"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Bayani, Burhani, dan Irfani


Kerangka Metodologi  Pengembangan Pemikiran Islam

Bayani, Burhani, dan Irfani, adalah konsep penting dalam tradisi pemikiran Islam, terutama dalam filsafat, teologi, dan epistemologi (teori pengetahuan). Ketiganya mewakili metode-metode utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan.

Mari kita bahas satu per satu:


1. Bayani (العلم البياني)

  • Asal Kata: Berasal dari kata bahasa Arab bayan (بيان) yang berarti penjelasan, keterangan, atau kejelasan.

  • Inti Pendekatan: Corak berpikir Bayani adalah metode penalaran yang berbasis pada teks atau nash (wahyu). Sumber utama pengetahuannya adalah teks-teks keagamaan yang dianggap otoritatif dan sakral, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Penalaran dilakukan dengan menganalisis, menafsirkan, dan memahami makna dari teks-teks tersebut.

  • Metodologi:

    • Analisis Linguistik: Sangat mengandalkan tata bahasa Arab, semantik, sintaksis, dan retorika untuk memahami makna harfiah dan tersirat dari teks.

    • Hermeneutika: Mempelajari prinsip-prinsip penafsiran (tafsir untuk Al-Qur'an, syarah untuk Hadis).

    • Qiyas (Analogi): Membandingkan kasus baru dengan kasus yang sudah ada dalam teks untuk menarik kesimpulan.

    • Ijma' (Konsensus): Mengacu pada kesepakatan ulama sebagai sumber hukum.

  • Ciri Khas:

    • Otoritas Teks: Pengetahuan dianggap benar jika sesuai atau berasal dari teks suci.

    • Penafsiran: Hasil pengetahuan sangat bergantung pada metode dan mazhab penafsiran yang digunakan.

    • Bersifat Normatif: Seringkali berorientasi pada penetapan hukum (syariah) dan etika.

  • Tokoh/Bidang:

    • Para ulama Fikih (hukum Islam), ahli Tafsir, ahli Hadis, dan sebagian ahli Kalam (teologi).

  • Kelemahan Potensial:

    • Dapat menjadi dogmatis jika interpretasi teks sangat kaku dan menolak penalaran di luar teks.

    • Berpotensi memunculkan berbagai penafsiran yang saling bertentangan.

    • Terbatas pada hal-hal yang disebutkan dalam teks, sulit menjawab masalah kontemporer yang tidak secara eksplisit dibahas.


2. Burhani (العلم البرهاني)

  • Asal Kata: Berasal dari kata bahasa Arab burhan (برهان) yang berarti bukti, demonstrasi, atau argumentasi logis.

  • Inti Pendekatan: Corak berpikir Burhani adalah metode penalaran yang berbasis pada akal atau rasio murni. Sumber pengetahuannya adalah demonstrasi logis, observasi empiris, dan penalaran silogistik. Kebenaran dicapai melalui pembuktian yang rasional dan koheren, terlepas dari otoritas teks atau pengalaman spiritual.

  • Metodologi:

    • Logika Aristoteles: Sangat mengandalkan kaidah-kaidah logika, terutama silogisme (premis mayor, premis minor, kesimpulan).

    • Observasi dan Eksperimen: Meskipun lebih fokus pada rasio, kaum Burhani juga mengakui peran pengalaman indrawi sebagai data awal.

    • Pembuktian Ilmiah: Menggunakan metode ilmiah untuk mencapai kesimpulan yang objektif dan universal.

  • Ciri Khas:

    • Prioritas Akal: Akal menjadi hakim tertinggi dalam menentukan kebenaran.

    • Objektivitas: Berusaha mencapai pengetahuan yang universal dan tidak terpengaruh subyektivitas.

    • Koherensi Logis: Kebenaran harus konsisten secara internal dan rasional.

  • Tokoh/Bidang:

    • Para filosof Muslim (seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd), ilmuwan (ahli matematika, fisika, kedokteran), dan sebagian ahli Kalam yang ras

  • Kelemahan Potensial:

    • Dapat terjerumus ke dalam rasionalisme ekstrem yang mengabaikan dimensi transenden atau spiritual.

    • Terkadang kesulitan dalam menjelaskan fenomena yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum rasional.


3. Irfani (العلم العرفاني)

  • Asal Kata: Berasal dari kata bahasa Arab irfan (عرفان) yang berarti pengetahuan intuitif, gnosis, atau pengenalan melalui pengalaman langsung/spiritual.

