"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Mengimani Takdir & Berlapang dada

Mengimani Takdir & Berlapang dada



Dalam kehidupan di dunia ini manusia mencari kebahagiaan. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan realita bahwa kehidupan ini tidak selalu bahagia. Ada masa suka, ada pula duka. Ada masa bahagia, ada masa sedihnya. Lalu bagaimana agar seseorang tetap merasa tenang dalam dua kondisi yang bergantian ini? Bagaimana agar manusia memiliki hati yang ridha, syukur, dan sabar dalam menghadapi realita ini? Jawabnya adalah hal itu tergantung dengan bagaimana kuat atau tidak keyakinan mereka terhadap takdir yang Allah tetapkan.


Jika dalam kondisi lapang, mereka tidak sombong dan lupa. Saat dalam kondisi lupa, mereka tidak sedih berlebih dan putus asa. Inilah manfaat mengimani takdir Allah. Allah Ta’ala berfirman,

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Quran Al-Hadid: 23].

Kalau demikian cara untuk bahagia dalam kondisi lapang maupun sempit, tentu pertanyaan yang muncul di benak kita adalah bagaimana caranya agar keyakinan kita kepada takdir Allah itu kuat? Jawabnya adalah imanilah takdir dengan cara yang benar.

Empat tingkatan iman terhadap takdir yang wajib diimani

Para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts wal Ifta’ ditanya, “Apa makna mengimani takdir?” Mereka menjawab: “Maknanya adalah

  1. (Al-ilmu) mengimani bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah mengetahui segala sesuatu sebelum dia ada (terjadi),
  2. (Al-Kitaabah/Penulisan) dan mencatatnya di sisi-Nya (dalam Lauhul Mahfuzh),
  3. (Al-Iradah & Al-Masyiiah / keinginan & kehendak) kemudian apa saja yang ada (terjadi) semuanya atas kehendak-Nya,
  4. (Al-Khalqu) lalu dia menciptakan segala sesuatu berdasarkan kehendak-Nya tersebut. .

Dalam hadits lainnya disebutkan,

عَنْ عَلِيٍّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كُنَّا فِي جَنَازَةٍ فِي بَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَأَتَانَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ … قَالَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَد مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً ، أَوْ سَعِيدَةً فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ فَمَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنَّا مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ قَالَ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى} الآيَةَ.

Diriwayatkan dari ‘Ali Radhiyallahu anhu bahwasanya dia berkata, “Dulu kami sedang mengurus jenazah di (kuburan) Baqi’ al-Gharqad, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan Beliau duduk dan kami pun duduk semuanya di sekitar Beliau … Beliau berkata, 

‘Tidak ada di antara kalian dari jiwa yang ditiupkan (ruh) kecuali dia telah dicatat tempatnya, apakah nanti dia di surga ataukah di neraka dan telah dicatat juga apakah dia sengsara ataukah bahagia.’ 

Kemudian berkatalah seorang laki-laki, ‘Apakah kami bergantung dengan catatan kami dan kami meninggalkan amalan? Barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang bahagia maka dia akan beramal dengan amalan golongan yang bahagia. Dan barangsiapa di antara kami termasuk golongan yang sengsara, maka dia akan beramal dengan amalan golongan orag yang sengsara?’ 

Beliau berkata, ‘Adapun orang yang berbahagia maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang berbahagia dan orang yang sengsara maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan golongan yang sengsara.’ Kemudian beliau membaca: ‘Adapun orang yang memberikan dan bertakwa …'(Ayat).”
___________
Dengan demikian, seseorang tidak boleh berpasrah diri kepada takdirnya. Tidak boleh hanya bersandar kepada apa yang telah dicatatkan untuknya. Karena seseorang tidak mengetahui apa yang dicatatkan untuknya. Apakah dia seorang yang dunia ini kaya atau susah. Di akhirat masuk surga atau neraka. Kita tidak tahu. Karena itu berusahalah untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan dunia ini maupun di akhirat. Kalau kita berusaha baik, mudah-mudahan Allah mencatatkan hasil yang baik untuk kita.

Sama halnya kalau ada dua jalan yang baik dan buruk. Seseorang ditawarkan satu jalan yang lebar, terang, aman, dan jalannya baik. Kemudian jalan yang lain adalah sempit, gelap, tidak aman, banyak jalan yang rusak. Jalan mana yang akan ditempuh oleh seseorang? Tentu jalan yang pertama. Demikian juga apabila seseorang ingin masuk surga, maka ia harus beramal shaleh, menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, agar sampai di tempat tujuan yaitu surga. Berbeda dengan seseorang yang berzina, mencuri, minum khamr, kemudian dia katakan saya akan masuk surga. Tentu ini aneh.

