"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)
3 Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam

3 Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam




3 Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam


Teladan dari Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam


Selain dari pengorbanan yang dilakukan oleh generasi awal manusia di dunia, sejarah kurban yang dilakukan umat Islam pun tidak terlepas dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, seorang nabi yang amat bertakwa.

Di mana Nabi Ibrahim benar-benar menjalankan perintah Allah Ta’ala, meskipun perintah tersebut di luar kebiasaan dan nalar manusia, yaitu menyembelih anaknya sendiri.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat Ash-Shaffat ayat 103—105,

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ، وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ، قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya),(untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia,‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam


Dari kisah Qabil dan Habil serta kisah Nabi Ibrahim, dapat disimpulkan bahwa kurban merupakan ibadah yang bernilai sangat tinggi. Sehingga, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berkurban sebagai bukti akan kecintaan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.

Pertama: Sebagai Bukti Ketakwaan

Keimanan serta ketakwaan seseorang tentu membutuhkan bukti nyata, yaitu berupa pengorbanan yang dilakukan. Untuk itu, syariat kurban merupakan bukti ketakwaan seseorang, dan melaksanakannya pun harus dilandasi dengan keimanan serta ketakwaan kepada Allah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat al-Hajj ayat 37,

لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”

Kedua: Sebagai Bentuk Rasa Syukur

Bentuk rasa syukur seseorang atas segala nikmat yang telah Allah karuniakan adalah dengan cara menggunakan nikmat tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Untuk itu, kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah karuniakan pada diri kita, baik yang terlihat, seperti mata, telinga, tangan, dan kaki ataupun yang tidak terlihat, seperti pembuluh darah, syaraf, dan sel merupakan nikmat yang patut untuk kita syukuri.

Sehingga dengan melakukan ibadah kurban, seakan-akan kita telah menyukuri seluruh nikmat yang Allah karuniakan pada diri kita, karena binatang memiliki organ tubuh sebagaimana yang kita miliki.

Bahkan terkait ibadah kurban sebagai rasa syukur ini, Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Kausar ayat 1—2,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”

Ketiga: Menumbuhkan Jiwa Sosial

Berkurban tidak hanya ibadah yang terkait hubungan manusia dengan Allah saja. Melainkan, ia juga ibadah yang bersifat sosial sehingga akan menumbuhkan sifat saling berbagai dan menghilangkan sifat rakus serta tamak.

Untuk itu, dengan berkurban seseorang seakan-akan telah menyembelih sifat tamak dan rakus yang terdapat dalam diri binatang. Sehingga, ibadah kurban sangat penting untuk kita laksanakan, khususnya bagi yang memiliki harta untuk membeli binatang sembelihan, baik kambing, sapi, maupun unta.

Terkait pentingnya ibadah kurban ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, hadits riwayat Ibnu Majah nomor 3123 dan Ahmad nomor 8273,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Siapa yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban maka janganlah dia mendekati lapangan tempat shalat kami.”

Rosulullah berqurban untuk Ummatnya (Berserikat dalam Pahala)

diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشٍ أَقْرَنَ، يَطَأُ فِي سَوَادٍ، وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ، فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ، فَقَالَ لَهَا: يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ: أَشْحِذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ، ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَهُ، فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan seekor domba yang bertanduk yang kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk diqurbankan, lantas beliau bersabda kepada ‘Aisyah,

‘Wahai ‘Aisyah bawalah pisau kemari.’

Kemudian beliau bersabda, ‘Asahlah pisau ini dengan batu.’

Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang beliau perintahkan. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya, lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan, ‘Dengan nama Allah, ya Allah terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.’ Beliau berqurban dengannya.’” (HR. Muslim no. 1967).

Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata,”Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban.”

Mewaspadai Jebakan Setan dalam Ibadah qurban

Di antara jebakan-jebakan setan dalam hal ini adalah menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai semata-mata ajeng pamer dan berbangga diri. Setan berusaha keras menjerumuskan kita, agar hewan qurban yang kita sembelih tidak mengantarkan kita kepada ketakwaan dan sarana mempererat ukhuwah dengan sesama umat Islam.

Setan menjadikan ibadah penyembelihan hewan sebagai ajang pamer dan riya’ serta berbangga diri. “Ini lho, dusun kami, masjid kami, hanya terdiri dari 50 KK, atau 100 KK, tapi kami mampu menyembelih 25 ekor sapi, 50 ekor sapi, 75 ekor sapi. Ini lho, di dusun kami, masjid kami, semua hewan yang disembelih adalah sapi. Di sini, dusun kami, masjid kami, kambing itu tidak laku.”

Tidak berhenti sampai di situ, setan menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai sarana untuk menonjolkan penyakit kekikiran dan ketidakpedulian terhadap nasib sesama umat Islam yang mengalami kesusahan ekonomi.


Kumpulan Hadits Keutamaan Qurban

Kumpulan Hadits Keutamaan Qurban

 


فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. al-Hajj, 22:28)

Kumpulan Hadits Seputar Qurban


1. Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117
    (Hadits ini adalah hadits yang dho’if kata Syaikh Al Albani)
    Amalan yg paling dicintai di hari Nahr, dan menjadi saksi

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Artinya: “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam (manusia) pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya.” (Hadits Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 1413 dan Ibn Majah: 3117)

2. Hadits Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123
Rasulullah saw. menyembelih satu ekor unta dan sapi.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

Artinya: Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123).

3. Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah
Di dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah disebutkan:

مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

Artinya: Barangsiapa mempunyai keluasan rezki (mampu berkurban) tetapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat kami bersembahyang.

4. Hadits Riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Zaid bin Arqam
Di dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari shahabat Zaid bin Arqam disebutkan:

قُلْتُ أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا هَذِهِ اْلأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ.

Artinya: Aku atau mereka bertanya: Hai Rasulullah, apakah kurban itu? Nabi saw menjawab: Itulah suatu sunnah ayahmu Ibrahim. Mereka bertanya (lagi): Apakah yang kita peroleh dari kurban itu? Rasulullah saw menjawab: Di tiap-tiap bulu kita mendapat suatu kebajikan.

5. Hadits Imam Ahmad
Di dalam sabda Nabi Muhammad saw yang lain, diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dari Jubair ibn Muthim, Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ.

Artinya: Tiap-tiap (semua) hari Tasyriq itu adalah hari menyembelih.


Keutamaan Udhiyah


Tak diragukan lagi, udhiyah adalah ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti ajaran Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kaum muslimin sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits yang menerangkan fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6: 288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menerangkan keutamaan udhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.”


عَنْ أَبِى دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الأَضَاحِىُّ قَالَ « سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ ». قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ ». قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ ».

Dari Abu Daud dari Zaid bin Arqam dia berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah maksud dari hewan-hewan kurban seperti ini?” beliau bersabda: “Ini merupakan sunnah (ajaran) bapak kalian, Ibrahim.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lantas apa yang akan kami dapatkan dengannya?” beliau menjawab: “Setiap rambut terdapat kebaikan.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan bulu-bulunya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dari setiap rambut pada bulu-bulunya terdapat suatu kebaikan.” (HR. Ibnu Majah no. 3127. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan)


Hikmah di Balik Menyembelih Qurban


Pertama: Bersyukur kepada Allah atas nikmat hayat (kehidupan) yang diberikan.

Kedua: Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim –kholilullah (kekasih Allah)- ‘alaihis salaam yang ketika itu Allah memerintahkan beliau untuk menyembelih anak tercintanya sebagai tebusan yaitu Ismail ‘alaihis salaam ketika hari an nahr (Idul Adha).

Ketiga: Agar setiap mukmin mengingat kesabaran Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimas salaam, yang ini membuahkan ketaatan pada Allah dan kecintaan pada-Nya lebih dari diri sendiri dan anak. Pengorbanan seperti inilah yang menyebabkan lepasnya cobaan sehingga Isma’il pun berubah menjadi seekor domba. Jika setiap mukmin mengingat kisah ini, seharusnya mereka mencontoh dalam bersabar ketika melakukan ketaatan pada Allah dan seharusnya mereka mendahulukan kecintaan Allah dari hawa nafsu dan syahwatnya.

Keempat: Ibadah qurban lebih baik daripada bersedekah dengan uang yang senilai dengan hewan qurban. Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai keutamaan udhiyah.”


Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzulhijah

Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzulhijah



Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzulhijah

Islam disempurnakan oleh Allah pada bulan Zulhijah

Allah berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah meridai Islam itu agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Para ulama sepakat bahwa ayat itu turun di bulan Zulhijah saat haji wada’ di hari Arafah.

Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Al-Khattab radhiyallaahi ‘anhu, bahwasanya seorang ulama Yahudi berkata kepada Umar, “Wahai Amiirul Mu’miniin, tahukah engkau satu ayat dalam kitab suci kalian yang kalian baca, yang jika seandainya ayat itu turun kepada kami, maka kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.”

Umar berkata, “Ayat apakah itu?”

Yahudi itu membacakan ayat tersebut, “Al-yauma akmaltu lakum … ”

Umar pun berkata, “Sungguh kami telah mengetahui di mana dan kapan ayat itu turun. Ayat itu turun pada saat Nabi sedang berada di padang Arafah di hari Jumat.” (HR. Bukhari)

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama

Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.“ 
HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). 
Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah. Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: 
1. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, 
2. Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, 
3. Sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan 
4. Sepuluh hari pertama bulan Muharram.

Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.

Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata: 
“Sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini, hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah).” Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, 1407, 1/35.

Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas. Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”

Keutamaan Idul adha 

Di hari ini kita berada di hari Idul Adha yang merupakan hari terbaik di dunia. Sebagaimana dikeluarkan Imam Ath-Thobroni dan dihasankan oleh Syaikh Albani Rahimahullah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

افضل ايام الدنيا يوم النحر ويوم القر

“Hari-hari dunia yang paling utama yaitu hari menyembelih (hari ini tanggal 10 bulan Dzulhijjah) dan hari setelahnya (tanggal 11)”



6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah

Pertama: Puasa

1. Berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah.

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannyadan hari Senin pertama awal bulan serta hari Kamis.
HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. 


2. Puasa Arafah.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Puasa Arafah menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang. [HR. Muslim]

Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)

Puasa ini disunahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka yang sedang berhaji, tidak diperbolehkan berpuasa. Pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Mereka harus memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga, keutamaan hari Arafah bisa dinikmati oleh orang yang sedang berhaji maupun yang tidak sedang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan hari Arafah dalam sebuah hadits shahîh riwayat Imam Muslim.

