"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)
Ragam Pendapat Tentang Nur Muhammad

Ragam Pendapat Tentang Nur Muhammad

𝗥𝗔𝗚𝗔𝗠 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗔𝗣𝗔𝗧 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗡𝗨𝗥 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗠𝗠𝗔𝗗



Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Secara umum pemahaman tentang Nur Muhammad itu dapat dikategorikan menjadi dua madzhab atau kelompok. Kelompok pemahaman yang pertama adalah mereka yang meyakini bahwa nabi Muhammad itu adalah Nur sebagaimana informasi tersirat yang ada dalam al Qur’an.
Sedangkan kelompok pemikiran kedua adalah mereka yang meyakini bahwa ada Nur Muhammad dengan beberapa sifat-sifat khusus yang nanti akan kita jabarkan.
Untuk kelompok pendapat pertama kami rasa tidak terlalu urgen untuk dibahas terlalu mendalam, toh ini hanya penafsiran ayat dan perbedaan pemahaman tentang definisi Nur dari makna ayat, apakah itu hakiki atau majasi. Seperti dalam ayat :
وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِه وَسِرَاجًا مُّنِيْرً
" Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (QS. Al Ahzab: 46)

قَدْ جَاۤءَكُمْ مِّنَ اللّٰهِ نُوْرٌ وَّكِتٰبٌ مُّبِيْنٌۙ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al Maidah 15)
Al imam ath Thabari ketika menjelaskan ayat tersebut beliau berkata :
قد جاءكم يا أهل التوراة والإنجيل من الله نور يعني بالنور محمدًا صلى الله عليه وسلم
"Telah datang kepadamu wahai Ahli Taurat (Yahudi) dan Injil (Nasrani) cahaya dari Allah." Yang dimaksud dengan cahaya di sini adalah Muhammad shalallahu’alaihi wasalam.”[1]
Sehingga kemudian menurut pendapat ini menyebut beliau shalallahu’alaihi wassalam dengan Nur itu bukan hal yang bisa dikatakan keliru. Kalangan ini pun sebenarnya masih terbagi lagi menjadi dua kelompok pendapat, antara yang mengatakan bahwa nabi Muhammad itu tercipta dari cahaya dalam hakikatnya, dengan yang mengatakan bahwa beliau juga adalah manusia biasa yang diciptakan sebagaimana manusia juga diciptakan.
Dan pendapat yang kedua ini adalah yang benar dan yang diikuti oleh mayoritas kelompok ini.
Sedangkan ulama lainnya tentu tidak memaknai bahwa cahaya yang disebut dalam ayat sebagai makna hakiki tapi hanyalah majasi. Nabi shalallahu’alaihi wasssalam disebut dengan cahaya karena beliau membawa terangnya hidayah dan petunjuk Islam.
Hal ini jelas diterangkan juga dalam tafsir, semisal dari imam Thabari yang telah disebutkan di atas, lanjutannya adalah :
قد جاءكم يا أهل التوراة والإنجيل من الله نور يعني بالنور محمدًا صلى الله عليه وسلم الذي أنار الله به الحقَّ، ‌وأظهر ‌به ‌الإسلام، ‌ومحق ‌به ‌الشرك، فهو نور لمن استنار به يبيِّن الحق. ومن إنارته الحق، تبيينُه لليهود كثيرًا مما كانوا يخفون من الكتاب
"Telah datang kepadamu wahai Ahli Taurat (Yahudi) dan Injil (Nasrani) cahaya dari Allah." Yang dimaksud dengan cahaya di sini adalah Muhammad shalallahu’alaihi wassalam yang Allah menerangi dengannya kebenaran, memenangkan Islam dan menghapus kesyirikan.
Dia adalah cahaya bagi siapa pun yang ingin mendapatkan penjelasan tentang kebenaran. Menjelaskan sesuatu kepada orang- orang Yahudi telah banyak menyembunyikan isi kitab.”[2]
Dan yang disebut sebagai cahaya dalam al Qur’an bukanlah hanya Nabi shalallahu’alaihi wassalam tapi juga pihak lain, diantaranya al Qur’an juga disebut dengan Nur, seperti firman Allah ta’ala :

فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِه وَالنُّوْرِ الَّذِيْٓ اَنْزَلْنَاۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. At Taghabun: 😎
Para mufasir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cahaya di ayat ini adalah al Quran.
Namun untuk kelompok pendapat kedua, yaitu mereka yang menyandarkan pemahaman dan keyakinannya bukan kepada tafsir ayat tapi kepada hadits-hadits yang telah jelas disepakati ketidak sahihannya, tidaklah sama dengan pihak yang pertama tersebut.
Mereka ini menjadikan masalah Nur Muhammad sebagai bagian dari masalah Aqidah yang dibangun di atas dalil yang bermasalah. Padahal ulama telah sepakat bahwa hadits lemah tidak boleh digunakan untuk masalah hukum apalagi Aqidah, apalagi jika ternyata dalilnya bukan sekedar lemah tapi hadits palsu.
Meski kemudian kelompok pendapat ini juga masih terbagi lagi menjadi beberapa tingkatan pemahaman. Paling tidak ada tiga tingkatan, mulai dari yang masih tergolong moderat sampai yang ghulu (sangat ekstrim). Berikut perinciannya :

𝟭. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗶 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻
Kalangan ini berpendapat bahwa berdasarkan hadits Jabir bisa dipahami makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah Nur Muhammad shalallahu’alaihi wassalam. Adapun hadits lain yang menyebutkan bahwa makhluk yang diciptakan pertama kali adalah air dan dalam riwayat lain adalah pena, maka ini bisa dikompromikan.
Berkata al Ajluni rahimahullah :
فيجمع بينه وبين ما قبله بأن أولية القلم بالنسبة إلى ما عدا النور النبوي والماء والعرش انتهى، ‌وقيل ‌الأولية ‌في ‌كل ‌شئ ‌بالإضافة ‌إلى ‌جنسه
“Dan dikompromikan antara riwayat sebelumnya, bahwa yang pertama kali diciptakan adalah pena maksudnya selain air, nur kenabian dan Arsy. Dan bisa dikatakan juga semuanya itu pertama sesuai dengan keadaan masing-masing.”
Mereka berkata :
كل هذه الموجودات إنما وجدت من نور محمد صلى الله عليه وسلم ثم تفرقت في الكون
“Semua yang wujud sesungguhnya hanya berasal dari Nur Muhammad shalallahu’alaihi wassalam yang berpencar di alam semesta.”[3]
Juga dikatakan :
كما في حديث جابر أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أول ما خلقه الله تعالى قال إن الله خلق قبل الأشياء نور نبيك فجعل ذلك النور يدور بالقدرة حيث شاء الله ولم يكن في ذلك الوقت لوح ولا قلم ولا جنة ولا نار ولا ملك ولا إنس ولا جن ولا أرض ولا سماء ولا شمس ولا قمر وعلى هذا فالنور جوهر لا عرض
“Sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat sahabat Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa ketika ditanya perihal makhluk pertama yang diciptakan Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : 'Sungguh, Allah menciptakan Nur Nabimu sebelum segala sesuatu.'
Allah menjadikan Nur itu beredar dengan kuasa Allah sesuai kehendak-Nya. Saat itu belum ada Lauh, qalam, surga, neraka, malaikat, manusia, jin, bumi, langit, Matahari, dan bulan. Atas dasar ini, nur itu adalah substansi, bukan kiasan.”[4]

𝟮. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘀𝗲𝗴𝗮𝗹𝗮 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂
Lebih jauh lagi dari sekedar meyakini bahwa Nur Muhammad adalah makhluk yang pertama kali diciptakan sebagaimana yang diyakini kelompok yang mengikuti pemahaman pertama, di kelompok pendapat kedua ini mereka bahkan meyakini bahwa makhluk sebagiannya atau bahkan secara keseluruhan itu berasal dari Nur Muhammad shalallahu’alaihiwassalam.
Mereka berkata :
اعلم أن أنوار الكائنات كلها من عرش وفرش وسماوات وأرضين، وجنات وحجب، وما فوقها، وما تحتها إذا جمعت كلها، وجدت بعضًا من نور النبي، وأن مجموع نوره لو وضع على العرش، لذاب
“Ketahuilah bahwa seluruh cahaya yang menerangi Arsy, hamparan langit dan bumi, syurga dan apa yang ada di atas dan di bawahnya jika dikumpulkan akan didapati semuanya dari Nur Muhammad. Dan jika semua cahaya itu diletakkan di atas Arsy, maka ia akan meleleh.”[5]
Mereka berkata : “Nur Muhammmad adalah permulaan makhluk, dan karena dialah Allah menciptakan alam seluruhnya.”[6]
Tentang para Nabi dan Rasul mereka mengatakan kaitannya dengan Nur Muhammad :
كل النبيين والرسل الكرام أتوا نيابة عنه في تبليغ دعواه فهو الرسول إلى كل الخلائق في كل العصور ونابت عنه أفواه
“Setiap nabi dan rasul yang mulia datang adalah untuk menggantikan dirinya, untuk menyampaikan dakwahnya. Dan dia adalah rasul kepada semua makhluk di setiap zaman dan sumber dari apa yang disampaikan.”[7]
Mereka juga berkata : “Akal yang pertama dinasabkan kepada Muhammad. Karenanya Allah menciptakan Jibril di waktu terdahulu. Maka Muhammad adalah bapak bagi Jibril dan merupakan asal dari seluruh alam semesta ini.”[8]

