"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)
Lima Bentuk Ujian Manusia secara umum

Lima Bentuk Ujian Manusia secara umum



Lima Bentuk Ujian Manusia secara Umum 


Sudah menjadi ketetapan bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia menjalani kehidupan dunia tanpa adanya ujian. Ujian manusia ini diberikan lantaran kasih sayang Allah amat besar untuk mengetahui siapa yang imannya benar sehingga layak baginya surga dan siapa yang imannya dusta sehingga layak baginya neraka.

Allah Ta’ala berfiman dalam al-Quran Surah Al-‘Ankabut ayat 2-3,

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ.
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ.

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?"
"Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.”

Semakna dengan ayat tersebut, Khabbab bin Arat radhiyallahu ‘anhu pernah mengeluhkan beratnya siksaan yang dideritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lantas beliau bersabda, “Wahai Khabbab, orang-orang sebelum kalian pernah disisir kepalanya dengan sisir besi sehingga urat dan daging terlepas dari tulangnya, tetapi mereka tidak berpaling dari agamanya. Ada pula yang dipenggal lehernya hingga kepalanya putus, namun ia tetap teguh dengan agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6943)

Dalam berbagai literatur Islam yang ada, setidaknya ada lima bentuk ujian manusia yang hendaknya disadari. Yaitu, 
(1) ujian perintah wajib yang harus dijalankan; 
(2) larangan wajib yang harus ditinggalkan; 
(3) kenikmatan yang harus disyukuri; 
(4) kesusahan yang harus bersabar dengannya; dan
 (5) ujian dari musuh-musuh Islam, baik dari kalangan jin maupun manusia.

Pertama: Ujian Perintah yang Harus Dikerjakan

Dalam Islam banyak sekali perintah-perintah yang wajib untuk dikerjakan, sepeti shalat, zakat, puasa, haji bila mampu, berbakti kepada orang tua, berkata jujur, dan menepati janji. Semua ini merupakan ujian manusia yang Allah berikan untuk menguji sesiapa yang imannya jujur dan sesiapa yang imannya dusta.

Terkait perintah-perintah ini, Rasulullah bersabda,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

“Apa yang aku larang hendaknya kalian menjauhinya dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian hendaknya kalian melakukannya semampu kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 7288; HR. Muslim no. 1337)

Dari hadis tersebut terlihat bahwa kewajiban-kewajiban yang Allah bebankan merupakan ujian untuk dikerjakan semampunya bukan semaunya. Untuk itu, mari kita mengingat kembali kisah Nabi Ibarahim ‘alaihissalam, di mana Allah mengujinya dengan perintah yang wajib untuk dikerjakan.

Bahkan perintah tersebut, merupakan perintah di luar nalar manusiawi, yaitu perintah untuk menyembelih anaknya sendiri, Ismail yang sudah lama ditinggal di padang pasir tandus.

Namun demikian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tetap melaksanakan perintah itu, hingga ia dinyatakan lulus atas ujian tersebut (QS. Al-Shaffat: 102-107). Karena itulah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sangat layak dinyatakan sebagai kekasih Allah (khalilullah) lantaran kepatuhannya dalam melaksanakan perintah-perintah yang telah diberikan.

Maka, sesiapa yang taat dan selalu mematuhi perintah-perintah Allah, ia layak dinyatakan sebagai pemilik iman yang jujur dan layak dinyatakan sebagai kekasih Allah.

Kedua: Ujian Larangan yang Harus Ditinggalkan

Dalam Islam juga banyak larangan yang harus ditinggalkan, seperti minum-minuman keras atau mabuk, berjudi, berzina, berdusta, korupsi, menipu, dan berkhianat. Semua larangan tersebut merupakan ujian manusia yang Allah berikan untuk ditinggalkan.

Untuk itu, mari kita mengingat kembali kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, di mana Allah mengujinya dengan larangan yang harus ditinggalkan. Nabi Yusuf ‘alaihissalam diuji dengan makar dan rayuan istri seorang raja (imra’ah al-aziz) yang terpesona oleh ketampanannya.

Namun demikian, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak tergoda untuk melakukan perbuatan keji tersebut dan lulus dalam menghadapinya (QS. Yusuf: 23-24). Karena kelulusan itulah Allah jadikan ia sebagai salah satu pembesar dan orang penting dalam kerajaan.

Tidak hanya itu, Nabi Yusuf ‘alaihissalam juga dapat digolongkan dan dijadikan contoh seorang yang mendapat perlindungan Allah di hari tiada lindungan kecuali lindungan-Nya. Yaitu, seorang lelaki yang diajak oleh wanita cantik lagi hartawan untuk berzina, namun ia meninggalkannya lantaran takut kepada Allah (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Maka, sesiapa yang taat dan selalu menjauhi larangan-larangan Allah, ia layak dinyatakan sebagai pemilik iman yang jujur dan layak mendapatkan naungan Allah Ta’ala di hari kiamat.