Keutamaan Hari Arofah

Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.)

Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.

Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.” (HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)

Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. (Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.) Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.

Kedua: Takbir dan Dzikir

وروى الإمام أحمد رحمه الله عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام أعظم ولا احب إلى الله العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

وروى ابن حبان رحمه الله في صحيحه عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أفضل الأيام يوم عرفة.


“Imam Ahmad, rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid“.
Yang termasuk amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid, beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat (mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan tempat-tempat lainnya.

Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,

وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا . وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .

Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah.
(Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”)

Catatan:

1. Takbir Mutlaq (مطلق)

Ini adalah takbir yang tidak terikat waktu maupun tempat tertentu. Boleh dilakukan kapan saja selama sepuluh hari pertama Dzulhijjah: di pasar, di masjid, bahkan saat berjalan kaki. Disunnahkan untuk mengeraskan suara, terutama bagi kaum laki-laki.

2. Takbir Muqayyad (مقيَّد)

Berbeda dari sebelumnya, takbir ini dilakukan setelah shalat.

Bagi yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai dari shalat Subuh pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).

Bagi yang berhaji, dimulai dari shalat Zhuhur pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) hingga akhir hari tasyriq.

Ringkasan Takbir Mutlak dan Muqayyad


TAKBIR MUTLAK/MURSALTAKBIR MUQAYYAD
Takbir mutlak atau mursal adalah takbir yang tidak terkait dengan tempat dan waktu, dibaca di rumah, masjid, jalan, pada malam dan siang.Takbir muqayyad adalah takbir yang dibaca setelah shalat, baik berlaku pada shalat fardhu, shalat sunnah, shalat ada’an (pada waktunya), shalat qadha’, shalat jenazah.
Terkait Idulfitri dan IduladhaTerkait Iduladha saja.
Waktunya:

dari tenggelam matahari pada malam Id hingga takbiratul ihram shalat Id.

Waktunya:

– Untuk selain yang berhaji, waktunya adalah dari Shubuh pada hari Arafah hingga ‘Ashar pada hari tasyrik terakhir, berarti selama lima hari.

– Untuk yang berhaji, waktunya adalah dari Zhuhur pada hari Iduladha (karena inilah awal shalat di Mina) hingga waktu Shubuh pada hari tasyrik terakhir (karena inilah shalat terakhir di Mina).

Diakhirkan setelah dzikir bakda shalat.Didahulukan sebelum dzikir bakda shalat.
Takbir mutlak pada Idulfitri lebih afdal dari Iduladha.Takbir muqayyad lebih afdal daripada takbir mutlak karena takbir muqayyad mengikuti shalat.


Lihat Ifaadah Ar-Raaghibiina bi Syarh wa Adillah Minhaaj Ath-Thalibiin, 1:494-496; Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:558-559; Hasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’, 2:194-198.

Berikut dalil takbiran yang terikat waktu:
  1. Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau dulu bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah dluhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi dan sanadnya dishahihkan Al Albani)
  2. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“)
  3. Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzluhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih)
  4. Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’)
Dengan menghidupkan sunnah takbir ini, kita termasuk dalam golongan orang yang memperbanyak dzikir kepada Allah di hari-hari yang amat dicintai oleh-Nya. Jangan lewatkan kesempatan emas ini.

Cara bertakbir adalah dengan ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamd.

Ketiga: Berqurban

Di hari Nahr (10 Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.

Qurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya ‘Idul Adh-ha berupa unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Laksanakanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban. [al-Kautsar/108:2].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati masjid kami.

Hasan: HR Ahmad (I/321), Ibnu Majah (no. 3123), dan al-Hakim (no. 389), dari Sahabat Abu Hurairah I . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrîj Musykilatil-Faqr (no. 102) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (I/629, no. 1087).

Sebagian ulama berpendapat dengan dasar hadits di atas, bahwa hukum menyembelih binatang qurban bagi seseorang adalah wajib bagi yang mampu.

‘Atha` bin Yasar bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: “Bagaimana penyembelihan qurban pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّيْ بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُوْنَ وَيُطْعِمُوْنَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ،فَصَارَتْ كَمَا تَرَى

Seseorang berqurban dengan seekor kambing untuk diri dan keluarganya. Kemudian mereka memakannya dan memberi makan orang-orang sampai mereka berbangga. Maka jadilah seperti yang engkau lihat”.

Shahih: HR at-Tirmidzi (no. 1505) dan Ibnu Majah (no. 3147). Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 1142) dan Shahîh Ibni Majah (II/203).

Barangsiapa yang berqurban untuk diri dan keluarganya maka disunnahkan ketika menyembelih mengucapkan:

بِاسْمِ الله ، وَالله أَكْبَرُ ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ ، اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ.

Dengan nama Allâh, dan Allâh Maha Besar, Ya Allâh, terimalah (qurban) dariku, ya Allâh, ini dariku dan dari keluargaku.

Disunnahkan bagi orang yang berqurban agar menyembelih sendiri. Jika tidak mampu maka hendaklah ia menghadiri, dan tidak diperbolehkan memberikan upah bagi tukang jagal dari hewan kurban tersebut.

Kemudian, juga tidak memotong rambut dan kuku bagi yang berqurban. Seseorang yang ingin berqurban, dilarang memotong kuku atau rambut dirinya (bukan hewannya) ketika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan qurbannya.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ، فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّي.

