Nuzulul Qur'an
Kapan Al-Qur’an itu diturunkan?
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu turunnya Alquran. Sebagian berpendapat pada 17 Ramadhan, sebagian lagi mengatakan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal 21/24 Ramadhan.
Pendapat Pertama mengatakan Alquran diturunkan pada malam 17 Ramadhan
didasarkan pada hadits berikut :
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : مَا أَشُكُّ وَلاَ أَمْتَرِي أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعَ عَشْرَةَ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ أُنْزِل الْقُرْآنُ
“Dari Zaid bin Arqam radhiyallahuanhu berkata, ”Aku tidak ragu bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Al-Quran.” (HR. Ath-Thabarani dan Abu Syaibah)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa malam Qadar itu adalah malam yang siangnya terjadi Perang Badar, berdasarkan firman Allah SWT:
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa malam Qadar itu adalah malam yang siangnya terjadi Perang Badar, berdasarkan firman Allah SWT:
إِنْ كُنْتُم آمَنْتُمْ باِللهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
“Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfal : 41).
Imam Thabari menjelaskan dengan sanad dari Hasan bin Ali:
Imam Thabari menjelaskan dengan sanad dari Hasan bin Ali:
كانت ليلة الفرقان يوم التقى الجمعان لسبع عشرة من شهر رمضان
Malam al-Furqan (malam diturunkannya al-qur’an ) adalah bertepatan hari pertempuran dua golongan yaitu tanggal 17 Ramadan Artinya tanggal 17 Ramadhan merupakan momen penting dalam sejarah Islam, selain hari berlangsungnya perang Badar, juga merupakan waktu pertama kali diturunkannya al-Qur’an kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril.
Menurut para ahli sejarah, pada tanggal 17 Ramadhan itulah terjadi peristiwa Nuzulul Qur’an atau pertama kali turunnya Al Quran dari langit dunia ke muka bumi.
Jumlahnya hanya 5 ayat saja, yaitu awal ayat Surat Al-‘Alaq. Jadi tepatnya malam 17 Ramadhan itu adalah malam awal mula turunnya 5 ayat Qur’an pertama ke muka bumi dari langit dunia.
Kedua berpandangan Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar
Penjelasan dalam literasi Tafsir Jalalain dan tafsir Ibnu Katsir
Menurut para ahli sejarah, pada tanggal 17 Ramadhan itulah terjadi peristiwa Nuzulul Qur’an atau pertama kali turunnya Al Quran dari langit dunia ke muka bumi.
Jumlahnya hanya 5 ayat saja, yaitu awal ayat Surat Al-‘Alaq. Jadi tepatnya malam 17 Ramadhan itu adalah malam awal mula turunnya 5 ayat Qur’an pertama ke muka bumi dari langit dunia.
Kedua berpandangan Al-Qur’an turun pada malam Lailatul Qadar
Penjelasan dalam literasi Tafsir Jalalain dan tafsir Ibnu Katsir
تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 1
«إنا أنزلناه » أي القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى السماء الدنيا «في ليلة القدر» أي الشرف العظيم.
“Sesungguhnya kami turunkan (Al-Qur’an) ya’ni ” turun sekaligus/ jumlatan waahidatan” dari lauhil Mahfudz ke langit dunia ” pada malam Lailatul Qadar/ malam yg mulia dan agung”. (Tafsir Jalalain)
Ketika usia Nabi Muhammad mendekati 40 tahun, beliau sering kali merenungi kondisi kaumnya dan menyadari banyak keadaan dari kaumnya yang tidak sejalan dengan kebenaran. Lantaran hal tersebut, beliau pun mulai sering uzlah (mengasingkan diri) dari kaumnya, beliau biasa ber-tahannuts di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur. Gua Hira adalah gua kecil yang lebarnya 1,75 dzira’ dan panjangnya 4 dzira’ dengan ukuran dzira’ hadid atau ukuran hasta dari besi.
Dengan membawa bekal air dan roti gandum, beliau tinggal di dalam gua tersebut. Di sana beliau menghabiskan waktu untuk beribadah dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam raya yang begitu sempurna. Selama perenungan tersebut, beliau juga semakin menyadari keterpurukan yang dialami oleh kaumnya. Banyak dari mereka yang terbelenggu dan tidak bisa terlepas dari keyakinan-keyakinan syirik. Namun, beliau belum memiliki jalan yang terang dan pedoman yang jelas mengenai bagaimana jalan yang harus ditempuh agar kaumnya bisa terbebas dan menjauhi belenggu kesyirikan.
Ketika usia Nabi Muhammad genap 40 tahun, tanda-tanda kenabian beliau semakin tampak dan jelas. Di antaranya adalah adanya sebuah batu di Makkah yang mengucapkan salam kepada beliau.
إنا أنـزلناه في ليلة القدر: تفسير ابن كثير
الله تعالى أنه أنزل القرآن ليلة القدر ، وهي الليلة المباركة التي قال الله عز وجل : ( إنا أنزلناه في ليلة مباركة ) [ الدخان : 3 ] وهي ليلة القدر ، وهي من شهر رمضان ، كما قال تعالى : ( شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن ) [ البقرة : 185 ] .قال ابن عباس وغيره : أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العزة من السماء الدنيا ، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم .
الله تعالى أنه أنزل القرآن ليلة القدر ، وهي الليلة المباركة التي قال الله عز وجل : ( إنا أنزلناه في ليلة مباركة ) [ الدخان : 3 ] وهي ليلة القدر ، وهي من شهر رمضان ، كما قال تعالى : ( شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن ) [ البقرة : 185 ] .قال ابن عباس وغيره : أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العزة من السماء الدنيا ، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم .
Bahwasanya Allah SWT menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh berkah, hal ini didasarkan pada firman Allah surat Addukhon ayat 3. Yaitu malam Lailatul Qadar dibulan Ramadhan (Al-Baqarah 185). Ibnu Abbas dan yang lainnya menegaskan “Allah menurunkan Al-Qur’an sekaligus (30 juz, red) dari lauhil Mahfudz ke Baitul Izzah langit dunia. Kemudian turun berangsur angsur sesuai dengan peristiwa dalam kurun waktu 23 tahun kepada Rasulullah SAW. (Tafsir Ibnu Katsir)
Selanjutnya, ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara Allah menurunkan al-Quran di malam qadar.
As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Quran menyebutkan ada 3 pendapat,
Pertama, al-Quran turun secara utuh keseluruhan ke langit dunia pada saat lailatul qadar. Selanjutnya Allah turunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian.
Kata as-Suyuthi, ‘Ini adalah pendapat yang paling shahih dan paling terkenal’.
Kedua, al-Quran turun setiap lailatul qadar selama masa kenabian. Kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama setahun itu.
Sebagai ilustrasi, (hanya permisalan untuk mendekati pemahaman)
Di malam qadar tahun 1 Hijriyah, Allah menurunkan 2 juz al-Quran. Selanjutnya, al-Quran sebanyak 2 juz itu, turun secara berangsur-angsur selama setahun. Hingga datang lailatul qadar di tahun 2 H. Lalu Allah turunkan lagi 3 Juz (misalnya) di malam qadar tahun 2 H. Selanjutnya turun secara berangsur-angsur selama setahun, hingga datang lailatul qadar di tahun 3 H, dan demikian seterusnya.
As-Suyuthi menyebutkan, ini merupakan pendapat Fakhruddin ar-Rozi.
Ketiga, al-Quran pertama kali turun di lailatul qadar. Selanjuntnya al-Quran turun berangsur-angsur di waktu yang berbeda-beda. Ini merupakan pendapat as-Sya’bi.
Dan as-Suyuthi lebih cenderung menguatkan pendapat yang pertama. Beliau menyebutkan riwayat yang mendukung pendapat ini. Diantaranya,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bulan Ramadhan adalah bulan pilihan diturunkannya Al-Qurán yang mulia. Bahkan kitab suci ilahiyah juga diturunkan oleh Allah di bulan Ramadhan pada para nabi.”(Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:57)
Allah Ta’ala berfirman,
Selanjutnya, ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara Allah menurunkan al-Quran di malam qadar.
As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Quran menyebutkan ada 3 pendapat,
Pertama, al-Quran turun secara utuh keseluruhan ke langit dunia pada saat lailatul qadar. Selanjutnya Allah turunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian.
Kata as-Suyuthi, ‘Ini adalah pendapat yang paling shahih dan paling terkenal’.
Kedua, al-Quran turun setiap lailatul qadar selama masa kenabian. Kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama setahun itu.
Sebagai ilustrasi, (hanya permisalan untuk mendekati pemahaman)
Di malam qadar tahun 1 Hijriyah, Allah menurunkan 2 juz al-Quran. Selanjutnya, al-Quran sebanyak 2 juz itu, turun secara berangsur-angsur selama setahun. Hingga datang lailatul qadar di tahun 2 H. Lalu Allah turunkan lagi 3 Juz (misalnya) di malam qadar tahun 2 H. Selanjutnya turun secara berangsur-angsur selama setahun, hingga datang lailatul qadar di tahun 3 H, dan demikian seterusnya.
As-Suyuthi menyebutkan, ini merupakan pendapat Fakhruddin ar-Rozi.
Ketiga, al-Quran pertama kali turun di lailatul qadar. Selanjuntnya al-Quran turun berangsur-angsur di waktu yang berbeda-beda. Ini merupakan pendapat as-Sya’bi.
Dan as-Suyuthi lebih cenderung menguatkan pendapat yang pertama. Beliau menyebutkan riwayat yang mendukung pendapat ini. Diantaranya,
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bulan Ramadhan adalah bulan pilihan diturunkannya Al-Qurán yang mulia. Bahkan kitab suci ilahiyah juga diturunkan oleh Allah di bulan Ramadhan pada para nabi.”(Tafsir Al-Qurán Al-Ázhim, 2:57)
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5).