Macam-macam takdir

Pertama: Takdir Azali
Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua mahkluk.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim)

Kedua: Takdir Umri
Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin. Inilah yang sedang kita bahas.

Ketiga: Takdir Sanawi
Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.

Allah berfirman,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan/44 : 4].

Keempat: Takdir Yaumi
Yaitu takdir yang berlaku harian.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]

Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya dari al-Walid putra dari seorang sahabat yang mulia yakni Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

دَخَلْتُ عَلَى والدي، وَهُوَ مَرِيضٌ أَتَخَايَلُ فِيهِ الْمَوْتَ فَقُلْتُ: يَا أَبَتَاهُ أَوْصِنِي وَاجْتَهِدْ لِي ، فَقَالَ: أَجْلِسُونِي ؛ فَلَمَّا أَجْلَسُوهُ قَالَ: يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَطْعَمَ طَعْمَ الْإِيمَانِ، وَلَنْ تَبْلُغْ حَقَّ حَقِيقَةِ الْعِلْمِ بِاللهِ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّه.ِ قَالَ: قُلْتُ: يَا أَبَتَاهُ وَكَيْفَ لِي أَنْ أَعْلَمَ مَا خَيْرُ الْقَدَرِ مِنْ شَرِّهِ ؟ قَالَ: تَعْلَمُ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ . يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ((إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمُ، ثُمَّ قَالَ: اكْتُبْ ، فَجَرَى فِي تِلْكَ السَّاعَةِ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)) ، يَا بُنَيَّ إِنْ مِتَّ وَلَسْتَ عَلَى ذَلِكَ دَخَلْتَ النَّارَ».

Aku menemui ayahku. Saat itu beliau sedang sakit yang aku kira beliau telah dekat dengan kematian. Aku bertanya, “Wahai ayah, berilah aku wasiat dan bersungguh-sungguhlah untukku.” Ayahku berkata, “Dudukkanlah aku.” Ketika aku telah mendudukkannya, ia berkata,
 “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tak akan merasakan nikmatnya keimanan, dan engkau tidak akan sampai pada hakikat ilmu kepada Allah sampai engkau beriman kepada takdir yang baik atau yang buruk.”

Aku berkata, “Wahai ayah, bagaimana aku bisa membedakan mana takdir yang baik atau yang buruk?” Ia menjawab, 
“Ketauhilah, apa yang memang tidak dicatatkan untukmu tidak akan engkau dapatkan. Dan apa yang ditetapkan untukmu, tidak akan luput darimu. Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfirman, ‘Tulislah’. Sejak itu terjadilah segala sesuatu hingga hari kiamat’. Wahai anakku, jika engkau wafat dan engkau tidak berada di atas keyakinan yang demikian, engkau akan masuk neraka.”

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، حَتَّى الْعَجْزُ وَالْكَيْسُ

“Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas.”

kisah

Kisah berikutnya adalah kisah ringan yang juga penuh pelajaran agar kita berbaik sangka kepada pilihan Allah. Walaupun kisah ini apakah shahih benar-benar terjadi atau tidak, namun ini sebuah ilustrasi yang bisa kita petik pelajaran di dalamnya.

Ada sebuah kisah seorang raja dan seorang menteri. Menterinya ini senantiasa berkata

الخَيْرُ خِيْرَةُ اللهِ

Yang terbaik adalah pilihan Allah.

Setiap ada orang yang terkena musibah, akan dinasehati oleh sang menteri dengan mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu saat sang raja yang terkena musibah, jari raja ini terputus karena suatu hal. Sang menteri datang dengan tetap mengatakan, wahai raja yang terbaik adalah pilihan Allah. Jarimu putus itu adalah yang terbaik.

Mendengar ucapan menterinya ini, raja pun tersinggung dan marah. Dia mengatakan, “Jari saya putus yang terbaik?! Penjarakan dia!”

Tatkala di penjara, dengan mudah menteri ini mengatakan, yang terbaik adalah pilihan Allah.