Ketiga: Ujian Kenikmatan yang Harus Disyukuri

Dalam kehidupan manusia, Allah telah banyak sekali mengaruniakan nikmat, baik yang terlihat, seperti harta, kesehatan, dan keluarga, maupun nikmat yang tak terlihat, seperti sel dalam tubuh, syaraf-syaraf, nafas, dan akal. Semua ini merupakan bentuk ujian manusia yang Allah berikan kepada para hamba-Nya agar mereka pandai bersyukur atas karunia yang telah diberikan atasnya.

Untuk itu, mari kita mengingat kembali kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, di mana Allah mengujinya dengan kenikmatan yang amat agung. Kenikmatan tersebut berupa kerajaan yang menjulang tinggi, pasukan yang kuat dari kalangan jin dan bintang, dan kemampuan berbicara dengan binatang serta mengendalikan awan (Al-Qurthubi, al-Jami’ li al-Ahkam Al-Qur’an, 15/202).

Namun, ini semua merupakan ujian Allah yang disadari oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, sehingga ia berkata sebagaimana yang diabadikan Allah dalam firman-Nya,

هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.

“Ini termasuk karunia Rabbku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Mahakaya, Mahamulia.” (QS. Al-Naml: 40).

Dengan kesadaran tersebut, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam lulus dari ujian itu lantaran ia selalu menggunakan kenikmatan tersebut guna mendekatkan diri kepada Allah. Allah pun mengabarkan bahwa ia termasuk sebaik-baik hamba karena ketaatan dan rasa syukurnya (QS. Shad: 30).

Maka, siapa yang senantiasa bersyukur atas karunia yang Allah berikan, ia layak dinyatakan sebagai pemilik iman yang jujur dan layak mendapatkan gelar sebagai sebaik-baik hamba.

Keempat: Ujian Kesusahan yang Harus Disabari

Selain dari kenikmatan yang Allah karuniakan, dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari sesuatu yang tidak disenangi, baik berupa musibah, penyakit, kesusahan, maupun berbagai hal yang tidak sesuai dengan harapan. Semua itu merupakan ujian yang Allah berikan agar seseorang menjadi insan yang pandai bersabar.

Untuk itu, mari kita mengingat kembali kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam, di mana Allah mengujinya dengan penyakit yang menyerang seluruh tubuhnya, kecuali hati dan lisannya. Sehingga dengan keduanya ia selalu berbaik sangka dan berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Bahkan karena penyakit yang begitu parah, Nabi Ayub dijauhi masyarakat dan orang-orang terdekatnya, hingga diasingkan di dekat pembuangan sampah (Al-Syaqawi, Qishah Nabiyillah Ayyub, 1). Namun, dalam kondisi demikian Nabi Ayub ‘alaihissalam tetap bersabar, hingga Allah pun menyatakan lulus dan menyembuhkannya dari segala penyakit tersebut.

Demikianlah Nabi Ayub ‘alaihissalam lulus dan Allah kabarkan kepadanya, bahwa ia termasuk dari sebaik-baik hamba karena ketaatan dan kesabarannya atas musibah yang diberikan (QS. Shad: 38). Maka, siapa yang senantiasa bersabar atas musibah dan kesusahan yang ada, ia layak dinyatakan sebagai pemilik iman yang jujur dan layak mendapatkan gelar sebagai sebaik-baik hamba.

Kelima: Ujian dari Musuh-Musuh Allah

Selain ujian perintah-larangan dan kenikmatan-kesusahan, bentuk ujian manusia yang lain adalah adanya musuh-musuh Islam, baik dari kalangan jin maupun manusia (QS. Fatir: 6; QS. Al-Nas: 6).

Untuk itu, peperangan antara haq dan batil akan terus ada hingga hari kiamat. Semua ini merupakan ujian, agar manusia kembali mengingat Tuhannya, memerhatikan urusan saudaranya, dan menjaga ukhuwah serta persatuan Islam.

Oleh karenanya, mari kita mengingat kembali kisah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau selalu mendapat hinaan, cacian, siksaan, bahkan mendapat ancaman serta konspirasi pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Makkah dan jin yang menyamar menjadi manusia.

