ADAB-ADAB SAFAR (Sebelum, saat & sesudah)
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927).
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
– Yang dimaksud adzab dalam hadits di atas adalah rasa sakit yang timbul dari kesulitan yang dihadapi ketika berkendaraan dan berjalan sampai harus meninggalkan hal-hal yang disukai. (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
– Disebutkan bahwa seorang musafir akan sulit makan, minum dan tidur. Tiga hal ini adalah tiga rukun kehidupan di mana ketika safar akan terasa sulit dan capek dan inilah siksa yang dirasakan. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol)
– Anjuran untuk bersegera kembali dari safar kepada keluarganya ketika urusan safarnya telah selesai. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol)
– Solusi agar terlepas dari kesulitan tersebut adalah segera kembali dari safar. Sebagaimana ada riwayat dari Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi,
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
– Yang dimaksud adzab dalam hadits di atas adalah rasa sakit yang timbul dari kesulitan yang dihadapi ketika berkendaraan dan berjalan sampai harus meninggalkan hal-hal yang disukai. (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
– Disebutkan bahwa seorang musafir akan sulit makan, minum dan tidur. Tiga hal ini adalah tiga rukun kehidupan di mana ketika safar akan terasa sulit dan capek dan inilah siksa yang dirasakan. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol)
– Anjuran untuk bersegera kembali dari safar kepada keluarganya ketika urusan safarnya telah selesai. (Syarh Al Bukhari, Ibnu Batthol)
– Solusi agar terlepas dari kesulitan tersebut adalah segera kembali dari safar. Sebagaimana ada riwayat dari Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi,
وَأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ دَوَاء إِلَّا سُرْعَة السَّيْر
“Tidak ada obat (solusi) dari sulitnya safat selain mempercepat dalam melakukan perjalanan (pulang).” (Fathul Bari, Ibnu Hajar)
A. Adab-Adab Sebelum Safar
1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a Istikharah.
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a:
A. Adab-Adab Sebelum Safar
1. Melakukan shalat Istikharah sebelum bepergian, yaitu shalat sunnah dua raka’at kemudian berdo’a dengan do’a Istikharah.
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan al-Qur-an. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaklah melakukan shalat sunnat (Istikharah) dua raka’at kemudian membaca do’a:
“اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ، اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمِّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.”
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku memohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu Yang Mahaagung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahui dan Engkau-lah Yang Mahamengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendak-nya menyebutkan persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya ter-hadap diriku -atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau Akhirat’- sukseskanlah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku, atau -Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘…Di dunia atau akhirat,’- maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku dari padanya, takdirkan kebaikan untukku dimana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.” [HR. Al-Bukhari no. 1162, 6382 dan 7390]
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah
2. Hendaknya bertaubat kepada Allah
dari segala macam kemaksiatan yang telah diperbuatnya dan beristighfar dari setiap dosa yang dilakukannya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi setelah ia melakukan safar dan tidak mengetahui pula takdir yang menimpanya.
Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.
Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi baik.
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:
Bagi seorang yang hendak safar hendaknya mengembalikan barang-barang yang pernah dirampasnya kepada pemiliknya, membayar hutang-hutang, menyiapkan nafkah (uang belanja) kepada yang wajib diberikan nafkah, segera menyelesaikan perjanjian-perjanjian yang diulur-ulur dan menulis wasiat kepada ahli warisnya dengan dihadiri para saksi, dan meninggalkan uang belanja kepada keluarganya (isteri, anak dan orang tua) dan meninggalkan kebutuhan pokok yang dapat mencukupinya.
Hendaknya seorang yang hendak safar tidak membawa perbekalan kecuali dari sumber yang halal lagi baik.
3. Hendaknya melakukan safar (perjalanan) bersama dengan dua orang atau lebih. Sebagaimana hadits:
اَلرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ.
“Satu pengendara (musafir) adalah syaitan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaitan, dan tiga pengendara (musafir) ialah rombongan musafir.”
4. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih,
4. Seorang musafir hendaknya memilih teman perjalanan yang shalih,
yaitu orang yang dapat membantu menjaga agamanya, menegurnya apabila lupa, membantunya jika dibutuhkan dan mengajarinya apabila ia tidak tahu.
5. Mengangkat pemimpin,
5. Mengangkat pemimpin,
yaitu hendaknya menunjuk seorang ketua rombongan dalam safar, sebagaimana hadits:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.
“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.”
6. Disunnahkan safar (perjalanan) pada hari Kamis
6. Disunnahkan safar (perjalanan) pada hari Kamis
dan berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada hari Kamis.”[4]
Di dalam riwayat yang lain,
Di dalam riwayat yang lain,
لَقَلَّمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِيْ سَفَرٍ إلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari Kamis.” [HR. Al-Bukhari no. 2949]
Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:
Sedangkan dalil tentang disunnahkannya untuk berangkat pagi-pagi ketika hendak melakukan perjalanan adalah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لأُِمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا
“Ya Allah, berkahilah ummatku pada pagi harinya.” [HR. Abu Dawud no. 2606, at-Tirmidzi no. 1212, ia berkata: “Hadits ini hasan.”
