Pentingnya Sebuah Keteladanan Dalam Perbuatan
Malik bin Dinar rahimahullah (Ulama Tabi'in- murid Hasan Al-Bashri) pernah mengatakan:
إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ زَلَّتْ مَوْعِظَتُهُ عَنِ الْقُلُوبِ كَمَا يَزِلُّ الْقَطْرُ عَنِ الصَّفَا
“Sesungguhnya seorang alim jika dia tidak mengamalkan ilmunya maka nasihat-nasihatnya tidak akan merasuk ke dalam hati-hati, sebagaimana tetesan air tergelincir dari batu yang keras.” (Atsar - perkataan salaf)
Oleh karena itu, mengamalkan ilmu sangatlah penting untuk keberhasilan dakwah seseorang, karena orang-orang yang didakwahi (mad’u) sangat membutuhkan teladan yang baik untuk dirinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan bagi para sahabat. Gerak-gerik beliau selalu diperhatikan oleh para sahabat. Mereka pun semangat untuk meniru apa yang dilakukan dan memakai apa yang dikenakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
Bahkan keteladanan beliau tidak hanya berlaku untuk para sahabat saja, tetapi untuk seluruh manusia di dunia ini sampai akhir zaman. Beliau adalah manusia yang paling sesuai perkataannya dengan perbuatannya.
Kebencian Allah Pada Orang Yang Tidak Mengamalkan Apa Yang Dikatakan
Allah sangat membenci orang yang hanya pandai berbicara dan pandai manasihati orang lain untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, tetapi ternyata dia sendiri tidak melakukannya atau tetap tidak bisa meninggalkannya. Allah sangat membenci orang yang seperti itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“(2) Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (3) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS Ash-Shaff: 2-3)
Pentingnya Sebuah Keteladanan Dalam Perbuatan
Umat di saat ini membutuhkan teladan yang baik, yang dibuktikan dengan tingkah, perilaku, adab dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Jika hanya dengan perkataan saja, maka hal tersebut tidaklah cukup.
Banyak dai menyeru agar kaum muslimin shalat berjamaah di masjid akan tetapi ternyata dia sendiri tidak shalat berjamaah di masjid. Banyak para pendakwah menyerukan agar berakhlak mulia dan pandai menjaga lisan, tetapi ternyata dia sendiri tidak memiliki akhlak mulia dan tidak bisa “menyaring” kata-katanya.
Kisah tentang Pentingnya Tauladan
Ketika perjanjian Hudaibiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dihalangi oleh orang-orang musyrik Quraisy untuk masuk ke kota Mekkah. Padahal pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ingin berumrah. Akhirnya mereka pun tidak bisa melanjutkan umrahnya dan terpaksa membatalkan umrahnya dengan cara menyembelih hewan dan mencukur rambut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada para sahabat:
قُومُوا فَانْحَرُوا ثُمَّ احْلِقُوا
“Berdirilah kalian, kemudian sembelihlah dan cukurlah (rambut) kalian!”
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini mengatakan, “Demi Allah tidak ada seorang pun yang berdiri, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Ketika (beliau melihat) tidak ada yang berdiri, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menemui Ummu Salamah dan beliau pun menceritakan apa yang terjadi. Kemudian Ummu Salamah mengatakan, ‘Apakah engkau menginginkan hal itu? Keluarlah, kemudian janganlah engkau berbicara satu kata kepada seorang pun sampai engkau menyembelih untamu dan engkau panggil tukang cukurmu kemudian dia mencukurmu.’ Beliau pun melakukan apa yang disarankan oleh istri beliau. Ketika para sahabat melihat hal tersebut, mereka pun berdiri kemudaian menyembelih, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain.”
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat adalah orang yang paling taat dalam mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ketika diperintahkan, mereka pun tidak cukup hanya dengan perkataan, tetapi mereka juga butuh praktik langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: اتَّخَذَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فَاتَّخَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ مِنْ ذَهَبٍ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: (( إِنِّي اتَّخَذْتُ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ.)) فَنَبَذَهُ, وَقَالَ: (( إِنِّي لَنْ أَلْبَسَهُ أَبَدًا فَنَبَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَهُمْ.))
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin dari emas, kemudian orang-orang pun memakai cincin dari emas. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Dulu saya memakai cincin dari emas’, kemudian beliau pun membuang cincin tersebut dan berkata, ‘Sesungguhnya saya tidak akan pernah memakainya lagi selama-lamanya.’ Kemudian orang-orang pun membuang cincin-cincin mereka.”
