
3 Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam
Teladan dari Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam
Selain dari pengorbanan yang dilakukan oleh generasi awal manusia di dunia, sejarah kurban yang dilakukan umat Islam pun tidak terlepas dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, seorang nabi yang amat bertakwa.
Di mana Nabi Ibrahim benar-benar menjalankan perintah Allah Ta’ala, meskipun perintah tersebut di luar kebiasaan dan nalar manusia, yaitu menyembelih anaknya sendiri.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat Ash-Shaffat ayat 103—105,
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ، وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ، قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ
“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya),(untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia,‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Urgensi Ibadah Kurban Bagi Umat Islam
Dari kisah Qabil dan Habil serta kisah Nabi Ibrahim, dapat disimpulkan bahwa kurban merupakan ibadah yang bernilai sangat tinggi. Sehingga, Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berkurban sebagai bukti akan kecintaan dan ketakwaan mereka kepada-Nya.
Pertama: Sebagai Bukti Ketakwaan
Keimanan serta ketakwaan seseorang tentu membutuhkan bukti nyata, yaitu berupa pengorbanan yang dilakukan. Untuk itu, syariat kurban merupakan bukti ketakwaan seseorang, dan melaksanakannya pun harus dilandasi dengan keimanan serta ketakwaan kepada Allah.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat al-Hajj ayat 37,
لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”
Kedua: Sebagai Bentuk Rasa Syukur
Bentuk rasa syukur seseorang atas segala nikmat yang telah Allah karuniakan adalah dengan cara menggunakan nikmat tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Untuk itu, kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah karuniakan pada diri kita, baik yang terlihat, seperti mata, telinga, tangan, dan kaki ataupun yang tidak terlihat, seperti pembuluh darah, syaraf, dan sel merupakan nikmat yang patut untuk kita syukuri.
Sehingga dengan melakukan ibadah kurban, seakan-akan kita telah menyukuri seluruh nikmat yang Allah karuniakan pada diri kita, karena binatang memiliki organ tubuh sebagaimana yang kita miliki.
Bahkan terkait ibadah kurban sebagai rasa syukur ini, Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Kausar ayat 1—2,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ، فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”
Ketiga: Menumbuhkan Jiwa Sosial
Berkurban tidak hanya ibadah yang terkait hubungan manusia dengan Allah saja. Melainkan, ia juga ibadah yang bersifat sosial sehingga akan menumbuhkan sifat saling berbagai dan menghilangkan sifat rakus serta tamak.
Untuk itu, dengan berkurban seseorang seakan-akan telah menyembelih sifat tamak dan rakus yang terdapat dalam diri binatang. Sehingga, ibadah kurban sangat penting untuk kita laksanakan, khususnya bagi yang memiliki harta untuk membeli binatang sembelihan, baik kambing, sapi, maupun unta.
Terkait pentingnya ibadah kurban ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, hadits riwayat Ibnu Majah nomor 3123 dan Ahmad nomor 8273,
“Siapa yang memiliki kelapangan rezeki, tetapi tidak berkurban maka janganlah dia mendekati lapangan tempat shalat kami.”
Rosulullah berqurban untuk Ummatnya (Berserikat dalam Pahala)
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan seekor domba yang bertanduk yang kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk diqurbankan, lantas beliau bersabda kepada ‘Aisyah,
‘Wahai ‘Aisyah bawalah pisau kemari.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Asahlah pisau ini dengan batu.’
Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang beliau perintahkan. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya, lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan, ‘Dengan nama Allah, ya Allah terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.’ Beliau berqurban dengannya.’” (HR. Muslim no. 1967).
Berkurban tidak hanya ibadah yang terkait hubungan manusia dengan Allah saja. Melainkan, ia juga ibadah yang bersifat sosial sehingga akan menumbuhkan sifat saling berbagai dan menghilangkan sifat rakus serta tamak.
Untuk itu, dengan berkurban seseorang seakan-akan telah menyembelih sifat tamak dan rakus yang terdapat dalam diri binatang. Sehingga, ibadah kurban sangat penting untuk kita laksanakan, khususnya bagi yang memiliki harta untuk membeli binatang sembelihan, baik kambing, sapi, maupun unta.
Terkait pentingnya ibadah kurban ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, hadits riwayat Ibnu Majah nomor 3123 dan Ahmad nomor 8273,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Rosulullah berqurban untuk Ummatnya (Berserikat dalam Pahala)
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِكَبْشٍ أَقْرَنَ، يَطَأُ فِي سَوَادٍ، وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ، فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ، فَقَالَ لَهَا: يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ: أَشْحِذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ، ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَهُ، فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ» ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan seekor domba yang bertanduk yang kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk diqurbankan, lantas beliau bersabda kepada ‘Aisyah,
‘Wahai ‘Aisyah bawalah pisau kemari.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Asahlah pisau ini dengan batu.’
Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang beliau perintahkan. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya, lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan, ‘Dengan nama Allah, ya Allah terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.’ Beliau berqurban dengannya.’” (HR. Muslim no. 1967).
Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibasy, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata,”Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah kurbanku dan kurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban.”
Mewaspadai Jebakan Setan dalam Ibadah qurban
Di antara jebakan-jebakan setan dalam hal ini adalah menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai semata-mata ajeng pamer dan berbangga diri. Setan berusaha keras menjerumuskan kita, agar hewan qurban yang kita sembelih tidak mengantarkan kita kepada ketakwaan dan sarana mempererat ukhuwah dengan sesama umat Islam.
Setan menjadikan ibadah penyembelihan hewan sebagai ajang pamer dan riya’ serta berbangga diri. “Ini lho, dusun kami, masjid kami, hanya terdiri dari 50 KK, atau 100 KK, tapi kami mampu menyembelih 25 ekor sapi, 50 ekor sapi, 75 ekor sapi. Ini lho, di dusun kami, masjid kami, semua hewan yang disembelih adalah sapi. Di sini, dusun kami, masjid kami, kambing itu tidak laku.”
Tidak berhenti sampai di situ, setan menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai sarana untuk menonjolkan penyakit kekikiran dan ketidakpedulian terhadap nasib sesama umat Islam yang mengalami kesusahan ekonomi.
Di antara jebakan-jebakan setan dalam hal ini adalah menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai semata-mata ajeng pamer dan berbangga diri. Setan berusaha keras menjerumuskan kita, agar hewan qurban yang kita sembelih tidak mengantarkan kita kepada ketakwaan dan sarana mempererat ukhuwah dengan sesama umat Islam.
Setan menjadikan ibadah penyembelihan hewan sebagai ajang pamer dan riya’ serta berbangga diri. “Ini lho, dusun kami, masjid kami, hanya terdiri dari 50 KK, atau 100 KK, tapi kami mampu menyembelih 25 ekor sapi, 50 ekor sapi, 75 ekor sapi. Ini lho, di dusun kami, masjid kami, semua hewan yang disembelih adalah sapi. Di sini, dusun kami, masjid kami, kambing itu tidak laku.”
Tidak berhenti sampai di situ, setan menjadikan penyembelihan hewan qurban sebagai sarana untuk menonjolkan penyakit kekikiran dan ketidakpedulian terhadap nasib sesama umat Islam yang mengalami kesusahan ekonomi.