Mengimani Takdir & Berlapang dada
Dalam kehidupan di dunia ini manusia mencari kebahagiaan. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan realita bahwa kehidupan ini tidak selalu bahagia. Ada masa suka, ada pula duka. Ada masa bahagia, ada masa sedihnya. Lalu bagaimana agar seseorang tetap merasa tenang dalam dua kondisi yang bergantian ini? Bagaimana agar manusia memiliki hati yang ridha, syukur, dan sabar dalam menghadapi realita ini? Jawabnya adalah hal itu tergantung dengan bagaimana kuat atau tidak keyakinan mereka terhadap takdir yang Allah tetapkan.
Jika dalam kondisi lapang, mereka tidak sombong dan lupa. Saat dalam kondisi lupa, mereka tidak sedih berlebih dan putus asa. Inilah manfaat mengimani takdir Allah. Allah Ta’ala berfirman,
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Kalau demikian cara untuk bahagia dalam kondisi lapang maupun sempit, tentu pertanyaan yang muncul di benak kita adalah bagaimana caranya agar keyakinan kita kepada takdir Allah itu kuat? Jawabnya adalah imanilah takdir dengan cara yang benar.
Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts wal Ifta’ ditanya, “Apa makna mengimani takdir?” Mereka menjawab: “Maknanya adalah
- (Al-ilmu) mengimani bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mengetahui segala sesuatu sebelum dia ada (terjadi),
- (Al-Kitaabah/Penulisan) dan mencatatnya di sisi-Nya (dalam Lauhul Mahfuzh),
- (Al-Iradah & Al-Masyiiah / keinginan & kehendak) kemudian apa saja yang ada (terjadi) semuanya atas kehendak-Nya,
- (Al-Khalqu) lalu dia menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya tersebut. .
Dalam hadits lainnya disebutkan,
___________
Dengan demikian, seseorang tidak boleh berpasrah diri kepada takdirnya. Tidak boleh hanya bersandar kepada apa yang telah dicatatkan untuknya. Karena seseorang tidak mengetahui apa yang dicatatkan untuknya. Apakah dia seorang yang dunia ini kaya atau susah. Di akhirat masuk surga atau neraka. Kita tidak tahu. Karena itu berusahalah untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan dunia ini maupun di akhirat. Kalau kita berusaha baik, mudah-mudahan Allah mencatatkan hasil yang baik untuk kita.
Sama halnya kalau ada dua jalan yang baik dan buruk. Seseorang ditawarkan satu jalan yang lebar, terang, aman, dan jalannya baik. Kemudian jalan yang lain adalah sempit, gelap, tidak aman, banyak jalan yang rusak. Jalan mana yang akan ditempuh oleh seseorang? Tentu jalan yang pertama. Demikian juga apabila seseorang ingin masuk surga, maka ia harus beramal shaleh, menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, agar sampai di tempat tujuan yaitu surga. Berbeda dengan seseorang yang berzina, mencuri, minum khamr, kemudian dia katakan saya akan masuk surga. Tentu ini aneh.
Macam-macam takdir
Pertama: Takdir Azali
Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedua: Takdir Umri
Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin. Inilah yang sedang kita bahas.
Ketiga: Takdir Sanawi
Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.
Allah berfirman,
Keempat: Takdir Yaumi
Yaitu takdir yang berlaku harian.
Allah Ta’ala berfirman,
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dari al-Walid putra dari seorang sahabat yang mulia yakni Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
Aku berkata, “Wahai ayah, bagaimana aku bisa membedakan mana takdir yang baik atau yang buruk?” Ia menjawab,
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
kisah
Kisah berikutnya adalah kisah ringan yang juga penuh pelajaran agar kita berbaik sangka kepada pilihan Allah. Walaupun kisah ini apakah shahih benar-benar terjadi atau tidak, namun ini sebuah ilustrasi yang bisa kita petik pelajaran di dalamnya.
Ada sebuah kisah seorang raja dan seorang menteri. Menterinya ini senantiasa berkata
الخَيْرُ خِيْرَةُ اللهِ
Yang terbaik adalah pilihan Allah.
Setiap ada orang yang terkena musibah, akan dinasehati oleh sang menteri dengan mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu saat sang raja yang terkena musibah, jari raja ini terputus karena suatu hal. Sang menteri datang dengan tetap mengatakan, wahai raja yang terbaik adalah pilihan Allah. Jarimu putus itu adalah yang terbaik.
Mendengar ucapan menterinya ini, raja pun tersinggung dan marah. Dia mengatakan, “Jari saya putus yang terbaik?! Penjarakan dia!”
Tatkala di penjara, dengan mudah menteri ini mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah.
Ternyata benar, suatu saat sang raja pergi berburu bersama bawahannya untuk berburu atau suatu keperluan. Mereka terjebak, pergi ke tempat yang jauh, lalu mereka ditangkap oleh segeromblan orang penyembah dewa tertentu. Mereka ditangkap dan disembelih satu per satu sebagai tumbal untuk dewa-dewa mereka. Tatkala Tiba giliran sang raja, mereka dapati jari raja ini putus, mereka anggap raja ini orang yang cacat yang tidak pantas dikorbankan untuk sesembahan mereka. Raja pun dibebaskan.
Saat itulah sang raja sadar akan kebenaran perkataan menterinya. Jarinya yang putus ini adalah suatu kebahagiaan, merupakan anugerah, sehingga dia tidak jadi dibunuh oleh orang-orang tersebut. Ia pulang dengan begitu semangat, lalu membebaskan sang menteri. Raja mengatakan, “Benar perkataanmu, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya selamat dari cengkraman mereka. Namun saya ingin bertanya, mengapa waktu engkau di penjara, kau katakan yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apa kebaikan yang kau alami di penjara?” Menteri menjawab, “Seandainya saya tidak di penjara, maka saya akan pergi turut serta berburu bersamamu, saya akan ditangkap dan disembelih oleh mereka. oleh karena itu, saya dipenjara adalah yang terbaik.”
Dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan” yang ditulis oleh penulis terkenal yang bernama R.N.S Budhli, ada sebuah tulisan menarik yang berjudul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah). Dalam tulisan itu penulis ingin menunjukan tentang pentingnya iman kepada takdir dalam menghadapi manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya.
Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.
Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran, mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan mudah.
Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi, dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”
Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat, dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala, hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir sudah ditulis!”.
Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.
Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa bekerja kembali dari awal”