𝟯. 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗸𝗶 𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁-𝘀𝗶𝗳𝗮𝘁 𝗞𝗲𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻𝗮𝗻
Di tingkat ketiga ini bahkan mereka sampai mensifati Nur Muhammad dengan beberapa sifat-sifat yang memiliki ketuhanan bahkan mungkin bagian dari Allah itu sendiri. Diantara ucapan mereka diantaranya adalah :
Nur Muhammad mengetahui al Quran sebelum diturunkan kepadanya, mereka berkata :
اعلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطى القرآن مجملا قبل جبريل من غير تفصيل الآيات والسور
"Ketahuilah bahwa Rasulullah lah yang telah menyerahkan al Qur’an dalam bentuk yang umum sebelum Jibril (mewahyukan) tanpa perincian ayat dan surah.”[9]
Mereka juga berkata : “Allah adalah Dzat alam yang ada, maka Allah menjadikan Nur Muhammad sebagai mahluk pertama. Lalu dari Nur Muhammad, muncul makhluk semuanya, dan dialah (Rasulullah) yang mutajalli di atas ‘arsy- dengan kata lain- Nabi Muhammad itu Tuhan yang dikecilkan dan kepada dialah, kejadian segala makhluk bertumpu kepadanya.”[10]
Selanjutnya ada ungkapan bahwa Nur Muhammad itu adalah qadim, ini banyak terdapat di kitab-kitab maulid, seperti yang disebutkan dalam al Barzanji :
أصلي وأسلم على النور الموصوف بالتقدم والأوليه
“Aku mengucap shalawat dan salam untuk cahaya yang bersifat terdahulu dan awal.”[11]
Meski sebenarnya sebutan qadim dan awal disitu bisa jadi tidak bermakna seperti qadim dan awalnya Khaliq, tapi disandarkan ke makhluk. Namun tak sedikit yang mengartikan ungkapan qadim dari Nur Muhammad itu dengan pensifatan : "Nur itu bersumber dari Allah, maka apa saja yang datang dari Allah, ia qadim karena Dia juga qadim.”

𝗞𝗵𝗮𝘁𝗶𝗺𝗮𝗵
Sekali lagi untuk yang kelompok pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah itu adalah Nur, itu bukan termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena jelas pemahaman tersebut tidak masuk ke ranah Aqidah dan juga bukan membangun keyakinan di atas hadits-hadits palsu tentang Nur Muhammad.
Berbeda dengan pendapat setelahnya, yakni kelompok pertama, apa lagi yang kedua dan yang ketiga, jelas bahwa keyakinan yang mereka dengungkan ini adalah termasuk ranah Aqidah yang dibangun di atas dalil-dalil yang sangat bermasalah.
Dan inilah yang kami tuju dengan seri tulisan kami tentang Nur Muhammad ini yang insyaallah akan kami bahas dengan menggunakan ilmu para ulama yang menggunakan hujjah al Quran dan sunnah nabiNya shalallahu’alaihi wassalam.
____________
[1] Tafsir ath Thabari (10/143)
[2] Tafsir ath Thabari (10/143)
[3] Farq al Mu’asharah (3/1012)
[4] Madarijus Shu’ud hal. 4
[5] Al Ibriz li adz Dzibagh hal. 199
[6] At Ta’rifat hal. 90
[7] Nafahah al Aqdasiyah hal. 17
[8] Al Insan Al Kamil hal.4
[9] Kibriyah al Ahmar hal 6
[10] At Ta’liqat ‘ala Fushush Al Hikam (2/320)
[11] Al Barzanji hal. 4