  • Inti Pendekatan: Corak berpikir Irfani adalah metode penalaran yang berbasis pada intuisi, iluminasi, atau pengalaman spiritual langsung. Sumber pengetahuannya bukan teks atau akal murni, melainkan "penglihatan hati" (bashirah) yang diperoleh melalui latihan spiritual (riyadah), penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), dan penyingkapan ilahi (kasyf).

  • Metodologi:

    • Mujahadah (Perjuangan Spiritual): Meliputi puasa, zikir, meditasi, khalwat (menyepi), dan disiplin diri yang ketat.

    • Penyucian Hati: Membersihkan diri dari hawa nafsu dan sifat-sifat tercela agar hati menjadi cermin bagi kebenaran ilahi.

    • Iluminasi/Kasyf: Pengetahuan yang datang sebagai karunia langsung dari Tuhan kepada hati yang jernih.

  • Ciri Khas:

    • Subyektivitas Transenden: Pengetahuan bersifat sangat personal dan seringkali sulit dikomunikasikan secara rasional atau tekstual kepada orang lain.

    • Pengalaman Langsung: Kebenaran dialami secara langsung oleh individu.

    • Intuitif dan Inspiratif: Pengetahuan datang melalui ilham atau bisikan hati.

  • Tokoh/Bidang:

    • Para sufi (mistikus Islam) seperti Imam Al-Ghazali (dalam aspek tertentu), Ibnu Arabi, Rumi, dan lain-lain.

  • Kelemahan Potensial:

    • Sangat subyektif dan sulit diverifikasi oleh orang lain, sehingga rentan terhadap klaim-klaim yang tidak berdasar atau penyimpangan.

    • Dapat mengarah pada antinomianisme (melanggar norma-norma syariat) jika pengalaman spiritual dianggap lebih tinggi dari hukum agama.

    • Risiko penyalahgunaan atau penipuan.


Hubungan dan Sinergi Antara Ketiganya

Meskipun ketiga corak berpikir ini memiliki metode dan sumber pengetahuan yang berbeda, dalam tradisi Islam yang kaya, seringkali ada upaya untuk menyinergikan ketiganya:

  • Bayani memberikan fondasi normatif dan tekstual.

  • Burhani memberikan validasi rasional dan kemampuan untuk menelaah fenomena alam.

  • Irfani memberikan dimensi spiritual dan kedalaman pemahaman yang melampaui logika dan teks.

Idealnya, seorang Muslim yang mencari kebenaran dan pengetahuan yang komprehensif akan berusaha mengintegrasikan ketiga metode ini. Misalnya, teks (Bayani) dipahami dengan akal sehat (Burhani), dan makna terdalamnya diresapi melalui pengalaman spiritual (Irfani). Ini menciptakan pemahaman yang holistik dan seimbang tentang realitas.

5 Marhalah (tahapan) Tabligh



Lima Marhalah (tahapan) Tabligh
(Tabligh, Ta'lim, Takwin, Tandzim, dan Tanfidz)

Lima marhalah ini merupakan sebuah siklus atau tahapan yang saling terkait dan berkesinambungan dalam upaya dakwah dan pembinaan umat agar ajaran Islam dapat diinternalisasi, dipraktikkan, dan menjadi kekuatan transformatif dalam masyarakat.


1. Tabligh (Penyampaian/Diseminasi Informasi)

Tabligh adalah tahap awal dan paling fundamental dalam dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam atau pesan keagamaan kepada khalayak. Fokus utamanya adalah menyebarluaskan informasi, ajakan, dan peringatan secara luas. Ini adalah proses "menyentuh" sebanyak mungkin orang dengan pesan dasar agama. Bentuknya bisa sangat umum dan masif, tidak selalu memerlukan interaksi mendalam.

Tujuan:
  • Memperkenalkan ajaran Islam kepada yang belum tahu.
  • Mengingatkan dan menyegarkan kembali pemahaman bagi yang sudah tahu.
  • Menjangkau khalayak seluas-luasnya.
  • Membangkitkan kesadaran awal.

Contoh:

Dakwah Umum: Seorang penceramah mengisi pengajian akbar di masjid atau lapangan terbuka di Kabupaten Sukabumi, membahas pentingnya shalat dan zakat secara umum di hadapan ribuan jamaah.

