"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Mengimani Takdir & Berlapang dada

Mengimani Takdir & Berlapang dada



Dalam kehidupan di dunia ini manusia mencari kebahagiaan. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan realita bahwa kehidupan ini tidak selalu bahagia. Ada masa suka, ada pula duka. Ada masa bahagia, ada masa sedihnya. Lalu bagaimana agar seseorang tetap merasa tenang dalam dua kondisi yang bergantian ini? Bagaimana agar manusia memiliki hati yang ridha, syukur, dan sabar dalam menghadapi realita ini? Jawabnya adalah hal itu tergantung dengan bagaimana kuat atau tidak keyakinan mereka terhadap takdir yang Allah tetapkan.


Jika dalam kondisi lapang, mereka tidak sombong dan lupa. Saat dalam kondisi lupa, mereka tidak sedih berlebih dan putus asa. Inilah manfaat mengimani takdir Allah. Allah Ta’ala berfirman,

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Quran Al-Hadid: 23].

Kalau demikian cara untuk bahagia dalam kondisi lapang maupun sempit, tentu pertanyaan yang muncul di benak kita adalah bagaimana caranya agar keyakinan kita kepada takdir Allah itu kuat? Jawabnya adalah imanilah takdir dengan cara yang benar.

Empat tingkatan iman terhadap takdir yang wajib diimani

Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts wal Ifta’ ditanya, “Apa makna mengimani takdir?” Mereka menjawab: “Maknanya adalah

  1. (Al-ilmu) mengimani bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mengetahui segala sesuatu sebelum dia ada (terjadi),
  2. (Al-Kitaabah/Penulisan) dan mencatatnya di sisi-Nya (dalam Lauhul Mahfuzh),
  3. (Al-Iradah & Al-Masyiiah / keinginan & kehendak) kemudian apa saja yang ada (terjadi) semuanya atas kehendak-Nya,
  4. (Al-Khalqu) lalu dia menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya tersebut. .

Dalam hadits lainnya disebutkan,

عَنْ عَلِيٍّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَأَتَانَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ … قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَد مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً ، أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى} الآيَةَ.

Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Dulu kami sedang mengurus jenazah di (kuburan) Baqi’ al-Gharqad, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Beliau duduk dan kami pun duduk semuanya di sekitar Beliau … Beliau berkata, 

‘Tidak ada di antara kalian dari jiwa yang ditiupkan (ruh) kecuali dia telah dicatat tempatnya, apakah nanti dia di surga ataukah di neraka dan telah dicatat juga apakah dia sengsara ataukah bahagia.’ 

Kemudian berkatalah seorang laki-laki, ‘Apakah kami bergantung dengan catatan kami dan kami meninggalkan amalan? Barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang bahagia maka dia akan beramal dengan amalan golongan yang bahagia. Dan barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang sengsara, maka dia akan beramal dengan amalan golongan orag yang sengsara?’ 

Beliau berkata, ‘Adapun orang yang berbahagia maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang berbahagia dan orang yang sengsara maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang sengsara.’ Kemudian beliau membaca: ‘Adapun orang yang memberikan dan bertakwa …'(Ayat).”
___________
Dengan demikian, seseorang tidak boleh berpasrah diri kepada takdirnya. Tidak boleh hanya bersandar kepada apa yang telah dicatatkan untuknya. Karena seseorang tidak mengetahui apa yang dicatatkan untuknya. Apakah dia seorang yang dunia ini kaya atau susah. Di akhirat masuk surga atau neraka. Kita tidak tahu. Karena itu berusahalah untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan dunia ini maupun di akhirat. Kalau kita berusaha baik, mudah-mudahan Allah mencatatkan hasil yang baik untuk kita.

Sama halnya kalau ada dua jalan yang baik dan buruk. Seseorang ditawarkan satu jalan yang lebar, terang, aman, dan jalannya baik. Kemudian jalan yang lain adalah sempit, gelap, tidak aman, banyak jalan yang rusak. Jalan mana yang akan ditempuh oleh seseorang? Tentu jalan yang pertama. Demikian juga apabila seseorang ingin masuk surga, maka ia harus beramal shaleh, menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, agar sampai di tempat tujuan yaitu surga. Berbeda dengan seseorang yang berzina, mencuri, minum khamr, kemudian dia katakan saya akan masuk surga. Tentu ini aneh.

Macam-macam takdir

Pertama: Takdir Azali
Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim)

Kedua: Takdir Umri
Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin. Inilah yang sedang kita bahas.

Ketiga: Takdir Sanawi
Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.

