AL-IMAM IBNU QUDAMAH :
3 PERKARA UNTUK MENYEMPURNAKAN AMAL
“Tidak sempurna amal kebaikan kecuali dengan tiga perkara; [pertama] tidak menganggap bahwa amal kita banyak, [kedua] segera melakukannya dan tidak menunda-nunda, [ketiga] menyembunyikannya/tidak memperlihatkan kepada manusia.”
1. TIDAK MENGANGGAP BANYAK AMAL SHALIH KITA
Kita tidak tahu berapa banyak amal shalih kita yang sudah diterima oleh Allah. Sebanyak apapun amal shalih kita, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan karunia Allah yang Allah berikan kepada kita.
Ketika kita merasa amal kita telah banyak, terkadang kita terkena penyakit ujub di hati kita. Ketika kita merasa bahwasanya amal shalih kita telah banyak, kita merasa telah sampai derajat yang tinggi, sehingga kemudian kita terkena penyakit ujub, dan ujub terhadap amal shalih membatalkan amal tersebut (kata para ulama).
Namun ketika kita menganggap amal kita sedikit, dan selalu kita mengingat kekurangan-kekurangan yang ada pada amal, selalu kita mengingat tentang dosa-dosa kita dan melupakan tentang amalan kebaikan kita, maka kita akan senantiasa menjadi hamba yang tawadhu, akan senantiasa menjadi hamba yang selamat dari ujub dan kesombongan, menjadi hamba yang senantiasa terus menambah kebaikan dan kebaikan.
Adapun kemudian kita sibuk melihat kelebihan diri kita, dan kemudian kita sibuk melihat kekurangan orang lain, disitulah sumber musibah yang akan menghancurkan amalan ibadah kita
2. MENYEGERAKAN AMALAN SHALIH
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan Rabb kalian…” (QS. Ali
‘Imran[3]: 133)
Allah juga berfirman:
وَفِي ذَٰلِكَ
فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dalam perkara itulah hendaklah orang-orang yang berlomba-lomba itu
berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin[83]: 26)
Allah menyuruh kita bersegera kepada segala kebaikan. Ini menunjukkan
bahwa ketika bersegera tentu kita tidak menunda-nunda sampai waktu esok ataupun
kapan. Karena sesungguhnya sifat menunda-nunda bukanlah sifat seorang mukmin
yang semangat di dalam beramal shalih.
Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Jauhi oleh kalian sifat taswif
(menunda-nunda). Karena engkau berada di hari ini, bukan di hari esok. Jika
engkau bisa melakukan di hari ini besok pun engkau bisa melakukannya.”
Sifat menunda-nunda bukanlah sifat orang yang
semangat, akan tetapi ia adalah sifat pemalas. Orang yang senantiasa menunda
hakikatnya ia tertipu oleh setan. Setan berusaha bagaimana supaya ia
menunda-nunda amal shalihnya. Oleh karena itulah Abdullah bin Umar bin Khattab
ketika membawakan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
كُنْ فِي الدُّنْيَا
كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Jadilah kamu di dunia seakan-akan kamu orang yang asing atau kamu
sedang berada dalam perjalanan safar.”
Abdullah bin Umar berkata: “Kalau kamu berada di waktu pagi, jangan
tunggu-tunggu waktu sore. Dan kalau kamu berada di waktu sore, jangan
tunggu-tunggu waktu pagi. Ambil kesempatan sehatmu sebelum kamu sakit. Dan
ambil kesempatan hidupmu sebelum kamu meninggal dunia.”
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
“Semangatlah dalam perkara yang bermanfaat untuk dirimu, dan mintalah
tolong kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim)
3.
MENYEMBUNYIKAN AMAL
Kita tidak perlu memperlihatkannya kepada manusia. Karena hati kita
lemah, saudaraku. Sementara keikhlasan itu bukan sesuatu yang mudah, tapi
sesuatu yang sulit. Sufyan Ats-Tsauri berkata:
“Tidaklah aku meluruskan sesuatu yang lebih berat daripada niatku sendiri, karena niat itu senantiasa berbolak balik”.
Imam Ahmad, beliau setiap tiga hari khatam Quran, tapi beliau tidak
pernah memberitahu siapapun juga. Bahkan istrinya pun tidak tahu.
Sufyan ats-Tsauri, beliau di waktu malam shalat tahajud. Kemudian ketika
subuh telah masuk maka ia pura-pura bangun seakan-akan ingin memberitahu
bahwasannya ia baru bangun saat itu. Dia tidak ingin memperlihatkan amal
shalihnya kepada manusia.
Tidak pula kita update status di media sosial
tentang amalan shalih kita. Semakin kita sembunyikan semakin dekat kepada
keikhlasannya, saudaraku. Tapi semakin kita perlihatkan semakin dekat kepada
riya’. Dan siapa di antara kita yang bisa menjamin bahwa kita akan selamat dari
riya’? Siapa di antara kita yang keimanannya seperti keimanan para Nabi dan
keimanan para sahabat Rasulullah? Kalau para sahabat saja yang keimanannya luar
biasa, tapi mereka tetap menyembunyikan amal-amal shalih mereka.
Seorang yang sangat zuhud bernama Hatim Al-Asham. Terdengar kepada seorang khalifah bahwa dia seorang yang sangat zuhud dan ahli ibadah. Maka kemudian sang khalifah pun ingin berkunjung ke rumahnya melihat bagaimana kehidupannya. Ketika Hatim tahu khalifah datang, maka Hatim memperlihatkan seakan-akan ia orang yang serakah dalam makan. Maka ia memperlihatkan makan yang begitu sangat serakah di hadapan sang khalifah, sehingga sang khalifah merasa heran apakah seperti ini orang yang zuhud?