Media Massa: Pesan-pesan keagamaan disebarkan melalui radio lokal di Sukabumi, televisi, media sosial (Facebook, YouTube, TikTok), atau spanduk-spanduk di jalan yang berisi ajakan berbuat baik atau menjalankan ibadah.

Pembagian Brosur/Buku Saku: Organisasi dakwah membagikan brosur berisi dasar-dasar Islam, jadwal shalat, atau keutamaan amalan tertentu kepada masyarakat umum di pasar atau pusat keramaian.

Ceramah Singkat: Kultum Ramadhan di masjid-masjid kampung di Sukabumi setelah shalat Tarawih yang berisi nasihat-nasihat keagamaan secara ringkas.


2. Ta'lim (Pendidikan/Pembelajaran Mendalam)

Ta'lim adalah tahap selanjutnya di mana pesan yang telah ditablighkan mulai didalami dan diajarkan secara lebih terstruktur dan sistematis. Ini bukan lagi sekadar penyampaian informasi, melainkan proses transfer ilmu, pemahaman, dan keterampilan keagamaan secara intensif. Ta'lim menargetkan individu atau kelompok yang sudah menunjukkan minat awal dan ingin belajar lebih jauh. Ini adalah proses pembinaan intelektual dan spiritual.

Tujuan:
  • Membangun pemahaman agama yang kokoh dan komprehensif.
  • Meningkatkan kualitas keilmuan dan praktik ibadah individu.
  • Menumbuhkan kesadaran beragama yang lebih mendalam.
  • Membekali individu dengan ilmu yang cukup untuk beramal.

Contoh:

Pengajian Rutin (Halaqah/Majelis Ta'lim): Di sebuah masjid di Sukabumi, diselenggarakan pengajian rutin setiap pekan yang membahas tafsir Al-Qur'an, Hadis, Fikih, atau Aqidah secara mendalam dan berurutan dengan dipandu oleh seorang ustadz.

Sekolah/Madrasah Diniyah: Lembaga pendidikan formal atau non-formal di Sukabumi yang mengajarkan ilmu agama (misalnya, pelajaran bahasa Arab, ilmu tajwid, hafalan Al-Qur'an, dan sirah nabawiyah) secara kurikulum.

Kajian Tematik: Sekelompok pemuda di Sukabumi mengadakan kajian intensif selama beberapa hari untuk memahami suatu tema spesifik, seperti ekonomi syariah, manajemen masjid, atau fiqh munakahat (hukum pernikahan).

Pelatihan Imam/Khatib: Pelatihan khusus bagi calon imam atau khatib di Sukabumi untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memimpin shalat dan menyampaikan khutbah.

3. Takwin (Pembentukan Karakter/Kaderisasi)

Takwin adalah tahap pembentukan karakter, kepribadian, dan mentalitas kader yang kuat berdasarkan ajaran Islam. Ini adalah proses internalisasi nilai-nilai agama hingga menjadi bagian integral dari diri individu. Takwin tidak hanya tentang pengetahuan (ilmu), tetapi juga tentang pembentukan akhlak, mentalitas kepemimpinan, komitmen, dan kemandirian. Individu yang melalui tahap ini diharapkan menjadi pribadi yang berintegritas dan siap mengemban amanah dakwah.

Tujuan:
  • Membangun kader yang berakhlak mulia dan konsisten dalam beragama.
  • Mengembangkan potensi kepemimpinan dan manajerial dalam diri individu.
  • Menciptakan individu yang memiliki komitmen tinggi terhadap dakwah dan umat.
  • Mempersiapkan generasi penerus perjuangan Islam.

Contoh:

Pendidikan Kader Ulama/Da'i: Sebuah pondok pesantren atau lembaga dakwah di Sukabumi memiliki program intensif selama beberapa tahun untuk mencetak ulama atau da'i yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berakhlak karimah dan memiliki jiwa pengabdian.

Mukhayyam Tarbawi/Daurah Intensif: Sebuah organisasi kepemudaan Islam di Sukabumi mengadakan kegiatan perkemahan atau training kepemimpinan berbasis nilai-nilai Islam yang fokus pada pengembangan diri, disiplin, kerja sama tim, dan spiritualitas.

Mentoring dan Pembinaan Personal: Seorang pembimbing (murabbi/murobbiyah) secara rutin mendampingi dan membina beberapa individu (mutarabbi) secara personal atau kelompok kecil untuk mengawal perkembangan spiritual, intelektual, dan akhlak mereka.