Namun demikian, Rasulullah tidak gentar dalam menyuarakan kebenaran. Rasulullah pun sangat memperhatikan urusan kaum muslimin dan bekerja sama untuk menjalin ukhuwah Islam demi tercapainya cita-cita mulia, yaitu membebaskan manusia dari peribadahan selain Allah, menuju kesucian ibadah hanya kepada-Nya.

Untuk itu, beliau adalah sebaik-baik nabi dan rasul yang diutus untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Sehingga siapa yang mencintai dan mengikuti jejak beliau, maka ia merupakan pemilik iman yang jujur dan akan masuk surga bersama kekasih tercintanya, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Masuk Surga karena Rahmat Allah atau Amal ?

Masuk Surga karena Rahmat Allah atau Amal ?



Masuk Surga karena Rahmat Allah atau Amal ?

 
Masuk Surga Karena Rahmat Allah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur[24]: 21)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا، إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ.

“Tidaklah seseorang di antara kalian dimasukkan ke dalam Surga karena amalannya.” Para Sahabat bertanya: “Dan tidak juga engkau, Ya, Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ya, tidak juga aku, kecuali Allah meliputiku dengan keutamaan serta rahmatNya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR Muslim).

Masuk Surga Karena Amal

Surat An-Nisa’ ayat 122 berikut:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلاًّ ظَلِيلاً

Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (Surat An-Nisa’ ayat 57).

سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21). 

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa surga itu disediakan bagi orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada amalan.

الَّذِيْنَ تَتَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ طَيِّبِيْنَ ۙيَقُوْلُوْنَ سَلٰمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

"(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), 'Salamun 'alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.' " (QS. An-Nahl: 32)

اَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ جَنّٰتُ الْمَأْوٰىۖ نُزُلًا ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

"Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat surga-surga tempat kediaman, sebagai pahala atas apa yang telah mereka kerjakan." (QS. As-Sajadah: 19)

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72).

وحور عِينٌ * كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ * جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Bidadari-bidadari surga berkulit putih bersih dan bermata indah. Bidadari -bidadari itu putih bersih bagaikan mutiara-mutiara yang bejejer rapi. Semua itu sebagai balasan bagi orang-orang mukmin atas amal sholih yang mereka kerjakan di dunia” (QS. Al-Waaqi’ah: 22-24).

Dalam ayat disebutkan,

كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَآ أَسْلَفْتُمْ فِى ٱلْأَيَّامِ ٱلْخَالِيَةِ

“(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.” (QS. Al-Haqqah: 24)

Dalam ayat lainnya disebutkan,

كُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ هَنِيٓـًٔۢا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

“(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan“.” (QS. Al-Mursalat: 42)


Ada banyak penafsiran para ulama yang pemahamannya justru tidak sebagaimana yang dipahami secara umum oleh beberapa kalangan yang menganggap bahwa amal tidak memiliki nilai apa-apa tanpa rahmat-Nya, sehingga mereka meyakini bahwa tidak ada gunanya beramal jika kemudian tidak ada rahmat di dalamnya.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam salah satu kitab syarah haditsnya mengatakan bahwa setidaknya ada tiga pendapat ulama ahli hadits dalam mengartikan hadits di atas (Masuk surga Karena Rahmat), 

Pertama, Taufiq untuk bisa melakukan suatu amal ibadah merupakan bentuk rahmat dari Allah yang sudah diberikan sejak sebelum seorang hamba melakukan ibadah; 

Kedua, seorang hamba berhak mendapatkan rahmat, apabila ia sudah melakukan ketaatan. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak melakukan ketaatan tidak berhak mendapatkan rahmat Allah. Imam Ibnu Hajar mengibaratkan seorang budak yang berharap mendapatkan upah dari tuannya tanpa bekerja terlebih dahulu, tentu merupakan hal yang tidak mungkin. Sebab, upah akan diberikan apabila ia telah bekerja untuk tuannya. 

Ketiga, inti masuk surga adalah murni rahmat dari Allah, akan tetapi nikmat di dalamnya akan berbeda sesuai dengan kadar amal yang dimiliki seseorang, jika kadar amalnya banyak, maka akan mendapatkan nikmat Allah yang juga banyak. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim yang nilai ketaatannya sedikit, akan masuk surga yang di dalamnya terdapat kenikmatan yang sedikit pula. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya rahmat dan karunia dari Allah-lah yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga, akan tetapi keduanya bisa didapatkan oleh umat Islam ketika mereka sudah beramal sesuai dengan anjuran dalam ajaran Islam itu sendiri. Terus beramal sesuai syariat sebagai representasi patuh pada perintah-Nya dan meyakini bahwa bukan amal itu yang menyebabkan seseorang masuk surga.