Barangsiapa yang memiliki hewan yang hendak dia sembelih (pada hari raya), jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah maka janganlah memotong (mencukur) rambutnya dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih qurbannya. (HR Muslim : 1977).

Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata:

أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ

“Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.

Imam Baihaqi berkata setelahnya:

“Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.

Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori:

“Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. (Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga)


Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh

Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi mungkar.

Kelima: Bertaubat

Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap sesama. 


Keenam: Menunaikan Haji dan Umroh

Haji dan Umrah adalah salah satu ibadah yang paling mulia dan sarana taqarrub (pendekatan diri) kepada Allâh yang paling afdhal. 

Diantara keutamaan haji dan umrah adalah:

  • Barangsiapa yang berhaji dan umrah ke Baitullâh, dia tidak berkata kotor, berbuat kefasikan, maka akan kembali seperti baru dilahirkan oleh ibunya.
  • Antara dua umrah menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya surga.
  • Haji menghapus dosa-dosa sebelumnya.
  • Haji mabrur termasuk seutama-utama amal setelah jihad fî sabîlillâh.
  • Haji dan umrah menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa.
  • Jihad yang paling bagus dan paling utama adalah haji yang mabrur.
  • Orang yang haji dan umrah adalah tamu Allâh.
  • Do’a orang yang haji dan umrah dikabulkan oleh Allâh.
  • Orang yang meninggal dunia ketika pergi melaksanakan haji dan umrah, akan dicatat baginya pahala umrah sampai hari Kiamat.
  • Orang yang meninggal ketika dalam keadaan ihram, akan dibangkitkan di hari Kiamat dalam keadaan membaca talbiyah.
5 Keistimewaan Hari Jumat

5 Keistimewaan Hari Jumat



5 Keistimewaan Hari Jumat


Pertama: Hari Jumat adalah hari yang Allah sampai bersaksi tentangnya

Hari Jumat disebut asy-syahid, hingga Allah memasukkannya dalam sumpah-Nya, di mana Allah tidak bersumpah kecuali dengan sesuatu yang memiliki kedudukan mulia, sampai-sampai Allah Yang Mahaperkasa bersumpah tentangnya saking agungnya hari Jumat di sisi Allah.

Allah bersumpah tentang hari Jumat dalam Surat al-Buruj ayat 3,

وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ

“Demi yang menyaksikan dan yang disaksikan.”

Ulama mufassirin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘yang menyaksikan’ dalam ayat ini adalah hari Jumat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah, dalam hadits riwayat at-Tirmidzi No. 3339,

اَلْيَوْمُ الْمَوْعُوْدُ يَوْمُ الْقِيَامَةِ ، وَالْيَوْمُ الْمَشْهُودُ يَوْمُ عَرَفَةَ ، وَالشَّاهِدُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ .

“Hari yang dijanjikan adalah hari Kiamat, hari yang disaksikan adalah hari Arafah, dan hari yang menyaksikan adalah Hari Jumat.”

Para ulama menerangkan mengapa hari Jumat disebut sebagai “hari yang menyaksikan”? Karena, ia memiliki keutamaan yang begitu besar, hingga hari Jumat menjadi saksi atas semua amalan yang dilakukan manusia.

Inilah mengapa para salaf ketika memasuki hari Jumat selalu dalam kondisi persiapan penuh. Mereka betul-betul memperbanyak amalan-amalan kebaikan, seperti bersedekah pada hari Jumat karena pahalanya menjadi berlipat-lipat dibandingkan ketika bersedekah pada hari-hari biasa lainnya.

Selayak Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, setiap kali berangkat ke masjid untuk shalat Jumat, beliau selalu membawa makanan ataupun uang di tangannya untuk disedekahkan di tengah jalan secara sembunyi-sembunyi.

Kedua: Hari Jumat adalah hari yang Allah pilih untuk menyempurnakan agama-Nya

Hari Jumat bukan hari biasa. Ia menjadi hari pilihannya Allah untuk menyempurnakan agama-Nya, menurunkan ayat terakhir sebagai penutup rangkaian firman yang mengatur lini kehidupan manusia. Dan itu terjadi pada hari Jumat, bukan pada hari Sabtu.

Saat itu, pada hari Jumat menjelang sore, Nabi berdiri di Arafah di atas unta beliau yang bernama Al-Adhba. Karena beratnya wahyu yang turun, pundak unta beliau hampir rubuh hingga si unta terduduk. Turun firman Allah yang berbunyi,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)

Imam Ibnu Katsir menyatakan, ayat ini adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah ‘azza wa jalla anugerahkan kepada umat ini: bahwa Dia telah menyempurnakan agama ini dan nikmat besar ini Allah turunkan pada momen terbaik, yaitu hari Jumat.

Makanya, pernah seorang lelaki Yahudi datang menemui Umar bin Khatthab dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian baca sekiranya ayat itu diturunkan kepada kami, kaum Yahudi, niscaya kami jadikan hari itu sebagai hari raya.”

Umar bertanya, “Ayat yang mana?”

Yahudi itu menjawab, “Yaitu ayat,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”

Maka Umar berkata, “Sungguh aku tahu dengan pasti hari dan tempat ayat itu diturunkan. Ia diturunkan kepada Rasulullah di Arafah, pada hari Jumat.”

