"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Muharram, Hijrah & Istiqomah


Muharram, Hijrah & Istiqomah

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM

1. Termasuk Empat Bulan Haram (suci)

Allah berfirman,

 اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان

“Dalam setahun ada dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram. Tiga berurutan: Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram sedangkan (yang keempatnya) Rajab berada di antara Jumada dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari no.2958)

Dari Abu Bakrah radhiallahu‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

  • Disebut Bulan Haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah sampai zaman Islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan.
  • Az-Zuhri mengatakan,

كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم

“Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, no.17301).

2. Larangan Berbuat Dosa

Maksud firman Allah Azza wa Jalla : (At-Taubah : 36)

فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ

Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” adalah pada bulan-bulan haram, karena dosanya lebih besar dari bulan lainnya.

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata mengenai tafsir ayat: “ Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (Perbuatan haram pada bulan-bulan itu) keharamannya melebihi bulan yang lain. Pada bulan-bulan itu perbuatan dosa lebih besar dan perbuatan baik pahalanya juga lebih besar.

Qotadah –semoga Allah merahmatinya– berkata dalam tafsir ayat di atas: “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram adalah lebih besar kesalahan dan dosanya dibandingkan kezaliman pada bulan-bulan lainnya. Meskipun kezaliman dalam setiap keadaan tidak diperkenankan, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan lebih besar suatu perkara sesuai kehendak-Nya


3. Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)


Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَفْضَلُ الصِّيَام بَعْد رَمَضَان شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّم

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram.” (Hadits riwayat Muslim no.1982)

Keterangan:
  • Imam An Nawawi mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah.” (Syarah Shahih Muslim, 8:55)
  • As-Suyuthi mengatakan, Dinamakan syahrullah –sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini– karena nama bulan ini “Al-Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama Shafar Awwal. Kemudian ketika Islam datang, Allah ganti nama bulan ini dengan Al-Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3:252)
  • Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, Hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun friksi dan konflik di bulan ini.

4. Sejarah 'Asyuro. 

Puasa Asyuro dikenal sejak dahulu hingga di masa jahiliah sebelum diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dari ’Aisyah Radhiyallahu ’anha, beliau berkata,

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ ، فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

“Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454)

Al-Qurthubi berkata, “Mungkin saja bangsa Quraisy memuasainya berpedoman kepada syari’at umat terdahulu seperti Ibrahim –alaihissalam-. Telah valid pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memuasainya sejak masih berada di Mekkah, sebelum berhijrah ke Madinah. Ketika tiba di Madinah, beliau mendapatkan kaum Yahudi merayakannya.

Hari itu adalah hari Asyura’. Orang Yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama Bani Israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. 

Dari Ibnu Abbas radhiallahu‘anhuma, beliau menceritakan,

لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari no.1865)

عَنْ أَبِي  مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ

“Abu Musa Radhiyallahu anhuberkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” (HR. Bukahri 4/244)

Mendaratnya Kapal Nuh.

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur” (HR. Ahmad 2/359)

5. Asyuro dan Tasu'a


وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” (HR. Muslim 2/818)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمَ عَاشُوْراَء أَحْتَسِبُ عَلى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ التِي قَبْلَه

“Puasa hari Asyura, aku mengharap pahala dari Allah dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (Hadits riwayat Muslim no.1976)

Tasu'a
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.

“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,

فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

“Janganlah kalian memuasai hari sabtu kecuali apa yang telah diwajibkan kepada kalian.”
(Hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan juga diriwayatkan oleh Hakim. Hakim berkata: shahih dengan syarat al-Bukhari)

6. Paling Mulia setelah Ramadan

Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadhan
Hasan Al-Bashri mengatakan,
Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, Hal. 34)

MAKNA HIJRAH


Sesungguhnya hijrah adalah ibadah yang sangat mulia. Oleh karenanya Allah ﷻ dalam banyak ayat menyebutkan tentang keutamaan berhijrah. Seperti dalam surat Al-Baqarah Allah ﷻ berfirman

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 218)

Rasulullah ﷺ pernah bersabda tentang ibadah,

العِبادةُ في الهرَجِ كالهِجرةِ إليَّ

“Beribadah di masa fitnah seperti berhijarah kepadaku.” HR. Tirmidzi no. 2201 dan disahihkan oleh Al-Albani

Apa itu hakikat hijrah dalam Islam?

