"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Ilmu Sebagai Amanah: Bukan Sekadar Pengetahuan

 


Ilmu Sebagai Amanah: Bukan Sekadar Pengetahuan

Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar pengetahuan yang memperluas wawasan manusia. Ia adalah amanah — titipan Allah ﷻ yang menuntut tanggung jawab moral dan spiritual dari pemiliknya. Karena itu, ulama salaf menilai orang berilmu bukan dari banyaknya hafalan, tetapi dari sejauh mana ilmunya menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan mendorong amal saleh.


1. Ilmu Sebagai Titipan Ilahi

Allah ﷻ berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 72)

Amanah dalam ayat ini mencakup segala bentuk tanggung jawab yang Allah berikan kepada manusia — termasuk amanah ilmu. Ia bukan sekadar pengetahuan, tetapi beban kejujuran dan tanggung jawab dalam menyampaikannya.

Allah juga berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)

Ayat ini menegaskan bahwa tanda ilmu yang benar adalah munculnya khasyah (rasa takut kepada Allah). Maka, ilmu sejati tidak berhenti pada logika, tetapi berbuah pada adab dan ketundukan hati.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمُهُ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
“Barangsiapa menyembunyikan ilmu padahal ia mengetahuinya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan dari api neraka.”
(HR. Abū Dāwūd no. 3658, at-Tirmiżī no. 2649)

Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa ilmu bukan hak pribadi yang boleh disembunyikan atau disalahgunakan. Ia adalah amanah yang wajib disampaikan dengan benar dan ikhlas.


2. Pandangan Ulama Salaf: Ilmu Adalah Tanggung Jawab Moral

Para ulama terdahulu menegaskan bahwa ilmu menuntut tanggung jawab yang berat.

Imām al-Ghazālī (w. 505 H) menulis dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:

اَلْعِلْمُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي الْقَلْبِ، فَإِذَا أَدَّى الْعَبْدُ أَمَانَتَهُ ازْدَادَ النُّورُ ضِيَاءً، وَإِذَا خَانَهَا طَفِئَ ذٰلِكَ النُّورُ.
“Ilmu itu adalah cahaya yang Allah letakkan di dalam hati. Jika seorang hamba menunaikan amanahnya, cahaya itu bertambah terang; namun jika ia mengkhianatinya, cahaya itu akan padam.”1

Ibn Rajab al-Ḥanbalī (w. 795 H) berkata:

اَلْعِلْمُ أَمَانَةٌ، يُسْأَلُ الْعَبْدُ عَنْهَا: مَاذَا عَمِلَ بِهَا؟ وَهَلْ بَلَّغَهَا كَمَا سَمِعَهَا؟
“Ilmu adalah amanah. Seorang hamba akan ditanya (di akhirat) tentang apa yang ia lakukan dengan ilmunya, dan apakah ia telah menyampaikannya sebagaimana mestinya.”2

Imām Sufyān ats-Tsaurī (w. 161 H) bahkan memperingatkan:

إِنَّمَا يُرَادُ الْعِلْمُ لِلْعَمَلِ، فَإِنْ ذَهَبَ الْعِلْمُ إِلَى غَيْرِ الْعَمَلِ زَالَ الْعِلْمُ.
“Ilmu itu dikehendaki untuk diamalkan. Jika ilmu tidak mengarah kepada amal, maka hilanglah hakikat ilmu itu.”3


3. Ilmu yang Tidak Diamalkan: Beban di Akhirat

Rasulullah ﷺ sering berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722)

Hadits ini menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi sebab kehinaan di sisi Allah. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan:

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ
“Orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mendapat manfaat dari ilmunya.” (HR. Ṭabarānī dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, no. 9531)


4. Relevansi di Era Modern: Ketika Pengetahuan Jadi Komoditas

Fenomena zaman kini memperlihatkan betapa ilmu sering dijadikan komoditas — alat untuk mencari popularitas, pengaruh, dan keuntungan pribadi. Guru, penceramah, atau influencer yang menyampaikan agama kadang tergelincir dalam pencitraan dan “jualan dakwah”.

Padahal, ulama salaf sangat berhati-hati untuk berbicara tentang agama.


Imām Mālik ibn Anas (w. 179 H) berkata:

مَا أَفْتَيْتُ حَتَّى شَهِدَ لِي سَبْعُونَ أَنِّي أَهْلٌ لِذٰلِكَ
“Aku tidak berani berfatwa sampai tujuh puluh ulama bersaksi bahwa aku layak untuk itu.”4

Ucapan ini menunjukkan bahwa ilmu bukan ruang ambisi, tetapi medan tanggung jawab. Siapa yang berbicara tentang agama tanpa ilmu — atau dengan niat selain karena Allah — telah menodai amanah yang suci.


