala berfirman.

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami-lah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertaqwa.” [Thaahaa : 132]

Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud).

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:

a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul.
b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya.
c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan.
d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman.
e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.

Adapun pukulan yang dimaksud adalah:
a. Pukulan yang dapat diterima oleh si anak, yakni pukulan yang ringan,
b. Pukulan yang tidak menimbulkan bekas atau luka pada tubuh si anak,
c. Pukulan di bagian tubuh, kecuali wajah.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Kewajiban bapak dan ibu mendidik anak-anak mereka serta mengajari mereka tatacara bersuci dan shalat."

Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkan,

“Orang tua juga wajib mendidik anak mereka hadir shalat secara berjama’ah dan menjelaskan kepada mereka tentang haramnya zina, homoseks, minum khamr, berdusta, bergunjing, dan semisalnya. (Dan ini diberikan) kepada anak laki-laki maupun perempuan.”

Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam

Di antara cara tersebut adalah:

1. Memukul wajah

hadits dari abu hurairoh bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda

; عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبِ الوَجْهَ» رواه البخاري و في مسلم :”إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ”.
“Apabila salah seorang dari kalian akan memukul, maka jauhilah memukul wajah !”. (HR Bukhari) Dalam riwayat Muslim disebutkan,”Apabila salah seorang akan memukul saudaranya, hendaklah ia menjauhi bagian wajah”.

Imam Nawawi menjelaskan alasan dilarangya memukul bagian wajah. Beliau mengatakan,”Para ulama menyatakan bahwa hadits ini merupakan larangan yang jelas untuk tidak memukul wajah. Karena wajah merupakan bagian yang lunak dan tempat memancarnya keelokan paras. Bagian-bagiannya sangat berharga dan lunak, dan kebanyakan indera berada di wajah. Pukulan yang diarahkan ke wajah dapat menghilangkan keelokannya tersebut, atau menguranginya, bahkan bisa meninggalkan cacat. Aib yang tertera di wajah sangatlah buruk, karena aib itu nampak dan tak mungkin ditutupi. Apabila dipukul kebanyakannya akan meninggalkan cacat. Masuk dalam larangan ini juga seorang yang memukul istrinya atau anaknya dengan tujuan pengajaran, hendaknya ia menjauhi bagian wajah.” (Syarh Shahih Muslim” (HR. Bukhori Muslim)

2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas

sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah Radiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. (HR. Muslim)


3. Memukul dalam keadaan sangat marah

Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.

Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”

4. Bersikap terlalu keras dan kasar

Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”

5. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“

'Aqiqah Berdasarkan Hadits

Alesha


Pengertian 'Aqiqah


Al-‘Aqiqah ( اَلْعَقِيْقَةُ ) adalah satu nama untuk sesuatu yang disembelih karena kelahiran anak. Pada asalnya makna ’aqiqah itu adalah rambut bawaan yang ada di kepala bayi ketika lahir. Hanya saja, istilah ini disebutkan untuk kambing yang disembelih ketika ’aqiqah karena rambut bayi dicukur ketika kambing tersebut disembelih. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadits : ”Bersihkanlah dia dari kotoran”. Kotoran yang dimaksud adalah rambut bayi (yang dicukur ketika itu).

Al-Jauhari mengatakan : ”Aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuhnya, dan mencukur rambutnya”. Selanjutnya Ibnul-Qayyim berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebutkan demikian karena mengandung dua unsur di atas dan ini lebih utama”.

Oleh karena itu, definisi ’aqiqah secara syar’iy yang paling tepat adalah binatang yang disembelih karena kelahiran seorang bayi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah ta’ala dengan niat dan syarat-syarat tertentu.

Dengan demikian, Aqiqah disyariatkan pada orang tua sebagai wujud syukur kepada Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, serta berharap keselamatan dan barakah pada anak yang lahir tersebut

Hukum Aqiqah

Dari Sulaiman bin ‘Amir ad-Dhabiy, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيْقَةٌ، فَأَهْرِيْقُوْا عَنْهُ دَمًا، وَأُمِيْطُوْا عَنْهُ اْلأَذَى.

