"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Nikmat Hidayah Terbawa Hingga Surga




Nikmat Hidayah Terbawa Hingga Surga


Syukur alhamdulillah layak kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hidayah yang Allah berikan kepada kita. Karena nikmat inilah yang hanya diingat oleh penduduk surga. Sehingga tatkala mereka masuk ke dalam surga, mereka melupakan nikmat harta, mereka melupakan nikmat jabatan, tapi yang mereka ingat hanyalah nikmat hidayah. Mereka mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِى هَدَىٰنَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِىَ لَوْلَآ أَنْ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk.” [Quran Al-A’raf: 43]

Hidayah yang Allah berikan kepada manusia ada dua bentuk. 
Hidayatul irsyad wal bayan atau hidayah dalam bentuk penjelasan. 
Hidayah taufik wal amal Yaitu hidayah dalam bentuk taufik dan keinginan untuk beramal. 

Bisa jadi ada seseorang yang telah mendapatkan hidayah berupa penjelasan. Namun dia tidak diberi oleh Allah hidayah taufik sehingga ia tidak mau mengikuti penjelasan yang telah sampai kepadanya.

Contohnya, perjuangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak pamannya, Abu Thalib, agar mau memeluk Islam ternyata tidak diwujudkan oleh Allah Ta’ala. Allah tidak memberikan hidayah taufik kepada Abu Thalib, meskipun hidayah al-bayan atau penjelasan telah sampai kepada Abu Thalib. Sehingga saat Abu Thalib wafat ia masih berpegang dengan ajaran nenek moyangnya, wafat dalam kondisi menganut ajaran paganisme. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa bersedih karena tidak mampu memberikan hidayah kepada orang yang beliau cintai. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” [Quran Al-Qashash: 56]

Salah satu yang merupakan sebab agar seseorang bisa mendapatkan hidayah taufik wal amal, hidayah dalam bentuk semangat dalam mengikuti kebenaran adalah keinginan dan perjuangan untuk mendekat kepada aturan Allah. Mendekat kepada syariat yang Allah turunkan. Berarti sebaliknya, tatkala ada seorang yang tidak mau peduli terhadap syariat Allah itu merupakan salah satu sebab yang membuat dia dijauhkan dari hidayah taufik.

Karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala ingatkan di dalam Alquran:

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Quran Al-Hasyr: 19].

Lalu, apa yang dimaksud dengan lupa kepada Allah? Yang dimaksud melupakan Allah adalah tidak peduli terhadap aturan. Tidak peduli terhadap syariat yang telah Allah turunkan. Tidak ada keinginan untuk belajar. Tidak ada keinginan untuk mendekat kepada syariat Allah. Tidak ada sepeser pun keinginan untuk mempelajari apa yang diturunkan Allah.

Bagaimana balasan yang Allah berikan kepada orang semacam ini? Balasannya adalah

فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ

“lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri”.

Yang dimaksud dengan lupa kepada diri sendiri adalah kata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Orang ini tidak mengambil sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya, namun justru ia lebih sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya.”

Dari sini kita bisa lihat. Semua manusia punya kesibukan. Namun ada sebagian orang yang kesibukannya Allah arahkan kepada kebaikan. Dan ada sebagian orang yang kesibukannya tidak bermanfaat bagi hidupnya. Baik dunia maupun akhirat. Sehingga ia lupa terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya.

Di antara bentuknya adalah mereka yang tidak shalat berjamaah karena sibuk. Padahal orang lain juga punya kesibukan. Apakah dia berpikir orang-orang yang datang shalat berjamaah ini pengangguran? Tidak punya pekerjaan lalu datang shalat berjamaah? Salah satu alasan mengapa orang tidak datang shalat berjamaah adalah karena dia sibuk. Sehingga ia lebih mengunggulkan kesibukan yang bisa jadi hal tersebut tidak bermanfaat untuknya di akhirat dan dia tinggalkan kesibukan yang menguntungkan baginya di akhirat.

Semua manusia pasti punya kesibukan. Tidak ada manusia yang tidak punya kesibukan. Sebagaimana Allah Ta’ala sampaikan di dalam Alquran,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” [Quran Al-Insyiqaq: 6]

Yang dimaksud dengan lelah menuju Rabbmu adalah sesungguhnya manusia itu sibuk dengan kegiatannya masing-masing sampai ia meninggal. Artinya, tidak ada manusia yang tidak punya kesibukan. Namun yang jadi pertanyaan adalah apakah kesibukan yang ia miliki diarahkan ke perkara yang menguntungkannya di akhirat? Ataukah kesibukan yang sifatnya hanya memenuhi kebutuhannya di dunia semata? Atau bahkan merugikan dunia dan akhiratnya?