Allah berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan/44 : 4].

Keempat: Takdir Yaumi
Yaitu takdir yang berlaku harian.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]

Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dari al-Walid putra dari seorang sahabat yang mulia yakni Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

دَخَلْتُ عَلَى والدي، وَهُوَ مَرِيضٌ أَتَخَايَلُ فِيهِ الْمَوْتَ فَقُلْتُ: يَا أَبَتَاهُ أَوْصِنِي وَاجْتَهِدْ لِي ، فَقَالَ: أَجْلِسُونِي ؛ فَلَمَّا أَجْلَسُوهُ قَالَ: يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَطْعَمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ، وَلَنْ تَبْلُغْ حَقَّ حَقِيقَةِ الْعِلْمِ بِاللهِ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّه.ِ قَالَ: قُلْتُ: يَا أَبَتَاهُ وَكَيْفَ لِي أَنْ أَعْلَمَ مَا خَيْرُ الْقَدَرِ مِنْ شَرِّهِ ؟ قَالَ: تَعْلَمُ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ . يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمُ، ثُمَّ قَالَ: اكْتُبْ ، فَجَرَى فِي تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)) ، يَا بُنَيَّ إِنْ مِتَّ وَلَسْتَ عَلَى ذَلِكَ دَخَلْتَ النَّارَ».

Aku menemui ayahku. Saat itu beliau sedang sakit yang aku kira beliau telah dekat dengan kematian. Aku bertanya, “Wahai ayah, berilah aku wasiat dan bersungguh-sungguhlah untukku.” Ayahku berkata, “Dudukkanlah aku.” Ketika aku telah mendudukkannya, ia berkata,
 “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tak akan merasakan nikmatnya keimanan, dan engkau tidak akan sampai pada hakikat ilmu kepada Allah sampai engkau beriman kepada takdir yang baik atau yang buruk.”

Aku berkata, “Wahai ayah, bagaimana aku bisa membedakan mana takdir yang baik atau yang buruk?” Ia menjawab, 
“Ketauhilah, apa yang memang tidak dicatatkan untukmu tidak akan engkau dapatkan. Dan apa yang ditetapkan untukmu, tidak akan luput darimu. Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfirman, ‘Tulislah’. Sejak itu terjadilah segala sesuatu hingga hari kiamat’. Wahai anakku, jika engkau wafat dan engkau tidak berada di atas keyakinan yang demikian, engkau akan masuk neraka.”

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ

“Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas.”

kisah

Kisah berikutnya adalah kisah ringan yang juga penuh pelajaran agar kita berbaik sangka kepada pilihan Allah. Walaupun kisah ini apakah shahih benar-benar terjadi atau tidak, namun ini sebuah ilustrasi yang bisa kita petik pelajaran di dalamnya.

Ada sebuah kisah seorang raja dan seorang menteri. Menterinya ini senantiasa berkata

الخَيْرُ خِيْرَةُ اللهِ

Yang terbaik adalah pilihan Allah.

Setiap ada orang yang terkena musibah, akan dinasehati oleh sang menteri dengan mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu saat sang raja yang terkena musibah, jari raja ini terputus karena suatu hal. Sang menteri datang dengan tetap mengatakan, wahai raja yang terbaik adalah pilihan Allah. Jarimu putus itu adalah yang terbaik.

Mendengar ucapan menterinya ini, raja pun tersinggung dan marah. Dia mengatakan, “Jari saya putus yang terbaik?! Penjarakan dia!”

Tatkala di penjara, dengan mudah menteri ini mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah.

Ternyata benar, suatu saat sang raja pergi berburu bersama bawahannya untuk berburu atau suatu keperluan. Mereka terjebak, pergi ke tempat yang jauh, lalu mereka ditangkap oleh segeromblan orang penyembah dewa tertentu. Mereka ditangkap dan disembelih satu per satu sebagai tumbal untuk dewa-dewa mereka. Tatkala Tiba giliran sang raja, mereka dapati jari raja ini putus, mereka anggap raja ini orang yang cacat yang tidak pantas dikorbankan untuk sesembahan mereka. Raja pun dibebaskan.

Saat itulah sang raja sadar akan kebenaran perkataan menterinya. Jarinya yang putus ini adalah suatu kebahagiaan, merupakan anugerah, sehingga dia tidak jadi dibunuh oleh orang-orang tersebut. Ia pulang dengan begitu semangat, lalu membebaskan sang menteri. Raja mengatakan, “Benar perkataanmu, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya selamat dari cengkraman mereka. Namun saya ingin bertanya, mengapa waktu engkau di penjara, kau katakan yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apa kebaikan yang kau alami di penjara?” Menteri menjawab, “Seandainya saya tidak di penjara, maka saya akan pergi turut serta berburu bersamamu, saya akan ditangkap dan disembelih oleh mereka. oleh karena itu, saya dipenjara adalah yang terbaik.”