𝗣𝗜𝗟𝗜𝗛 𝗣𝗘𝗡𝗗𝗔𝗣𝗔𝗧 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗔𝗡𝗔 ?
Secara umum pemahaman tentang Nur Muhammad ini dibagi menjadi dua kelompok pendapat : (1) Landasan tafsir ayat yang menyebut Rasul sebagai Nur (2) Dasar hadits tentang Nur Muhammad.
Yang kelompok pertama (1) terbagi menjadi dua : A. Nur yang dimaksud oleh ayat bersifat majasi
B. Nur yang dimaksud oleh ayat hakiki.
Yang kelompok yang kedua terbagi menjadi tiga :
A. Nur Muhammad merupakan makhluk yang pertama dicipta.
B. Nur Muhammad merupakan sumber dari makhluk yang lain dicipta.
C. Nur Muhammad bersifat ilahiyah karena berasal dari Allah yang Qadim.
Catatan :
Maka dalam hal ini kami tidak menolak konsep nur Muhammad yang dibangun di atas dalil tafsir ayat, tapi yang kami tolak dibangunnya aqidah tersebut di atas dalil hadits yang jelas bermasalah.
Kami secara pribadi mengikuti pendapat yang merajihkan pendapat 1A, dan menganggap pendapat lain : 1B marjuh, 2A syadz, 2B salah 2C sesat.
Mungkin dari antum akan ada yang berpendapat berbeda dengan saya, untuk pilihannya tetap sama 1A, tapi ke yang lain : 1B, 2A, 2B, SC, pendapatnya mereka sesat.
Atau mungkin ada juga yang memilih 1B sedangkan yang 1A divonis Wahabi.a tang

𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 – 𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗡𝗨𝗥 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗠𝗠𝗔𝗗

𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 – 𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗡𝗨𝗥 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗠𝗠𝗔𝗗


𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 – 𝗛𝗔𝗗𝗜𝗧𝗦 𝗧𝗘𝗡𝗧𝗔𝗡𝗚 𝗡𝗨𝗥 𝗠𝗨𝗛𝗔𝗠𝗠𝗔𝗗

