"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Larangan Berlebihan Memuliakan Nabi


Larangan Berlebihan Memuliakan Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sikap berlebih-lebihan dalam memuliakan dan memuji beliau. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani memuji berlebihan terhadap Isa putra Maryam, sesungguhnya aku hanya hamba, maka ucapkanlah hamba Allah dan RasulNya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (al-Qur`an) kepada hambaNya.” (Al-Kahfi: 1).

Allah Ta’ala juga berfirman,

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ

“Maha banyak berkah Allah Yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur`an) kepada hambaNya (Muhammad).” (Al-Furqan: 1).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ الله يَدْعُوهُ

“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembahNya (melaksanakan shalat).” (Al-Jin: 19).

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ

“Wahai Rasul (Muhammad)!” (Al-Ma`idah: 41).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ

“Wahai Nabi!” (Al-Ahzab: 1).

bersikap ghuluw terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sesuatu yang merupakan syirik itu sendiri. Semua itu terlihat pada syair-syair dan ucapan-ucapan mereka, seperti ucapan al-Bushiri dalam al-Burdahnya yang dia tujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ

Wahai makhluk paling mulia tidak ada bagiku untuk berlindung kepadanya

سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمَمِ

selain dirimu saat terjadi peristiwa berat yang bertubi-tubi

Dalam hadits Abdullah bin asy-Syikhkhir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

‏اِنْطَلَقْتُ مَعَ وَفْدِ بَنِيْ عَامِرٍ إِلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقُلْنَا: أَنْتَ سَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا، فَقَالَ‏:‏ ‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى‏،‏ فَقُلْنَا‏:‏ وَأَفْضَلُنَا فَضْلًا وَأَعْظَمُنَا طَوْلًا، فَقَالَ‏:‏ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ -أَوْ بَعْضِ قَوْلِكُمْ-، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ

“Aku ikut dalam delegasi Bani Amir yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami berkata, ‘Engkau adalah Sayyid kami.’ Maka Rasulullah menjawab, ‘As-Sayyid adalah Allah.’ Kami berkata, ‘Engkau adalah orang terbaik kami dan paling besar jasanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Ucapkanlah perkataan kalian atau sebagian dari perkataan kalian, jangan sampai setan menyeret kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad jayyid.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits,

‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ

“As-Sayyid adalah Allah.”

Maksudnya, adalah bahwa Sayyid yang hakiki adalah Allah, dan bahwa semua makhluk adalah hamba-hambaNya. Bila kata ini diberikan kepada Allah maka maknanya adalah Pemilik, Penolong dan ar-Rabb.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang Firman Allah,

الله الصَّمَدُ

“Allah tempat bergantung semua makhluk.” (Al-Ikhlash: 2)

“Yakni, Sayyid yang sempurna dalam segala bentuk kesayyidan.”

Ibnul Atsir berkata, “Mengenai hal ini disebutkan bahwa seorang laki-laki Quraisy datang dan berkata, “Engkau adalah Sayyid Quraisy.” Maka Nabi menjawab, “As-Sayyid adalah Allah.” Yakni, Allah-lah Yang berhak menyandang sayyid;

sepertinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka disanjung di depannya, karena beliau suka bersikap tawadhu’.

Mengenai hadits,

‏أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ

“Aku adalah Sayyid anak cucu Adam tanpa berbangga.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya untuk mengabarkan tentang sesuatu yang dengannya Allah memuliakan beliau, berupa keutamaan dan bahwa beliau adalah sayyid, dalam konteks membicarakan nikmat Allah kepada beliau, memberitahu umat beliau, agar iman mereka sesuai dengan tuntutan dan konsekuensinya.

Di antara yang menjelaskan hal ini adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

‏أَنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا خَيْرَنَا وَابْنَ خَيْرِنَا، وَسَيِّدَنَا وَابْنَ سَيِّدِنَا، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِي اللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ ‏

“Bahwa beberapa orang berkata, ‘Wahai orang terbaik kami dan anak orang terbaik kami; sayyid kami dan putra sayyid kami.’ Maka beliau menjawab, ‘Wahai manusia, ucapkanlah perkataan kalian, jangan sampai setan menyeret kalian memperturutkan hawa nafsu. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang Allah mendudukkanku padanya’.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i dengan sanad jayyid.

Hal seperti ini banyak dijumpai dalam as-Sunnah, seperti: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ؛ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللّٰهِ وَرَسُوْلُهُ‏

“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan seperti orang-orang Nasrani memuji berlebihan Isa putra Maryam, sesungguhnya aku hanya seorang hamba, maka ucapkanlah hamba Allah dan RasulNya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

‏إِنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِيْ، وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Istighatsah itu tidak patut kepadaku akan tetapi hanya kepada Allah Ta’ala.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang saling memuji dengan larangan keras, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seseorang yang memuji seseorang,

وَيْلَكَ،‏ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ

“Celaka kamu, kamu telah memotong leher saudaramu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

‏إِذَا لَقِيْتُمُ الْمَدَّاحِيْنَ فَاحْثُوْا فِيْ وُجُوْهِهِمُ التُّرَابَ

“Jika kalian bertemu orang-orang yang gemar memuji, maka lemparkanlah tanah ke wajah mereka.”

Hal ini karena orang yang memuji dikhawatirkan bersikap berlebih-lebihan dan orang yang dipuji dikhawatirkan terkena sikap ujub, dan keduanya berdampak buruk bagi akidah.

Tinggal pertanyaan, bolehkah mengucapkan sayyid kepada manusia?

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia berbeda pendapat tentang penggunaan kata sayyid untuk seseorang. Ada yang melarangnya, pendapat ini dinukil dari Imam Malik rahimahullah. Pendapat ini berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat sebagian orang berkata kepada beliau,

يَا سَيِّدَنَا، فَقَالَ‏:‏ ‏اَلسَّيِّدُ: اَللّٰهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Wahai Sayyid kami.” Maka Nabi menjawab, “As-Sayyid adalah Allah Tabaraka wa Ta’ala.”

Ada juga yang membolehkan, dan mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang Anshar,

‏قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ‏

“Bangkitlah kepada Sayyid kalian.”

Dan ini lebih shahih dari hadits pertama.”

Pensyarah berkata, “Tentang pendalilan mereka kepada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Bangkitlah kepada Sayyid kalian”, yang nampak darinya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengarahkan sabda ini kepada Sa’ad, sehingga masalah ini memerlukan perincian.”

Maksud perincian adalah tidak boleh mengarahkan kata ini secara langsung kepada seseorang, “Kamu adalah sayyid”, untuk memujinya; dan boleh bila yang bersangkutan tidak hadir, dan dia memang berhak menyandangnya. Inilah yang menyatukan di antara dalil-dalil. Wallahu a’lam.


Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.

Label