5. Menjaga Amanah Ilmu

Menjaga amanah ilmu berarti:

  1. Ikhlas dalam menuntut dan menyampaikan ilmu, bukan demi dunia.

  2. Meneladani kehati-hatian ulama salaf dalam berbicara dan berfatwa.

  3. Menyampaikan kebenaran apa adanya, meski tidak populer.

  4. Tidak memperalat ilmu untuk menyesatkan atau menguntungkan diri.

Sebagaimana peringatan Allah:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 42)


Penutup

Ilmu adalah cahaya, tetapi cahaya itu bisa berubah menjadi api bagi yang mengkhianatinya. Dalam pandangan Islam, ilmu adalah amanah besar — setiap kata dan ajaran akan dipertanggungjawabkan. Maka, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin berat pula beban akhiratnya.

Mari kita renungkan sabda Rasulullah ﷺ:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ ... وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ بِهِ
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal: ... dan tentang ilmunya, untuk apa ia gunakan.” (HR. at-Tirmiżī no. 2417)

Ilmu bukan aset untuk ditimbun, tetapi amanah yang harus disampaikan dengan jujur.
Ilmu itu amanah, bukan aset. Ketika pengetahuan disalahgunakan, ia menjadi beban di akhirat.


📖 Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’an al-Karīm.

  2. Muslim, Imām. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.

  3. Abū Dāwūd, Imām. Sunan Abī Dāwūd. Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif, 2000.

  4. At-Tirmiżī, Imām. Sunan at-Tirmiżī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.

  5. Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

  6. Ibn Rajab al-Ḥanbalī. Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1997.

  7. Ibn ‘Abd al-Barr. Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

  8. Adz-Dzahabī. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah.

  9. At-Ṭabarānī. al-Mu‘jam al-Kabīr. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah.


Footnotes

  1. Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1, Beirut: Dār al-Ma‘rifah, hlm. 55.

  2. Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, tahqīq Shu‘ayb al-Arna’ūṭ, Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1997, hlm. 234.

  3. Adz-Dzahabī, Siyar A‘lām an-Nubalā’, juz 7, Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, hlm. 243.

  4. Ibn ‘Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih, juz 2, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 91.

Dosa Karena Ilmu



Dosa Karena Ilmu


1. Hadits tentang Menyembunyikan Ilmu
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ 
(رواه أبو داود والترمذي)
“Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekang dari api neraka.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

💬 Penjelasan Ulama:

Imam al-Munawi dalam Faidh al-Qadir menjelaskan:

“Hadits ini menunjukkan bahwa menyembunyikan ilmu yang bermanfaat bagi umat — padahal mampu dan diminta untuk menjelaskannya — termasuk dosa besar, karena ia menutup jalan hidayah bagi orang lain.”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menambahkan dalam Fath al-Bari:

“Yang dimaksud ‘menyembunyikan’ adalah ketika seseorang enggan mengajarkan ilmu syar’i karena takut kehilangan kedudukan, dunia, atau iri terhadap penuntut ilmu.”


2. Hadits tentang Ilmu yang Tidak Diamalkan


يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ، فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ فِي الرَّحَى، فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلَانُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
(رواه البخاري ومسلم)

“Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus-ususnya keluar dan ia berputar-putar seperti keledai yang mengelilingi penggilingan. Penduduk neraka bertanya: ‘Apa yang terjadi padamu? Bukankah engkau dulu menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran?’ Ia menjawab: ‘Aku memang menyuruh kebaikan tetapi tidak melakukannya, dan aku melarang kemungkaran tetapi justru melakukannya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

💬 Penjelasan Ulama:

Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim:
“Hadits ini menunjukkan bahwa ancaman keras ditujukan bagi ulama atau da’i yang tidak mengamalkan ilmunya. Karena ilmu tanpa amal adalah hujjah (bukti) yang akan memberatkan dirinya di akhirat.”

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengatakan:
“Ilmu yang tidak diamalkan seperti pohon tanpa buah. Orang alim yang tidak beramal adalah orang yang paling bodoh terhadap dirinya sendiri.”



3. Hadits tentang Ilmu yang Dipelajari untuk Dunia

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

(رواه أبو داود)

“Barang siapa mempelajari ilmu yang seharusnya untuk mencari ridha Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)

💬 Penjelasan Ulama:

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij as-Salikin menjelaskan:
“Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama. Jika niatnya untuk harta, kedudukan, atau pujian manusia, maka ia telah menjual akhiratnya untuk dunia yang fana.”

