"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

HUKUM KENYENTUH KEMALUAN TANPA PENGHALANG



HUKUM KENYENTUH KEMALUAN TANPA PENGHALANG

Ada empat pendapat di kalangan ulama. Dua pendapat merupakan hasil dari mentarjih (memilih dalil yang lebih kuat) dan dua pendapat lain merupakan hasil dari mengkompromikan dalil (menjama’)

Pendapat pertama : Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu sama sekali.
Pendapat kedua : Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
Pendapat ketiga : Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat, namun tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.
Pendapat keempat : Berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) secara

PENDAPAT PERTAMA: Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu sama sekali.
(Madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Malik dan merupakan pendapat beberapa sahabat.)
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Tholq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya,

مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ

“Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ».

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?” (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadits ini, maka itu pertanda beliau menshahihkannya. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/241)

PENDAPAT KEDUA: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
(Pendapat ini adalah pendapat madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i -pendapat beliau yang masyhur-, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dan diriwayatkan pula dari banyak sahabat.)

Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Buroh binti Shofwan,

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Yang mengatakan adanya naskh adalah Ath Thobroni dalam Al Kabir (8/402), Ibnu Hibban (Ihsan, 3/405), Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (1/239), Al Hazimi dalam Al I’tibar (77), Ibnul ‘Arobi dalamm Al ‘Aridhoh (1/117), dan Al Baihaqi dalam Al Khilafiyat (2/289).

PENDAPAT KETIGA: Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika dengan syahwat, namun tidak membatalkan wudhu jika tanpa syahwat.

Pendapat ini adalah pendapat Imam Malik dan dipilih oleh Syaikh Al Albani. Alasan yang mereka gunakan adalah mereka menyatakan bahwa hadits Busroh (yang menyatakan wudhunya batal) dimaksudkan bagi yang menyentuh kemaluan dengan syahwat. Sedangkan yang menyentuh kemaluan tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu berdasarkan hadits Tholq. Dalil yang menunjukkan pendapat ini adalah pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ

“Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu?”

Jadi, jika seseorang menyentuh kemaluan tanpa syahwat, maka itu sama saja seperti menyentuh anggota tubuh yang lain.

PENDAPAT KEEMPAT : Berwudhu ketika menyentuh kemaluan adalah sunnah (dianjurkan) secara mutlak dan bukan wajib. Pendapat ini adalah salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahumallah-.

Apakah menyentuh dubur membatalkan wudhu?

Jawabannya, tidak membatalkan wudhu. Inilah yang menjadi pendapat Imam Malik, Ats Tsauri dan ulama Hanafiyah, berbeda halnya dengan pendapat Imam Asy Syafi’i. Dubur tidaklah tepat diqiyaskan (dianalogikan) dengan kemaluan karena ‘illah (sebab) adanya hukum di antara keduanya tidak bisa dikaitkan.



BERSENTUHAN KULIT MEMBATALKAN WUDHU..??

 


BERSENTUHAN KULIT MEMBATALKAN WUDHU..??

(Tanya Jawab Agama jilid V)

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْلَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

 

Ada 3 Pendapat mengenai Hukum bersentuhan kulit

-          Membatalkan Wudhu (Imam Syafií)

-          Tidak membatalkan wudhu (Imam Abu Hanifah & Ibnu Taimiyah)

-          Batal Jika dengan Syahwat, Ulama Malikiyah dan ulama Hambali telah mengompromikan dua dalil dalam masalah ini.

 

1.        Membatalkan Wudhu

Umar bin Khattab dan Ibnu Masud. Mereka mengartikan Mulasamah sebagai persentuhan kulit. Ada dalil dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

 

قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنْ الْمُلَامَسَةِ فَمَنْ قَبَّلَ امْرَأَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ

 

“Ciuman dan rabaan tangan laki-laki pada istrinya termasuk mulamasah. Barangsiapa yang mencium istrinya atau merabanya, wajib baginya berwudhu.” (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’, dengan sanad sahih).

 

Disebutkan dalam Hasyiyah Al-Bujairami (1:211),

اعلم أن اللمس ناقض بشروط خمسة: أحدها: أن يكون بين مختلفين ذكورة وأنوثة. ثانيها: أن يكون بالبشرة دون الشعر والسن والظفر. ثالثها: أن يكون بدون حائل. رابعها: أن يبلغ كل منهما حدا يشتهى فيه. خامسها: عدم المحرمية” انتهى

 

“Ketahuilah bahwa al-lams termasuk pembatal wudhu dengan lima syarat:

  1. Antara lawan jenis, laki-laki dan perempuan
  2. Menyentuh kulit, (bukan rambut, gigi, atau kuku)
  3. Tanpa penghalang (haa-il)
  4. Telah memiliki kecenderungan syahwat
  5. Sesama bukan mahram.”

 

2.      Tidak Membatalkan Wudhu

Ali dan Ibnu Abbas, memiliki pandangan yang mengarah pada dimensi yang lebih intim. Mereka berpegang pada pandangan bahwa makna aw lamastumu al nisa adalah bersetubuh.

 

Dalam buku Tanya Jawab Agama jilid V, Muhammadiyah mengambil sikap yang berpihak pada pandangan ini, yang menolak pandangan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu. Ini didukung oleh berbagai argumen dan dalil, salah satunya merujuk pada pengalaman ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.

 

Dalil yang Menunjukkan Tidak Membatalkan Wudhu

 

Hadits-hadits ini yang dijadikan dalil oleh ulama Hanafiyah termasuk juga Ibnu Taimiyah bahwa menyentuh lawan jenis tidaklah membatalkan wudhu, baik dengan syahwat atau tanpa syahwat, baik menyentuh istri, bukan mahram, atau mahram.

