Kita telah sepakat, tujuan utama Allah mewajibkan kita untuk berpuasa adalah agar kita menjadi pribadi yang bertaqwa. Sebagaimana ditegaskan dalam satu ayat yang sering kita dengar,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa, sebagaimana dulu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 183)
Benarkah ketika kita selesai melaksanakan puasa Ramadhan, kita sudah menjadi orang yang bertaqwa?
Apakah setiap kaum muslimin yang lulus melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, secara otomatis menjadi insan yang bertaqwa?
Apakah setiap orang yang menjalankan ibadah selama Ramadhan, ibarat bayi yang baru dilahirkan dari ibunya? Ataukah justru sebaliknya…, banyak diantara kita, atau kaum muslimin yang keluar bulan Ramadhan, tapi masih memiliki sifat yang jauh dari ketaqwaan?
Kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti untuk pertanyaan di atas. Namun, yang jelas realita menunjukkan bahwa kebanyakan kaum muslimin ketika melepas kepergian Ramadhan, mereka kembali pada kebiasaan buruk mereka sebelumnya. Tidak jauh jika kita menyatakan bahwa bisa jadi ini indikator mereka belum mendapatkan predikat taqwa.
Melepas Ramadhan Tanpa Taqwa
Ditegaskan dalam beberapa hadits, ada di antara kaum muslimin, yang seusai melaksanakan puasa Ramadhan, mereka belum mendapatkan ketaqwaan. Mereka masih belum diampuni dan bergelimang dengan dosa maksiat.
Ditegaskan dalam beberapa hadits, ada di antara kaum muslimin, yang seusai melaksanakan puasa Ramadhan, mereka belum mendapatkan ketaqwaan. Mereka masih belum diampuni dan bergelimang dengan dosa maksiat.
Hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan beliau membaca “Amin” tiga kali. Para sahabat-pun bertanya, apa gerangan yang menyebabkan beliau membaca “Amin” tiga kali. Kemudian beliau bersabda: “Jibril berdoa di sampingku: (salah satunya):
يا محمد من أدرك رمضان فلم يغفر له فأبعده الله
“Wahai Muhammad, orang yang berjumpa bulan Ramadhan, namun dosanya belum diampuni, Allah akan menjauhkannya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku ucapkan Amiin” (HR. Ibnu Hibban 409 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka aku ucapkan Amiin” (HR. Ibnu Hibban 409 dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth)
Namun sayangnya, yang sangat menyedihkan, keadaan ini dialami oleh kebanyakan kaum muslimin. Banyak orang yang mungkin bisa dikatakan ‘gagal’ dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa, sementara yang dia dapatkan dari puasanya hanyalah rasa haus dan dahaga…” (HR. Ahmad 8856, Ibn Majah 1760, dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Anda bisa renungkan kalimat “yang didapatkan hanya lapar dan dahaga.”
Apa yang bisa anda simpulkan?. Tidak jauh jika kita menyatakan, bisa jadi orang ini tidak mendapatkan pahala. Dan itu dialami oleh kebanyakan mereka yang berpuasa. Mengapa bisa demikian? Bukankah kita telah melakukan banyak ketaatan? Bukankah mereka telah melaksanakan berbagai macam bentuk ibadah?
Ya.., benar. Mereka telah melakukan itu semua…, namun di saat yang sama, mereka juga melakukan perbuatan yang menyebabkan pahala ibadah itu hilang. Ini berarti ada perbuatan yang bisa menyebabkan pahala puasa yang mereka lakukan menjadi gugur, sehingga tidak bernilai sama sekali.
Apa yang bisa anda simpulkan?. Tidak jauh jika kita menyatakan, bisa jadi orang ini tidak mendapatkan pahala. Dan itu dialami oleh kebanyakan mereka yang berpuasa. Mengapa bisa demikian? Bukankah kita telah melakukan banyak ketaatan? Bukankah mereka telah melaksanakan berbagai macam bentuk ibadah?