Asy-Syaukani menulis dalam Nailul Authar:
“Hadits ini memperingatkan keras bagi ulama atau pelajar yang menjadikan ilmu agama sebagai alat mencari dunia — baik dengan harta, kekuasaan, atau ketenaran.”


4. Hadits tentang Ilmu yang Tidak Bermanfaat

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ

(رواه مسلم)

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)

💬 Penjelasan Ulama:

Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan:
“Ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak menambah takut kepada Allah, tidak menggerakkan amal, dan tidak menjauhkan dari maksiat.”

📚 Rangkuman Hikmah Ulama

Imam al-Hasan al-Bashri berkata:
“Ilmu ada dua: ilmu di lisan dan ilmu di hati. Ilmu di lisan adalah hujjah atas manusia, sedangkan ilmu di hati itulah yang bermanfaat bagi pelakunya.”
(Diriwayatkan oleh ad-Darimi) 

⚙️ Contoh Kekinian (Kontekstual)
  • Orang yang memiliki pengetahuan agama tapi menyebarkan tafsir salah di media sosial demi popularitas → dosa karena menyesatkan dengan ilmu.
  • Penceramah atau influencer agama yang mengajarkan syariat tapi tidak mengamalkan, seperti mengajak jujur tapi terlibat korupsi atau fitnah → dosa karena tidak mengamalkan ilmu.
  • Guru atau ustaz yang menolak menjawab pertanyaan muridnya karena iri atau gengsi, padahal tahu jawabannya → dosa karena menyembunyikan ilmu.
DALIL AL-QUR'AN

1. Menyembunyikan Ilmu: QS. Al-Baqarah [2]: 159–160

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk yang dapat melaknat.
Kecuali mereka yang bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan (kebenaran), maka terhadap mereka Aku terima tobatnya. Dan Aku Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 159–160)

💬 Tafsir Ulama:

Ibnu Katsir:
“Ayat ini mencakup semua yang menyembunyikan ilmu yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama, termasuk ulama yang menutup-nutupi kebenaran.”

Al-Qurthubi:
“Ini peringatan keras bagi ahli ilmu agar tidak menyembunyikan ayat, hukum, atau fatwa yang dibutuhkan umat.”

2. Ilmu Tanpa Amal: QS. As-Saff [61]: 2–3

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff [61]: 2–3)

💬 Tafsir Ulama:

Imam Al-Hasan al-Bashri berkata:
“Ayat ini adalah cambuk bagi para penyeru kebaikan yang tidak mencontohkannya. Mereka menjadi hujjah atas diri mereka sendiri.”

Tafsir Ibnu Katsir:
“Allah mengecam keras orang yang menyuruh kebaikan namun tidak mengerjakannya. Karena setiap seruan akan menjadi saksi yang menuntut di hari kiamat.”

3. Mencari Ilmu untuk Dunia: QS. Al-Kahfi [18]: 103–104

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’
Yaitu orang-orang yang sia-sia amal usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 103–104)

💬 Tafsir Ulama:

Ibnul Jauzi menafsirkan:
“Termasuk dalam ayat ini adalah para ulama dan ahli ibadah yang beramal karena riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin dipuji). Mereka berilmu dan beramal, tetapi tidak untuk Allah.”

Al-Qurthubi:
“Mereka sibuk dengan amal dan ilmu, tetapi niatnya untuk dunia. Maka amal mereka hilang nilainya di sisi Allah.”

4. Menyalahgunakan Ilmu: QS. Al-Jatsiyah [45]: 23

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah menyesatkannya padahal dia memiliki ilmu?” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 23)

💬 Tafsir Ulama:

Al-Qurthubi:
“Orang ini tahu mana kebenaran dan kesesatan, tetapi tetap mengikuti hawa nafsu. Maka ilmunya tidak memberi manfaat, bahkan menjadi sebab kesesatan.”

Ibnu Katsir:
“Ayat ini menggambarkan orang berilmu yang tahu kebenaran tapi sengaja menolak karena sombong atau kepentingan dunia.”