‘Bersama (kelahiran) seorang anak laki-laki (ada kewajiban) ‘aqiqah, dialirkan atas kelahirannya darah (hewan kurban), dan dihilangkan kotoran yang ada padanya.’ (HR. Ibni Majah, Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i).

- Syaikh Utsaimin Rahimahullah : ‘Aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yg amat dianjurkan). Bagi orang yg tidak mampu melakukannya maka gugur kewajiban (sunnah) ini darinya.

- Ibnu Abdil Bar mengatakan ”Telah berkata Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ath-Thabariy bahwa ’aqiqah itu merupakan sunnah yang wajib dilakukan dan tidak sepantasnya untuk ditinggalkan bagi mereka yang memiliki kesanggupan”.

- Imam Ahmad Rahimahullah berkata ‘Aqiqah merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah melakukannya untuk Hasan dan Hushain. Para sahabat beliau juga melakukannya. Dan Dari Hasan bin Samurah radhiyallahu’anhu, Rasulullahshallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Semua anak yg lahir tergadaikan dengan ‘aqiqahnya.” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i). Sehingga tidak patut, jika seorang bapak tidak melakukan ‘aqiqah untuk anaknya.

Waktu ‘Aqiqah

Dan dari al-Hasan dari Samurah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

اَلْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، ويُحْلَقُ رَأْسُهُ ويُسَمَّى.

“Semua anak (yang lahir) tergadaikan dengan ‘aqiqahnya, disembelihkan (kambing ‘aqiqah) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Ibni Majah,  Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa-i)

Disunnahkan menyembelih ‘aqiqah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, apabila hari ketujuh itu luput, maka pada hari keempat belas dan apabila hari keempat belas itu luput, maka pada hari ke dua puluh satu.

Dari Buraidah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اَلْعَقِيْقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ، أَوْ ِلأَرْبَعَ عَشَرَةَ، أَوْ ِلإِحْدَى وَعِشْرِيْنَ.

‘Aqiqah disembelih pada hari ketujuh atau hari keempat belas atau hari kedua puluh satu.”(HR. al-Baihaqi) 

Jumlah Hewan Untuk 'Aqiqah

Hadits Ummu Kurz Al Ka’biyyah radhiyallahu ‘anha.

عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ سَمِعْتُ أَحْمَدَ قَالَ مُكَافِئَتَانِ أَىْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ.
Dari Ummu Kurz Al Ka’biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing.” Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَهُمْ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka, untuk anak laki-laki aqiqah dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi Al Hasan dan Al Husain, masing-masing satu ekor domba.” (HR. Abu Daud)

Menurut Alhafidz Ibnu Hajar, jumlah kambing (yaitu dua ekor kambing bagi laki-laki) bukanlah syarat dalam aqiqah, namun hanya sekedar disunnahkan (dianjurkan) saja.” Hal yang sama dikatakan pula oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan boleh sama, yaitu dengan satu ekor kambing. Inilah pendapat kebanyakan ulama. Inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Asy Syafi’i, Ishaq dan Abu Tsaur. Bahkan Ibnu ‘Umar sendiri pernah berkata, “Aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing dengan seekor kambing.”

Hal-hal yang disyari'atkan ketika kelahiran anak

1. Mentahniknya

Dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu, ia berkata.


وُلِدَ لِي غُلاَمٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ، فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، وَدَعَا لَهُ بِالْبِرَكَةِ؛ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ.

‘Aku dianugerahi seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menamainya dengan Ibrahim, mentahniknya dengan kurma serta mendo’akannya agar ia diberkahi. Kemudian beliau menyerahkannya kembali kepadaku.’ (HR. Bukhori dan Muslim)

Tahnik adalah memberikan kurma yang telah dihaluskan dan mengoleskan-nya pada langit-langit mulut bayi yang baru lahir

2. Mencukur rambutnya pada hari ketujuh dan bersedekah dengan perak seberat rambut yang dicukur

Dan dari al-Hasan dari Samurah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

اَلْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، ويُحْلَقُ رَأْسُهُ ويُسَمَّى.