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Berikut ini adalah hadits-hadits yang sering dijumpai tentang Nur Muhammad dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Jadi, yang akan kita sebutkan bukan hanya riwayat yang secara langsung menyebut Nur Muhammad, tapi juga beberapa riwayat serupa yang sering dikait-kaitan dengan konsep Nur Muhammad ini.
Kami sertakan takhrij sekaligus keterangan dari para ulama tentang status riwayatnya.
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗖𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗶 𝘀𝗲𝗸𝗶𝘁𝗮𝗿 𝗔𝗿𝘀𝘆
إِنَّهُ كَانَ نُوْرًا حَوْلَ الْعَرْشِ فَقَالَ يَا جِبْرِيْلُ أَنَا كُنْتُ ذَلِكَ النُّورَ
“Sesunggunya dia (Muhammad) dulu adalah cahaya yang ada di sekeliling Arsy. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Jibril, aku dulu adalah cahaya itu.”
Takhrij : Hadits ini tidak tercantum dalam kitab hadits manapun. Demikian juga kami tidak mendapati dalam kitab-kitab lainnya yang bisa dijadikan pegangan dalam masalah hadits ataupun hukum agama lainnya. Riwayat ini dinukil di banyak tulisan tanpa sanad dan keterangan riwayat.
Derajat Hadits : Al Ajluni mengatakan bahwa hadits palsu.[1] Demikian juga Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim menyebutkan riwayat ini di bab : Hadits-hadits palsu dalam kitabnya.[2]
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗠𝗮𝗸𝗵𝗹𝘂𝗸
لَوْلَاكَ مَا خُلَقَتِ الْأَفْلاَكُ
“Kalau tidak ada kamu, tidak akan diciptakan alam semesta.”
Takhrij : Hadits ini juga tidak disebutkan dalam kitab induk hadits manapun. Hanya disebutkan di beberapa kitab lainnya tanpa menyertakan sanad riwayat seperti dalam kitab Ma’arij al Qudus halaman 144 karya imam Ghazali, Thabaqatul Qari (2/269), dan lainnya.
Derajat Hadits : Al Aljuni mengatakan bahwa hadits ini Maudhu’.[3]
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗮𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮
يَا مُحَمَّد ‌لولاك ‌مَا ‌خلقت ‌الدُّنْيَا
“Wahai Muhammad seandainya bukan karena engkau tidak akan aku ciptakan dunia.”
Takhrij : Tidak ada dalam kitab induk hadits manapun, adanya dalam Tarikh Ibnu Asakir.[4]
Kualitas Hadits : Hadits ini dinyatakan maudhu’ oleh beberapa ulama hadits seperti imam Ibnu Jauzi dan adz Dzahabi. Juga al imam Ibnu Jauzi berkata :
هذا حديثٌ موضوعٌ لا شكَّ فيه
“Kepalsuan hadits ini tidak diragukan lagi.”
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Talkhis Kitab al Maudhu’at di halaman 86. Kepalsuan hadits ini juga dinyatakan oleh imam Suyuthi.[5] Sebab kepalsuan hadits ini karena dalam rawinya banyak yang majhul dan lemah.[6]
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗔𝗱𝗮𝗺 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻
كُنْتُ نَبِياًّ وَلاَ آدَمَ وَلاَ مَاءَ وَلاَ طِيْنَ
“Aku sudah menjadi Nabi, ketika belum ada adam, belum ada air dan juga belum ada tanah.”
Dan lafadz semisal :
كُنْتُ نَبِيًّا وَآدَمُ بَيْنَ الْمَاءِ وَالطِّينِ
“Aku sudah menjadi Nabi sedangkan dan masih berupa air dan tanah.”
Takhrij : Riwayat ini juga tidak tercantum dalam kitab induk hadits manapun. Dinukil dalam beberapa kitab tanpa menyertakan sanad riwayat, seperti dalam kitab Mizanul Usul (1/479) karya Alauddin as Samarqandi, Tafsir ar Razi (6/525), Miratuzzaman (1/241) dan lainnya.
Kualitas Hadits : Abd al Hayy Laknawi al Hindi menyebutkan dalam kitabnya al Authar al Marfu’ah fi al Akhbar Maudu’ah halaman 45 sebagai hadits Maudhu’. Demikian juga Al Kirmi menegaskan akan kepalsuan hadits ini.[7] Keterangan yang sama juga disebutkan oleh Abu Abdurrahman al Hauti asy Syafi’i[8] dan Ibnu Taimiyah.[9]
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗸𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮 : 𝗡𝗮𝗯𝗶 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗻𝗮𝗯𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮
كنت أول النبيين في الخلق وآخرهم في البعث
“Aku adalah Nabi yang pertama tapi yang terakhir diutus.”