🧭 Kesimpulan Umum:

AspekDosa yang Terkait dengan IlmuDalil UtamaKeterangan
Menyembunyikan ilmuQS. Al-Baqarah:159–160Dilaknat oleh Allah dan makhluk
Tidak mengamalkan ilmuQS. As-Saff:2–3Allah murka terhadap ketidaksesuaian ucapan dan amal
Menyalahgunakan ilmu untuk duniaQS. Al-Kahfi:103–104Amal dan ilmu sia-sia, tidak diterima
Mengikuti hawa nafsu dengan ilmuQS. Al-Jatsiyah:23Ilmu justru menjadi sebab kesesatan

💡 Renungan Ulama Salaf

  • Imam Sufyan ats-Tsauri berkata:
    “Aku tidak pernah mengobati sesuatu yang lebih berat dari niatku sendiri. Karena niatku sering berubah antara mencari ridha Allah dan mencari dunia dengan ilmu.”

  • Imam Malik berkata:
    “Ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tapi cahaya yang Allah tanamkan dalam hati.”


Dosa Jariyah



Dosa Jariyah


Sering kita mendengar istilah sedekah jariyah. Satu sedekah yang pahalanya akan terus mengalir, meskipun kita telah meninggal dunia. Kita tetap terus mendapatkan kucuran pahala, selama harta yang kita sedekahkan masih dimanfaatkan oleh kaum muslimin lainnya untuk melakukan ketaatan. Satu hadis yang menjadi dasar akan adanya amal jariyah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila manusia meninggal, amalnya akan terputus, kecuali 3 hal: ‘Sedekah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.’ (HR. Nasa’i, Turmudzi, dan yang lainnya. Hadis ini dishahihkan Al-Albani).

Sebagai orang beriman, yang sadar akan pentingnya bekal pahala dan amal di hari kiamat, tentu kita sangat berharap bisa mendapatkan amal semacam ini. Di saat kita sudah pensiun beramal, namun Allah tetap memberikan kucuran pahala karena amal kita di masa silam.

Sebaliknya, disamping ada pahala jariyah, dalam islam juga ada dosa yang sifatnya sama, dosa jariyah. Dosa yang tetap terus mengalir, sekalipun orangnya telah meninggal. Dosa yang akan tetap ditimpakan kepada orang tersebut, sekalipun dia tidak lagi mengerjakan perbuatan maksiat itu.

Betapa menyedihkannya nasib orang ini, di saat semua orang membutuhkan pahala di alam barzakh, dia justru mendapat kucuran dosa dan dosa. Anda bisa bayangkan, penyesalan yang akan dialami manusia yang memiliki dosa jariyah ini.

Perlu dipahami bahwa sejatinya yang Allah catat dari kehidupan kita, tidak hanya aktivitas yang kita lakukan, namun juga dakpak dan pengaruh dari aktivitas itu. Allah berfirman di surat Yasin,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)

Orang yang melakukan amal baik, akan Allah catat amal baik itu dan dampak baik dari amalan itu. Karena itulah, islam memotivasi umatnya untuk melakukan amal yang memberikan pengaruh baik yang luas bagi masyarakat. karena dengan itu dia bisa mendapatkan pahala dari amal yang dia kerjakan, plus dampak baik dari amalnya.

Sebaliknya, orang yang melakukan amal buruk, atau perbuatan maksiat, dia akan mendapatkan dosa dari perbuatan yang dia lakukan, ditambah dampak buruk yang dia kerjakan. Selama dampak buruk ini masih ada, dia akan terus mendapatkan kucuran dosa itu. – wal’iyadzu billah.. –, itulah dosa jariyah, betapa mengerikannya dosa ini.

Demikian juga Allah berfirman bahwa orang yang mengajarkan atau mencontohkan perbuatan dosa, ia akan menanggung dosa orang yang mengikutinya,

ﻟِﻴَﺤْﻤِﻠُﻮﺍ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭَﻫُﻢْ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔً ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﺳَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﻳَﺰِﺭُﻭﻥَ

“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada Hari Kiamat, dan MEMIKUL DOSA-DOSA ORANG YANG MEREKA SESATKAN, yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. an-Nahl: 25)

Mujahid menafsirkan ayat ini, beliau berkata:

يَحْمِلُونَ أَثْقَالَهُمْ: ذُنُوبَهُمْ وَذُنُوبَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَلَا يُخَفَّفُ عَمَّنْ أَطَاعَهُمْ مِنَ الْعَذَابِ شَيْئًا.

“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti mereka. Mereka sama sekali tidak diberi keringanan azab karena dosa orang yang mengikutinya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/566)



📘 Pengertian Dosa Jariyah

Dosa jariyah adalah dosa yang terus mengalir kepada seseorang setelah ia meninggal dunia, karena perbuatan buruknya masih memberikan pengaruh atau ditiru oleh orang lain.