Program Magang di Lembaga Sosial Keagamaan: Mahasiswa atau pemuda di Sukabumi mengikuti program magang di lembaga-lembaga sosial keagamaan (misalnya panti asuhan, rumah sakit Islam, atau lembaga zakat) untuk mengasah empati, tanggung jawab sosial, dan jiwa pengabdian.


4. Tandzim (Pengorganisasian/Penataan Kelembagaan)

Tandzim adalah tahap pengorganisasian dan penataan sistem atau struktur untuk menggerakkan dakwah secara efektif dan efisien. Ini melibatkan pembentukan organisasi, penentuan visi misi, penyusunan struktur kepengurusan, pembagian tugas dan wewenang, serta penetapan prosedur kerja. Tujuan utamanya adalah agar dakwah tidak berjalan sporadis, melainkan terencana, terkoordinasi, dan berkelanjutan.

Tujuan:
  • Menciptakan wadah yang efektif untuk aktivitas dakwah.
  • Memastikan keberlanjutan dan efektivitas program dakwah.
  • Menghindari tumpang tindih dan memaksimalkan sumber daya.
  • Menyatukan potensi individu dalam sebuah kekuatan kolektif.

Contoh:

Pendirian Cabang/Ranting Organisasi Islam: Pimpinan Pusat sebuah ormas Islam mendirikan cabang baru di setiap kecamatan di Kabupaten Sukabumi, lengkap dengan struktur kepengurusan (Ketua, Sekretaris, Bendahara, Bidang-bidang) dan penetapan program kerja tahunan.

Pembentukan Divisi-Divisi: Sebuah Yayasan Pendidikan Islam di Sukabumi membentuk divisi kurikulum, divisi kesiswaan, divisi sarana prasarana, dan divisi keuangan untuk mengelola sekolahnya secara profesional.

Penyusunan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART): Sebuah majelis taklim di Sukabumi yang berkembang pesat kemudian menyusun AD/ART untuk mengatur keanggotaan, iuran, dan mekanisme pengambilan keputusan.

Jaringan Komunikasi: Membuat sistem komunikasi dan koordinasi antar pengurus masjid di Sukabumi untuk menyelaraskan jadwal kegiatan, menyebarkan informasi, dan mengatasi masalah bersama.


5. Tanfidz (Implementasi/Eksekusi Program)

Tanfidz adalah tahap implementasi atau pelaksanaan nyata dari semua rencana dan program yang telah disusun dalam tahap Tandzim. Ini adalah puncak dari siklus dakwah di mana semua teori, pengetahuan, pembentukan kader, dan struktur organisasi diwujudkan dalam aksi nyata di lapangan. Tanfidz memastikan bahwa tujuan dakwah benar-benar tercapai dan memberikan dampak konkret di masyarakat.

Tujuan:
  • Mewujudkan visi dan misi dakwah menjadi program nyata.
  • Memberikan kontribusi konkret dan solusi atas permasalahan umat/masyarakat.
  • Menguji efektivitas perencanaan dan kekuatan organisasi.
  • Menjadi bukti nyata keberadaan dan manfaat dakwah.

Contoh:

Program Sosial: Organisasi Islam di Sukabumi menjalankan program bakti sosial berupa pengobatan gratis, pembagian sembako untuk fakir miskin, atau pembangunan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) untuk masyarakat.

Kegiatan Pendidikan: Sekolah Islam di Sukabumi yang telah terorganisir (Tandzim) secara rutin melaksanakan proses belajar mengajar sesuai kurikulum (Ta'lim) dan menyelenggarakan ujian akhir semester.

Pemberdayaan Ekonomi Umat: Koperasi Syariah yang didirikan oleh sebuah komunitas Islam di Sukabumi (Tandzim) mulai menyalurkan pembiayaan mikro syariah kepada UMKM lokal dan mengadakan pelatihan kewirausahaan (Ta'lim).

Pelaksanaan Kampanye Kebersihan: Remaja masjid di Sukabumi yang telah dibina karakternya (Takwin) dan terkoordinasi dalam kepengurusan (Tandzim) secara gotong royong membersihkan lingkungan sekitar masjid dan kampung sebagai bagian dari kampanye kebersihan yang telah direncanakan.

