"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam



Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam

(Kajian Ilmiah Tematik tentang Atsar al-‘Amal dalam Islam)

1. Pendahuluan

Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian siapa di antara kita yang terbaik amalnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan yang meninggalkan jejak amal paling agung bagi umatnya.

Fenomena zaman modern menunjukkan bahwa jejak manusia tidak pernah benar-benar hilang. Di dunia digital, satu tulisan, gambar, atau video dapat bertahan bertahun-tahun dan dilihat jutaan orang. Dalam pandangan Islam, ini bukan sekadar fenomena teknologi, melainkan bagian dari “atsar al-‘amal” — bekas atau jejak perbuatan manusia yang dicatat oleh Allah.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang nyata.” (QS. Yā-Sīn: 12)

Ayat ini menjadi fondasi penting untuk memahami bahwa amal manusia memiliki dampak yang berkelanjutan, bahkan setelah kematiannya.

2. Landasan Teologis: Amal dan Tanggung Jawab Pribadi

Islam menegaskan bahwa setiap manusia hanya menanggung amalnya sendiri, tanpa memikul dosa orang lain. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15)

Dan firman-Nya lagi:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ .
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,
dan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 38–39)

Makna Umum Dua Ayat Ini

Dua ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahi yang sangat mendasar dalam Islam, yaitu:
  • Setiap manusia bertanggung jawab atas amalnya sendiri.
  • Tidak ada dosa yang diwariskan atau ditanggung oleh orang lain.
  • Pahala dan dosa bergantung pada usaha pribadi, bukan keturunan, status, atau klaim semata.
Tafsir Al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān)
Imam al-Ṭabarī menjelaskan bahwa:
"Makna ayat ini adalah penegasan bahwa Allah tidak akan menghukum seorang hamba atas dosa orang lain. Setiap jiwa hanya akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri."
Beliau menukil perkataan Ibnu ‘Abbās:
لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى» أَيْ: لَا تُؤْخَذُ نَفْسٌ بِذَنْبِ غَيْرِهَا
“Tidaklah satu jiwa diambil (dihukum) karena dosa jiwa yang lain.” [Tafsir al-Ṭabarī, 27/60]

Tafsir Ibn Kathīr
Ibn Kathīr menjelaskan ayat ini dengan mengaitkannya pada ayat-ayat lain yang senada:
“Ini sebagaimana firman Allah di tempat lain:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى 
(QS. Al-An‘ām: 164, Al-Isrā’: 15, Fāṭir: 18, Az-Zumar: 7).
Artinya: Tidak seorang pun menanggung dosa orang lain.”
Kemudian beliau menafsirkan ayat ke-39:
“Maknanya, manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari amal yang ia lakukan sendiri, baik kebaikan maupun keburukan. Hal ini membatalkan keyakinan kaum jahiliah yang menganggap seseorang bisa diselamatkan karena jasa nenek moyangnya.” [Tafsir Ibn Kathīr, 7/502]

Tafsir Al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī menambahkan dimensi keadilan dan tanggung jawab moral:
“Ayat ini menjadi dasar bahwa tidak ada dosa yang diwariskan, dan tidak ada balasan tanpa amal. Namun, rahmat Allah bisa menambah pahala seseorang karena doa, sedekah, atau amalan orang lain yang diniatkan untuknya — bukan karena amal orang lain itu secara otomatis berpindah kepadanya.” [Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 19/60]
Inilah pintu masuk untuk memahami dosa jariyah: bukan karena dosa orang lain ditimpakan kepadanya, tetapi karena ia menjadi penyebab tersebarnya dosa itu.

3. Terputusnya Amal Saat Kematian

Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1631)

Hadits ini menjelaskan kaidah umum bahwa amal seseorang berhenti saat kematian, kecuali tiga hal yang terus memberi manfaat — inilah yang disebut amalan jariyah.

Namun dari sini juga lahir kaidah sebaliknya: sebagaimana pahala bisa terus mengalir, dosa pun bisa mengalir, apabila pengaruh buruk seseorang tetap hidup di dunia.

4. Konsep Jejak Amal (Āthār al-‘Amal) dalam Al-Qur’an

Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang nyata.” (QS. Yā-Sīn: 12)

Kata “آثَارَهُمْ” dalam QS. Yā-Sīn: 12 bermakna “bekas-bekas perbuatan mereka.”

Imam At-Ṭabarī menjelaskan:
“Maksudnya ialah apa yang mereka tinggalkan dari amal kebaikan maupun keburukan yang diikuti oleh orang lain setelah mereka meninggal.”
(Tafsīr al-Ṭabarī, Juz 20, hlm. 516)

Al-Qurṭubī juga menegaskan :
Bahwa ayat ini mencakup seluruh pengaruh manusia — baik berupa tradisi, tulisan, ilmu, maupun kebiasaan. Semua itu menjadi jejak amal yang akan Allah catat dan balas di akhirat.