🕋 Dalil Umum

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ:
"مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا." (رواه مسلم، رقم 2674)

“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
(HR. Muslim, no. 2674)


🇮🇩 Contoh Dosa Jariyah dalam Kultur Indonesia

1. Menyebarkan Konten Maksiat atau Hoaks di Media Sosial

Misalnya seseorang membuat atau membagikan video berisi gosip, fitnah, atau pornografi di TikTok, Instagram, atau YouTube.
Selama konten itu terus disebarkan dan ditonton orang lain, dosa akan terus mengalir kepadanya.

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ."
(متفق عليه)

“Sesungguhnya orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar (yang haram).” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Mendirikan Tempat Maksiat

Contohnya membuka tempat perjudian, karaoke maksiat, atau warung minuman keras. Selama orang berbuat dosa di tempat itu, dosanya juga mengalir pada pemilik atau pendirinya.

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ

“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. المائدة [5]: 2)

3. Menyebarkan Ajaran Sesat atau Bid‘ah yang Menyesatkan

Misalnya menulis buku, membuat ceramah, atau postingan yang menyesatkan akidah umat. Selama ajaran itu dipelajari dan diamalkan, dosa terus mengalir.

عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ."
(رواه مسلم، رقم 1017)

“Barang siapa yang membuat teladan buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)

4. Memberi Contoh Buruk di Lingkungan

Misalnya seorang tokoh, pejabat, atau orang tua terbiasa korupsi, berbohong, atau meninggalkan shalat, lalu orang lain menirunya. Itu menjadi dosa jariyah jika terus ditiru setelah ia meninggal.

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله :
"كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ."
(متفق عليه)

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Menyumbang untuk Kegiatan Haram

Misalnya membantu dana untuk pembangunan klub malam, film yang menormalisasi maksiat, atau platform judi online. Selama hasilnya digunakan untuk hal haram, dosa jariyah tetap mengalir.


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا."
(رواه مسلم، رقم 1015)

“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, no. 1015)

🌿 Kesimpulan

Dosa jariyah adalah dosa yang terus mengalir karena dampak buruk suatu perbuatan masih berlangsung, walau pelakunya telah meninggal.
Di zaman modern dan dalam konteks masyarakat Indonesia — terutama lewat media sosial, hiburan, dan teladan sosial — sangat mudah dosa jariyah terjadi tanpa disadari.

Mengingat betapa bahayanya dosa jariyah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya gara berhati-hati, jangan sampai terjebak melakukan dosa ini.

Pertama, Bahaya orang yang mempelopori perbuatan maksiat.

Mempelopori dalam arti dia melakukan perbuatan maksiat itu di hadapan orang lain, sehingga banyak orang yang mengikutinya. Meskipun dia sendiri tidak mengajak orang lain untuk mengikutinya. Dalam hadis dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء

“Siapa yang mempelopori satu kebiasaan yang buruk dalam islam, maka dia mendapatkan dosa keburukan itu, dan dosa setiap orang yang melakukan keburukan itu karena ulahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa mereka.” (HR. Muslim).

Orang ini, tidak ajak-ajak orang lain untuk melakukan maksiat yang sama. Orang ini juga tidak memotivasi orang lain untuk melakukan maksiat seperti yang dia lakukan. Namun orang ini melakukan maksiat itu di hadapan banyak orang dengan harapan banyak orang menirunya atau menyebarkannya.

Karena itulah, anak adam yang pertama kali membunuh, dia dilimpahi tanggung jawab atas semua kasus pembunuhan karena kedzaliman di alam ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا

“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan yang lainnya).

Anda bisa bayangkan, orang yang pertama kali mendesain rok mini, pakaian you can see, kemudian dia sebarkan melalui internet, lalu ditiru banyak orang. Sekalipun dia tidak ngajak khlayak untuk memakai rok mini, namun mengingat dia yang mempelopori gambar-gambar itu, kemudian banyak orang yang meniru, dia mendapatkan kucuran dosa semua orang yang menirunya, tanpa dikurangi sedikitpun.

Kedua, mengajak melakukan kesesatan dan maksiat

Dia mengajak masyarakat untuk berbuat maksiat, meskipun bisa jadi dia sendiri enggan melakukan maksiat itu. Merekalah para juru dakwah kesesatan, atau mereka yang mempropagandakan kemaksiatan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim)

Anda bisa perhatikan para propagandis yang menyebarkan aliran sesat, menyebarkan pemikiran menyimpang, menyerukan masyarakat untuk menyemarakkan kesyirikan dan bid’ah, menyerukan masyarakat untuk memusuhi dakwah tauhid dan sunah, merekalah contoh yang paling mudah terkait hadis di atas.