Kelima marhalah ini saling terkait. Tabligh yang efektif akan menarik orang untuk Ta'lim. Ta'lim yang mendalam akan melahirkan kader yang siap (Takwin). Kader yang berkualitas akan mampu membangun organisasi yang kuat (Tandzim). Dan organisasi yang kuat akan mampu mengeksekusi program-programnya dengan baik (Tanfidz), yang pada gilirannya akan kembali menjadi materi Tabligh, Ta'lim, dan seterusnya, menciptakan sebuah siklus dakwah yang berkelanjutan dan dinamis.


Manhaj Tarjih Muhammadiyah


Manhaj Tarjih Muhammadiyah


Muhammadiyah mendefinisikan dirinya sebagai “Gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah, [serta] berasas Islam.” Dalam melaksanakan pengkajian dan penafsiran ajaran agama tentu ada prinsip dan metode tertentu yang dipegangi. Prinsip dan metode tersebut di lingkungan Muhammadiyah disebut Manhaj Tarjih.

secara harfiah Manhaj Tarjih berarti cara melakukan tarjih. Manhaj Tarjih berasal dari dua suku kata. “Manhaj” artinya metode, “tarjih” artinya kegiatan ijtihad dalam Muhammadiyah.

Istilah “tarjih” sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. yang berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat. Kemudian mengalami pergeseran sehingga “tarjih” tidak lagi hanya diartikan kegiatan sekadar kuat-menguatkan suatu dalil atau pilih-memilih di antara pendapat yang sudah ada, melainkan telah identik dengan ijtihad itu sendiri.

“Karena itu, Manhaj Tarjih berarti suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (semangat atau perpekstif), sumber, pendekatan dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan,”

Dalam Muhammadiyah Tarjih diartikan sebagai setiap aktivitas intelektual untuk merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat dari perspektif Islam.

Dalam banyak kasus, kegiatan ketarjihan banyak dilalui dengan aktivitas ijtihad terhadap persoalan-persoalan baru yang belum direspons oleh fukaha masa lalu dan belum ditemukan jawabannya dalam kitab-kitab fikih lama. Meski demikian, tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip-prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih (metodologi tarjih).

Ormas Islam lain juga memiliki lembaga fatwa yang lengkap dengan metodologi hukum sebagaimana Majelis Tarjih dengan Manhaj Tarjih. Di dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) ada Bahsul Masail dengan Sistem Pengambilan Keputusan Hukum, Majelis Ulama Indonesia (MUI) ada Komisi Fatwa dengan Pedoman Penetapan Fatwa, dan Persatuan Islam (PERSIS) ada Dewan Hisbah dengan Thuruq al-Istinbath.

Tiga produk utama Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah Putusan Tarjih, Fatwa Tarjih, dan Wacana Tarjih.

1. Putusan Tarjih:

Definisi:
Putusan Tarjih adalah hasil musyawarah para ulama Muhammadiyah dalam forum Munas Tarjih, yang membahas dan menetapkan panduan keagamaan untuk warga Muhammadiyah dan umat Islam secara umum.

Contoh:
Himpunan Putusan Tarjih (HPT) yang berisi kumpulan putusan-putusan resmi Majelis Tarjih, seperti putusan tentang penggunaan kalender Hijriah Global.

Fungsi:
Memberikan pedoman resmi dan mengikat dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan.

2. Fatwa Tarjih:

Definisi:
Fatwa Tarjih adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang diajukan kepada Majelis Tarjih, yang memberikan panduan praktis dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer.

Contoh:
Fatwa tentang hukum donor darah antara muslim dan non-muslim, atau fatwa tentang hukum oral seks dan onani dengan tangan istri, menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Fungsi:
Memberikan panduan hukum yang bersifat tidak mengikat, tetapi menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.

3. Wacana Tarjih:

Definisi:
Wacana Tarjih adalah forum pemikiran dan gagasan baru dalam bidang keagamaan, yang bertujuan untuk mendorong pengembangan dan adaptasi ajaran Islam yang relevan dengan tuntutan zaman.

Contoh:
Pemikiran tentang Fikih Air, Fikih Kebencanaan, atau Fikih Perlindungan Anak, menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Fungsi:
Menjadi wadah untuk eksplorasi pemikiran dan pengembangan ajaran Islam yang progresif dan kontekstual.


4 Aspek yang Penting Diperhatikan Pimpinan Lembaga dan Majelis Muhammadiyah




4 Aspek yang Penting Diperhatikan Pimpinan Lembaga dan Majelis Muhammadiyah


Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan arahan kepada peserta untuk melakukan refleksi mendalam terhadap pemikiran Muhammadiyah. Acara yang dihadiri oleh sejumlah pimpinan lembaga dan majelis Muhammadiyah ini dianggap sebagai momentum penting untuk merefleksikan beberapa aspek krusial.