“Semua anak (yang lahir) tergadaikan dengan ‘aqiqahnya, disembelihkan (kambing ‘aqiqah) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Ibni Majah,  Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa-i)

Dari Abu Rafi’ bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah ketika ia melahirkan al-Hasan:

اِحْلِقِي رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِي بِوَزْنِ شَعَرِهِ مِنْ فِضَّةٍ عَلَى الْمَسَاكِيْنِ.

“Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya (yang dicukur) kepada orang-orang miskin.” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

3. Dikhitan pada hari ketujuh

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamush Shaghiir.
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ، وَخَتَنَهُمَا لِسَبْعَةِ أَيَّامٍ.

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadakan ‘aqiqah karena kelahiran al-Hasan dan al-Husain dan mengkhitan keduanya pada hari yang ketujuh.” (HR. At-Thabrani dan Baihaqi)

Larangan Tadmiyyah

Tadmiyyah adalah tradisi masyarakat jahiliyyah yang melumurkan darah hewan ’aqiqah ke kepala si bayi. Ada beberapa hadits yang menyebutkan perintah tadmiyyah, namun hadits-hadits ini jauh sekali dari kata shahih.

Bahkan ada riwayat shahih yang melarang tradisi jahiliyyah ini.

عن عائشة قالت : كانوا في الجاهلية إذا عقوا عن الصبي خضبوا قطنة بدم العقيقة فإذا حلقوا رأس الصبي وضعوها على رأسه فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( اجعلوا مكان الدم خلوقا )

Dari ’Aisyah ia berkata : ” “Dulu pada masa Jahiliyyah, jika mereka meng-’aqiqahi seorang anak, mereka mencelupkan kapas dengan darah hewan ‘aqiqah dimana ketika mereka mencukur rambut kepala anak tersebut, mereka oleskan pada kepalanya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ”Gantilah darah (yang dioleskan pada kepala anak) dengan khuluuq (wewangian)”. (HR. Ibu Hibban dan Baihaqi)
عن يزيد بن عبد المزني : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال يعق عن الغلام ولا يمس رأسه بدم
Dari Yazid bin ’Abd Al-Muzanniy : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda : ”Disembelih ’aqiqah untuk anak dan tidak boleh diusap kepalanya dengan darah”. (HR. Ibnu Majah)
Asy-Syaukani berkata : ”Jumhur ’ulamaa membenci at-tadmiyyah. Mereka berdalil akan hal itu dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari ’Aisyah.....”.

SEMOGA BERMANFAAT

KHOTBAH JUM'AT : JANGAN MENINGGALKAN SHOLAT

JANGAN MENINGGALKAN SHOLAT


KHUTBAH JUM’AT PERTAMA


الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ، وَفَضَّلَهُ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ بِالْإِنْعَامِ وَالتَّكْرِيْمِ، فَإِنِ اسْتَقَامَ عَلى طَاعَةِ اللهِ اسْتَمَرَّ لَهُ هذَا التَّفْضِيْلُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيْمِ، وَإِلاَّ رُدَّ فِي الْهَوَانِ وَالْعَذَابِ الْأَلِيْمِ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَهُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ شَهِدَ لَهُ رَبُّهُ بِقَوْلِهِ: {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمِ}
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ سَارُوْا عَلَى النَّهْجِ القَوِيْمِ وَالصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا، أَمَّ بَعْدُ:

أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَإِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al-Baqarah: 238).


Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia, hidayah dan berjuta kenikmatan tak terhingga yang telah Dia anugerahkan kepada kita semua.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan ke haribaan baginda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga, sahabat, dan semua orang yang mengikutnya hingga hari kemudian.

Selanjutnya marilah kita meningkatkan takwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benar takwa, yakni dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Di zaman yang semakin dekat dengan hari akhir ini, kita menyaksikan suatu fenomena memprihatinkan yang menimpa kaum muslimin, yaitu sebuah realita banyaknya orang yang mengaku beragama Islam namun tidak memahami hakikat agama Islam yang dianutnya, bahkan tingkah laku keseharian mereka sangatlah jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Di antaranya adalah banyaknya kaum muslimin di masa sekarang yang mulai meremehkan dan menyia-nyiakan shalat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berani meninggalkannya dengan sengaja dan terang-terangan. Padahal dalam Agama Islam, shalat memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh ibadah lainnya. Keistimewaan tersebut tergambar dengan peristiwa isra’ dan mi’raj dimana Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallammenerima wahyu perintah shalat. Setelah beliau sampai di Sidratul Muntaha, Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara langsung kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang demikian itu menunjukkan bahwa betapa agung kedudukan ibadah shalat dalam Islam, karena ia adalah tiang agama, di mana agama ini tidak akan tegak kecuali dengannya. Dalam suatu hadis sahih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Pokok agama adalah Islam (berserah diri), tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