Cara Bertaubat dari Dosa Jariyah

Yaitu dengan cara bersungguh-sungguh bertaubat, jika sudah menyebarkan kejelekan, maka berusaha menghilangkannya dan mencari agar dihapus. Jika sudah mengajarkan, maka berusaha memperbaiki dan menyebarkan koreksi dari kesalahan yang ia sebar.

Jika sudah bertaubat, maka sudah tidak ada dosa lagi. Dalam hadits:

اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

“Orang yang telah bertaubat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa“. [HR Ibnu Majah no. 4250, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah]

Jika sudah berusaha mencari, tapi yang kita sebarkan tidak ditemukan, semoga ini dimaafkan karena sudah di luar kemampuan hamba dan bertakwa semampu kita:

Allah berfirman,

ﻻَ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻻَّ ﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ

“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (Al-Baqarah ayat 286).


Kerugian yang Hakiki

Kerugian yang Hakiki


Semua orang pasti ingin selalu bahagia dan tidak pernah menginginkan kesengsaraan walau sejenak. Semua orang ingin senantiasa beruntung dan berusaha maksimal menghindari kerugian, namun apa hendak dikata, fakta berbicara lain.

Tidak semua yang diinginkan manusia di dunia terwujud, terkadang apa yang justru dihindari menjadi fakta yang harus diterima, meski terasa pahit. Kenyataan pahit ini disikapi dengan sikap yang berbeda-beda, mulai dari sikap ekstrim sampai yang biasa-biasa saja. Terkadang sikap itu justru mendatangkan kerugian atau penderitaan baru, seperti bunuh diri –na’udzu billah-, merusak harta-benda, mencederai diri sendiri atau mencederai orang lain.

Tapi ada juga yang menyikapi dengan santai, tenang dan penuh kesabaran. Dia menyadari bahwa kerugian yang dialami di dunia ini bukanlah kerugian hakiki, bukan kerugian yang akan mendatangkan penderitaan abadi; itu bukanlah kerugian yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fiman-Nya:

قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَّ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS. Az-Zumar: 15)

Karugian yang disebutkan dalam ayat di atas itulah kerugian yang hakiki, yang akan menyebabkan penyesalan yang kekal. Kerugian pada Hari Kiamat; kerugian di saat kebaikan dan keburukan manusia ditimbang dengan timbangan teradil yang tidak mengandung kecurangan sama sekali.

Ayat ini merupakan penekanan keras terhadap kesalahan fatal dalam memilih jalan hidup di dunia yang berakibat pada kerugian abadi di akhirat. Berikut adalah rincian penafsiran dari para ulama:

1. Perintah dan Penegasan (Katakanlah)

Perintah "قُلْ" (Katakanlah) di awal ayat menunjukkan bahwa ini adalah kebenaran mutlak yang wajib disampaikan oleh Rasulullah ﷺ kepada umat manusia. Ini bukan sekadar pandangan, melainkan sebuah proklamasi ilahi tentang siapa yang benar-benar rugi.

2. Makna "Merugikan Diri Sendiri"

خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ (Merugikan diri mereka sendiri)

Para ahli tafsir menjelaskan bahwa kerugian diri ini terjadi ketika seseorang:

Kehilangan Surga dan Kekal di Neraka: Ini adalah bentuk kerugian terbesar. Dengan memilih kekafiran, kemusyrikan, atau meninggalkan ketaatan kepada Allah, mereka telah menukar tempat tinggal abadi di surga (tempat kebahagiaan) dengan tempat yang kekal di neraka (tempat penderitaan). Mereka menyia-nyiakan fitrah dan tujuan penciptaan mereka.

Kehilangan Pahala dan Amal: Seluruh usaha dan amal baik (jika ada) yang dilakukan di dunia tanpa dasar tauhid yang benar menjadi sia-sia (habis terhapus) pada Hari Kiamat.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka telah merugikan diri mereka sendiri karena mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kebinasaan dan tempat kembali yang buruk.

3. Makna "Merugikan Keluarga Mereka"

وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (Dan keluarganya pada hari Kiamat)

Bagian ini seringkali menjadi titik fokus dalam tafsir karena menunjukkan dimensi kerugian yang lebih luas dan menyakitkan:

Kehilangan Kesempatan Bersama: Orang-orang yang beriman akan dikumpulkan bersama pasangan dan keturunan mereka yang saleh di surga. Adapun orang yang merugi ini, ia kehilangan kesempatan untuk bersama keluarganya di tempat kebahagiaan.