Kita beruntung dan Bahagia ketika Allah memberikan hidayah bagi kita untuk mau menyisihkan waktu dalam rangka belajar ilmu agama, menyisihkan waktu untuk shalat berjamaah, menyisihkan waktu untuk kegiatan keagamaan. Semoga itu sebagai tanda kalau Allah tidak memberi hukuman kepada kita. Sehingga kita tidak termasuk orang yang Allah jadikan kita lupa dengan diri kita dengan menjadikan kita meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. 

Pentingnya Sebuah Keteladanan Dalam Perbuatan




Pentingnya Sebuah Keteladanan Dalam Perbuatan


Malik bin Dinar rahimahullah (Ulama Tabi'in- murid Hasan Al-Bashri) pernah mengatakan:

إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ زَلَّتْ مَوْعِظَتُهُ عَنِ الْقُلُوبِ كَمَا يَزِلُّ الْقَطْرُ عَنِ الصَّفَا

“Sesungguhnya seorang alim jika dia tidak mengamalkan ilmunya maka nasihat-nasihatnya tidak akan merasuk ke dalam hati-hati, sebagaimana tetesan air tergelincir dari batu yang keras.” (Atsar - perkataan salaf) 

Oleh karena itu, mengamalkan ilmu sangatlah penting untuk keberhasilan dakwah seseorang, karena orang-orang yang didakwahi (mad’u) sangat membutuhkan teladan yang baik untuk dirinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan bagi para sahabat. Gerak-gerik beliau selalu diperhatikan oleh para sahabat. Mereka pun semangat untuk meniru apa yang  dilakukan dan memakai apa yang dikenakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Bahkan keteladanan beliau tidak hanya berlaku untuk para sahabat saja, tetapi untuk seluruh manusia di dunia ini sampai akhir zaman. Beliau adalah manusia yang paling sesuai perkataannya dengan perbuatannya.

Kebencian Allah Pada Orang Yang Tidak Mengamalkan Apa Yang Dikatakan

Allah sangat membenci orang yang hanya pandai berbicara dan pandai manasihati orang lain untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, tetapi ternyata dia sendiri tidak melakukannya atau tetap tidak bisa meninggalkannya. Allah sangat membenci orang yang seperti itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“(2) Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (3) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS Ash-Shaff: 2-3)

Pentingnya Sebuah Keteladanan Dalam Perbuatan


Umat di saat ini membutuhkan teladan yang baik, yang dibuktikan dengan tingkah, perilaku, adab dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Jika hanya dengan perkataan saja, maka hal tersebut tidaklah cukup.

Banyak dai menyeru agar kaum muslimin shalat berjamaah di masjid akan tetapi ternyata dia sendiri tidak shalat berjamaah di masjid. Banyak para pendakwah menyerukan agar berakhlak mulia dan pandai menjaga lisan, tetapi ternyata dia sendiri tidak memiliki akhlak mulia dan tidak bisa “menyaring” kata-katanya.

Kisah tentang Pentingnya Tauladan 


Ketika perjanjian Hudaibiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dihalangi oleh orang-orang musyrik Quraisy untuk masuk ke kota Mekkah. Padahal pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ingin berumrah. Akhirnya mereka pun tidak bisa melanjutkan umrahnya dan terpaksa membatalkan umrahnya dengan cara menyembelih hewan dan mencukur rambut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada para sahabat:

قُومُوا فَانْحَرُوا ثُمَّ احْلِقُوا

“Berdirilah kalian, kemudian sembelihlah dan cukurlah (rambut) kalian!”

Sahabat yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, “Demi Allah tidak ada seorang pun yang berdiri, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Ketika (beliau melihat) tidak ada yang berdiri, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menemui Ummu Salamah dan beliau pun menceritakan apa yang terjadi. Kemudian Ummu Salamah mengatakan, ‘Apakah engkau menginginkan hal itu? Keluarlah, kemudian janganlah engkau berbicara satu kata kepada seorang pun sampai engkau menyembelih untamu dan engkau panggil tukang cukurmu kemudian dia mencukurmu.’ Beliau pun melakukan apa yang disarankan oleh istri beliau. Ketika para sahabat melihat hal tersebut, mereka pun berdiri kemudaian menyembelih, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain.”