Ini menunjukkan pentingnya sebuah keteladanan dalam perbuatan. Dan hadits ini juga menunjukkan semangat para sahabat yang sangat hebat dalam mengikuti dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ganjaran Yang Besar Menjadi Teladan Yang Baik
Orang yang menjadi teladan yang baik untuk orang lain akan mendapatkan ganjaran yang sangat besar sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa mencontohkan ajaran/sunnah yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala mengerjakannya dan pahala orang yang mengerjakannya juga setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.”
Dosa Akibat Menjadi Teladan Yang Buruk
Begitu pula sebaliknya orang yang menjadi teladan yang buruk untuk orang lain, dia akan mendapat ancaman yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa yang mencontohkan ajaran/kebiasaan yang buruk, maka dia akan mendapatkan dosa mengerjakannya dan dosa orang yang mengerjakannya juga setelahnya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.”
Begitu pula, orang tersebut akan mendapatkan siksa yang amat pedih di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلاَنُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ.
“Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat, kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian keluarlah usus-usus perutnya, kemudian dia berputar-putar mengelilinginya sebagaimana keledai mengitari poros ikatannya . Kemudian penduduk neraka pun mengatakan, “Wahai Fulan! Apa yang terjadi pada dirimu? Bukankan dulu engkau menyuruh untuk melakukan perbuatan yang makruf (baik) dan engkau melarang dari perbuatan yang mungkar (buruk)?” Dia pun menjawab, “Ya, dulu saya menyuruh (orang lain) untuk melakukan perbuatan makruf (baik) tetapi saya tidak mengerjakannya. Saya melarang dari perbuatan mungkar, tetapi saya mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Contoh Yang Baik Dari Umar
Teladan yang baik juga ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika beliau menjadi amirul-mukminin, Salim cucu beliau menceritakan:
عُمَرُ إذَا نَهَى النَّاسَ عَنْ شَيْءٍ جَمَعَ أَهْلَ بَيْتِهِ ، فَقَالَ : إنِّي نَهَيْت النَّاسَ عَنْ كَذَا وَكَذَا ، وَإنَّ النَّاسَ لَيَنْظُرُونَ إلَيْكُمْ نَظَرَ الطَّيْرِ إلَى اللَّحْمِ ، وَايْمُ اللهِ لاَ أَجِدُ أَحَدًا مِنْكُمْ فَعَلَهُ إلاَّ أَضْعَفْتُ لَهُ الْعُقُوبَةَ ضِعْفَيْنِ.
“Dulu ‘Umar apabila melarang manusia untuk melakukan sesuatu, maka beliau mengumpulkan keluarganya. Kemudian beliau berkata, ‘Sesungguhnya saya telah melarang manusia untuk melakukan ini dan itu. Orang-orang akan benar-benar melihat kalian sebagaimana seekor burung mengincar daging. Demi Allah! Jika saya mendapatkan seorang dari kalian melakukannya maka saya akan lipat gandakan hukumannya dua kali lipat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Doa Yang Diabadikan Allah Dalam Al Qur’an
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74)
Maksud dari menjadi ‘imam bagi orang-orang yang bertakwa’ adalah menjadi imam yang diteladani di dalam kebaikan. Sebagaimana dikatakann oleh Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, Qatadah dan Ar-Rabi’ bin Anas.
Renungan Untuk Para Da’i
Mengakhiri tulisan ini ada baiknya penulis nukilkan atsar salaf yang mudah-mudahan bermanfaat, khususnya kepada para dai.
عن مُحَمَّد بْن أَحْمَدَ الْفَرَّاء يَقُولُ: قِيلَ لِحَمْدُونَ الْقَصَّارِ: مَا بَالُ كَلَامِ السَّلَفِ أَنْفَعُ مِنْ كَلَامِنَا؟ قَالَ: لِأَنَّهُمْ تَكَلَّمُوا لِعِزِّ الْإِسْلَامِ، وَنَجَاةِ النُّفُوسِ، وَرِضَا الرَّحْمَنِ، وَنَحْنُ نَتَكَلَّمُ لِعِزَّةِ النَّفْسِ، وَطَلَبِ الدُّنْيَا، وَقَبُولِ الْخَلْقِ.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Ahmad Al-Farra’, dia pernah mengatakan bahwa Hamdun Al-Qashshar pernah ditanya, “Mengapa perkataan salaf (orang yang terdahulu) lebih bermanfaat dari perkataan kita?” Beliau pun menjawab, “Sesungguhnya mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa-jiwa dan mengharap keridaan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri kita, mencari dunia dan mengharapkan diterima oleh makhluk.” (Al-Baihaqi - Syu'bul Iman)