Hijrah dalam bahasa arab berarti (اَلهِجْرَةُ). Secara bahasa artinya (اَلتَّرْكُ) artinya meninggalkan, seperti firman Allah ﷻ

وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا

“Tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (Al-Muzammil : 10)

Adapun secara istilah bermakna meninggalkan suatu tempat ke tempat yang lain. 
Hijrah terbagi menjadi dua, 
Pertama hijrah dengan tubuh dan anggota badan atau (اَلْهِجْرَةُ بِالْجَسَدِ/ اَلْهِجْرَةُ اَلحِسِيَّةُ)
Kedua hijrah dengan hati atau (أَلْهِجْرَةُ بِالْقَلْبِ/اَلْهِجْرَةُ اَلْمَعْنَوِيَةُ).

nabi pernah bersabda dalam hadits

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

“Seorang muslim yang sejati adalah orang yang orang Islam lainnya selamat dari gangguan lisannya dan gangguan tangannya, dan muhajir yang sejati adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah (HR. Bukhori)

Nabi bersabda
مَنْ تَرَكَ شَيْئًا للهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْه

“Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan ganti dengan yang lebih baik”

Istiqomah dalam Hijrah


Dalam hadits, Aisyah radhiallahu ‘anha, saat ditanya oleh seorang sahabat, Alqamah radhiallahu ‘anhu:

قُلتُ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: هلْ كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَخْتَصُّ مِنَ الأيَّامِ شيئًا؟ قالَتْ: لَا، كانَ عَمَلُهُ دِيمَةً، وأَيُّكُمْ يُطِيقُ ما كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُطِيقُ؟!

“Aku bertanya pada Aisyah radhiallahu ‘anha, ‘Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi ‘alaihi wa sallam mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah’? Aisyah menjawab, ‘Tidak. Amal beliau adalah sesuatu yang berkelanjutan. Dan siapa dari yang kalian yang mampu istiqomah seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’?” [HR. Shahih al-Bukhari 1987].

Maksudnya amalan shaleh Nabi itu terus berkelanjutan. Tidak ada masa-masa malasnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لكلِّ عملٍ شِرَّةٌ ولكلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فمن كانت شِرَّتُه إلى سنَّتي فقد أفلح ، ومن كانت فَتْرَتُه إلى غيرِ ذلك فقد هلكَ

“Sesungguhnya setiap amalan itu memiliki masa semangat. Dan setiap masa semangat memiliki masa malasnya. Siapa yang masa semangatnya berada di atas sunnahku, maka dia beruntung. Dan siapa yang masa malasnya tidak berada di atas sunnahku, dia binasa.” [HR. Ahmad 6958].

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ 

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit.” [HR. Bukhori, (6464) dan Muslim, (783)].

Dalam hadits yang lain disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَصِيرٌ وَكَانَ يُحَجِّرُهُ مِنْ اللَّيْلِ فَيُصَلِّي فِيهِ فَجَعَلَ النَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ وَيَبْسُطُهُ بِالنَّهَارِ فَثَابُوا ذَاتَ لَيْلَةٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ وَكَانَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَمِلُوا عَمَلًا أَثْبَتُوهُ

Dari Aisyah bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai sehelai tikar yang dibentangkannya pada malam hari, sehingga merupakan tabir sebuah kamar tempat beliau shalat. Lalu orang-orang pun shalat pula bersama beliau. Dan dibentangkannya di siang hari. Pada suatu malam mereka kembali berkumpul mengikuti beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda: 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا

“Wahai sekalian manusia, ambil suatu amalan yang kalian mampui. Sebab Allah tidak akan pernah bosan (memberi pahala) hingga kalian bosan sendiri (beramal).”

Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah, adalah amalan yang dikerjakan secara terus-menerus meskipun sedikit. Dan bila keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu amalan, maka mereka akan menekuninya’.” [HR. Muslim 1302].

TESTIMONI DARI PARA SAHABAT


Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Ummul Mukminin, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, beliau berkata,

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa shalat dua belas rakaat sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.” Ummu Habibah berkata; Maka aku tidak akan meninggalkan dua belas rakaat itu semenjak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [HR. Muslim 1198].

Bilal bin Rabah radhiallahu ‘anhu. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal,

قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لِبلالٍ عندَ صلاةِ الفجرِ : ( يا بلالُ حدِّثْني بأرجى عمَلٍ عمِلْتَه عندَكَ في الإسلامِ فإنِّي سمِعْتُ اللَّيلةَ خَشْفةَ نَعليكَ بَيْنَ يدَيَّ في الجنَّةِ ) فقال : ما عمَلٌ عمِلْتُه أرجى عندي أنِّي لَمْ أتطهَّرْ طُهورًا تامًّا في ساعةٍ مِن ليلٍ أو نهارٍ إلَّا صلَّيْتُ لربِّي ما قُدِّر لي أنْ أُصلِّيَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal saat usai mengerjakan shalat subuh. ‘Bilal, ceritakan padaku tentang ibadah di dalam Islam yang kau kerjakan dan itu adalah amalan yang paling kau andalkan. Karena aku mendengar derap langkah sandalmu di depanku di surga’.