Kita semua mengetahui bahwa para sahabat adalah orang yang paling taat dalam mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ketika diperintahkan, mereka pun tidak cukup hanya dengan perkataan, tetapi mereka juga butuh praktik langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu pula hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: اتَّخَذَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فَاتَّخَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: (( إِنِّي اتَّخَذْتُ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ.)) فَنَبَذَهُ, وَقَالَ: (( إِنِّي لَنْ أَلْبَسَهُ أَبَدًا فَنَبَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَهُمْ.))

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin dari emas, kemudian orang-orang pun memakai cincin dari emas. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dulu saya memakai cincin dari emas’, kemudian beliau pun membuang cincin tersebut dan berkata, ‘Sesungguhnya saya tidak akan pernah memakainya lagi selama-lamanya.’ Kemudian orang-orang pun membuang cincin-cincin mereka.”

Ini menunjukkan pentingnya sebuah keteladanan dalam perbuatan. Dan hadits ini juga menunjukkan semangat para sahabat yang sangat hebat dalam mengikuti dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ganjaran Yang Besar Menjadi Teladan Yang Baik


Orang yang menjadi teladan yang baik untuk orang lain akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa mencontohkan ajaran/sunnah yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala mengerjakannya dan pahala orang yang mengerjakannya juga setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.”

Dosa Akibat Menjadi Teladan Yang Buruk


Begitu pula sebaliknya orang yang menjadi teladan yang buruk untuk orang lain, dia akan mendapat ancaman yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa yang mencontohkan ajaran/kebiasaan yang buruk, maka dia akan mendapatkan dosa mengerjakannya dan dosa orang yang mengerjakannya juga setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”

Begitu pula, orang tersebut akan mendapatkan siksa yang amat pedih di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.

“Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat, kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian keluarlah usus-usus perutnya, kemudian dia berputar-putar mengelilinginya sebagaimana keledai mengitari poros ikatannya . Kemudian penduduk neraka pun mengatakan, “Wahai Fulan! Apa yang terjadi pada dirimu? Bukankan dulu engkau menyuruh untuk melakukan perbuatan yang makruf (baik) dan engkau melarang dari perbuatan yang mungkar (buruk)?” Dia pun menjawab, “Ya, dulu saya menyuruh (orang lain) untuk melakukan perbuatan makruf (baik) tetapi saya tidak mengerjakannya. Saya melarang dari perbuatan mungkar, tetapi saya mengerjakannya.” (HR. Muslim)

Contoh Yang Baik Dari Umar


Teladan yang baik juga ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika beliau menjadi amirul-mukminin, Salim cucu beliau menceritakan:

عُمَرُ إذَا نَهَى النَّاسَ عَنْ شَيْءٍ جَمَعَ أَهْلَ بَيْتِهِ ، فَقَالَ : إنِّي نَهَيْت النَّاسَ عَنْ كَذَا وَكَذَا ، وَإنَّ النَّاسَ لَيَنْظُرُونَ إلَيْكُمْ نَظَرَ الطَّيْرِ إلَى اللَّحْمِ ، وَايْمُ اللهِ لاَ أَجِدُ أَحَدًا مِنْكُمْ فَعَلَهُ إلاَّ أَضْعَفْتُ لَهُ الْعُقُوبَةَ ضِعْفَيْنِ.

“Dulu ‘Umar apabila melarang manusia untuk melakukan sesuatu, maka beliau mengumpulkan keluarganya. Kemudian beliau berkata, ‘Sesungguhnya saya telah melarang manusia untuk melakukan ini dan itu. Orang-orang akan benar-benar melihat kalian sebagaimana seekor burung mengincar daging. Demi Allah! Jika saya mendapatkan seorang dari kalian melakukannya maka saya akan lipat gandakan hukumannya dua kali lipat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Doa Yang Diabadikan Allah Dalam Al Qur’an

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74)

Maksud dari menjadi ‘imam bagi orang-orang yang bertakwa’ adalah menjadi imam yang diteladani di dalam kebaikan. Sebagaimana dikatakann oleh Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, Qatadah dan Ar-Rabi’ bin Anas.

Renungan Untuk Para Da’i


Mengakhiri tulisan ini ada baiknya penulis nukilkan atsar salaf yang mudah-mudahan bermanfaat, khususnya kepada para dai.

عن مُحَمَّد بْن أَحْمَدَ الْفَرَّاء يَقُولُ: قِيلَ لِحَمْدُونَ الْقَصَّارِ: مَا بَالُ كَلَامِ السَّلَفِ أَنْفَعُ مِنْ كَلَامِنَا؟ قَالَ: لِأَنَّهُمْ تَكَلَّمُوا لِعِزِّ الْإِسْلَامِ، وَنَجَاةِ النُّفُوسِ، وَرِضَا الرَّحْمَنِ، وَنَحْنُ نَتَكَلَّمُ لِعِزَّةِ النَّفْسِ، وَطَلَبِ الدُّنْيَا، وَقَبُولِ الْخَلْقِ.