Dan sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang malam, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Dan sangat disukai untuk memulai bepergian pada waktu ad-Dulajah, yaitu awal malam atau sepanjang malam, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ.”
“Hendaklah kalian bepergian pada waktu malam, karena seolah-olah bumi itu terlipat pada waktu malam.” [HR. Abu Dawud no. 2571, al-Hakim II/114, I/445, hasan]
7. Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpamitan kepada para Sahabatnya ketika akan safar (bepergian), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara mereka, dengan do’a:
7. Berpamitan kepada keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berpamitan kepada para Sahabatnya ketika akan safar (bepergian), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan do’a kepada salah seorang di antara mereka, dengan do’a:
أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ.
“Aku menitipkan agamamu, amanahmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.” [HR. Ahmad II/7, 25, 38, at-Tirmidzi no. 3443, Ibnu Hibban no. 2376, al-Hakim II/97, dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 14]
Makna أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ (aku titipkan agamamu), yaitu aku memohon kepada Allah agar berkenan menjaga agamamu (agar istiqamah dalam ketaatan kepada Allah). Sedangkan yang dimaksud dengan amanah adalah keluarga dan orang-orang yang selainnya serta harta yang dititipkan, dijaga dan dikuasakan kepada orang kepercayaan atau wakilnya atau yang semakna dengan itu.
Makna خَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ (perbuatanmu yang terakhir), yaitu do’a untuknya agar akhir perbuatannya baik (husnul khatimah). Hal ini karena, amalan terakhir merupakan amalan yang paling menentukan baginya di Akhirat kelak dan sebagai penghapus perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan.
B. Adab-Adab Ketika Safar
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
Makna أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ (aku titipkan agamamu), yaitu aku memohon kepada Allah agar berkenan menjaga agamamu (agar istiqamah dalam ketaatan kepada Allah). Sedangkan yang dimaksud dengan amanah adalah keluarga dan orang-orang yang selainnya serta harta yang dititipkan, dijaga dan dikuasakan kepada orang kepercayaan atau wakilnya atau yang semakna dengan itu.
Makna خَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ (perbuatanmu yang terakhir), yaitu do’a untuknya agar akhir perbuatannya baik (husnul khatimah). Hal ini karena, amalan terakhir merupakan amalan yang paling menentukan baginya di Akhirat kelak dan sebagai penghapus perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan.
B. Adab-Adab Ketika Safar
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
“سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ، الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، الَلَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ اْلأَهْلِ، الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ.”
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang mengurus keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.”[7]
Dalam hadits yang lain:
Dalam hadits yang lain:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ يَتَعَوَّذُ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمُنْقَلَبِ وَالْحَوْرِ بَعْدَ الْكَوْرِ، وَدَعْوَةِ الْمَظْلُوْمِ، وَسُوْءِ الْمَنْظَرِ فِي اْلأَهْلِ وَالْمَالِ.
“Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjalanan jauh, beliau berlindung kepada Allah dari kelelahan perjalanan, perubahan yang menyedihkan, kekurangan setelah kelebihan, do’a orang-orang yang teraniaya serta pemandangan yang buruk dalam keluarga dan hartanya.” [HR. Muslim no. 1343 (426)]
2. Bertakbir (mengucapkan اللهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar)) ketika sedang jalan mendaki dan bertasbih (mengucapakan سُبْحَانَ الله (Subhanallaah) ketika jalan menurun.
Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
2. Bertakbir (mengucapkan اللهُ أَكْبَرُ (Allahu Akbar)) ketika sedang jalan mendaki dan bertasbih (mengucapakan سُبْحَانَ الله (Subhanallaah) ketika jalan menurun.
Sebagaimana hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كُناَّ إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا.
“Kami apabila berjalan menanjak mengucapkan takbir (Allahu Akbar) dan apabila jalan menurun membaca tasbih (Subhanallaah).” [HR. Al-Bukhari no. 2993-2994, Ahmad III/333, ad-Da-rimi no. 2677, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 541 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 516]
3. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:
3. Memperbanyak mengucapkan do’a, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.
Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentang-nya, do’anya seorang yang dizhalimi, do’anya musafir (orang yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya.’” [HR. Ah-mad II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah oleh Imam al-Albani no. 596]
4. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan kepada kami sya’ir-sya’ir kegembiraanmu?’ Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang penyair, kemudian beliau (Amir) turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-orang, seraya berkata: ‘Ya Allah, jika tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat (hingga akhir do’a).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no. 1802 (124)]
5. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan.