Sepenggal kisah tentang takdir

Dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan” yang ditulis oleh penulis terkenal yang bernama R.N.S Budhli, ada sebuah tulisan menarik yang berjudul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah). Dalam tulisan itu penulis ingin menunjukan tentang pentingnya iman kepada takdir dalam menghadapi manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya.

Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.

Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran, mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan mudah.

Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi, dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”

Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat, dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala, hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir sudah ditulis!”.

Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.

Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa bekerja kembali dari awal”

Penyebab Suul Khatimah



Penyebab Suul Khatimah


Shiddiq hasan Khan pernah menceritakan tentang kondisi suul khatimah, “Suul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus selalu diwaspadai oleh setiap mukmin.” (Yaqdzah Ulil I’tibar, 211)

Kemudian beliau mennyebutkan empat sebab suul khatimah yang beliau maksud sebagai berikut.

1. Akidah yang Rusak

Tak ada artinya jika telah memiliki sifat zuhud, kualitas keshalihan yang tinggi, namun akidahnya rusak. Jika seseorang memiliki akidah yang rusak dan ia meyakininya, bahkan sama sekali tidak menyangka telah berada dalam kekeliruan akidah, maka semua itu akan tersingkap saat sakaratul maut.

Jika seseorang wafat dalam kondisi seperti ini sebelum ia kembali pada iman yang benar, maka ia akan mendapatkan suul khatimah dan wafat dalam kondisi tanpa iman.

Selain itu, ia juga akan termasuk dalam kategori golongan yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar: 47)

Dan ayat,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالاً . الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah ‘Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Oleh sebab itu, hendaknya setiap manusia selalu memberbaiki akidahnya. Akidah yang benar adalah akidah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam risalah dakwahnya di era awal kebangkitan Islam masa hidup beliau.

2. Banyak Maksiat!

Orang yang sering melakukan maksiat, maka kemaksiatan itu akan terus menumpuk dalam hatinya. Semua yang pernah dikumpulkan manusia sepanjang umur kehidupannya, maka memori itu akan muncul dan terulang saat ia mati.

jika kecenderungannya pada maksiat lebih dominan, maka yang paling banyak hadir saat sakaratul maut adalah memori maksiat.

Bahkan, bisa jadi pada saat maut menjelang dan ia belum taubat, syahwat dan maksiat menguasainya hingga hatinya terikat padanya. Dan akhirnya, dua hal itu menjadi penghalang antara dia dan Rabbnya, serta menjadi penyebab kesengsaraan di akhir hayat.

Adapun orang yang tidak melakukan dosa, atau melakukan dosa namun selalu segera diiringi dengan taubat, maka ia akan dijauhkan dari kondisi tersebut.

Imam adz-Dzahabi mengutip perkataan Mujahid dalam tulisannya, Tidaklah seseorang meninggal kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa bergaul dengannya. Seseorang yang suka main catur sekarat, lalu dikatakan kepadanya, “Ucapkan Laa Ilaha Illallah.” Ia menjawab, “Skak!” kemudian ia mati.

3. Tidak Istiqamah


Orang yang semula istiqamah dalam kebaikan, lalu berubah dan menyimpang jauh menuju keburukan, ini bisa menjadi penyebab Suul khatimah.

Sebagaimana iblis yang pada mulanya adalah pemimpin malaikat plus malaikat yang paling giat beribadah, namun kemudian saat ia diperintah untuk sujud kepada Adam, ia membangkang dan menyombongkan diri. Sehingga ia tergolong makhluk yang kafir.

Juga sebagaimana Bal’am Ibnu Ba’ura yang telah sampai kepadanya ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkannya ke dunia. Ia menuruti hawa nafsunya dan termasuk orang-orang yang sesat.

Keluarnya seseorang dari jalan istiqamah dalam ketaatan harus segera disadarkan dan diluruskan. Agar ia tidak termasuk golongan orang yang mendapatkan Suul khatimah saat sakaratul maut.

4. Iman Lemah

Iman yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan terus menguatkan cinta kepada dunia dalam hatinya. Lemahnya iman dapat menjajah dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla kecuali hanya sedikit bisikan jiwa.