Bilal menjawab, ‘Amalan yang paling aku harapkan adalah tidaklah aku berwudhu dengan wudhu yang sempurna di satu waktu di malam atau siang hari, kecuali pasti aku shalat kepada Rabbku semaksimal kemampuanku. [Shahih Ibnu Hibban 7085].

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu, ia bercerita:

كنا نصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم فجاء رجل فدخل في الصلاة

“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ada seorang yang datang dan turut shalat berjamaah. Ia membaca doa iftitah:

الله أكبر كبيراً والحمد لله كثيراً وسبحان الله بكرة وأصيلاً

فلما قضى النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة قال: من صاحب كلام كذا وكذا فقال الرجل: أنا فقال: عجبت لها فتحت أبواب السموات

Setelah shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapa yang membaca do'a ini dan ini. Seseorang menjawab, ‘Saya’. Nabi berkomentar, ‘Aku takjub karena dibukakan pintu-pintu langit karenanya’.

Lalu Abdullah bin Umar berkata,

قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول ذلك

‘Doa iftitah tersebut tidak pernah kutinggalkan setelah aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaannya.” [HR. Ibnu Majah].

Dan ketauhilah tatkala kita memiliki kebiasaan amal shaleh, lalu kita tidak mengerjakannya karena sakit atau safar, maka kita tetap dihitung mengerjakannya dan mendapatkan pahalanya dengan sempurna.

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan tetap menuliskan baginya pahala ibadah seperti yang ia lakukan saat sehat dan mukimnya.” [HR. Bukhari].

Muslim Pinggiran



Muslim Pinggiran


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di pinggiran; maka jika ia memperoleh kebaikan (rezeki lancar dll), ia tetap dalam keislamannya. Namun jika ia ditimpa oleh suatu bencana (musibah dan susahnya kehidupan), ia berbalik arah ke belakang (murtad). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” [Quran Al-Hajj: 11].

Berkaitan dengan ayat ini, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan sebuah kisah tentang orang-orang yang datang ke Kota Madinah untuk memeluk Islam. Dan bagus atau tidak agama ini atau benar tidaknya agama ini mereka ukur dengan materi dunia. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ المَدِيْنَةَ، فَإِنْ وَلَدَتْ اِمْرَأَتُهُ غُلَامًا، وَنَتِجَتْ خَيْلُهُ، قَالَ: هَذَا دِيْنٌ صَالِحٌ. وَإِنْ لَمْ تَلِدْ امْرَأَتُهُ، وَلَمْ تَنْتَجْ خَيْلَهُ قَالَ: هَذَا دِيْنُ سُوْءٍ.

“Dulu orang yang datang ke Kota Madinah (untuk memeluk Islam). (Setelah berlalu beberapa lama masuk Islam), kalau istrinya melahirkan anak laki-laki dan kudanya melahirkan. Ia berkomentar, ‘Ini agama yang baik’. Tapi, kalau istriya tidak melahirkan. Demikian juga ternak kudanya tidak melahirkan. Ia berkomentar, ‘Ini agama yang jelek’.”

Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa saksikan banyak orang yang tidak serius tatkala dia memeluk Islam. Tatkala dia menjadi seorang muslim, ia tidak perhatian dengan apa kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang muslim. Shalat tidak mengerti, wudhu mandi wajib tidak mengerti batasannya. Apa kewajiban atas harta yang sudah dimiliki, dll. Yang dia tahu, namanya hidup ya ngurusi dunia.

أَيَحْسَبُ ٱلْإِنسَٰنُ أَن يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira (setelah diciptakan), ia akan dibiarkan begitu saja”? [Quran Al-Insan: 36].

Orang seperti ini juga termasuk cakupan firman Allah Ta’ala di atas:

فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ

“Jika ia memperoleh kebaikan (rezeki lancar dll), ia tetap dalam keislamannya. Namun jika ia ditimpa oleh suatu bencana (musibah dan susahnya kehidupan), ia berbalik arah ke belakang.”

Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَ يُحِبُّ ، وَلاَ يُعْطِي الإيْمَانَ إِلاَّ مَنْ يُحِبُّ

“Sesungguhnya Allah memberi dunia pada orang yang Allah cinta maupun tidak. Sedangkan iman hanya diberikan kepada orang yang Allah cinta.”

مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama.” [Muttafaqun ‘alaihi].