Ternyata benar, suatu saat sang raja pergi berburu bersama bawahannya untuk berburu atau suatu keperluan. Mereka terjebak, pergi ke tempat yang jauh, lalu mereka ditangkap oleh segeromblan orang penyembah dewa tertentu. Mereka ditangkap dan disembelih satu per satu sebagai tumbal untuk dewa-dewa mereka. Tatkala Tiba giliran sang raja, mereka dapati jari raja ini putus, mereka anggap raja ini orang yang cacat yang tidak pantas dikorbankan untuk sesembahan mereka. Raja pun dibebaskan.

Saat itulah sang raja sadar akan kebenaran perkataan menterinya. Jarinya yang putus ini adalah suatu kebahagiaan, merupakan anugerah, sehingga dia tidak jadi dibunuh oleh orang-orang tersebut. Ia pulang dengan begitu semangat, lalu membebaskan sang menteri. Raja mengatakan, “Benar perkataanmu, yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya selamat dari cengkraman mereka. Namun saya ingin bertanya, mengapa waktu engkau di penjara, kau katakan yang terbaik adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apa kebaikan yang kau alami di penjara?” Menteri menjawab, “Seandainya saya tidak di penjara, maka saya akan pergi turut serta berburu bersamamu, saya akan ditangkap dan disembelih oleh mereka. oleh karena itu, saya dipenjara adalah yang terbaik.”

Sepenggal kisah tentang takdir

Dalam sebuah buku berjudul “Tinggalkan Kegelisahan, Mulailah Kehidupan” yang ditulis oleh penulis terkenal yang bernama R.N.S Budhli, ada sebuah tulisan menarik yang berjudul (Aku Telah Hidup Di Syurga Allah). Dalam tulisan itu penulis ingin menunjukan tentang pentingnya iman kepada takdir dalam menghadapi manis pahitnya kehidupan. Selanjutnya biar Budhli sendiri yang menceritakan kisahnya.

Budhli berkata: “pada tahun 1918 M saya tinggal di pedalaman Afrika tengah, hidup bersama suku pedalaman di tengah gurun selama tujuh tahun lamanya. Saya pun menguasai dengan baik bahasa mereka, menggunakan pakaian mereka, memakan makanan mereka, tidur di perkemahan dengan mereka dan hidup seperti kehidupan mereka, sungguh hari-hari ketika saya bersama mereka merupakan sepenggal hidup saya yang membahagiakan, saya merasakan kedamaian, keselamatan, dan keridhoan dalam hidup.

Saya sudah belajar dari mereka bagaimana mengalahkan kekhawatiran, mereka sangat percaya dengan takdir, kepercayaan inilah yang telah menolong mereka untuk hidup dengan aman, dan menjalani hidup dengan mudah.

Mereka percaya bahwa apa yang ditakdirkan bagi mereka pasti terjadi, dan tidaklah seseorang di antara mereka ditimpa sesuatu kecuali sudah ditetapkan oleh Allah atasnya. Akan tetapi, meskipun begitu, bukan berarti mereka bertawakal kemudian berpangku tangan, berdiam diri tanpa berusaha dan bekerja! Sekali kali tidak!”

Kemudian dia melanjutakan kisahnya, “saya berikan contoh yang saya saksikan sendiri, suatu ketika terjadi badai gurun yang sangat dahsyat, dengan angin besar yang menerbangkan debu gurun padang pasir. Angin badai sangat panas, seakan akan rambut saya tercabut dari kulit kepala, hamper-hampir saya menjadi gila karenanya. Akan tetapi, tidak sedikitpun saya melihat salah seorang dari mereka mengeluh, bahkan mereka terlihat tegar, sambil mengatakan kalimat yang sering mereka ucapkan; “takdir sudah ditulis!”.

Setelah badai berlalu, mereka bergegas bekerja kembali dengan semangat yang lebih besar, mereka pun menyembelih domba kecil sebelum mati (karena badai), dan membawa hewan ternak yang lain ke sumber air untuk diberi minum. Mereka melakukan hal ini dengan tenang, tanpa banyak bicara, tidak juga mengeluh salah seorang dari mereka.

Ketua suku berkata, “kita tidak kehilangan banyak hal, sungguh kita diciptakan untuk kehilangan segala sesuatu, akan tetapi segala puji bagi Allah, kita masih punya 40% dari hewan ternak kita, dan kita bisa bekerja kembali dari awal”

Penyebab Suul Khatimah



Penyebab Suul Khatimah


Shiddiq hasan Khan pernah menceritakan tentang kondisi suul khatimah, “Suul khatimah memiliki sebab-sebab yang harus selalu diwaspadai oleh setiap mukmin.” (Yaqdzah Ulil I’tibar, 211)

Kemudian beliau mennyebutkan empat sebab suul khatimah yang beliau maksud sebagai berikut.