Akibatnya, ia akan terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan maksiat. Noda hitam yang ada di hatinya akan terus menumpuk dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang sudah terlanjur lemah dalam hatinya.

Dalam kondisi seperti itu, jika sakaratul maut datang, ia akan selalu dibayangi rasa khawatir dalam dirinya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla murka dan tidak cinta kepadanya. Cinta Allah ‘Azza wa Jalla yang sudah lemah itu berbalik menjadi benci. Akhirnya, bila ia mati dalam kondisi iman lemah, dia akan mendapatkan suul khatimah dan sengsara selamanya.

Sebab, yang melahirkan suul khatimah adalah cinta dan kecenderungan kepada dunia serta lemahnya iman. Semuanya akan berimbas pada lemahnya rasa cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Disadur dari kitab Al-Qiyamah ash-Shughra, Syaikh Umar bin Khattab radhyallahu ‘anhu Sulaiman al-Asyqar) Wallahu a’lam

3 Asas Bermuamalah




3 Asas Bermuamalah


Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jāmiʿ beliau dari hadis Muadz bin Jabal bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,

(اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا ، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ)

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Wahai hamba-hamba Allah, hadis agung ini mengumpulkan pokok-pokok wasiat yang terangkum dalam tiga wasiat agung yang diwasiatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepada Muadz —semoga Allah Meridainya— yang mana tiga wasiat agung ini merupakan asas dan prinsip dalam muamalah, yaitu:muamalah seorang hamba dengan Tuhannya,
muamalah seorang hamba dengan dirinya,
dan muamalah seorang hamba dengan sesama hamba Allah.

Adapun muamalah seorang hamba dengan Tuhannya, maka muamalah itu didasarkan pada asas ketakwaan.

Takwa kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk-Nya yang telah lalu dan yang akan datang, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya),

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ


“Kami telah Mewasiatkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131)

Itulah wasiat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepada umat beliau, dan menjadi wasiat yang saling diwasiatkan oleh para Salafus Shalih. Takwa kepada Allah Jalla wa ʿAlā adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena mengharap pahala-Nya dan meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena takut terhadap azab-Nya.

Adapun muamalah seorang hamba dengan dirinya sendiri, maka didasarkan pada asas memandang dirinya sendiri sebagai sosok yang serba kurang, terjatuh dalam kesalahan, pelaku maksiat, dan pemikul dosa, sehingga dalam keadaan begini dirinya dituntut untuk melakukan perjuangan yang tiada henti untuk melawan nafsunya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, maka Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)

Seorang hamba harus melawan dirinya untuk memperbanyak kebaikan memanfaatkan musim-musim ketaatan dan waktu-waktu ibadah agar dirinya mendapatkan kesempatan dan bagian di dalamnya.

وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

“Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, darinya…” (HR. At-Tirmidzi)

Ini hanya bisa dilakukan oleh hamba dengan cara melawan nafsu dalam dirinya untuk memperbanyak kebaikan.

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

“Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan.” (QS. Hud: 114)

Sedangkan muamalah seorang hamba dengan sesama hamba Allah, maka muamalah itu didasarkan pada akhlak yang mulia,

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“…dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)

Akhlak mulia dibangun di atas dua pondasi agung dan dua asas yang kokoh, yaitu:

Pertama: Hati yang bersih terhadap hamba-hamba Allah, dengan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana dia cintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua: Memperlakukan manusia dengan perkataan dan perbuatan yang dia sendiri ingin diperlakukan demikian dan bermuamalah dengan mereka dengan cara muamalah yang dia sendiri ingin mereka bermuamalah kepadanya dengan cara demikian, sebagaimana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,

وَتَأْتِي إِلَى النَّاسِ مَا تُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْكَ

“Datangilah (perlakukan) manusia sebagaimana engkau ingin manusia mendatangi (memperlakukan) dirimu.” (HR. Muslim)

Wahai hamba-hamba Allah, dalam akhlak mulia menuntut jiwa untuk berusaha keras agar seseorang bisa menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan adab yang adiluhung tersebut, di samping dia juga butuh pertolongan total dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā, karena akhlak adalah karunia dan anugerah ilahi, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang Salaf,

إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله إذا أحب عبده وهبه منها

“Sesungguhnya akhlak-akhlak ini adalah karunia. Ketika Allah sudah Mencintai hamba-Nya, maka Dia akan Mengaruniakannya kepadanya.”