Bayangkan! Seorang Yahudi yang bukan muslim, sangat tertarik pada momen besar tersebut. Ia tahu bahwa ayat itu turun pada waktu yang sangat istimewa walau tidak tahu persis kapan waktunya.

Tidak ada hari yang diberi tempat istimewa seperti Jumat. Hari Jumat bahkan diistimewakan Allah menjadi nama sebuah surat dalam al-Quran, yakni Surat al-Jumu‘ah. Ini merupakan sebuah penghormatan dari Allah, di mana tidak ada surat bernama as-Sabt (hari Sabtu) atau surat al-Arbi’a (hari Rabu).

Ketiga: Hari Jumat adalah sebaik-baik hari di sisi Allah

Hari Jumat adalah waktu paling baik saat matahari terbit menyinari bumi sampai tenggelam di ufuk barat.

Rasulullah menganjurkan umatnya berupaya untuk meraih rahmat Allah pada hari paling mulia di sisi Allah.

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, hadits riwayat Muslim no. 854,

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَلَا تَقَوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَة .

“Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat. Pada hari ini Nabi Adam diciptakan, pada hari ini Nabi Adam dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari ini pula ia dikeluarkan dari surga. Dan tidaklah kiamat akan terjadi, kecuali pada hari Jumat.”

Peristiwa-peristiwa besar seperti dikeluarkannya Nabi Adam dari surga adalah salah satu keistimewaan hari Jumat. Karena turunnya Nabi Adam ke bumi menjadi awal mula lahirnya para nabi, para rasul, dan para wali Allah.

Sedangkan hari kiamat yang terjadi pada hari Jumat juga merupakan kemuliaan tersendiri bagi hari Jumat. Sebab, kiamat adalah saat dipercepatnya balasan bagi orang-orang yang baik agar mereka segara mendapatkan hadiah surga yang Allah janjikan.

Keempat: Hari Jumat adalah hidayah yang Allah limpahkan khusus kepada umat Islam

Hari Jumat adalah sebuah anugerah yang Allah pilih dan khususkan bagi kita. Karena hanya kaum muslimin yang diberi kehormatan untuk menjadikan hari agung ini sebagai hari raya daripada umat-umat terdahulu.

Nabi bersabda, dalam hadits riwayat Muslim, no. 855,

نَحْنُ الْآخِرُونَ الْأَوَّلُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. وَنَحْنُ أَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ. بَيْدَ أَنَّهُمْ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِنَا وَأُوتِينَاهُ مِنْ بَعْدِهِمْ. فَاخْتَلَفُوا فَهَدَانَا اللَّهُ لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ. فَهَذَا يَوْمُهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ. هَدَانَا اللَّهُ لَهُ (قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ) ‌فَالْيَوْمَ ‌لَنَا. ‌وَغَدًا لِلْيَهُودِ. وَبَعْدَ غَدٍ للنصارى.

“Kita adalah umat yang datang terakhir tapi paling awal datang pada hari kiamat, dan kita yang pertama kali masuk surga. Walaupun mereka diberi Kitab sebelum kita dan kita diberi Kitab setelah mereka. Karena mereka (umat sebelum kita) itu berselisih, lalu Allah memberi kita hidayah terhadap apa yang mereka perselisihkan. Inilah hari yang mereka perselisihkan, dan Allah berikan hidayah berupa hari ini (Jumat) kepada kita. Maka hari (Jumat) ini untuk kita (umat Islam), besok (Sabtu) untuk umat Yahudi, dan lusa (Ahad) untuk umat Nasrani.”

Rasulullah memberitahukan bahwa Allah membuat kaum sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nasrani, tersesat dari memuliakan hari Jumat dan tidak beribadah pada hari itu. Padahal mereka diperintahkan untuk mengagungkan hari Jumat, namun mereka berpaling.

Kemudian Allah memberi kita petunjuk untuk memuliakan hari Jumat dan kita diberi taufik untuk menaati perintah-Nya.

Ini adalah bentuk karunia dari Allah. Kita sebagai kaum muslimin adalah umat pertama yang akan masuk ke dalam surga saat hari kiamat, meskipun kita adalah umat yang paling akhir. Karena sesungguhnya, kita adalah umat terbaiknya Nabi Muhammad yang memuliakan hari Jumat yang mulia.

Umat Islam memang memiliki keutamaan lebih besar dibanding umat-umat sebelumnya, tetapi Allah telah menambahkan kemuliaan serta keistimewaan lagi bagi umat ini sebagai bentuk rahmat-Nya.

Kelima: Hari Jumat adalah hari yang Allah angkat derajatnya bahkan sampai ke surga

Jumat adalah hari yang dilimpahi keberkahan. Allah menganugerahi hari Jumat secara khusus dengan membuat para penghuni surga membuncah kebahagiaannya pada hari Jumat.