Takhrij : Disebutkan dalam Fawaid at Tamma no. 1003, disebutkan oleh ath Thabrani dalam Musnad Syamiyin, no. 2662, juga oleh imam Suyuthi dalam Jamiul Jawami’ no. 441), dan Dailami no.4850.
Kualitas Hadits : Hadits ini diperbeda pendapatkan oleh ulama, sebagiannya menyatakan kepalsuannya diantaranya oleh imam Syaukani[10]. Sedangkan sebagiannya menyatakan lemah, sebagaimana pendapat al imam Ibnu Rajab al Hanbali.[11]
Sebab cacatnya hadits ini adalah karena adanya rawi yang bernama Sa’id bin Bisyr. Berkata Al imam Munawi :
فيه وسعيد بن بشير ضعفه ابن معين وغيره
“Dalam rawinya ada Sa’id bin Basyir yang dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya.”[12] Demikian juga yang dinyatakan oleh al imam Ibnu Katsir.[13]
𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗸𝗲𝗲𝗻𝗮𝗺 : 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗶 𝗱𝗶𝗰𝗶𝗽𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗡𝘂𝗿 𝗠𝘂𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱
Hadits berikut ini dikenal dengan hadits Jabir dan dikenal sebagai yang paling kontroversial. Disebut dengan hadits Jabir karena dalam riwayatnya dikatakan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam berucap kepada Jabir radhiyallahu’anhu.
Dan disebut kontroversial karena hadits ini dinisbahkan kepada al Imam Abdurrrazaq di sebagian karyanya. Namun tidak jelas karya beliau yang mana. Sampai kemudian baru-baru ini dikatakan telah ditemukan sebuah manuskrip yang hilang dari bagian kitab tersebut, lalu dicetak dengan cetakan versi tahqiq oleh Isa al Himyari.
Banyak kalangan yang kemudian menuding tambahan tersebut adalah palsu dengan beberapa bukti. Diantaranya ketika manuskrip ini hendak diteliti, dikatakan telah hilang terbakar oleh pentahqiqnya tersebut.
Sebelum kita masuk ke bab permasalahan itu, kita simak dulu haditsnya sebagai berikut :
عن جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما قال قلت يا رسول الله بأبي وأمي أخبرني عن أول شيء خلقه الله قبل الأشياء. قال يا جابر إن الله خلق قبل الأشياء نور نبيك محمد صلى الله عليه وسلم من نوره
“Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu bahwa ia bertanya ; ‘Wahai Rasulullah, Ayah ibuku sebagai tebusan bagi engkau, beritahukanlah kepadaku tentang makhluk yang pertama kali Allah ciptakan sebelum segala sesuatu.’
Maka baginda bersabda : ‘Wahai Jabir sesungguhnya yang diciptakan oleh Allah sebelum segala sesuatu adalah Nur Nabimu Muhammad shalallahu’alaihi wassalam.”
Takhrij Hadits : Hadits ini tidak ada dalam kitab induk hadits manapun (kecuali Mushanaf Abdurrazaq yang cetakan tersebut). Ada tercantum dalam kitab Fatawa al Haditsiyah halaman 44 karya al imam Ibnu Hajar al Haitsami
Kualitas Hadits : Imam Syuyuthi ketika menyebutkan hadits ini berkata :
والحديث المذكور في السؤال ليس له إسناد يعتمد عليه
“Hadits yang disebutkan dalam permasalahan ini tidak ada isnadnya yang bisa dijadikan sandaran.”[14]
Sedangkan ulama lainnya menyatakan dengan tegas akan kepalsuan hadits ini. Bahkan syaikh al Ghumari mengomentari dengan pedas sikap imam Suyuthi yang tidak menyebutkan kepalsuan hadits ini dengan kalimatnya :
قال السيوطي هي الحاوي إنه غير ثابت وهو تساهل قبيح بل ظاهر الحديث الوضع واضح النكارة وفيه نفس صوفي حيث يذكر مقام الهيبة ومقام الخشية إلى آخر مصطلحات الصوفية
“Suyuthi berkata dalam kitabnya al Hawi bahwa riwayat tersebut hanya tidak bisa dijadikan sandaran dan ini adalah sikap menggampangkan yang buruk. Padahal telah jelas ini adalah palsu yang sangat jelas kemungkarannya.”[15]
Demikian juga kepalsuan hadits ini dinyatakan dalamkitab Kasyf As Syubhat :
وبالجملة فالحديث منكر موضوع لا أصل له في شىء من كتب السُّنّة
“Disimpulkan bahwa hadits ini munkar lagi palsu tidak ada asalnya sedikit pun dalam kitab dan sunnah.”[16]
Masalah hadits ini juga dibahas keabsahannya oleh beberapa ulama al Azhar, diantara Syaikh Ali Jum'ah dalam situs resminya berikut ini : (link di kolom komentar)