Disebutkan dalam sebuah doa yang warid,

اللهم اهْدِنِي لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, Bimbinglah aku kepada akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik melainkan Engkau, dan Palingkan aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkanku dari keburukannya melainkan Engkau.” (HR. Muslim)

4 Pelebur Dosa

4 Pelebur Dosa 



Dalam sebuah hadis yang sahih, diriwayatkan Imam At-Tirmidzi rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ، وخَيرُ الخطَّائين التوَّابونَ

Setiap manusia keturunan Nabi Adam ‘alaihis salam banyak melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang melakukan banyak kesalahan adalah orang yang banyak bertobat.

Hadis yang agung ini menunjukkan bahwa setiap umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti memiliki dosa. Padahal, tidak akan masuk surga, kecuali orang-orang yang telah bersih dari dosa.

Allah Ta’ala berfirman,

وَسِيْقَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ اِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا جَاۤءُوْهَا وَفُتِحَتْ اَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوْهَا خٰلِدِيْنَ

“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, telah bersih kalian (dari dosa)! Maka, masuklah, kalian kekal di dalamnya.’” (QS. Az-Zumar: 73)

Allah sebutkan di ayat yang mulia ini bahwa seluruh ahlul jannah masuk surga dalam keadaan telah bersih dari dosa-dosanya. Sehingga barangsiapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah mengambil sebab-sebab peleburan dosanya yang dilakukan sewaktu di dunia.

Dosa adalah sesuatu yang menyelisihi perintah syar’i dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Sedangkan peleburan dosa, yaitu Allah mengampuni dosa, memaafkan hamba-Nya yang berdosa sehingga tidak menyiksanya.

Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan bahwa dosa tidak bisa terhapus dari catatan amal, meski dengan tobat atau selainnya dari pelebur dosa, pasti akan ditunjukkan dan dibaca oleh pelakunya. (Hal ini berdasarkan surah Al-Kahfi ayat 49 dan surah Az-Zalzalah ayat 7 dan 8.) Namun, akan tercatat pula tobatnya atau pelebur dosa lainnya. Jadi, dosanya tercatat dan pelebur dosanya juga tercatat di catatan amal.

Ada empat peleburan dosa di dunia yang sangat perlu kita ketahui:

Pertama: Tobat

Dosa apa pun, apabila seorang bertobat darinya dengan memenuhi syarat-syarat diterimanya tobat, maka akan diampuni oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat 53, surah An-Nur ayat 3, juga berdasarkan surah Al-Furqan ayat 68-70.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'” (QS. Az-Zumar: 53)

وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertobatlah kalian semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kalian beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

Kedua: Istigfar

Yaitu, doa memohon ampunan kepada Allah semata. Karena istigfar itu doa, maka bisa dikabulkan sehingga diampuni, bisa juga tidak. Akan tetapi, kalau istigfar itu diiringi dengan tobat yang memenuhi syarat diterimanya tobat, maka pasti dosa itu diampuni.

Istigfar itu amalan pelebur dosa, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 110)

Ketiga: Amal saleh

Terkait amal saleh sebagai pelebur dosa, pendapat ulama terkuat adalah pada asalnya amal saleh itu melebur dosa kecil saja. Namun, sebagian amalan saleh yang berkualitas itu bisa melebur dosa besar. Hanya saja, tentu berat melakukan amalan saleh berkualitas itu, kecuali Allah mudahkan. Dalil amal saleh sebagai pelebur dosa adalah surah Hud ayat 114. Allah Ta’ala berfirman,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).”

Keempat: Musibah

Musibah akan melebur dosa kecil saja, meskipun tanpa diiringi kesabaran. Sedangkan jika musibah itu diiringi dengan sabar, maka akan terlebur dosa ditambah dengan mendapatkan pahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا

Tidaklah suatu musibah apa pun yang menimpa seorang muslim, bahkan duri yang melukainya sekalipun, melainkan Allah akan menghapus dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu keletihan dan penyakit, kekhawatiran, dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesedihan yang sangat, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus dari dosa-dosanya.” (Shahih Bukhari rahimahullah)


Ragam Pendapat Tentang Nur Muhammad

𝗥𝗔𝗚𝗔𝗠 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗔𝗣𝗔𝗧 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗡𝗨𝗥 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗠𝗠𝗔𝗗



Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Secara umum pemahaman tentang Nur Muhammad itu dapat dikategorikan menjadi dua madzhab atau kelompok. Kelompok pemahaman yang pertama adalah mereka yang meyakini bahwa nabi Muhammad itu adalah Nur sebagaimana informasi tersirat yang ada dalam al Qur’an.
Sedangkan kelompok pemikiran kedua adalah mereka yang meyakini bahwa ada Nur Muhammad dengan beberapa sifat-sifat khusus yang nanti akan kita jabarkan.
Untuk kelompok pendapat pertama kami rasa tidak terlalu urgen untuk dibahas terlalu mendalam, toh ini hanya penafsiran ayat dan perbedaan pemahaman tentang definisi Nur dari makna ayat, apakah itu hakiki atau majasi. Seperti dalam ayat :
وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِه وَسِرَاجًا مُّنِيْرً
" Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (QS. Al Ahzab: 46)

قَدْ جَاۤءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al Maidah 15)
Al imam ath Thabari ketika menjelaskan ayat tersebut beliau berkata :
قد جاءكم يا أهل التوراة والإنجيل من الله نور يعني بالنور محمدًا صلى الله عليه وسلم
"Telah datang kepadamu wahai Ahli Taurat (Yahudi) dan Injil (Nasrani) cahaya dari Allah." Yang dimaksud dengan cahaya di sini adalah Muhammad shalallahu’alaihi wasalam.”[1]
Sehingga kemudian menurut pendapat ini menyebut beliau shalallahu’alaihi wassalam dengan Nur itu bukan hal yang bisa dikatakan keliru. Kalangan ini pun sebenarnya masih terbagi lagi menjadi dua kelompok pendapat, antara yang mengatakan bahwa nabi Muhammad itu tercipta dari cahaya dalam hakikatnya, dengan yang mengatakan bahwa beliau juga adalah manusia biasa yang diciptakan sebagaimana manusia juga diciptakan.
Dan pendapat yang kedua ini adalah yang benar dan yang diikuti oleh mayoritas kelompok ini.
Sedangkan ulama lainnya tentu tidak memaknai bahwa cahaya yang disebut dalam ayat sebagai makna hakiki tapi hanyalah majasi. Nabi shalallahu’alaihi wasssalam disebut dengan cahaya karena beliau membawa terangnya hidayah dan petunjuk Islam.
Hal ini jelas diterangkan juga dalam tafsir, semisal dari imam Thabari yang telah disebutkan di atas, lanjutannya adalah :
قد جاءكم يا أهل التوراة والإنجيل من الله نور يعني بالنور محمدًا صلى الله عليه وسلم الذي أنار الله به الحقَّ، ‌وأظهر ‌به ‌الإسلام، ‌ومحق ‌به ‌الشرك، فهو نور لمن استنار به يبيِّن الحق. ومن إنارته الحق، تبيينُه لليهود كثيرًا مما كانوا يخفون من الكتاب
"Telah datang kepadamu wahai Ahli Taurat (Yahudi) dan Injil (Nasrani) cahaya dari Allah." Yang dimaksud dengan cahaya di sini adalah Muhammad shalallahu’alaihi wassalam yang Allah menerangi dengannya kebenaran, memenangkan Islam dan menghapus kesyirikan.
Dia adalah cahaya bagi siapa pun yang ingin mendapatkan penjelasan tentang kebenaran. Menjelaskan sesuatu kepada orang- orang Yahudi telah banyak menyembunyikan isi kitab.”[2]
Dan yang disebut sebagai cahaya dalam al Qur’an bukanlah hanya Nabi shalallahu’alaihi wassalam tapi juga pihak lain, diantaranya al Qur’an juga disebut dengan Nur, seperti firman Allah ta’ala :

فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِه وَالنُّوْرِ الَّذِيْٓ اَنْزَلْنَاۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. At Taghabun: 😎
Para mufasir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini adalah al Quran.
Namun untuk kelompok pendapat kedua, yaitu mereka yang menyandarkan pemahaman dan keyakinannya bukan kepada tafsir ayat tapi kepada hadits-hadits yang telah jelas disepakati ketidak sahihannya, tidaklah sama dengan pihak yang pertama tersebut.
Mereka ini menjadikan masalah Nur Muhammad sebagai bagian dari masalah Aqidah yang dibangun di atas dalil yang bermasalah. Padahal ulama telah sepakat bahwa hadits lemah tidak boleh digunakan untuk masalah hukum apalagi Aqidah, apalagi jika ternyata dalilnya bukan sekedar lemah tapi hadits palsu.
Meski kemudian kelompok pendapat ini juga masih terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan pemahaman. Paling tidak ada tiga tingkatan, mulai dari yang masih tergolong moderat sampai yang ghulu (sangat ekstrim). Berikut perinciannya :