Rasulullah bersabda, hadits riwayat Muslim nomor 2833,

إِنَّ ‌فِي ‌الْجَنَّةِ ‌لَسَوْقًا يَأْتُوْنَهَا كُلَّ جُمُعَةٍ، فَتَهُبُّ رِيْحُ الشَّمَالِ فَتَحْثُوْ فِي وُجُوْهِهِمْ وَثِيَابِهِمْ فَيَزْدَادُوْنَ حُسْنًا وَجَمَالًا، فَيَرْجِعُوْنَ إِلَى أَهْلِيْهِمْ وَقَدِ ازْدَادُوا حُسْنًا وَجَمَالًا، فَيَقُولُ لَهُمْ أَهْلُوْهُمْ: وَاللّٰهِ لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالًا، فَيَقُولُونَ: وَأَنْتُمْ وَاللّٰهِ لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالًا.

“Sungguh di surga ada pasar yang didatangi penghuni surga setiap Jumat. Bertiuplah angin dari utara mengenai wajah dan pakaian mereka hingga mereka semakin indah dan tampan. Mereka pulang ke istri-istri mereka dalam keadaan telah bertambah indah dan tampan. Keluarga mereka berkata,‘Demi Allah, engkau semakin bertambah indah dan tampan.’ Mereka pun membalas,‘Kalian pun semakin bertambah indah dan cantik.’”

Karena hari Jumat adalah hari yang agung, maka seorang muslim seharusnya memberi perhatian serius padanya dan menyambutnya dengan amal yang terbaik.

Salah satunya adalah menghiasi hari Jumat dengan memperbanyak shalawat kepada Rasulullah. Karena shalawat pada hari Jumat adalah amalan yang sering dilupakan, padahal menjadi amalan utama yang pahalanya besar.

Shalawat itu bukti nyata seberapa besar kecintaan kita kepada Nabi.

Para ulama mengatakan, “Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan sering menyebutnya.”
Keutamaan dan Manfaat Sedekah

Keutamaan dan Manfaat Sedekah



KEUTAMAAN DAN MANFAAT SEDEKAH


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas utusan yang paling mulia, nabi kita Muhammad, dan atas keluarga serta segenap sahabatnya. Amma ba’du:

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

قُل لِّعِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَيُنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلانِيَةً مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ ﴿3١﴾ 

Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.” [Ibrahim/14:31]

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

وَأَنفِقُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ… ﴿195﴾ 

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah ….. [Al-Baqarah/2:195]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاكُم ﴿254﴾ 

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu. [Al-Baqarah/2:254]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ ﴿267

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. [Al-Baqarah/2:267]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لأَنفُسِكُمْ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿16

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. [At-Tagabun/64:16]

Diantara hadits yang menunjukkan mengenai keutamaan bersedekah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ مِنْ عَمَلِهِ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Tiada seorang (pun) dari kalian, melainkan (kelak) Allah akan berbicara kepadanya tanpa seorang penerjemah. Maka ia melihat ke kanan, tidaklah dilihatnya melainkan amal perbuatannya yang pernah dilakukan. Dan ia (pun) melihat ke kiri, tidaklah dilihatnya melainkan amal perbuatannya yang pernah dilakukan. Dan ia (pun) melihat ke depan, tidaklah dilihatnya melainkan neraka di hadapan wajahnya. Maka peliharalah (diri) kalian dari api neraka, sekalipun dengan sebiji buah kurma (yang disedekahkan).” [Terdapat dalam ash–Shahihain].

Seorang yang memperhatikan nash-nash yang menyuruh dan mendorong untuk bersedekah akan mendapatkan bahwa amalan sedekah memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh amalan selainnya. Sampai-sampai Umar Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Diriwayatkan kepadaku bahwa berbagai amal saling berbangga-bangga, maka amalan sedekah berkata, ‘Aku yang paling utama diantara kalian’.”

KEUTAMAAN DAN MANFAAT SEDEKAH


Pertama : Sedekah dapat meredakan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِيءُ غَضَبَ الرَّبِّ

“Sesungguhnya sedekah yang tersembunyi, (dapat) meredam murka Allah Ta’ala” [Shahih at-Targhib].

Kedua : Sedekah menghapuskan kesalahan dan memadamkan percikan apinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“Sedekah menghapuskan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api” [Shahih at-Targhib karya Asy-Syaikh Al-Albani].

Ketiga : Sedekah menjaga pelakunya terhindari dari api neraka, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Maka peliharalah (diri) kalian dari api neraka, sekalipun dengan sebiji buah kurma (yang disedekahkan).”

Keempat : Pelaku sedekah berada dalam naungan sedekahnya pada hari kiamat nanti, sebagaimana hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ امْرِئٍ فِي ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ

“Setiap orang berada di bawah naungan amalan sedekahnya, hingga digelar pengadilan di antara manusia”

Yazid berkata :

وَكَانَ أَبُو مَرْثَد لاَ يُخْطِئُهُ يَوْمٌ إِلاَّ تَصَدَّقَ فِيهِ بِشَيْءٍ وَلَوْ كَعْكَةً أَوْ بَصَلَةً أَوْ كَذَا

“Tidaklah satu hari Abu Martsad berbuat suatu kekeliruan, melainkan ia (segera) bersedekah dengan sesuatu apa saja di hari itu (juga). Meskipun hanya dengan sepotong kue (ka’kah) atau bawang putih atau semacamnya.” [Terdapat dalam ash–Shahihain].

Kelima : Pada amalan sedekah terkandung penawar untuk berbagai jenis penyakit jasmani, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

دَاوُوا مَرضاكُمْ بِالصَّدقةِ

“Obatilah penyakit-penyakit kalian melalui sedekah.”