Demikian juga Allah berfirman bahwa orang yang mengajarkan atau mencontohkan perbuatan dosa, ia akan menanggung dosa orang yang mengikutinya,
ﻟِﻴَﺤْﻤِﻠُﻮﺍ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭَﻫُﻢْ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔً ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﺳَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﻳَﺰِﺭُﻭﻥَ
“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada Hari Kiamat, dan MEMIKUL DOSA-DOSA ORANG YANG MEREKA SESATKAN, yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. an-Nahl: 25)

Mujahid menafsirkan ayat ini, beliau berkata:
يَحْمِلُونَ أَثْقَالَهُمْ: ذُنُوبَهُمْ وَذُنُوبَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَلَا يُخَفَّفُ عَمَّنْ أَطَاعَهُمْ مِنَ الْعَذَابِ شَيْئًا.
“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti mereka. Mereka sama sekali tidak diberi keringanan azab karena dosa orang yang mengikutinya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/566)


5. Dosa Jariyah: Definisi dan Klasifikasi

Konsep “dosa jariyah” bersumber dari hadits Nabi ﷺ:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, maka baginya dosa keburukannya dan dosa orang-orang yang melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim, no. 1017)

Dari hadits ini, para ulama mendefinisikan dosa jariyah sebagai:

“Dosa yang terus bertambah akibat pengaruh buruk seseorang yang diikuti orang lain, meskipun pelakunya telah mati.”

Klasifikasi:

Dosa jariyah langsung: (Pelopor) perbuatan buruk yang ditiru, seperti mengajarkan maksiat atau menyebar ide sesat.
Anak adam yang pertama kali membunuh (Qobil), dia dilimpahi tanggung jawab atas semua kasus pembunuhan karena kedzaliman di alam ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا
“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan yang lainnya).

Dosa jariyah tidak langsung: akibat dari sistem, tulisan, konten, atau kebijakan yang melahirkan keburukan jangka panjang.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim)

Anda bisa perhatikan para propagandis yang menyebarkan aliran sesat, menyebarkan pemikiran menyimpang, menyerukan masyarakat untuk menyemarakkan kesyirikan dan bid’ah, menyerukan masyarakat untuk memusuhi dakwah tauhid dan sunah, merekalah contoh yang paling mudah terkait hadis di atas.

Imam An-Nawawī dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menjadi penyebab perbuatan dosa, maka ia menanggung dosa orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu.”
(Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 7, hlm. 120)

6. Manifestasi Dosa Jariyah di Era Modern

  • Menyebarkan Konten Maksiat atau Hoaks di Media Sosial
Misalnya seseorang membuat atau membagikan video berisi gosip, fitnah, atau pornografi di TikTok, Instagram, atau YouTube.

Di era digital, konsep dosa jariyah menjadi sangat relevan.
Beberapa contoh nyata:
  1. Menyebarkan konten maksiat, fitnah, hoaks, atau ide sesat.
  2. Menciptakan musik, film, atau karya yang menormalisasi dosa.
  3. Menjadi influencer yang mengajak gaya hidup jauh dari syariat.
  4. Membuat komentar atau postingan yang menimbulkan kebencian dan perpecahan.

Imam Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Juz 3, hlm. 127) berkata:
“Barang siapa membuka jalan dosa bagi orang lain, maka ia telah menanggung beban atas setiap langkah orang yang berjalan di atasnya.”

Dunia digital membuat atsar al-amal menjadi viral dan abadi, bahkan setelah pelakunya meninggal dunia. Inilah bentuk baru dosa jariyah yang sering tidak disadari: dosa berantai digital.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ."
(متفق عليه)
“Sesungguhnya orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar (yang haram).” (HR. Bukhari dan Muslim)

1. Imam an-Nawawī رحمه الله
Dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Juz 14, hlm. 81–84):
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membuat gambar makhluk bernyawa adalah dosa besar, karena terdapat ancaman keras berupa azab pada hari kiamat.
Dan yang dimaksud dengan al-muṣawwirūn adalah mereka yang membuat gambar makhluk bernyawa dengan maksud menyerupai ciptaan Allah.”

“Adapun gambar-gambar benda tak bernyawa seperti pohon, gunung, atau benda mati — tidak termasuk larangan ini.”

2. Imam Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī رحمه الله
Dalam Fatḥ al-Bārī (Juz 10, hlm. 385):
“Larangan ini berlaku bagi orang yang membuat gambar makhluk hidup dengan tujuan untuk dihormati atau diagungkan.