Merugikan Keluarga Karena Kesesatan: Dengan kesesatannya, ia mungkin telah menyesatkan, atau setidaknya tidak membimbing, anggota keluarganya yang lain menuju jalan tauhid dan kebaikan. Akibatnya, ia merugikan mereka di akhirat, dan bahkan mungkin dipersalahkan atas kesesatan mereka.
_____________________________
Tafsir Ibnu Abbas dan Mujahid: Kedua ulama ini memiliki penafsiran yang mendalam berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa setiap orang di surga akan memiliki tempatnya di neraka (seandainya ia kafir) dan tempat orang kafir di surga (seandainya ia beriman). Pada hari Kiamat, orang kafir akan melihat tempat-tempat mereka di surga yang seharusnya mereka tempati jika mereka beriman, tetapi tempat itu diwarisi oleh orang-orang beriman. Kerugian inilah yang dimaksud dengan merugikan keluarga. Mereka telah kehilangan rumah-rumah, pasangan, dan pelayan (bidadari atau pelayan surga) yang disediakan Allah untuk mereka di surga seandainya mereka beriman.

Intinya: Kerugian yang paling pedih adalah melihat kebahagiaan abadi yang telah hilang, termasuk pasangan dan keluarga dari surga yang seharusnya mereka miliki.


4. Penutup: Kerugian yang Nyata


أَلاَّ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.)

Al-Khusrānul Mubīn (Kerugian yang Nyata/Jelas): Para mufassir menekankan bahwa kerugian di dunia—kehilangan harta, pangkat, atau jabatan—adalah kerugian yang kecil dan sementara. Kerugian sejati dan yang paling jelas adalah yang abadi dan tak terpulihkan di akhirat. Kerugian ini tampak nyata karena melibatkan kehilangan segala-galanya: diri, kebahagiaan, dan keluarga.

Pelajaran Penting dari Ayat

Ayat ini memberikan peringatan yang sangat penting bagi setiap Muslim:

Prioritas Akhirat: Kerugian duniawi apa pun tidak sebanding dengan kerugian akhirat. Fokus utama kehidupan haruslah untuk menyelamatkan diri dari azab neraka.

Tanggung Jawab Keluarga: Ayat ini menyiratkan adanya tanggung jawab untuk tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga membimbing dan menyelamatkan keluarga dari jalan yang merugi, sesuai dengan firman Allah, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).

Hanya Keimanan yang Menyelamatkan: Jaminan kerugian atau keberuntungan di Hari Kiamat semata-mata bergantung pada keimanan (tauhid) dan amal saleh seseorang selama di dunia.

Kerugian terburuk yang menimpa seseorang adalah kerugian yang menimpa agamanya, karena kerugian ini akan menyebabkan penderitaan abadi di akhirat. Kerugian yang menimpa agama seseorang merupakan musibah terparah bagi seseorang. Oleh karena itu, diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

… وَلا تجعل مُصِيبَتنا في ديننا

Janganlah Engkau menjadikan musibah pada agama kami


Diantara ciri orang yang menderita kerugian dengan kerugian hakiki 
adalah ia melalaikan kesempatan beramal shaleh dalam kehidupannya. Dia membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja, sehingga akhirnya saat kematian tiba, amal kebaikan yang pernah dilakukannya masih sedikit, sementara keburukannya menggunung. 

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَن خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ بِمَاكَانُوا بِئَايَاتِنَا يَظْلِمُونَ

“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 8-9)

Termasuk orang-orang yang merugi pada Hari Kiamat adalah orang yang hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat dia mendapatkan anugerah kebaikan, di saat hidupnya nyaman, enak dan makmur atau dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disaat apa yang dilakukan itu bisa mendatangkan keuntungan atau kebaikan duniawi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)

Berikut adalah ringkasan tafsir dari berbagai ulama terkemuka:

1. Makna "يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ" (Menyembah Allah di Tepi)

Ini adalah inti dari ayat tersebut, dan para ulama memberikan penafsiran yang saling melengkapi:

Imam Ibnu Katsir dan Imam Ath-Thabari (dan mayoritas ulama salaf): Mereka menjelaskan bahwa "حَرْفٍ" (harf) secara bahasa berarti tepi, pinggir, atau ujung. Dalam konteks ini, maknanya adalah:

Keimanan yang Rapuh dan Bersyarat: Orang ini beribadah kepada Allah tidak dengan ketetapan hati, tetapi berada di ambang batas (di tepi keimanan). Keimanannya seperti berdiri di ujung jurang, mudah goyah dan jatuh.