Ibnu Syaqiq menuturkan, “Aku mendengar Ibnul Mubarak ditanya oleh seorang pria mengenai nanah yang terus keluar dari lututnya sejak tujuh tahun lalu. Sebenarnya ia telah berobat dengan bermacam-macam pengobatan, dan ia pun telah berkonsultasi dengan banyak dokter, namun belum membuahkan hasil. Maka beliau menjawab, “Pergilah dan galilah sumur di daerah yang membutuhkan air. Maka sungguh aku berharap di sana akan muncul mata air dan (dengan usaha itu dapat) menghentikan darah yang keluar dari lututmu. Maka pria itu melakukannya, lalu sembuh.” [Shahih at-Targhib].

Keenam : Demikian pada amalan sedekah ini juga terkandung penawar berbagai jenis penyakit hati, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang mengeluhkan kekerasaan hatinya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنْ أَرَدْتَ تَلْيِينَ قَلْبِكَ فَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ

“Jika kamu hendak melembutkan hatimu, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” [HR. Ahmad]

Ketujuh : Bahwa Allah menolak berbagai macam musibah dengan sedekah, sebagaimana dalam wasiat Yahya kepada Bani Israil :

وَآمُرُكُمْ بِالصَّدَقَةِ فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَسَرَهُ الْعَدُوُّ فَأَوْثَقُوا يَدَهُ إِلَى عُنُقِهِ وَقَدَّمُوهُ لِيَضْرِبُوا عُنُقَهُ فَقَالَ أَنَا أَفْدِيهِ مِنْكُمْ بِالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ فَفَدَى نَفْسَهُ مِنْهُمْ

“Allah memerintahkan kepada kalian bersedekah, maka perumpamaan hal itu seperti ibarat seorang laki-laki yang ditawan oleh musuh, kedua tangannya diikat ke lehernya, lalu mereka membawa pria tersebut untuk mereka penggal lehernya. Lalu tawanan ini berkata: ‘Saya tebus (diriku) dari kalian dengan (tuntutan tebusan) sedikit dan banyak’. Lalu ia pun menebus dirinya dari mereka.” [Shahihul Jami’ ].

Maka sedekah memiliki pengaruh yang mengagumkan dalam menolak berbagai bentuk musibah, sekalipun mereka dari golongan orang fajir, zhalim, bahkan kafir sekalipun. Maka sesungguhnya Allah Ta’ala menolak berbagai jenis musibah melalui amalan sedekah ini. Ini merupakan perkara yang telah diketahui oleh banyak orang, baik dari kalangan khusus mereka (para ulama) dan orang umum (awam) sekalipun, bahkan penduduk bumi lainnya karena mereka telah mencobanya.

Kedelapan : Bahwa seorang hamba baru bisa sampai pada hakikat kebajikan sejati melalui amalan sedekah, sebagainya dalam firman-Nya Ta’ala:

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٩٢﴾ 

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imran/3:92]

Kesembilan : Bahwa seorang yang bersedekah di doakan oleh seorang malaikat di setiap harinya, berbeda terbalik dengan orang yang menahan hartanya. Mengenai hal tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ : اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tiada sehari pun yang dilewati oleh para hamba-Nya melainkan turun dua orang malaikat, maka satu di antara mereka berkata : ‘Ya Allah berikanlah pengganti bagi orang yang berinfaq’, dan malaikat lainnya berkata, ‘Ya Allah berikanlah kebinasaan bagi orang yang menahannya’.” [Terdapat dalam ash–Shahihain].

Kesepuluh : Bahwa pelaku sedekah dikaruniakan keberkahan baginya pada hartanya, sebagaimn yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut dengan sabdanya :

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

“Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan.” [Terdapat dalam Shahih Muslim].

Kesebelas : Bahwa tidak ada harta yang tersisa bagi pemilik harta melainkan apa yang telah disedekahkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya Ta’ala :

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٩٢﴾ 

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. [Ali Imran/3:92]

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha mengenai kambing yang dikurbankannya, “Apakah masih ada yang tersisa?”. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menjawab :

مَا بَقِيَ مِنْهَا إِلاَّ كَتِفُهَا

“Tidak ada yang tersisa (karena telah disedekahkan) melainkan bagian pundaknya (saja).”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

بَقِيَ كُلُّهَا غَيْرَ كَتِفِهَا

“Tersisa semuanya melainkan bagian pundaknya (saja).” [Terdapat dalam Shahih Muslim].

Kedua belas : Bahwa Allah melipatgandakan ganjaran bagi orang yang bersedekah, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla :

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ 

Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. [Al-Hadid/57:18]

Dan firman-Nya Ta’ala :

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. [Al-Baqarah/2:245]

Ketiga belas : Bahwa pengamal sedekah akan dipanggil dari arah pintu khusus dari pintu-pintu surga, pintu yang disebut (dengan) pintu sedekah. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ فِي الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ يُدْعَى مِنْ هَذِهِ الأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menginfakkan sepasang barang di jalan Allah, di surga dia akan dipanggil, ‘Wahai hamba Allah, (pintu) ini adalah lebih baik.’ Maka barangsiapa dari kalangan pengamal shalat, akan dipanggil dari pintu shalat. Dan siapa dari kalangan praktisi jihad, akan dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa dari ahli sedekah, akan dipanggil dari pintu sedekah. Barangsiapa dari kalangan pengamal puasa, akan dipanggil dari pintu ar-Raiyan.” Lalu Abu Bakar ash-Shiddiq bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Tidak adakah orang yang dipanggil dari banyak pintu-pintu penting (tersebut). Maka apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu-pintu ini?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya ada, dan aku harap engkau termasuk dari mereka’.” [Terdapat dalam Shahih Muslim].