Sidang Jumat yang dimuliakan Allah

Shalat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan setelah ikhlas dan tauhid, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ وَذَلِكَ دِيْنُالْقَيِّمَةِ

“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Shalat juga merupakan amal pertama kali yang akan dihisab di Hari Kiamat kelak, seperti tersebut dalam hadis dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ.

“Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka ia telah berbahagia dan sukses, tetapi apabila shalatnya jelek, maka ia telah celaka dan rugi.” (HR. At-Tirmidzi)

Di samping itu, salat adalah wasiat terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia berkata,

كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللَّه الصَّلاَةَ الصَّلاَةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.

“Wasiat terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Kerjakanlah shalat, Kerjakanlah shalat, dan tunaikanlah kewajiban kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki.” (HR. Ahmad)

Hadirin yang Dirahmati Allah

Inilah gambaran agungnya kedudukan ibadah shalat dalam agama Islam yang kita anut. Alquran dan Sunah yang sahih memberikan ancaman keras bagi orang yang meninggalkan salat. Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 42-43 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَر. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS.Al-Mudatstsir 42-43)

Adapun di dalam Sunah disebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat diancam akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf. Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُوْرٌ وَلاَ بُرْهَانٌ وَلاَ نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ.

“Barangsiapa yang menjaganya (shalat fardhu) maka pada Hari Kiamat dia akan memperoleh cahaya, bukti nyata (yang akan membelanya), dan keselamatan. Dan barangsiapa yang tidak menjaganya, maka dia tidak memiliki cahaya, bukti nyata (yang akan membelanya), dan keselamatan, serta pada Hari Kiamat dia akan (dikumpulkan) bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Sahih Ibnu Hibban).

Jama’ah Jum’at hafizhakumullah

Shalat adalah kebutuhan batin seorang hamba, layaknya makan dan minum sebagai kebutuhan lahirnya. Sehari saja manusia tidak makan, maka badannya akan terasa lemas dan tidak berdaya, sebagaimana kesehatan rohani juga harus dipenuhi. Kebutuhan hati kita harus dipenuhi dengan banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan di antaranya adalah dengna mengerjakan shalat. Melaksanakan salat dapat menenangkan hati, karena di dalam salat mengandung dzikrullah (mengingat Allah) dan itu mebawa kepada ketenangan batin, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ أَلاَبِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Jiwa orang yang melakukan shalat akan mengalami ketenangan dan akan mendapatkan thuma’ninah dalam hidup. Berbeda dengan orang yang enggan shalat. Hidupnya mengalami was-was, tidak tentang, ketakutan, dan selalu diganggu oleh setan.

Tunaikanlah shalat karena ajal begitu dekat. Laksanakanlah perintah-Nya selagi amal masih dicatat. Segeralah bertaubat sebelum pintu-Nya tertutup rapat. Jadilah hamba yang taat demi meraih surga-Nya yang penuh dengan nikmat.


بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هذا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ


KHUTBAH JUM’AT KEDUA


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

Ma’asyiral muslimin a’azzanallah waiyyakum

Bagaimana pun keadaan yang kita alami, maka salat wajib kita lakukan. Baik ketika sehat ataupun sedang sakit, dalam keadaan safar maupun bermukim. Salat wajib yang lima waktu harus tetap dikerjakan, bagaimana pun kondisi kita.

Mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk untuk melaksanakan shalat yang lima waktu dan melaksanakan kebaikan sesuai dengan syariat. Mudah-mudahan Allah menjadikan hari-hari kita penuh dengan amal saleh yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dan ketenangan di dunia dan di akhirat. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan hidayah pada segala urusan kita dan memberikan petunjuk kepada kita semua dalam menapaki jalan-Nya yang lurus, jalan orang-orang yang Allah berikan nikmat kepada mereka, jalan para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada, serta orang-orang yang saleh, bukan, jalan orang-orang tersesat.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ

Cara Salam Dalam Sholat


Cara Salam dalam Shalat

1. Salam termasuk rukun shalat. Sehingga orang yang meninggalkan salam, baik dengan sengaja maupun lupa maka shalatnya batal.