Penafsiran Asbabul Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Diriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai sebagian orang yang baru masuk Islam di Madinah. Mereka masuk Islam dengan harapan mendapat kemudahan dan rezeki. Jika mereka mendapatkan kesenangan dan kekayaan (rezeki melimpah dan anak-anak yang sehat), mereka berkata, "Agama ini baik." Namun, jika ditimpa musibah (sakit, miskin, atau kesulitan), mereka kembali kepada kekafiran dan berkata, "Tidak ada kebaikan dalam agama ini."

Kesimpulan: Ini adalah penyembahan yang tidak tulus dan tergantung pada imbalan duniawi.

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di: Beliau menafsirkan 'ala harf sebagai kekurangan dalam pemahaman, ilmu, dan amal. Mereka tidak teguh di atas 'ilmu yaqin (ilmu yang meyakinkan) yang akan menguatkan mereka menghadapi cobaan.

2. Sifat dan Sikap Orang Tersebut

Ayat ini merinci perilaku mereka dalam dua kondisi:

A. فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ (Jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu)

Makna Tafsir: Jika orang tersebut mendapatkan kebaikan duniawi seperti kesehatan, harta, atau kemudahan dalam hidup setelah masuk Islam, ia merasa tenang (ithma'anna) dengan agamanya. Ia melihat keimanannya sebagai sumber keberuntungan di dunia.

Inti: Kebaikannya bukan didasari karena ia yakin pada kebenaran Islam, melainkan karena ia melihat manfaat materialnya.

B. وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ (Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang)

Makna Tafsir: "فِتْنَةٌ" (fitnah) di sini bermakna cobaan, ujian, musibah, atau kesulitan (sakit, kemiskinan, kegagalan).

"انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ" (berbalik ke belakang) adalah ungkapan yang berarti kembali kepada kekafiran, murtad, atau meninggalkan agama dan ketaatan. Ia menyalahkan agama atas musibah yang menimpanya.

Inti: Mereka berbalik dari keimanan secepat dan semudah berbalik arah. Hal ini menunjukkan bahwa akidah mereka sejak awal tidak meresap ke dalam hati.

3. Akibat dan Kerugian

Ayat tersebut menutup dengan kesudahan yang amat buruk bagi orang ini:

خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.)

Kerugian di Dunia: Karena ia berbalik dari Islam, ia kehilangan dukungan, perlindungan, dan petunjuk Allah di dunia. Ia hidup dalam kegelisahan, kesesatan, dan tidak akan mencapai ketenangan hakiki. Jika ia murtad, ia juga kehilangan hak-hak seperti warisan dan status pernikahan dalam Islam.

Kerugian di Akhirat: Kerugian terbesar, karena ia mati dalam kekafiran, ia diancam dengan azab neraka yang kekal.

"الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ" (Kerugian yang nyata): Ini adalah kerugian yang paling jelas, karena ia menukar kesenangan yang kekal di akhirat dengan kesenangan duniawi yang fana yang bahkan tidak ia dapatkan.

Kesimpulan Umum Ayat

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras terhadap:

Iman yang Bersyarat: Keimanan sejati tidak bersyarat pada kesenangan duniawi. Seorang mukmin sejati menyembah Allah karena Allah berhak disembah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Ujian (Fitnah): Allah pasti menguji keimanan seseorang. Ujian adalah pembeda antara mukmin semukmin sejati dan orang munafik atau orang yang keimanannya di tepi.

Prioritas Dunia: Mengutamakan keuntungan duniawi daripada keyakinan agama adalah sifat orang yang digambarkan dalam ayat ini, dan ini berujung pada kerugian total.

Ayat ini mengajarkan bahwa keteguhan (Istiqamah) adalah tanda keimanan yang murni. Seorang mukmin yang kokoh akan menerima kesulitan dengan sabar, meyakini bahwa semua datang dari Allah dan bahwa cobaan adalah sarana untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat.
______________________________
Bagaimanakah cara kita menghindari kerugian tersebut? Manakah usaha yang bisa mendatangkan keuntungan hakiki?

Jawabannya telah dijelaskan dalam Alquran dengan penjelasan gamblang dalam Alquran surat al-A’ashr.

Dalam ayat lain dijelaskan rambu-rambu bisnis yang mendatangkan keuntungan serta dijamin tidak akan tersentuh kerugian.. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ . تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Ash-Shaff: 10-11)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir: 29)


إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
اللهم افتح بيننا وبين قومنا بالحق وأنت خير الفاتحين.
اللهم إنا نسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Label