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad Al-Farra’, dia pernah mengatakan bahwa Hamdun Al-Qashshar pernah ditanya, “Mengapa perkataan salaf (orang yang terdahulu) lebih bermanfaat dari perkataan kita?” Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa-jiwa dan mengharap keridaan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri kita, mencari dunia dan mengharapkan diterima oleh makhluk.” (Al-Baihaqi - Syu'bul Iman)

Kisah Taubatnya Malik Bin Dinar (Tabi'in)


Kisah Taubatnya Malik Bin Dinar (Tabi'in)


Kisah tobatnya Malik bin Dinar al-Sami termasuk kisah yang sangat inspiratif. Malik adalah putra seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid ulama tabiin Hasan al-Bashri.

Beliau termasuk sebagai ahli hadis sahih dan meriwayatkan hadis dari tokoh-tokoh ulama pada masa lampau, seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar juga dikenal sebagai seorang kaligrafer Al-Qur’an. Beliau wafat sekitar 130 H (748 M). Berikut kisah pertobatannya dilansir dari Dakwah Islamiyyah.

Pada abad ke-2 Hijriah, Malik bin Dinar dikenal sebagai sosok preman yang suka mabuk-mabukan. Hampir segala macam kemaksiatan ia lakukan hingga akhirnya hidayah Allah datang menghampirinya.

Malik bin Dinar menuturkan kisahnya sebagai berikut:

Kehidupanku dimulai dengan kesia-siaan, mabuk-mabukan, maksiat, berbuat zalim kepada manusia, memakan hak manusia, memakan riba, dan memukuli manusia. Kulakukan segala kezaliman, tidak ada satu maksiat melainkan aku telah melakukannya. Sungguh sangat jahat hingga manusia tidak menghargaiku karena kebejatanku.

Pada suatu hari, aku merindukan pernikahan dan memiliki anak, maka kemudian aku menikah dan dikaruniai seorang putri yang kuberi nama Fathimah.

Aku sangat mencintai Fathimah. Setiap kali ia bertambah besar, bertambah pula keimanan di dalam hatiku dan makin sedikit maksiat di dalam hatiku.

Pernah suatu ketika, Fathimah melihatku memegang segelas khamar, maka ia pun mendekat kepadaku dan menyingkirkan gelas tersebut hingga tumpah mengenai bajuku. Saat itu umurnya belum genap dua tahun. Seakan-akan Allahlah yang membuatnya melakukan hal tersebut. Setiap kali ia bertambah besar, makin bertambah pula keimanan di dalam hatiku.

Setiap kali aku mendekatkan diri kepada Allah selangkah, setiap kali itu pula aku menjauhi maksiat sedikit demi sedikit. Hingga usia Fathimah genap tiga tahun, saat itulah Fathimah meninggal dunia.

Setelah itu, aku pun berubah menjadi orang yang lebih buruk dari sebelumnya. Aku belum memiliki sikap sabar yang ada pada diri seorang mukmin yang dapat menguatkanku di atas cobaan musibah. Kembalilah aku menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Setan pun mempermainkanku, hingga datang suatu hari, setan berkata kepadaku, “Sungguh hari ini engkau akan mabuk-mabukan dengan mabuk yang belum pernah engkau lakukan sebelumnya.”

Aku bertekad untuk mabuk dan meminum khamar sepanjang malam. Aku minum, minum, dan minum, maka aku lihat diriku telah terlempar di alam mimpi. Di alam mimpi itu, aku melihat hari kiamat. Matahari telah gelap, lautan telah berubah menjadi api, dan bumi pun telah berguncang. Manusia berkumpul pada hari kiamat.

Manusia dalam keadaan berkelompok-kelompok. Sementara aku berada di antara manusia, mendengar seorang penyeru memanggil, “Fulan bin Fulan, kemari! Mari menghadap Al-Jabbar (Allah)!”

Aku melihat si Fulan tersebut berubah wajahnya menjadi sangat hitam karena sangat ketakutan. Sampai aku mendengar seorang penyeru menyeru namaku, “Mari menghadap Al-Jabbar!”

Kemudian hilanglah seluruh manusia dari sekitarku seakan-akan tidak ada seorang pun di Padang Mahsyar. Kemudian aku melihat seekor ular besar yang ganas lagi kuat merayap mengejar ke arahku dengan membuka mulutnya.