Ya.., benar. Mereka telah melakukan itu semua…, namun di saat yang sama, mereka juga melakukan perbuatan yang menyebabkan pahala ibadah itu hilang. Ini berarti ada perbuatan yang bisa menyebabkan pahala puasa yang mereka lakukan menjadi gugur, sehingga tidak bernilai sama sekali.
Dua Jenis Pembatal Terkait Puasa
diantaranya hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903, Abu Daud 2364, Ibnu Hibban 3480 dan Turmudzi 711)
Yang dimaksud “qauluz zur” adalah semua ucapan dusta, kebatilan, perkataan haram, dan yang menyimpang dari kebenaran. Sedangkan maksud “al-Amal bihi” adalah semua perbuatan yang dilarang oleh Allah. Demikian keterangan al-Hafidz al-Aini dalam Umdatul Qori (10/276).
Juga disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Hakekat puasa bukanlah menahan makan dan minum, namun puasa yang sejatinya adalah menahan diri dari perbuatan al-Laghwu dan rafats. Jika ada orang yang mencelamu atau bertindak bodoh kepadamu maka katakanlah: Saya sedang puasa.” (HR. Hakim , Ibn Khuzaimah, dan dishahihkan al-Albani)
Dan yang dimaksud “al-laghwu” adalah segala perbuatan sia-sia, yang bisa melalaikan seseorang untuk melakukan ketaatan. Sedangkan yang dimaksud “ar-rafats” adalah semua ucapan dan perbuatan.
Umar Bin Abdul Aziz berkata:
Hari raya itu bukanlah milik orang yang memakai pakaian baru
Akan tetapi hari raya adalah milik orang yang takut dengan hari pembalasan
Tidaklah hari raya itu buat yang memiliki kendaraan mewah
Akan tetapi hari raya itu buat orang yang dosanya terampuni
Imam Hasan Al-Bashri berkata: “setiap hari yang di dalamnya tidak ada kedurhakaan kepada Allah SWT maka hari itu adalah hari raya, dan setiap hari di mana seorang mukmin tetap berada dalam ketaatan Rabnya serta berzikir dan bersyukur kepadaNya maka bagi dia hari itu adalah hari raya”. Inilah hakikat Idul Fitri yang sesungguhnya, kembali kepada kesucian, meraih kemenangan dengan prestasi taqwa serta mempertahankan kesucian dan kemenangan tersebut di masa yang akan datang.
Dan yang dimaksud “al-laghwu” adalah segala perbuatan sia-sia, yang bisa melalaikan seseorang untuk melakukan ketaatan. Sedangkan yang dimaksud “ar-rafats” adalah semua ucapan dan perbuatan.
Umar Bin Abdul Aziz berkata:
Hari raya itu bukanlah milik orang yang memakai pakaian baru
Akan tetapi hari raya adalah milik orang yang takut dengan hari pembalasan
Tidaklah hari raya itu buat yang memiliki kendaraan mewah
Akan tetapi hari raya itu buat orang yang dosanya terampuni
Imam Hasan Al-Bashri berkata: “setiap hari yang di dalamnya tidak ada kedurhakaan kepada Allah SWT maka hari itu adalah hari raya, dan setiap hari di mana seorang mukmin tetap berada dalam ketaatan Rabnya serta berzikir dan bersyukur kepadaNya maka bagi dia hari itu adalah hari raya”. Inilah hakikat Idul Fitri yang sesungguhnya, kembali kepada kesucian, meraih kemenangan dengan prestasi taqwa serta mempertahankan kesucian dan kemenangan tersebut di masa yang akan datang.
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ
تَقَبَّلَ الهُ مِنَّا وَمِنْكُم - تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم - تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
عِيْدُكُمْ مُبَارَكٌ وَعَسَاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ
كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
تَقَبَّلَ الهُ مِنَّا وَمِنْكُم - تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم - تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم
عِيْدُكُمْ مُبَارَكٌ وَعَسَاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ
كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