_______
[1] Kasyf al Khufa’ (1/265)
[2] Al Istighatsah hal. 99
[3] Kasyf al Khufa’ (2/164)
[4] Tarikh Ibnu Asakir (3/518).
[5] Al La’il Masnu’ah (1/272)
[6] Sabilul Huda wa Rasyad (1/75).
[7] Fawaidh al Maudu’at di halaman 104
[8] Asna’ Mathalib hal. 22
[9] Majmu’ Fatawa (2/238)
[10] Fawaid al Majmuat ahadits al Maudhu’at hal. 326
[11] Latahif al Ma’arif hal. 148
[12] Faidh al Qadir (5/53)
[13] Tafsir Ibnu Katsir (6/342)
[14] Al Hawi (1/223-224)
[15] Al Mulhaq Qashidatul Burdah hal 75
[16] Al Mursyid al Hair li Bayani Wadh’i Hadits Jabir, Kasyf Syubhat hal.210
TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA


Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).
Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan [
Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan]. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya. Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.
Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang“[HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729)]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia.[
Fat-hul Bari (3/337)]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rezeki, tidak hanya mendatangkan rezeki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

Tiga Pembawa Berkah


Pertama : Syukur.

Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk memanifestasikan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rezeki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.

Ibnul Qayyim berkata, “Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rezeki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”[
Madarijus Salikin (2/252)]

Syukur jangan dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata “alhamdulillah” atau “wa asy syukru lillah”. Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur. Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu“. [Ibrahim /14: 7].

Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmatKu, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[
Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353)]

Kedua : Shadaqoh.

Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rezeki dan meraih berkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh“.[al Baqarah/2 : 276].

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya di akhirat[
Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41)].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar Radhiyallahu ‘anha :

أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

“Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu“[HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74)]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya.”[Fat-hul Bari (3/301)]

As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : “Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rezeki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rezeki, dan kikir adalah sebaliknya”[
Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)]

Al Mubarakfuri berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya.”[
Tuhfatul Ahwadi (6/94)]

Ketiga : Silaturahmi.

Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rezeki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rezekinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi”[HR al Bukhari (4/301), (10/415)]

Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rezeki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.

Al Hafizh rahiamhullah berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rezekinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”[
Fathul Bari (4/303)]

Rezeki, Tidak Mesti Berwujud Materi

Rezeki, Tidak Mesti Berwujud Materi

Rezeki : Tidak Mesti Berwujud Materi


Di dalam Lisan al ‘Arab, Ibnu al Manzhur rahimahullah menjelaskan, ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.

Mengacu pada penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rezeki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rezeki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rezeki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi uang yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi rahimahullah mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).
Anugerah rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi setiap makhluk hidup. Limpahan karunia itu cerminan rahmat dan kemurahanNya. Porsi rezeki masing-masing manusia bahkan sudah ditentukan sejak dini, ketika manusia itu masih berupa janin berusia 120 hari.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam hadits yang panjang :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ……ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dihimpun penciptaannya di perut ibunya … lantas diutuslah malaikat dan meniupkan ruh padanya. Dan ia diperintah untuk menuliskan empat ketetapan, (yaitu) menulis rezeki, ajal, amalan dan apakah ia (nanti) celaka atau bahagia …”[HR Muslim, kitab al Qadr, bab Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.]

Kendatipun rezeki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta’ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rezeki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok“. [Luqman/31 : 34]

SPIRIT DARI AL QUR`AN

Langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atawa emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.

Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung“. [al Jumu’ah/62 : 10].

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala ”[
Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105)]

Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezekiNya“. [al Mulk/67 : 15].

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”

REZEKI HARUS HALAL

Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rezeki yang halal lagi thayyib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

“Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rezeki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rezekinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari (rezeki)”[HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rezeki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rezeki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits marfu’ :

َ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

“Akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram“[HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296)]

BERKAH ITU PENTING!

Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).
Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan[7]. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.
Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.
Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang“[HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729)]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia.[
Fat-hul Bari (3/337)]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rezeki, tidak hanya mendatangkan rezeki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

Akibat Meninggalkan Shalat Jumat

Akibat Meninggalkan Shalat Jumat

Akibat Meninggalkan Shalat Jumat



Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Quran Surat al-Jumuah ayat 9,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Dalam sebuah hadits sahih riwayat Abu Dawud, nomor 1067, dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيْضٌ

“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjamaah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.”

Bencana Dahsyat Meninggalkan Shalat Jumat


Jangan sampai seorang muslim meninggalkan shalat Jumat. Meninggalkan shalat Jumat tanpa uzur bila telah menjadi kebiasaan, maka hati pelakunya akan tertutup oleh noda hitam. Hingga ketaatan pun terasa berat dilakukan. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam banyak hadits sahih.

1. Stempel Munafik

Rasulullah mengancam dengan ancaman berupa stempel kemunafikan bagi siapa saja yang dengan sengaja meninggalkan shalat Jumat tiga kali tanpa uzur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, hadits riwayat ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir,hadits nomor 422,

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ

“Siapa saja yang meninggalkan tiga kali ibadah shalat Jumat tanpa uzur, niscaya ia ditulis sebagai orang munafik.”

Dahulu para sahabat takut bila digolongkan sebagai munafik. Imam Muslim dalam shahih-nya, hadits nomor 2750 mengisahkan kita bagaimana sahabat Abu Bakar dan sahabat Hanzhalah radhiyallahu ‘anhuma keduanya takut, jangan-jangan telah berbuat nifak.