Aku pun lari karena sangat ketakutan. Lalu aku mendapati seorang laki-laki tua yang lemah. Aku pun berkata, “Hai, selamatkanlah aku dari ular ini!” Ia menjawab, “Wahai anakku, aku tidak mampu, akan tetapi larilah ke arah ini mudah-mudahan engkau selamat!”

Aku pun berlari ke arah yang ditunjukkannya, sementara ular tersebut berada di belakangku. Tiba-tiba aku mendapati api ada di hadapanku. Aku pun berkata, “Apakah aku melarikan diri dari seekor ular untuk menjatuhkan diri ke dalam api?”

Aku pun kembali berlari dengan cepat, sementara ular tersebut makin dekat. Aku kembali kepada lelaki tua yang lemah tersebut dan berkata, “Demi Allah, wajib atasmu menolong dan menyelamatkanku.”

Ia pun menangis karena iba dengan keadaanku seraya berkata, “Aku lemah sebagaimana engkau lihat, aku tidak mampu melakukan sesuatu pun, tetapi larilah ke arah gunung tersebut mudah-mudahan engkau selamat!”

Aku pun berlari menuju gunung tersebut, sementara ular akan mematukku. Kemudian aku melihat di atas gunung itu terdapat anak-anak kecil dan aku mendengar semua anak tersebut berteriak, “Wahai Fathimah, tolonglah ayahmu, tolonglah ayahmu!”

Selanjutnya aku mengetahui bahwa ia adalah putriku. Aku pun berbahagia bahwa aku mempunyai seorang putri yang meninggal pada usia tiga tahun yang akan menyelamatkanku dari situasi tersebut.

Ia pun memegangku dengan tangan kanannya dan mengusir ular dengan tangan kirinya, sementara aku seperti mayat karena sangat ketakutan. Lalu ia duduk di pangkuanku sebagaimana dulu di dunia.

Ia berkata kepadaku, “Wahai Ayah, belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?”

Aku berkata padanya, “Wahai Putriku, beritahukanlah kepadaku tentang ular itu.”

Ia berkata, “Itu adalah amal keburukanmu, engkau telah membesarkan dan menumbuhkannya hingga hampir memakanmu. Tidakkah engkau tahu, wahai Ayah, bahwa amal-amal di dunia akan dirupakan menjadi sesosok bentuk pada hari kiamat? Dan lelaki yang lemah itu adalah amal salehmu, engkau telah melemahkannya hingga ia menangis karena kondisimu dan tidak mampu melakukan sesuatu untuk membantu kondisimu. Seandainya saja engkau tidak melahirkanku dan seandainya saja tidak mati saat masih kecil, tidak akan ada yang bisa memberikan manfaat kepadamu.”

Aku pun terbangun dari tidurku dan berteriak, “Wahai Rabb-ku! Sudah saatnya wahai Rabb-ku, ya, belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?”

Lantas aku mandi dan keluar untuk salat Subuh dan ingin segera bertobat dan kembali kepada Allah. Aku pun masuk ke dalam masjid dan ternyata imam pun membaca ayat yang sama.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Alkitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Hadid: 16)

Menjadi Ulama Basrah

Itulah kisah tobatnya Malik bin Dinar. Beliau kemudian menjadi salah seorang imam generasi tabiin, dan termasuk ulama Basrah abad ke-2 Hijriah. Beliau dikenal selalu menangis sepanjang malam dan berkata, “Ya Ilahi, hanya Engkaulah satu-satunya Zat Yang Mengetahui penghuni surga dan penghuni neraka, maka yang manakah aku di antara keduanya? Ya Allah, jadikanlah aku termasuk penghuni surga dan jangan jadikan aku termasuk penghuni neraka.”

Malik bin Dinar bertobat dan dikenal setiap harinya selalu berdiri di pintu masjid berseru, “Wahai para hamba yang bermaksiat, kembalilah kepada Penolongmu! Wahai orang-orang yang lalai, kembalilah kepada Penolongmu! Wahai orang yang melarikan diri (dari ketaatan), kembalilah kepada Penolongmu! Penolongmu senantiasa menyeru memanggilmu pada malam dan siang hari.”

Allah berfirman kepadamu, “Barang siapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu hasta. Jika ia mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya satu depa. Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendatanginya dengan berlari kecil.”

Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki tobat kepada kita. Tidak ada sesembahan yang hak selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. [MNews/Has]

Referensi: Kitab At-Tawwabin, Ibnu Qudamah

Label