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbiratul ihram, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)


2. Salam yang statusnya rukun shalat adalah salam pertama, sedangkan salam kedua hukumnya sunah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يسلم تسليمة واحدة

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali.” (HR. Baihaqi ).

3. Inti dari salam adalah bacaan Assalamu alaikum wa rahmatullah….dst. Sementara menoleh ketika salam, hukumnya anjuran dalam madzhab Syafiiyah. Sehingga shalat tetap sah, sekalipun tidak menoleh ketika salam. Imam An-Nawawi mengatakan,

ولو سلم التسليمتين عن يمينه أو عن يساره أو تلقاء وجهه أجزأه وكان تاركا للسنة

Jika ada orang yang mengucapkan salam dua kali ke kanan atau ke kiri, atau menghadap ke arah depan (tidak menoleh), shalatnya sah, sekalipun dia meninggalkan sunah. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/478).

4. Dianjurkan untuk menoleh secara maksimal ketika salam dua kali, sehingga pipi orang yang shalat kelihatan dari belakang.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى أَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ

”Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hingga aku melihat putihnya pipi beliau.” (HR. Muslim 582).

5. Tata cara salam 

a. Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” ketika menoleh ke kanan dan ke kiri.

Dari Abu Ubaidah,

أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَجْهَرُ بِكِلْتَيْهِمَا

Bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salam ke kanan dengan mengucapkan, “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan menoleh ke kiri dengan membaca, “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” beliau mengeraskan keduanya. (HR. Abdurazaq dalam Mushannaf, 3129).

Hal yang sama juga dilakukan sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma (Mushanaf Abdurazaq 3134).

b. Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” ketika salam pertama dan mengucapkan,”Assalamu alaikum wa rahmatullah” pada saat salam kedua.

Dari Wali bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ»

“Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengucapkan salam ketika menoleh ke kanan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan ketika menoleh ke kiri beliau mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” (HR. Abu Daud )

c. Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah” ketika menoleh ke kanan dan ke kiri.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri, mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah”, hingga terlihat putihnya pipi beliau.” (HR. Nasai, Abu Daud).

d. Salam pertama mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” dan salam kedua mengucapkan,”Assalamu alaikum.”

Dari Wasi’ bin Hibban, beliau pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun mempraktekkannya, diantaranya,

وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ

Wasi’ menyebutkan bahwa Ibnu Umar mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” ketika menoleh ke kanan dan mengucapkan ”Assalamu alaikum.” ketika menoleh ke kiri. (HR. Nasai ).

e. Salam sekali dengan hanya mengucapkan ”Assalamu alaikum.”

Aisyah menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثم يسلم تسليمة واحدة، السلام عليكم، يرفع بها صوته، حتى يوقظنا

”Kemudian beliau salam sekali, mengucapkan ’Assalamu alaikum’ dengan mengangkat suaranya, sehingga membangunkan kami.” (HR. Ahmad).

6. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang salam sekali dengan menoleh sedikit ke arah kanan,

Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ يَمِيلُ إِلَى الشِّقِّ الْأَيْمَنِ قَلِيلًا

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam sekali ketika shalat ke arah depan dengan menoleh sedikit ke kanan.” (HR. Daruquthni, al-Hakim, dan dishahihkan adz-Dzahabi).

Kesalahan Ketika Salam

Membuka tangan kanan dan kiri ketika menoleh pada saat salam.

Kebiasaan ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,

”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah – Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua kanan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

عَلَامَ تُومِئُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ؟ إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ، وَشِمَالِهِ

”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya. (HR. Muslim, Nasai, dan yang lainnya).