𝟭. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗶 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻
Kalangan ini berpendapat bahwa berdasarkan hadits Jabir bisa dipahami makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah Nur Muhammad shalallahu’alaihi wassalam. Adapun hadits lain yang menyebutkan bahwa makhluk yang diciptakan pertama kali adalah air dan dalam riwayat lain adalah pena, maka ini bisa dikompromikan.
Berkata al Ajluni rahimahullah :
فيجمع بينه وبين ما قبله بأن أولية القلم بالنسبة إلى ما عدا النور النبوي والماء والعرش انتهى، ‌وقيل ‌الأولية ‌في ‌كل ‌شئ ‌بالإضافة ‌إلى ‌جنسه
“Dan dikompromikan antara riwayat sebelumnya, bahwa yang pertama kali diciptakan adalah pena maksudnya selain air, nur kenabian dan Arsy. Dan bisa dikatakan juga semuanya itu pertama sesuai dengan keadaan masing-masing.”
Mereka berkata :
كل هذه الموجودات إنما وجدت من نور محمد صلى الله عليه وسلم ثم تفرقت في الكون
“Semua yang wujud sesungguhnya hanya berasal dari Nur Muhammad shalallahu’alaihi wassalam yang berpencar di alam semesta.”[3]
Juga dikatakan :
كما في حديث جابر أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أول ما خلقه الله تعالى قال إن الله خلق قبل الأشياء نور نبيك فجعل ذلك النور يدور بالقدرة حيث شاء الله ولم يكن في ذلك الوقت لوح ولا قلم ولا جنة ولا نار ولا ملك ولا إنس ولا جن ولا أرض ولا سماء ولا شمس ولا قمر وعلى هذا فالنور جوهر لا عرض
“Sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa ketika ditanya perihal makhluk pertama yang diciptakan Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : 'Sungguh, Allah menciptakan Nur Nabimu sebelum segala sesuatu.'
Allah menjadikan Nur itu beredar dengan kuasa Allah sesuai kehendak-Nya. Saat itu belum ada Lauh, qalam, surga, neraka, malaikat, manusia, jin, bumi, langit, Matahari, dan bulan. Atas dasar ini, nur itu adalah substansi, bukan kiasan.”[4]

𝟮. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘀𝗲𝗴𝗮𝗹𝗮 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂
Lebih jauh lagi dari sekedar meyakini bahwa Nur Muhammad adalah makhluk yang pertama kali diciptakan sebagaimana yang diyakini kelompok yang mengikuti pemahaman pertama, di kelompok pendapat kedua ini mereka bahkan meyakini bahwa makhluk sebagiannya atau bahkan secara keseluruhan itu berasal dari Nur Muhammad shalallahu’alaihiwassalam.
Mereka berkata :
اعلم أن أنوار الكائنات كلها من عرش وفرش وسماوات وأرضين، وجنات وحجب، وما فوقها، وما تحتها إذا جمعت كلها، وجدت بعضًا من نور النبي، وأن مجموع نوره لو وضع على العرش، لذاب
“Ketahuilah bahwa seluruh cahaya yang menerangi Arsy, hamparan langit dan bumi, syurga dan apa yang ada di atas dan di bawahnya jika dikumpulkan akan didapati semuanya dari Nur Muhammad. Dan jika semua cahaya itu diletakkan di atas Arsy, maka ia akan meleleh.”[5]
Mereka berkata : “Nur Muhammmad adalah permulaan makhluk, dan karena dialah Allah menciptakan alam seluruhnya.”[6]
Tentang para Nabi dan Rasul mereka mengatakan kaitannya dengan Nur Muhammad :
كل النبيين والرسل الكرام أتوا نيابة عنه في تبليغ دعواه فهو الرسول إلى كل الخلائق في كل العصور ونابت عنه أفواه
“Setiap nabi dan rasul yang mulia datang adalah untuk menggantikan dirinya, untuk menyampaikan dakwahnya. Dan dia adalah rasul kepada semua makhluk di setiap zaman dan sumber dari apa yang disampaikan.”[7]
Mereka juga berkata : “Akal yang pertama dinasabkan kepada Muhammad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta ini.”[8]

