Ilmu Sebagai Amanah: Bukan Sekadar Pengetahuan
Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar pengetahuan yang memperluas wawasan manusia. Ia adalah amanah — titipan Allah ﷻ yang menuntut tanggung jawab moral dan spiritual dari pemiliknya. Karena itu, ulama salaf menilai orang berilmu bukan dari banyaknya hafalan, tetapi dari sejauh mana ilmunya menumbuhkan rasa takut kepada Allah dan mendorong amal saleh.
1. Ilmu Sebagai Titipan Ilahi
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (QS. al-Aḥzāb [33]: 72)
Amanah dalam ayat ini mencakup segala bentuk tanggung jawab yang Allah berikan kepada manusia — termasuk amanah ilmu. Ia bukan sekadar pengetahuan, tetapi beban kejujuran dan tanggung jawab dalam menyampaikannya.
Allah juga berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fāṭir [35]: 28)
Ayat ini menegaskan bahwa tanda ilmu yang benar adalah munculnya khasyah (rasa takut kepada Allah). Maka, ilmu sejati tidak berhenti pada logika, tetapi berbuah pada adab dan ketundukan hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا يَعْلَمُهُ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلْجَمًا بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ“Barangsiapa menyembunyikan ilmu padahal ia mengetahuinya, maka pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekangan dari api neraka.”(HR. Abū Dāwūd no. 3658, at-Tirmiżī no. 2649)
Hadits ini menjadi peringatan keras bahwa ilmu bukan hak pribadi yang boleh disembunyikan atau disalahgunakan. Ia adalah amanah yang wajib disampaikan dengan benar dan ikhlas.
2. Pandangan Ulama Salaf: Ilmu Adalah Tanggung Jawab Moral
Para ulama terdahulu menegaskan bahwa ilmu menuntut tanggung jawab yang berat.
Imām al-Ghazālī (w. 505 H) menulis dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:
اَلْعِلْمُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِي الْقَلْبِ، فَإِذَا أَدَّى الْعَبْدُ أَمَانَتَهُ ازْدَادَ النُّورُ ضِيَاءً، وَإِذَا خَانَهَا طَفِئَ ذٰلِكَ النُّورُ.“Ilmu itu adalah cahaya yang Allah letakkan di dalam hati. Jika seorang hamba menunaikan amanahnya, cahaya itu bertambah terang; namun jika ia mengkhianatinya, cahaya itu akan padam.”1
Ibn Rajab al-Ḥanbalī (w. 795 H) berkata:
اَلْعِلْمُ أَمَانَةٌ، يُسْأَلُ الْعَبْدُ عَنْهَا: مَاذَا عَمِلَ بِهَا؟ وَهَلْ بَلَّغَهَا كَمَا سَمِعَهَا؟“Ilmu adalah amanah. Seorang hamba akan ditanya (di akhirat) tentang apa yang ia lakukan dengan ilmunya, dan apakah ia telah menyampaikannya sebagaimana mestinya.”2
Imām Sufyān ats-Tsaurī (w. 161 H) bahkan memperingatkan:
إِنَّمَا يُرَادُ الْعِلْمُ لِلْعَمَلِ، فَإِنْ ذَهَبَ الْعِلْمُ إِلَى غَيْرِ الْعَمَلِ زَالَ الْعِلْمُ.“Ilmu itu dikehendaki untuk diamalkan. Jika ilmu tidak mengarah kepada amal, maka hilanglah hakikat ilmu itu.”3
3. Ilmu yang Tidak Diamalkan: Beban di Akhirat
Rasulullah ﷺ sering berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهُ“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722)
Hadits ini menegaskan bahwa ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi sebab kehinaan di sisi Allah. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللهُ بِعِلْمِهِ“Orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mendapat manfaat dari ilmunya.” (HR. Ṭabarānī dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, no. 9531)
4. Relevansi di Era Modern: Ketika Pengetahuan Jadi Komoditas
Fenomena zaman kini memperlihatkan betapa ilmu sering dijadikan komoditas — alat untuk mencari popularitas, pengaruh, dan keuntungan pribadi. Guru, penceramah, atau influencer yang menyampaikan agama kadang tergelincir dalam pencitraan dan “jualan dakwah”.
Padahal, ulama salaf sangat berhati-hati untuk berbicara tentang agama.
Imām Mālik ibn Anas (w. 179 H) berkata:
مَا أَفْتَيْتُ حَتَّى شَهِدَ لِي سَبْعُونَ أَنِّي أَهْلٌ لِذٰلِكَ“Aku tidak berani berfatwa sampai tujuh puluh ulama bersaksi bahwa aku layak untuk itu.”4
Ucapan ini menunjukkan bahwa ilmu bukan ruang ambisi, tetapi medan tanggung jawab. Siapa yang berbicara tentang agama tanpa ilmu — atau dengan niat selain karena Allah — telah menodai amanah yang suci.
5. Menjaga Amanah Ilmu
Menjaga amanah ilmu berarti:
-
Ikhlas dalam menuntut dan menyampaikan ilmu, bukan demi dunia.
-
Meneladani kehati-hatian ulama salaf dalam berbicara dan berfatwa.
-
Menyampaikan kebenaran apa adanya, meski tidak populer.
-
Tidak memperalat ilmu untuk menyesatkan atau menguntungkan diri.
Sebagaimana peringatan Allah:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ“Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah [2]: 42)
Penutup
Ilmu adalah cahaya, tetapi cahaya itu bisa berubah menjadi api bagi yang mengkhianatinya. Dalam pandangan Islam, ilmu adalah amanah besar — setiap kata dan ajaran akan dipertanggungjawabkan. Maka, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin berat pula beban akhiratnya.
Mari kita renungkan sabda Rasulullah ﷺ:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ ... وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ بِهِ“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal: ... dan tentang ilmunya, untuk apa ia gunakan.” (HR. at-Tirmiżī no. 2417)
Ilmu bukan aset untuk ditimbun, tetapi amanah yang harus disampaikan dengan jujur.
Ilmu itu amanah, bukan aset. Ketika pengetahuan disalahgunakan, ia menjadi beban di akhirat.
📖 Daftar Pustaka
-
Al-Qur’an al-Karīm.
-
Muslim, Imām. Ṣaḥīḥ Muslim. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
-
Abū Dāwūd, Imām. Sunan Abī Dāwūd. Riyadh: Maktabah al-Ma‘ārif, 2000.
-
At-Tirmiżī, Imām. Sunan at-Tirmiżī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.
-
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
-
Ibn Rajab al-Ḥanbalī. Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1997.
-
Ibn ‘Abd al-Barr. Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
-
Adz-Dzahabī. Siyar A‘lām an-Nubalā’. Beirut: Mu’assasah ar-Risālah.
-
At-Ṭabarānī. al-Mu‘jam al-Kabīr. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah.
Footnotes
-
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, juz 1, Beirut: Dār al-Ma‘rifah, hlm. 55. ↩
-
Ibn Rajab al-Ḥanbalī, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, tahqīq Shu‘ayb al-Arna’ūṭ, Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, 1997, hlm. 234. ↩
-
Adz-Dzahabī, Siyar A‘lām an-Nubalā’, juz 7, Beirut: Mu’assasah ar-Risālah, hlm. 243. ↩
-
Ibn ‘Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih, juz 2, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 91. ↩