Pertama, Haedar mengajak para peserta untuk merenungkan aspek teologis dalam pemikiran Muhammadiyah. Ia menyoroti pentingnya membaca dan menghayati poin-poin kunci keislaman Muhammadiyah yang terkandung dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Manhaj Tarjih dikenal sebagai landasan berpikir keislaman yang komprehensif dan kosmopolit, berakar pada Al Quran dan Al Sunah dengan prinsip-prinsip ijtihad. Haedar yakin bahwa dengan memahami poin-poin kunci ini, Muhammadiyah dapat menjadi gerakan Islam yang fleksibel.

Kedua, Haedar menekankan pentingnya memahami aspek ideologi Muhammadiyah. Selain Manhaj Tarjih, peserta diajak untuk membaca pemikiran-pemikiran ideologis seperti Kepribadian Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Dakwah Kultural, Dakwah Komunitas, Indonesia Berkemajuan, Negara Pancasila Darul Ahdi Wa Syahadah, Risalah Islam Berkemajuan, dan lainnya.

Haedar menekankan bahwa dengan membaca semua ini, perspektif terhadap realitas tidak akan hilang. Pemikiran resmi organisasi ini seharusnya menjadi panduan dan bingkai pemikiran bagi para anggota.

“Kalau semua baca, kita tidak akan kehilangan perspektif dalam membaca realitas. Karena tidak dibaca, yang muncul adalah pikiran pribadi yang tidak menisbahkan pada organisasi. Pemikiran-pemikiran resmi organisasi ini harusnya menjadi guidline kita. Pikiran-pikiran kita harus menjadi bingkai pemikiran kita,” ucap Haedar.

Haedar Nashir juga menggarisbawahi pandangan Muhammadiyah terhadap politik, yaitu sebagai arena ijtihad di mana perbedaan pilihan pasti terjadi. Sikap saling menghargai dianggap sebagai hal yang sangat penting. Lebih dari itu, sebagai gerakan dakwah Islam, Muhammadiyah diimbau untuk tidak perlu membawa nama organisasi dalam ranah politik praktis. Haedar menegaskan bahwa menghormati perbedaan pilihan dan tidak mengaitkan Muhammadiyah secara langsung dalam arena politik adalah sikap yang seharusnya dipegang teguh.

Ketiga, Haedar juga menggarisbawahi pentingnya memahami aspek organisasi dalam konteks Muhammadiyah yang merupakan organisasi besar. Beliau menyoroti risiko terlalu banyaknya kepentingan pragmatis yang dapat mengakibatkan ketidakpaduan dalam gerakan Muhammadiyah. Haedar berpesan kepada elit Muhammadiyah agar bersatu padu dan bekerja sama untuk merekatkan gerakan ini sehingga dapat menjadi organisasi yang terpadu dan kokoh.

Keempat, Haedar menekankan aspek praksis gerakan sebagai langkah lanjutan. Ia mengajak para peserta untuk melakukan upaya lebih maksimal dalam menjaga dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah yang telah maju. Haedar menekankan perlunya pertahanan terhadap pencapaian yang sudah ada, sambil terus berupaya meningkatkan bidang-bidang yang masih perlu pengembangan.

7 Manfaat Sedekah



7 Manfaat Sedekah


Ibnul Qoyyim mengatakan,

أَنَّهَا تَقِي مَصَارِعَ السُّوءِ وَتَدْفَعُ الْبَلَاءَ حَتَّى إِنَّهَا لَتَدْفَعُ عَنِ الظَّالِمِ وَتُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ وَتَحْفَظُ الْمَالَ وَتَجْلِبُ الرِّزْقَ وَتُفْرِحُ الْقَلْبَ وَتُوجِبُ الثِّقَةَ بِاللَّهِ وَحُسْنَ الظَّنِّ بِهِ.

“Sungguh bersedekah itu mencegah kematian yang jelek, mencegah bala’ sampai penggemar maksiat pun terjaga dari bala’ karena rajin bersedekah, menghapus dosa, menjaga harta, mendatangkan rezeki, membuat gembira hati dan menyebabkan hati yakin dan baik sangka kepada Allah.” (Uddah ash-Shabirin hlm 490)

Sedekah, donasi sosial, wakaf dll memiliki banyak manfaat.