SEMOGA BERMANFAAT

Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Tasyahhud

Menggerakkan Jari Telunjuk ketika Tasyahhud


1. Isyarat telunjuk pada saat Tasyahhud

Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:

… وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)

Dari Nafi’ beliau berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ

“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.'”(HR. Ahmad)

Dan dalam hadist yang lain, dari Abdullah bin Umar:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari di samping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa’i)

Berkata Al-Mubarakfury:

ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ

“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk”

2. Isyarat pada Saat membaca Do'a

Disunnahkan menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud pada saat berdoa, karena datang di dalam hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْته يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

“Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari beliau, maka aku melihat beliau menggerakkannya, seraya berdoa dengannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ahmad)

Ini menunjukkan bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menggerakkan jari telunjuk beliau ketika berdoa saja bukan dari awal tasyahhud, dan gerakan yang dimaksud di sini adalah gerakan yang ringan.

3. Pendapat para Ulama tentang waktu berisyarat dengan telunjuk

Imam Syafi’i menegaskan bahwa berisyarat dengan jari telunjuk dihukumi sunnah sebagaimana didukung dari berbagai hadits. (Lihat Al Majmu’, 3: 301).

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mengatakan : “Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dilakukan dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan yang lain, tidak pula dengan jari tangan kiri. Disunnahkan agar pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud yang menerangkan hal tersebut. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut untuk menunjukkan tauhid dan ikhlas.”

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengangkat jari saat tasyahud dimulai sejak syahadatain (pada kalimat illallah) lalu diturunkan ketika akan bangkit ke raka’at ketiga untuk tasyahud awal atau sampai salam untuk tasyahud akhir.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa isyarat jari itu ada ketika penafian dalam kalimat tasyahud, yaitu pada kata “laa”. Ketika sampai pada kalimat penetapan (itsbat) yaitu “Allah”, maka jari tersebut diletakkan kembali.

Ulama Malikiyah berisyarat kanan dan kiri dari awal hingga akhir shalat.

Ulama Hambali berisyarat ketika menyebut nama jalalah “Allah”.

4. Pendapat Para Ulama tentang Menggerak-gerakan jari Telunjuk

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud, perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :

Pertama: Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Dalam madzhab Syafi’i ada beberapa pendapat.

Pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’i dan tidak terjadi perselisihan kuat dalam madzhab itu sendiri, pendapat ini pun menjadi pendapat mayoritas ulama, isyarat jari tersebut tidak digerak-gerakkan. Seandainya digerak-gerakan, hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat karena gerakannya sedikit.

Sedangkan ada pendapat lainnya yang menyatakan bahwa haram digerak-gerakkan, akibatnya membuat shalat batal. Namun pendapat terakhir ini adalah pendapat yang syadz (nyleneh) dan lemah.

Pendapat ketiga dalam madzhab Syafi’i yang dikemukakan oleh Abu Hamid dan Al Bandanijiy, juga Al Qodhi Abu Thoyyib, menggerakkan jari itu dihukumi sunnah. Mereka berdalil dengan hadits Wail bin Hujr di mana ia menceritakan mengenai tata cara (sifat) shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meletakkan kedua tangannya ketika tasyahud, lalu Wail berkata,

ثم رفع أصبعه فرأيته يحركها يدعو بها

“Beliau mengangkat jarinya. Aku lihat beliau menggerak-gerakkan jarinya dan berdoa dengannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dengan sanad shahih.

Imam Al Baihaqi berkata,

“Boleh jadi yang dimaksud dengan “yuharrikuha (menggerak-gerakkan jari)” adalah hanya berisyarat dengannya, bukan yang dimaksud adalah menggerak-gerakkan jari berulang kali. Sehingga jika dimaknai seperti ini maka jadi sinkronlah dengan riwayat Ibnu Az Zubair. ”

Disebutkan pula dengan sanad yang shahih dari Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا

"bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa namun beliau tidak menggerakkan jarinya". Riwayat tersebut disebutkan dalam sunan Abi Daud dengan sanad shahih.

Kedua: Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.

Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa menggerak-gerakkan jari dapat mengusir setan, hadits tersebut tidaklah shahih. Al Baihaqi menyatakan bahwa Al Waqidi bersendirian dan ia adalah perawi yang dhaif (lemah). (Al Majmu’, 3: 301-302).

Ketiga: Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany – rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.


SEMOGA BERMANFAAT

Label