Rahmat Allah Meliputi Dunia dan Akhirat, barang siapa yang mendapat Rahmat di dunia maka akan mendapatkan Rahmat juga di akhirat (Pen).

Tidak benar bila kemudian seorang berpangku tangan merasa cukup bergantung dengan rahmat Allah, lalu meninggalkan amal sholih karena menganggapnya tidak penting. Karena Allah menetapkan segala sesuatu dengan sebab dan akibat. Dalam hal ini, Allah ‘azzawajalla menjadikan sebab mendapatkan rahmatNya; yang menjadi sebab meraih surga, dengan amal shalih.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 218).

رَبَّنَاۤ  اٰمَنَّا  فَا غْفِرْ  لَـنَا  وَا رْحَمْنَا  وَاَ نْتَ  خَيْرُ  الرّٰحِمِيْنَ

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, Engkau adalah pemberi rahmat yang terbaik.”
(QS. Al-Mu’minun 23: Ayat 109)
Masuk Surga Sekeluarga

Masuk Surga Sekeluarga




Masuk Surga Sekeluarga

Satu keluarga bisa berkumpul di surga merupakan suatu kenikmatan dan puncak kebahagiaan. Dalam surah Arra’du ayat 23, Allah taala berfirman:

جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ

“(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.”

Berdasarkan ayat inilah, Ibnu Katsir mengatakan bahwa seseorang akan berkumpul bersama keluarganya di surga, yakni dengan orang tua, istri, dan anak cucunya. Oleh karena itulah, ayat di atas sebagai dalil bahwa satu keluarga bisa masuk surga bersama.

Didalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwasanya Said bin Jubair murid Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, menurutnya Rasulullah yang bersabda, bukan ucapan Abdullah bin Abbas:

إِذَا دَخَلَ الرَجُلُ الجَنَّةَ سَأَلَ عَنْ أَبَوَيْهِ وَزَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ، فَيُقَالُ: إِنَّهُمْ لَمْ يَبْلُغُوْا دَرَجَتَكَ. فَيَقُوْلُ: يَا رَبِّ، قَدْ عَمِلْتُ لِيْ وَلَهُمْ. فَيُؤْمَرُ بِإلِحْاقِهِمْ بِهِ، وَقَرَأَ اِبْنُ عَبَّاسٍ (والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ) الآية .

“Apabila seseorang memasuki surga, ia akan bertanya tentang kedua orang tuanya, pasangannya, dan anak-anaknya. Lalu diberikan jawaban untuknya, ‘Kedudukan mereka tidak mencapai kedudukanmu’. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Rabbku, aku beramal untuk diriku dan untuk mereka’. Lalu Allah perintahkan agar keluarganya dipertemukan dengannya.” Setelah itu, Abdullah bin Abbas membaca ayat:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ أَلَتْنَٰهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَىْءٍ كُلُّ ٱمْرِئٍۭ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” [Quran Ath-Thur: 21].

Karena itulah, termasuk kesempurnaan kebahagiaan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada penduduk surga adalah Allah buat mereka bertemu dengan anggota keluarganya. 

Keshalehan Orang tua

Kesalehan orang tua dapat menjadi wasilah yang menjaga dan mensalehkan anak keturunannya sebagaimana firman Allah dalam surah Alkahfi:

وَ كَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا

“Dan keadaan ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Alkahfi ayat 82).

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan dalil bahwasanya orang tua yang saleh akan dijaga keturunannya. Bahkan menurut al-Qurthubi, bisa jadi kesalehan seseorang berkat kesalihan kakek buyutnya. Itulah mengapa Ibnu al-Musayyib berkata kepada anaknya, “Sungguh aku akan menambah panjang shalatku demi dirimu, dengan harapan aku dijaga, begitu juga dirimu.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 2/554).

Di dalam Tafsir ath-Thabari terdapat sebuah nukilan ucapan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma saat menafsirkan ayat ini. Beliau mengatakan,

إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَيَرْفَعُ ذُرِّيَةَ المُؤْمِنِ فِي دَرَجَتِهِ، وَإِنْ كَانُوْا دُوْنَهُ فِي العَمَلِ، لِيُقِرَّ بِهِمْ عَيْنَهُ

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala (di surga) akan mengangkat keluarga orang-orang beriman hingga sama kedudukannya dengan mereka. Walaupun amalan mereka di bawahnya. Hal itu Allah lakukan untuk membuat mereka bahagia.”