 

Pertama: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ

 

“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau ternyata pergi dari tempat tidurnya dan ketika itu aku menyentuhnya. Lalu aku menyingkirkan tanganku dari telapak kakinya (bagian dalam), sedangkan ketika itu beliau sedang (shalat) di masjid …” (HR. Muslim, no. 486)

 

Kedua: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَرِجْلاَىَ فِى قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِى ، فَقَبَضْتُ رِجْلَىَّ ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا. قَالَتْ وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ

 

“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku di arah kiblat beliau. Ketika ia hendak sujud, ia meraba kakiku. Lalu aku memegang kaki tadi. Jika bediri, beliau membentangkan kakiku lagi.” ‘Aisyah mengatakan, “Rumah Nabi ketika itu tidak ada penerangan.” (HR. Bukhari, no. 382 dan Muslim, no. 512)

 

Ketiga: ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

 

 أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ, ثُمَّ خَرَجَ إِلَى اَلصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَضَعَّفَهُ اَلْبُخَارِيّ

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istri beliau, kemudian beliau pergi shalat tanpa mengulangi wudhunya lagi. (HR. Ahmad, 42:479; Abu Daud, no. 179; Tirmidzi, no. 86, Ibnu Majah, 1:168. Imam Bukhari mendhaifkan hadits ini. Namun, ulama belakangan mensahihkan hadits ini seperti Ibnu Jarir, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir, Ibnu At-Turkumani, Az-Zi’la’i, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al-Albani, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz).

 


 

Al-Lams Bermakna Jimak

Ada pula ayat yang menyebut al-lams, tetapi bermakna jimak. Seperti firman Allah tentang Maryam,

 

قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 

“Maryam berkata: “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah”, lalu jadilah dia.” (QS. Ali Imran: 47).

Orang-orang yang dicintai Allah

Orang-orang yang dicintai Allah

Di antara sifat yang mulia dari Rabb kita, Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dia mencintai hamba-hamba-Nya. Padahal Dia sama sekali tidak membutuhkan kita. Padahal Dia Maha Berkuasa, tapi mencintai ciptaan-Nya yang lemah. Padahal Dia Maha Mulia, tapi mencintai para hamba yang kedudukannya tidak ada apa-apa-Nya dibanding kemuliaan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Quran Al-Maidah: 54].

Yang kita lakukan adalah mengetahui bagaimana cara masuk ke dalam golongan yang Allah cintai. Bagaimana caranya mendapatkan cinta dari Yang Maha Kuasa, Maha Raja, dan Maha segalanya. Agar kita menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan pertolongan serta pembelaan dari-Nya karena kita menjadi orang yang Dia cintai.

Pertama: menjadi seorang yang bertakwa

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ

“maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” [Quran Ali Imran: 76]

Artinya, untuk menjadi seorang yang bertakwa seseorang harus memiliki pengetahuan mana yang dikatakan perintah untuk dikerjakan. Dan mana yang dilarang untuk dijauhi. Tanpa pengetahuan seperti ini mustahil seseorang bisa menjadi insan yang bertakwa. Karena itu, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu mengatakan,

لَا تَكُوْنُ تَقِيًا حَتَّى تَكُوْنَ عَالِمًا، وَلَا تَكُوْنُ بِالْعِلْمِ جَمِيْلًا حَتَّى تَكُوْنَ بِهِ عَامِلًا

“Kalian tidak akan menjadi orang yang bertakwa sampai kalian menjadi seorang yang berpengetahuan (agama). Dan kalian tidak akan berhias dengan ilmu tersebut sampai kalian mengamalkan.”

Kedua: Mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cintailah Rasulullah karena Allah mencintai orang-orang yang mencintai beliau. Berpegang teguhlah dengan sunnahnya. Jadikanlah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan. Dan jangan sampai kita malah termasuk orang-orang yang menyelisihi perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Ali Imran: 31].

Ketiga: berbuat baik kepada semua makhluk.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ كتَبَ الإحسانَ على كلِّ شيءٍ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat baik dalam segala hal.” [HR. Muslim, no. 1955]

Seseorang berbuat baik kepada dirinya sendiri, orang tua, istri dan anak bahkan kepada hewan. Semuanya memiliki nilai pahala dan semuanya diperintahkan oleh syariat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Quran Ali Imran: 134].

Keempat: menyucikan zahir dan batin kita.

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Quran Al-Baqarah: 222]

Kelima: mengerjakan amal shaleh baik wajib maupun sunat.

Amaan shaleh itu bertingkat-tingkat kedudukannya. Pahala dan kedudukannya tidak sama berada dalam satu level. Tentu saja yang paling Allah cintai adalah amalan-amalan yang hukumnya wajib kemudian yang sunat. Berdasarkan hadits qudsi yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman,

ما تقرَّبَ إليَّ عبدي بشيءٍ أفضل من أداء ما افترضتُ عليْهِ، وما يزالُ يتقرَّبُ عبدي إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أحبَّهُ،

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai melebihi hal-hal yang Aku wajibkan. Dan apabila hamba-hamba-Ku terus melakukan amalan sunat, pasti Aku akan mencintai mereka.” [HR. Al-Bazzar].

Artinya, amalan wajib lebih tinggi kedudukannya dibanding amalan sunat. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tatkala melakukan amalan wajib jangan membatasi dirinya karena takut berdosa kalau meninggalkannya. Tapi, tanamkan pada dirinya ia mengerjakan amal tersebut karena Allah mencintai perbuatan itu.

Label