Hal tersebut merupakan belas kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping memanfaatkannya untuk tidur dan beristirahat. Namun demikian, perlu memperhatikan keadaan tempat pemberhentian dan sebaiknya menjauhkan diri dari jalanan, terutama pada waktu malam hari, karena banyak serangga-serangga dan hewan melata yang berbisa, juga binatang buas berkeliaran pada malam hari di jalan-jalan untuk memudahkan gerak mereka, di samping mereka memunguti makanan yang berjatuhan (dari para musafir) atau yang lainnya di jalanan tersebut boleh jadi akan didatangi oleh mereka dan terganggu. Apabila seseorang membuat tenda, maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri dari jalanan (saat malam hari).
1. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan pada halaman 67.
Kemudian menambahkannya dengan lafazh do’a:
4. Melantunkan sya’ir dan puisi, sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan kepada kami sya’ir-sya’ir kegembiraanmu?’ Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang penyair, kemudian beliau (Amir) turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-orang, seraya berkata: ‘Ya Allah, jika tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat (hingga akhir do’a).’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no. 1802 (124)]
5. Beristirahat ketika sedang melakukan perjalanan.
Hal tersebut merupakan belas kasih kita kepada hewan tunggangan, di samping memanfaatkannya untuk tidur dan beristirahat. Namun demikian, perlu memperhatikan keadaan tempat pemberhentian dan sebaiknya menjauhkan diri dari jalanan, terutama pada waktu malam hari, karena banyak serangga-serangga dan hewan melata yang berbisa, juga binatang buas berkeliaran pada malam hari di jalan-jalan untuk memudahkan gerak mereka, di samping mereka memunguti makanan yang berjatuhan (dari para musafir) atau yang lainnya di jalanan tersebut boleh jadi akan didatangi oleh mereka dan terganggu. Apabila seseorang membuat tenda, maka sudah seharusnya ia menjauhkan diri dari jalanan (saat malam hari).
C. Adab-Adab Setelah Safar (Bepergian)
1. Mengucapkan do’a Safar (bepergian), sebagaimana telah disebutkan pada halaman 67.
Kemudian menambahkannya dengan lafazh do’a:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahua anhu]
Apabila kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi, bertakbir tiga kali kemudian berdo’a:
Apabila kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi, bertakbir tiga kali kemudian berdo’a:
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ آيِبُوْنَ، تَائِبُوْنَ، عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ، لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ، صَدَقَ اللهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” [HR. Al-Bukhari no. 1797, Muslim no. 1344 (428)]
Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:
Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang do’a tersebut:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.
“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]
Hal ini berdasarkan perkataan Anas Radhiyallahu anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengucapkan hal tersebut hingga kami tiba di Madinah. [HR. Muslim no. 1345 (429)]
2. Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan tidak disukai untuk datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang mengetuk pintu rumah keluarganya di waktu malam. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
Hal ini berdasarkan perkataan Anas Radhiyallahu anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengucapkan hal tersebut hingga kami tiba di Madinah. [HR. Muslim no. 1345 (429)]
2. Memberitahukan terlebih dahulu kedatangannya kepada keluarganya dan tidak disukai untuk datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang mengetuk pintu rumah keluarganya di waktu malam. Hal ini berdasarkan hadits berikut,
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk mengetuk (pintu rumah) keluarganya pada waktu malam hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1801, Muslim no. 715 (184), dan lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]-penj.
Dan di dalam hadits lainnya disebutkan:
Dan di dalam hadits lainnya disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَطْرُقُ أَهْلَهُ، كَانَ لاَيَدْخُلُ إِلاَّ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengetuk pintu (rumah keluarganya), tidak pula masuk (ke rumah, setelah pulang dari bepergian) kecuali pada pagi hari atau sore hari.” [HR. Al-Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1928 (180), lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hikmah, di balik dari pelarangan tersebut, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hikmah, di balik dari pelarangan tersebut, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ وَتَسْتَحِدَّ الْمُغِيْبَةُ.
“Agar keluarganya mempunyai waktu terlebih dahulu untuk merapikan diri, berhias, menyisir rambut yang kusut dan dapat bersolek setelah ditinggal pergi.” [HR. Muslim no. 715 (181)]
3. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:
3. Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ.
“Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari bepergian pada saat Dhuha, beliau masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat dua raka’at sebelum duduk.” [HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769, lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Sedangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Aku pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata kepadaku:
اُدْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ.
“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]
_______
[1] Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
_______
[1] Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيءٌ يُوْصِيْ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ.
“Tiada hak bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang di dalamnya (harus) diwasiatkan, lantas ia bermalam sampai dua malam melainkan wasiat itu harus (sudah) ditulis olehnya.” ]HR. Al-Bukhari no. 2738, Muslim no. 1627, Abu Dawud no. 2862, Ibnu Majah no. 2702, lihat Irwaa-ul Ghaliil no. 1652]-penj