Diantara manfaatnya adalah:

Pertama: Dijaga Allah dari kematian yang buruk semisal mati sedang melakukan maksiat, mati dicabik-cabik singa, dimakan buaya dll, mati dibunuh plus mutilasi, dsb.

Kedua: Mencegah bala’, wabah, malapetaka, siapapun pelakunya baik dia seorang muslim yang taat ataupun penggemar maksiat.

Ketiga: Menghapus dosa. Jika “sedekah” kepada anjing kehausan itu menghapus dosa pelacur, apalagi sedekah untuk penuntut ilmu agama, penghafal al-Qur’an, sedekah Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas kesehatan, sedekah bahan makanan pokok untuk orang yang harus menjalani karantina dll. Sedekah semisal ini tentu lebih dasyat menghapus dosa pelakunya.

Keempat: Menjaga harta. Sedekah adalah perintah Allah dan Nabi menjanjikan bahwa siapa yang melakukan perintah Allah, maka Allah akan jaga diri dan hartanya.

Kelima: Mendatangkan dan keberkahan rezeki. Sebaliknya pelit itu berdampak kehancuran harta atau hilangnya keberkahan harta.

Keenam: Sumber kebahagiaan hati adalah menolong sesama dengan bersedekah dan lainnya.

Ketujuh: Bukti sekaligus kiat melatih diri untuk yakin dan berbaik sangka kepada Allah.

Diantara sebab pelit adalah tidak yakin bahwa rezeki esok hari itu sudah dijamin oleh Allah. Inilah contoh buruk sangka kepada Allah.

3 Bentuk Ampunan Allah - Ibnul Arabi


3 Bentuk Ampunan Allah - Ibnul Arabi


Di antara sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Ghafur. Yang artinya Maha Pengampun. Sebagian orang terkadang salah dalam mengamalkan asma-ul husna yang satu ini. Karena mereka tahu Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pengampun, mereka bermudah-mudahan berbuat dosa dan menunda taubat. Di sisi lain, ada orang-orang yang tidak kenal dengan sifat Allah yang satu ini. Mereka disibukkan dengan ayat-ayat adzab. Atau mereka berburuk sangka dengan Allah, bahwa Allah adalah Tuhan yang kejam. Atau mereka berputus asa dari mendapat ampunan Allah karena mereka sangka dosa-dosa mereka lebih besar dari ampunan Allah. 

Padahal dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Abu Thohir)

Menurut Ibnul Arabi rahimahullah, ampunan Allah itu ada tiga bentuk.

Pertama: Allah langsung mengampuni seorang hamba. Ketika hamba-Nya bertemu dengan-Nya, langsung Dia ampuni.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ »

Dari Aisyah, ia berkata, saya telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca, “Allahumma haasibnii hisaabay yasiiroo (Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah).” Saat beliau selesai aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?” Beliau bersabda, “Seseorang yang Allah melihat kitabnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman Allah akan menghapus (dosanya) karenanya, bahkan sampai duri yang menusuknya.” [HR. Ahmad].

Dalam riwayat yang lain dijelaskan. Dari Shafwan bin Muhriz bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Ibnu Umar, “Bagaimana Anda mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang An Najwa (bisikan di hari kiamat)?” Ibnu Umar menjawab,

يَدْنُو أَحَدُكُمْ مِنْ رَبِّهِ حَتَّى يَضَعَ كَنَفَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَ. فَيَقُولُ نَعَمْ. وَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ نَعَمْ. فَيُقَرِّرُهُ ثُمَّ يَقُولُ إِنِّى سَتَرْتُ عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

“Yaitu salah seorang dari kalian akan mendekat kepada Rabb-nya. Kemudian Dia meletakkan naungan-Nya di atasnya. Kemudian Dia berfirman, “Apakah kamu telah berbuat ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia berfirman lagi, “Apakah kamu telah melakukan ini dan ini?” Hamba itu menjawab, “Ya, benar.” Dia pun mengulang-ulang pertanyannya, kemudian berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa tadi (merahasiakannya) di dunia dan pada hari ini aku telah mengampuninya bagimu.” [HR. al-Bukhari].

Kedua: mereka yang mendapatkan ampunan setelah amal perbuatan mereka ditimbang.