Ada sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abu Darda radhiallahu ‘anhu,

كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ

“Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.” Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa panduan ilmu, pen.) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

عِبَادَ اللهِ : اُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ ، ) وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ 

Empat Buah Iman di Dunia


Empat Buah Iman di Dunia


Meningkatkan iman dan takwa itu bukan perkara mudah. Upaya itu akan membawa kita pada proses yang begitu panjang, menempuh jalan yang begitu terjal, dan ujian yang begitu berat.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala pun juga tidak tanggung-tanggung dalam memberi balasan terbaik bagi orang-orang beriman yang memiliki kesungguhan maksimal dalam iman dan takwanya.

Allah subhanahu wata’ala menyebutkan karakter orang beriman di dalam al-Quran sebagai berikut:
Pertama: Ketika teringat atau disebutkan nama Allah subhanahu wata’ala, hatinya bergetar.
Kedua: Jika dibacakan ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala, imannya bertambah.
Ketiga: Tawakal hanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Keempat: Disiplin melaksanakan shalat.
Kelima: Gemar berinfak.

Apa janji Allah subhanahu wata’ala bagi hamba-Nya yang memiliki karakter tersebut?

Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam al-Quran surat al-Anfal ayat 4:

اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌۚ

“Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”

4 Buah Iman di Dunia

Iman yang tertanam dalam diri seseorang akan menghasilkan buah yang dapat ia petik ketika masih di dunia.

Buah Iman Pertama: Iman melahirkan akhlak yang Baik

Iman yang tertanam dengan baik dalam diri seseorang akan melahirkan akhlak karimah. Melahirkan hubungan sosial yang baik dan positif baik dalam lingkup hubungan masyarakat maupun lingkup keluarga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi, hadits nomor 1162,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُهُمْ خِيَارُهُمْ لِنِسَائِهِمْ

“Orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling berlaku baik terhadap istrinya.”

Buah Iman Kedua: Iman menyelamatkan diri dari dosa lisan

Keimanan yang tertanam baik akan melahirkan lisan yang terjaga. Semakin baik kualitas iman seseorang maka lisannya semakin terjaga. Terjaga dari segala bentuk perkataan kotor, kasar, ucapan-ucapan dosa, dan kalimat-kalimat yang dapat menjerumuskannya ke dalam neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi, hadits nomor 1977,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan pula orang yang keji (buruk akhlaknya), dan bukan orang yang kotor ucapannya.”

Buah Iman Ketiga: Iman melahirkan keluarga sakinah

Apakah Anda ingin membangun keluarga yang sakinah? Maka perbaikilah kualitas iman Anda dan keluarga.

Apakah Anda ingin agar hubungan suami istri menjadi baik dan kokoh? Maka perbaikilah kualitas iman Anda.

Iman yang berkualitas akan melahirkan keluarga yang sakinah, keluarga yang dibimbing dan dilindungi oleh Allah subhanahu wata’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadits nomor 1469,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Seorang suami mukmin tidak boleh membenci istri mukminah, sebab apabila dia membenci satu akhlak dari istrinya tersebut maka dia pasti ridha dengan akhlaknya yang lain.”

Buah Iman keempat: Iman Melahirkan Kehidupan Berkualitas

Kehidupan dunia ini hanya sementara. Maka, mari kita berikhtiar semaksimal mungkin mewujudkan kehidupan yang baik dan berkualitas.

Jika Anda berpikiran bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dihiasi dengan harta berlimpah, jabatan yang tinggi, status sosial yang mulia, maka itu adalah cara pandang hidup yang keliru.

Kehidupan yang baik dan berkualitas hanya dapat kita wujudkan dengan meningkatkan kualitas iman kita.

Mari kita renungi betul betul firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat an-Nahl ayat 97 ini,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Iman itu tersusun dari perkataan lisan, keyakinan dalam hati, dan amal perbuatan. Tiga penyusun iman ini tidak boleh kita pisah-pisahkan. Jika hilang salah satu, maka hilang pula kesempurnaan iman.

Penilaian Allah subhanahu wata’ala bukan pada hasil, akan tetapi penilaian Allah subhanahu wata’ala terletak pada kualitas usaha kita dalam meraih ridha-Nya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah memberi nasehat kepada kita semua, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syaibah dalam kita al-Mushannaf juz 13 hadits nomor 504,

لَيْسَ الْإِيمَانُ بِالتَّحَلِّي وَلَا بِالتَّمَنِّي؛ وَلَكِنْ مَا وَقَرَ فِي الْقَلْبِ وَصَدَّقَتْهُ الْأَعْمَالُ

“Iman itu bukan dengan angan-angan dan hiasan bibir saja, akan tetapi iman adalah yang menetap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.”

Label