Keempat belas : Bahwa tiadalah amalan sedekah ini ketika berkumpul dengan amalan puasa dan mengantarkan jenazah serta menjenguk orang sakit pada satu hari yang bersamaan, melainkan demikian itu menjadikan pelakunya masuk surga. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا ؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَا . قَالَ : فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً ؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَا . قَالَ : فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا ؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَا . قَالَ : فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا ؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa ?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (lagi), “Lalu siapa diantara kalian yang telah mengantar jenazah?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu kembali menjawab, “Aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (lagi), “Lalu siapa diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin hari ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu kembali menjawab, “Aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (lagi), “Lalu siapa diantara kalian yang telah menjengut orang sakit hari ini?” Abu Bakar Radhiyallahu anhu kembali menjawab, “Aku”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah semua ini berkumpul pada diri seseorang melainkan ia masuk surga.” [HR. Muslim].

Kelima belas : Bahwa pada amalan sedekah terdapat di dalamnya kelapangan dada, kenyamanan dan ketenangan hati. Maka sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menberikan tamtsil :

مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلاَ يُنْفِقُ إِلاَّ سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَأَمَّا الْبَخِيلُ فَلاَ يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلاَّ لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلاَ تَتَّسِعُ

“Perumpamaan orang bakhil dan orang yang bersedekah seperti ibarat dua orang yang mengenakan dua baju (jubatan) yang terbuat dari besi, melekat dari kedua buah dadanya hingga tulang selangka1. Adapun orang yang bersedekah, tidaklah ia bersedekah melainkan semakin lapang (bajunya) atau memenuhi bagian-bagian kulitnya, hingga menutupi jari-jarinya dan menghilangkan bekas-bekas. Sedangkan orang bakhil, maka tidaklah ia enggan menginfakkan sedikitpun (dari hartanya) melainkan setiap lingkaran semakin mengeret pada tempatnya, orang itu berusaha merenggangkannya, tetapi tidak merenggang-renggang (juga).” [Terdapat dalam Ash-Shahihain]

Pengamal sedekah setiap kali ia bersedekah maka baginya ketenangan hati dan kelapangan dada. Setiap kali ia bersedekah, makin luas dan tenang serta lapang. Makin menguat kebahagiaannya dan makin besar kesenangannya. Kalaulah pada amalan sedekah tidak ada yang diharapkan selain keuntungan ini saja, niscaya seorang hamba secara hakiki akan tetap terus memperbanyak dan menyegerakan sedekahnya. Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٩﴾

Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Al-Hasyr/59 : 9]

Keenam belas : Bahwa orang yang bersedekah sekiranya dari kalangan ulama, maka dia berada di seutama-utamanya kedudukan di sisi Allah. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ : نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ

“Sesungguhnya (keadaan penduduk) dunia terbagi menjadi empat (keadaan), (yaitu) seorang hamba yang Allah karuniakan harta dan ilmu, maka dengannya ia bertakwa kepada Rabbnya, menyambung tali silaturahmi dan ia mengetahui bahwa di dalamnya terdapat hak Allah, maka orang ini berada pada kedudukan yang paling utama ..” [Al-Hadits].

Ketujuh belas : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan kaya yang disertai sedekah berada di tingkatan yang sama dengan al-Qur`an yang disertai pengamalannya. Demikian itu dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ . وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِي الْحَقِّ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

“Tidak boleh hasad (iri hati) kecuali (kepada) dua orang. (Yaitu) seorang yang diberikan al-Qur`an oleh Allah, lalu ia mengamalkannya siang dan malam. Dan seorang yang dikaruniakan (kekayaan) harta oleh Allah, lalu ia menginfakkannya di (jalan) kebenaran siang dan malam.”

Maka bagaimana sekiranya Allah mengaruniakan taufik-Nya kepada seorang hamba-Nya dengan menghimpun demikain itu semuanya? Kita bermohon kepada Allah yang Maha Dermawan akan karunia-Nya.

Kedelapan belas : Bahwa seorang hamba dianggap telah menepati perjanjian antara dirinya dengan Allah Ta’ala dan menyempurnakan akad transaksi jual beli yang terikat dengan-Nya, pada saat ia mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Sebagaimana yang disinyalir dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla :

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١١١﴾ 

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah/9:111]

Kesembilan belas : Bahwa sedekah merupakan bukti atas kesungguhan dan keimanan seorang hamba, sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ

“Sedekah itu adalah bukti.” [HR. Muslim]

Kedua puluh : Bahwa sedekah pensuci bagi harta, melepaskannya dari sikap-sikap buruk (ad-dakhan) yang menerpanya, seperti kelalaian, sumpah dan dusta serta kealpaan. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada para pedagang dengan sabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, sesungguhnya (pada) perdagangan ini terjadi kealphaan dan sumpah, maka campurilah dengan sedekah.” [HR. Ahmad, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah. Juga terdapat dalam Shahih al-Jami’.]

Label