Imam al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir, jilid 6 halaman 171, mengabarkan bahwa Ibnu Abi Mulaikah, beliau wafat tahun 117 Hijriah, berkata, “Aku bertemu dan berteman dengan tiga puluh sahabat besar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu merasa ketakutan bila digolongkan sebagai munafik.”

2. Ditutup Hatinya

Akibat dari meninggalkan shalat Jumat tanpa uzur lainnya adalah, Allah akan menutup hati pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, hadits riwayat at-Tirmidzi nomor 500 dan beliau menilai hadits ini hasan,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللّٰهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya.”

Hadits di atas dijelaskan oleh ar-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj, jilid 2 halaman 283.

Yang dimaksud “karena meremehkan” adalah tanpa uzur. Pengakuan atas kewajiban mengerjakan shalat Jumat tidak menghalanginya dari konsekuensi tindakannya. Perbuatan meninggalkan shalat Jumat itu adalah maksiat. …. Yang dimaksud “niscaya Allah menutup hatinya” adalah Allah menyegel hatinya dengan sesuatu seperti cincin yang dapat menghalanginya dari nasihat dan kebenaran.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Qut al-Mughtadzi ‘ala Jami’ at-Tirmidzi, jilid 1 halaman 218, menukil ucapan al-‘Iraqi yang berkata, “Yang dimaksud dengan “niscaya Allah menutup hatinya” adalah menjadikan hatinya hati seorang munafik.”

Syekh al-Mubarakfuri dalam Tuḥfatul Aḥwadzi bi Syarḥi Jami’ at-Tirmidzi, jilid 3 halaman 11, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “niscaya Allah akan menutup hatinya” adalah menutup hatinya dengan menghalanginya dari kebaikan, dan dalam sebuah pendapat dalam kitab al-Mirqah maksudnya adalah Allah menetapkan atau mencatatnya sebagai seorang munafik.

3. Orang Lalai

Musibah dahsyat lainnya bagi orang yang suka meninggalkan shalat Jumat adalah Allah akan menjadikan hatinya hati orang-orang yang lalai.

Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim, hadits nomor 865,

يَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaknya orang yang suka meninggalkan shalat Jumat meninggalkan perbuatannya. Atau jika tidak, Allah akan menutup hatinya sehingga ia menjadi orang-orang yang lalai.”

Semua akibat di atas, itu berkenaan dengan hati.

Hati laksana raja bagi anggota tubuh yang lain. Laknat terbesar bukan sakit, tetapi ketika pintu hati terkunci. Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un.

Telinga tugasnya mendengar. Mata tugasnya melihat. Hati tugasnya merasa. Dan di dalam hati inilah iman kita bersarang. Banyak amalan-amalan pengundang pahala yang bisa dilakukan oleh hati: Bertawakal, beriman, merasa khasyah (takut), iradah (keinginan), cinta, tawakal, inabah (kembali), tunduk, takut, dan rasa harap.

Berkenaan dengan penyakit hati, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam al-Quran Surat al-Ma’idah ayat 13,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka.”

Syekh as-Sa’di rahimahullah, dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225, menjelaskan,

“Kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya.”

Allah subhanahu wata’ala berfirman, dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 7,

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.”

Keutamaan Shalat Jumat

Setelah kita mengetahui akibat dari meninggalkan shalat Jumat, alangkah baiknya kita mengingat kembali keutamaan melaksanakannya. Di antara keutamaan shalat Jumat adalah sebagai berikut.

Menghapuskan Dosa

Dikeluarkan oleh Imam Muslim, hadits nomor 233, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Di antara shalat lima waktu, di antara Jumat yang satu dan Jumat yang berikutnya, itu dapat menghapuskan dosa di antara keduanya selama tidak dilakukan dosa besar.”
Kedua: Pahala puasa dan shalat setahun

Setiap langkah menuju shalat Jumat mendapat ganjaran puasa dan shalat setahun.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, hadits riwayat at-Tirmidzi nomor 496, hadits hasan,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

“Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khotbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khotbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.”

Allah subhanahu wata’ala berfirman, dalam al-Quran Surat az-Zumar ayat 53,

“Katakanlah,‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

بَارَكَ اللّٰهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Label