Namun, bila gambar itu tidak utuh (seperti tanpa kepala) atau tidak dimaksudkan sebagai ciptaan tandingan Allah, maka hukumannya lebih ringan.”

3. Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله
Dalam Majmū‘ al-Fatāwā (Juz 32, hlm. 234):
“Membuat gambar makhluk hidup adalah haram berdasarkan ijma‘ para sahabat, kecuali bila dalam konteks pendidikan, kebutuhan mendesak, atau bukan makhluk bernyawa.

Adapun gambar bayangan (seperti di cermin atau air) dan bayangan tanpa bentuk (seperti pantulan) maka tidak termasuk dalam larangan.”
  • Mendirikan Tempat Maksiat
Contohnya membuka tempat perjudian, karaoke maksiat, atau warung minuman keras. Selama orang berbuat dosa di tempat itu, dosanya juga mengalir pada pemilik atau pendirinya.
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. المائدة [5]: 2)

  • Menyebarkan Ajaran Sesat atau Bid‘ah yang Menyesatkan
Misalnya menulis buku, membuat ceramah, atau postingan yang menyesatkan akidah umat. Selama ajaran itu dipelajari dan diamalkan, dosa terus mengalir.
عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ."
(رواه مسلم، رقم 1017)
“Barang siapa yang membuat teladan buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)

  • Memberi Contoh Buruk di Lingkungan
Misalnya seorang tokoh, pejabat, atau orang tua terbiasa korupsi, berbohong, atau meninggalkan shalat, lalu orang lain menirunya. Itu menjadi dosa jariyah jika terus ditiru setelah ia meninggal.
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله :
"كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ."
(متفق عليه)
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  • Menyumbang untuk Kegiatan Haram
Misalnya membantu dana untuk pembangunan klub malam, film yang menormalisasi maksiat, atau platform judi online. Selama hasilnya digunakan untuk hal haram, dosa jariyah tetap mengalir.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا."
(رواه مسلم، رقم 1015)
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, no. 1015)

7. Implikasi Moral dan Sosial

Dosa jariyah tidak hanya merusak pelakunya, tetapi juga menular secara sosial.
Setiap keburukan yang diikuti oleh banyak orang akan membentuk budaya maksiat yang sulit dihentikan.
Inilah yang disebut ulama dengan al-ma‘ṣiyah al-muta‘addiyah — dosa yang meluas pengaruhnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ، وَمَنْ دَلَّ عَلَى شَرٍّ فَلَهُ مِثْلُ وِزْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pelakunya. Dan barang siapa menunjukkan kepada keburukan, maka ia mendapat dosa seperti pelakunya.” (HR. Tirmiżī, no. 2675)

Maka setiap dai, penulis, pendidik, dan pengguna media sosial memikul tanggung jawab besar atas dampak moral dari kontennya.

8. Upaya Pencegahan dan Penebusan

Islam memberi ruang untuk menutup pintu dosa jariyah, melalui tiga langkah:
1️⃣ Taubat Nasuha
Allah ﷻ berfirman:
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh; maka Allah akan mengganti keburukan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqān: 70)

Dalam hadits:
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang telah bertaubat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa“. [HR Ibnu Majah no. 4250, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah]

2️⃣ Menutup Jejak Dosa

Hapus konten yang menyesatkan.
Luruskan kesalahan yang pernah diajarkan.
Sampaikan klarifikasi dan ajakan menuju kebaikan.

3️⃣ Mengganti dengan Amal Jariyah yang Baik

Gunakan pengaruh, ilmu, dan teknologi untuk membuka pintu kebaikan.

Ibnul Mubārak رحمه الله berkata:

“Barang siapa menanam kebaikan, maka ia menuai pahala setelah kematiannya; dan barang siapa menanam keburukan, maka keburukan itu hidup bersamanya di alam kubur.” (Az-Zuhd lil-Imām Ibn al-Mubārak, hlm. 359)

9. Kesimpulan

Dosa jariyah adalah cermin betapa seriusnya dampak sosial dari amal manusia.
Setiap perbuatan — baik atau buruk — memiliki jejak yang tidak terhapus oleh waktu.

Di era digital, kita dituntut lebih berhati-hati, karena satu klik dapat menjadi pahala yang mengalir selamanya atau dosa yang tak pernah padam.


اللَّهُمَّ اجْعَلْ آثَارَنَا فِي الْخَيْرِ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِمَّنْ تَبْقَى سَيِّئَاتُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
“Ya Allah, jadikanlah jejak kami dalam kebaikan, dan jangan Engkau jadikan kami termasuk orang yang keburukannya terus hidup setelah kematiannya.”


Label