𝟯. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗸𝗶 𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁-𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗞𝗲𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻𝗮𝗻
Di tingkat ketiga ini bahkan mereka sampai mensifati Nur Muhammad dengan beberapa sifat-sifat yang memiliki ketuhanan bahkan mungkin bagian dari Allah itu sendiri. Diantara ucapan mereka diantaranya adalah :
Nur Muhammad mengetahui al Quran sebelum diturunkan kepadanya, mereka berkata :
اعلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطى القرآن مجملا قبل جبريل من غير تفصيل الآيات والسور
"Ketahuilah bahwa Rasulullah lah yang telah menyerahkan al Qur’an dalam bentuk yang umum sebelum Jibril (mewahyukan) tanpa perincian ayat dan surah.”[9]
Mereka juga berkata : “Allah adalah Dzat alam yang ada, maka Allah menjadikan Nur Muhammad sebagai mahluk pertama. Lalu dari Nur Muhammad, muncul makhluk semuanya, dan dialah (Rasulullah) yang mutajalli di atas ‘arsy- dengan kata lain- Nabi Muhammad itu Tuhan yang dikecilkan dan kepada dialah, kejadian segala makhluk bertumpu kepadanya.”[10]
Selanjutnya ada ungkapan bahwa Nur Muhammad itu adalah qadim, ini banyak terdapat di kitab-kitab maulid, seperti yang disebutkan dalam al Barzanji :
أصلي وأسلم على النور الموصوف بالتقدم والأوليه
“Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat terdahulu dan awal.”[11]
Meski sebenarnya sebutan qadim dan awal disitu bisa jadi tidak bermakna seperti qadim dan awalnya Khaliq, tapi disandarkan ke makhluk. Namun tak sedikit yang mengartikan ungkapan qadim dari Nur Muhammad itu dengan pensifatan : "Nur itu bersumber dari Allah, maka apa saja yang datang dari Allah, ia qadim karena Dia juga qadim.”

𝗞𝗵𝗮𝘁𝗶𝗺𝗮𝗵
Sekali lagi untuk yang kelompok pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah itu adalah Nur, itu bukan termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena jelas pemahaman tersebut tidak masuk ke ranah Aqidah dan juga bukan membangun keyakinan di atas hadits-hadits palsu tentang Nur Muhammad.
Berbeda dengan pendapat setelahnya, yakni kelompok pertama, apa lagi yang kedua dan yang ketiga, jelas bahwa keyakinan yang mereka dengungkan ini adalah termasuk ranah Aqidah yang dibangun di atas dalil-dalil yang sangat bermasalah.
Dan inilah yang kami tuju dengan seri tulisan kami tentang Nur Muhammad ini yang insyaallah akan kami bahas dengan menggunakan ilmu para ulama yang menggunakan hujjah al Quran dan sunnah nabiNya shalallahu’alaihi wassalam.
____________
[1] Tafsir ath Thabari (10/143)
[2] Tafsir ath Thabari (10/143)
[3] Farq al Mu’asharah (3/1012)
[4] Madarijus Shu’ud hal. 4
[5] Al Ibriz li adz Dzibagh hal. 199
[6] At Ta’rifat hal. 90
[7] Nafahah al Aqdasiyah hal. 17
[8] Al Insan Al Kamil hal.4
[9] Kibriyah al Ahmar hal 6
[10] At Ta’liqat ‘ala Fushush Al Hikam (2/320)
[11] Al Barzanji hal. 4

𝗣𝗜𝗟𝗜𝗛 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗔𝗣𝗔𝗧 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗔𝗡𝗔 ?
Secara umum pemahaman tentang Nur Muhammad ini dibagi menjadi dua kelompok pendapat : (1) Landasan tafsir ayat yang menyebut Rasul sebagai Nur (2) Dasar hadits tentang Nur Muhammad.
Yang kelompok pertama (1) terbagi menjadi dua : A. Nur yang dimaksud oleh ayat bersifat majasi
B. Nur yang dimaksud oleh ayat hakiki.
Yang kelompok yang kedua terbagi menjadi tiga :
A. Nur Muhammad merupakan makhluk yang pertama dicipta.
B. Nur Muhammad merupakan sumber dari makhluk yang lain dicipta.
C. Nur Muhammad bersifat ilahiyah karena berasal dari Allah yang Qadim.
Catatan :
Maka dalam hal ini kami tidak menolak konsep nur Muhammad yang dibangun di atas dalil tafsir ayat, tapi yang kami tolak dibangunnya aqidah tersebut di atas dalil hadits yang jelas bermasalah.
Kami secara pribadi mengikuti pendapat yang merajihkan pendapat 1A, dan menganggap pendapat lain : 1B marjuh, 2A syadz, 2B salah 2C sesat.
Mungkin dari antum akan ada yang berpendapat berbeda dengan saya, untuk pilihannya tetap sama 1A, tapi ke yang lain : 1B, 2A, 2B, SC, pendapatnya mereka sesat.
Atau mungkin ada juga yang memilih 1B sedangkan yang 1A divonis Wahabi.a tang

Label