Mereka adalah orang-orang yang ditimbang amalan mereka di mizan. Amal kebaikan diletakkan di timbangan kebaikan. Dan amal buruk diletakkan di timbangan keburukan. Mereka inilah yang termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (102) وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ (103)

“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” [Quran Al-Mukminun: 102-103].

Dalam Surat Al-Qari'ah Allah Berfirman :

فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ

Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya. (Al-Qari'ah: 6)
Maksudnya, timbangan amal kebaikannya lebih berat daripada timbangan amal keburukannya.

فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ

maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. (Al-Qari'ah: 7)
Yakni berada di dalam surga.

وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ

Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya. (Al-Qari'ah: 8)
Yaitu timbangan amal keburukannya lebih berat daripada timbangan amal kebaikannya

فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ

maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (Al-Qari'ah: 9)

Dan makna yang sama sebagai penjelas bentuk ampunan seperti ini, juga 
dijelaskan dalam hadits kartu. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَسْتَخْلِصُ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ سِجِلًّا، كُلُّ سِجِلٍّ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَقُولُ لَهُ: أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا؟ أَظَلَمَتْكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ؟ قَالَ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: أَلَكَ عُذْرٌ، أَوْ حَسَنَةٌ؟ فَيُبْهَتُ الرَّجُلُ، فَيَقُولُ: لَا، يَا رَبِّ، فَيَقُولُ: بَلَى، إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً وَاحِدَةً، لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ، فَتُخْرَجُ لَهُ بِطَاقَةٌ، فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، فَيَقُولُ: أَحْضِرُوهُ، فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ هَذِهِ السِّجِلَّاتِ؟ ! فَيُقَالُ: إِنَّكَ لَا تُظْلَمُ، قَالَ: فَتُوضَعُ السِّجِلَّاتُ فِي كَفَّةٍ، قَالَ: فَطَاشَتْ السِّجِلَّاتُ، وَثَقُلَتْ الْبِطَاقَةُ، وَلَا يَثْقُلُ شَيْءٌ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Ada seseorang yang terpilih dari umatku pada hari kiamat dari kebanyakan orang ketika itu, lalu dibentangkan buku catatan amalnya yang berjumlah 99 buku. Setiap buku, jika dibentangkan sejauh mata memandang. Kemudian Allah menanyakan padanya, “Apakah engkau mengingkari sedikit pun dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “Tidak sama sekali wahai Rabbku.” Allah bertanya lagi, “Apakah yang mencatat hal ini berbuat zholim padamu?” Lalu ditanyakan pula, “Apakah engkau punya uzur atau ada kebaikan di sisimu?” Dipanggillah laki-laki tersebut dan ia berkata, “Tidak.” Allah pun berfirman, “Sesungguhnya ada kebaikanmu yang masih kami catat. Dan sungguh tidak akan ada kezaliman atasmu hari ini.” Lantas dikeluarkanlah satu BITOQOH (kartu sakti) yang bertuliskan syahadat ‘laa ilaha ilallah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh’. Lalu ia bertanya, “Apa kartu ini yang bersama dengan catatan-catatanku yang penuh dosa tadi?” Allah berkata padanya, “Sesungguhnya engkau tidaklah zalim.” Lantas diletakkanlah kartu-kartu dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ampuh ‘laa ilaha illallah’ di daun timbangan lainnya.Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ampuh ‘laa ilaha illalah’ tadi. [HR. Ibnu Majah no. 4300, Tirmidzi no. 2639 dan Ahmad 2: 213].

Ketiga: mereka yang mendapatkan adzab terlebih dahulu di neraka, Kemudian mereka dikeluarkan atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada bentuk yang ketiga ini, Ibnul Arabi mengatakan, “Yang Allah maafkan dari kesalahan mereka sangat banyak dibanding yang Allah adzab mereka karenanya.”

Ketiga bentuk ampunan ini dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang menceritakan ampunan adalah untuk orang-orang yang memiliki perhatian terhadap agama mereka. Orang-orang yang menjaga diri dari pembatal keislaman. Sehingga janganlah orang-orang yang memenuhi setiap syahwatnya untuk melanggar semua larangan Allah dan meninggalkan perintah Allah, mereka akan menempati kedudukan mulia seperti orang-orang yang berusha taat. Padahal mereka tidak pernah beramal. Kalau beramal juga tidak ada keikhlasan.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kesalahan-kesalahan kita dan memasukkan kita ke dalam surga-Nya dengan ampunan-Nya.


وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ


Label