Usaha anak

Adapun sang anak, ia bisa mewujudkan kemuliaan keluarga ini dengan memperbanyak doa kebaikan dan permohonan ampun untuk kedua orang tuanya. Syekh melanjutkan penjelasannya,

“Adapun kebaikan Allah pada orang tua, adalah karena keberkahan amalan anak.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

إن الله ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول : يا رب ، أنى لي هذه ؟ فيقول : باستغفار ولدك لك “

“Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Sang hamba ini pun berkata, ‘Ya Rabb, bagaimana bisa setinggi ini?’ Allah berfirman, ‘Karena permohonan ampun anakmu untukmu.'”

Sanad hadis ini sahih dan ada hadis lain yang menguatkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له

‘Jika seorang anak Adam wafat, terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.’
____________
Dengan demikian, siapa yang menduduki surga yang lebih tinggi dan dengan catatan anggota keluarga yang lain juga berada di surga, maka yang berkedudukan lebih tinggi ini berjasa mengangkat semua anggota keluarga yang lain berada di level tinggi yang sama.

Perjuangan kita dalam beramal ternyata memberikan manfaat untuk anggota keluarga yang lain. Tatkala Anda berada di surga yang lebih tinggi, ini adalah anugerah yang luar biasa bagi orang tua. Bisa jadi saat di dunia kita tidak bisa menghajikan mereka. Barangkali saat di dunia kita tidak mampu memberikan hadiah berupa rumah untuk mereka. Namun perjuangkanlah untuk menjadi anak shaleh yang surganya lebih tinggi dibanding orang tuanya. Sehingga nanti di akhirat kita bisa memberikan hadiah yang lebih hebat. Yaitu surga yang lebih tinggi dibandingkan surga yang seharusnya mereka tempati.

Kondisi sebaliknya terjadi kepada orang-orang yang mendapatkan hukuman dari Allah Ta’ala. Yaitu hukuman di neraka. Orang yang tidak mendapatkan surga akan dipisahkan dari anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Az-Zumar ayat 15:

قُلْ إِنَّ ٱلْخَٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [Quran Az-Zumar: 15]

Apa kaitannya dengan anggota keluarganya? Sehingga orang ini disebut oleh Allah merugikan dirinya sendiri dan anggota keluarganya, padahal yang bersalah adalah dia. Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan,

تَفَارَقُوْا فَلَا الْتِقَاءَ لَهُمْ أَبَدًا، سَوَاءُ ذَهَبَ أَهْلُوْهُمْ إِلَى الجَنَّةِ وَقَدْ ذَهَبُوْا هُمْ إِلَى النَّارِ، أَوْ أَنَّ الجَمِيْعَ أَسْكَنُوْا النَّارَ، وَلَكِنْ لَا اجْتِمَاعَ لَهُمْ وَلَا سُرُوْرَ

“Mereka semua berpisah. Tidak ada lagi pertemuan untuk selama-lamanya. Baik anggota keluarganya yang menuju surga sementara mereka terbenam di dalam neraka. Atau kedua belah pihak semuanya menghuni neraka. Tapi, tidak ada pertemuan untuk mereka dan tidak ada kebahagiaan.”

Inilah kondisi penduduk neraka. Tatkala mereka sekeluarga masuk ke dalam neraka, sama-sama berada di tempat yang hina, ditambah lagi tidak dipertemukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itu, Allah menutup ayat yang mengisahkan tentang kondisi penghuni neraka ini dengan mengatakan,

أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

“Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”

Perjuangan kita untuk masuk ke dalam surga bukanlah perjuangan untuk kepentingan pribadi saja. Ini adalah perjuangan yang kita niatkan agar semua anggota keluarga kita bisa kita boyong semua masuk ke dalam surga. Baik orang tua kita, istri dan anak-anak kita, saudara-saudara kita, atau siapapun orang dekat kita.

Karena kenikmatan yang hakiki adalah tatkala kita menikmati sebuah tempat yang nyaman bersama seluruh anggota keluarga kita. 

Itulah harapan dan cita-cita. Untuk mendapatkan itu manusia harus melakukan perjuangan. Dan salah satu perjuangan untuk mendapatkan hal itu telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [Quran At-Tahrim: 6]

Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu tatkala menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Ajarkan ilmu (agama) kepada mereka dan ajari mereka adab.”

Dan terakhir, salah satu kewajiban bagi kepala rumah tangga adalah memastikan harta yang mereka bawa ke rumah adalah harta yang halal. Karena harta yang haram akan membawa kita dan anggota keluarga kita terbenam di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Setiap daging yang tumbuh dari yang tidak halal, maka neraka yang lebih pantas baginya. [HR. Ahmad 3/32].

Semoga Allah Ta’ala memberikan kita taufik untuk mempelajari agamanya dan mengamalkannya. Serta menjadikan kita para pemburu surga bukan para pemburu dunia.




Label