1. Akidah yang Rusak

Tak ada artinya jika telah memiliki sifat zuhud, kualitas keshalihan yang tinggi, namun akidahnya rusak. Jika seseorang memiliki akidah yang rusak dan ia meyakininya, bahkan sama sekali tidak menyangka telah berada dalam kekeliruan akidah, maka semua itu akan tersingkap saat sakaratul maut.

Jika seseorang wafat dalam kondisi seperti ini sebelum ia kembali pada iman yang benar, maka ia akan mendapatkan suul khatimah dan wafat dalam kondisi tanpa iman.

Selain itu, ia juga akan termasuk dalam kategori golongan yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

“Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar: 47)

Dan ayat,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالاً . الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah ‘Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Oleh sebab itu, hendaknya setiap manusia selalu memberbaiki akidahnya. Akidah yang benar adalah akidah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam risalah dakwahnya di era awal kebangkitan Islam masa hidup beliau.

2. Banyak Maksiat!

Orang yang sering melakukan maksiat, maka kemaksiatan itu akan terus menumpuk dalam hatinya. Semua yang pernah dikumpulkan manusia sepanjang umur kehidupannya, maka memori itu akan muncul dan terulang saat ia mati.

jika kecenderungannya pada maksiat lebih dominan, maka yang paling banyak hadir saat sakaratul maut adalah memori maksiat.

Bahkan, bisa jadi pada saat maut menjelang dan ia belum taubat, syahwat dan maksiat menguasainya hingga hatinya terikat padanya. Dan akhirnya, dua hal itu menjadi penghalang antara dia dan Rabbnya, serta menjadi penyebab kesengsaraan di akhir hayat.

Adapun orang yang tidak melakukan dosa, atau melakukan dosa namun selalu segera diiringi dengan taubat, maka ia akan dijauhkan dari kondisi tersebut.

Imam adz-Dzahabi mengutip perkataan Mujahid dalam tulisannya, Tidaklah seseorang meninggal kecuali ditampilkan kepadanya orang-orang yang biasa bergaul dengannya. Seseorang yang suka main catur sekarat, lalu dikatakan kepadanya, “Ucapkan Laa Ilaha Illallah.” Ia menjawab, “Skak!” kemudian ia mati.

3. Tidak Istiqamah


Orang yang semula istiqamah dalam kebaikan, lalu berubah dan menyimpang jauh menuju keburukan, ini bisa menjadi penyebab Suul khatimah.

Sebagaimana iblis yang pada mulanya adalah pemimpin malaikat plus malaikat yang paling giat beribadah, namun kemudian saat ia diperintah untuk sujud kepada Adam, ia membangkang dan menyombongkan diri. Sehingga ia tergolong makhluk yang kafir.

Juga sebagaimana Bal’am Ibnu Ba’ura yang telah sampai kepadanya ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkannya ke dunia. Ia menuruti hawa nafsunya dan termasuk orang-orang yang sesat.

Keluarnya seseorang dari jalan istiqamah dalam ketaatan harus segera disadarkan dan diluruskan. Agar ia tidak termasuk golongan orang yang mendapatkan Suul khatimah saat sakaratul maut.

4. Iman Lemah

Iman yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan terus menguatkan cinta kepada dunia dalam hatinya. Lemahnya iman dapat menjajah dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla kecuali hanya sedikit bisikan jiwa.

Akibatnya, ia akan terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan maksiat. Noda hitam yang ada di hatinya akan terus menumpuk dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang sudah terlanjur lemah dalam hatinya.

Dalam kondisi seperti itu, jika sakaratul maut datang, ia akan selalu dibayangi rasa khawatir dalam dirinya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla murka dan tidak cinta kepadanya. Cinta Allah ‘Azza wa Jalla yang sudah lemah itu berbalik menjadi benci. Akhirnya, bila ia mati dalam kondisi iman lemah, dia akan mendapatkan suul khatimah dan sengsara selamanya.

Sebab, yang melahirkan suul khatimah adalah cinta dan kecenderungan kepada dunia serta lemahnya iman. Semuanya akan berimbas pada lemahnya rasa cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Disadur dari kitab Al-Qiyamah ash-Shughra, Syaikh Umar bin Khattab radhyallahu ‘anhu Sulaiman al-Asyqar) Wallahu a’lam

Label