Dalam surat Al Qadar di atas disebutkan bahwa Allah menurunkan Al Qur’an pada Lailatul Qadar. Malam ini adalah malam yang diberkahi sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,
Dalam surat Al Qadar di atas disebutkan bahwa Allah menurunkan Al Qur’an pada Lailatul Qadar. Malam ini adalah malam yang diberkahi sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi” (QS. Ad Dukhon: 3). Malam yang diberkahi yang dimaksud di sini adalah Lailatul Qadar yang terdapat di bulan Ramadhan. Karena Al Qur’an itu diturunkan di bulan Ramadhan seperti disebut dalam ayat,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran ” (QS. Al Baqarah: 185).
Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan mengenai nuzulul Qur’an, yaitu waktu diturunkannya permulaan Al Qur’an. Ibnu ‘Abbas berkata,
Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan mengenai nuzulul Qur’an, yaitu waktu diturunkannya permulaan Al Qur’an. Ibnu ‘Abbas berkata,
أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العِزّة من السماء الدنيا، ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Al Qur’an secara keseluruhan diturunkan dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Lalu diturunkan berangsur-angsur kepada Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan peristiwa-peristiwa dalam jangka waktu 23 tahun.” (HR. Thobari, An Nasai dalam Sunanul Kubro, Al Hakim dalam Mustadroknya, Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Hadits ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Ibnu Hajar pun menyetujui sebagaimana dalam Al Fath, 4: 9).
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah itu menjadikan permulaan turunnya Al Qur’an adalah di bulan Ramadhan di malam Lailatul Qadar.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 931).
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah itu menjadikan permulaan turunnya Al Qur’an adalah di bulan Ramadhan di malam Lailatul Qadar.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 931).
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. ” (QS. Shaad: 29).
Al Hasan Al Bashri berkata, “Demi Allah, jika seseorang tidak merenungkan Al Qur’an dengan menghafalkan huruf-hurufnya lalu ia melalaikan hukum-hukumnya sehingga ada yang mengatakan, “Aku telah membaca Al Qur’an seluruhnya.” Padahal kenyataannya ia tidak memiliki akhlak yang baik dan tidak memiliki amal.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 418-419).
Al Hasan Al Bashri berkata, “Demi Allah, jika seseorang tidak merenungkan Al Qur’an dengan menghafalkan huruf-hurufnya lalu ia melalaikan hukum-hukumnya sehingga ada yang mengatakan, “Aku telah membaca Al Qur’an seluruhnya.” Padahal kenyataannya ia tidak memiliki akhlak yang baik dan tidak memiliki amal.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 418-419).
Kitab Samawi Turun di Bulan Ramadhan
Dari Watsilah bin Al-Asqa’, Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam bersabda, “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada awal Ramadhan. Taurat diturunkan pada awal-awal Ramadhan. Injil turun pada 13 Ramadhan. Sedangkan Al-Qurán diturunkan oleh Allah pada 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad, 4:107, dihasankan oleh Imam As-Suyuthi. Syaikh Al-Albani menyebutkan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1575).
Diriwayatkan dari Jabir bin Ábdillah, Zabur diturunkan pada 12 Ramadhan, Injil diturunkan pada 18 Ramadhan, sedangkan yang lainnya sama seperti disebutkan di atas. (HR. Abu Ya’la, hadits ini dhaif jiddan).
Shuhuf (lembaran) Ibrahim, Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan masing-masing pada nabi-nabinya sekaligus (jumlatan waahidatan). Sedangkan Al-Qurán diturnkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia, ini terjadi pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Inilah yang difirmankan Allah Taála,
___________________________________
Diriwayatkan dari Jabir bin Ábdillah, Zabur diturunkan pada 12 Ramadhan, Injil diturunkan pada 18 Ramadhan, sedangkan yang lainnya sama seperti disebutkan di atas. (HR. Abu Ya’la, hadits ini dhaif jiddan).
Shuhuf (lembaran) Ibrahim, Taurat, Zabur, dan Injil diturunkan masing-masing pada nabi-nabinya sekaligus (jumlatan waahidatan). Sedangkan Al-Qurán diturnkan sekaligus di Baitul Ízzah di langit dunia, ini terjadi pada Lailatul Qadar di bulan Ramadhan. Inilah yang difirmankan Allah Taála,
___________________________________
Kisah Nabi Muhammad Menerima Wahyu Pertama
Ketika usia Nabi Muhammad mendekati 40 tahun, beliau sering kali merenungi kondisi kaumnya dan menyadari banyak keadaan dari kaumnya yang tidak sejalan dengan kebenaran. Lantaran hal tersebut, beliau pun mulai sering uzlah (mengasingkan diri) dari kaumnya, beliau biasa ber-tahannuts di Gua Hira yang terletak di Jabal Nur. Gua Hira adalah gua kecil yang lebarnya 1,75 dzira’ dan panjangnya 4 dzira’ dengan ukuran dzira’ hadid atau ukuran hasta dari besi.
Dengan membawa bekal air dan roti gandum, beliau tinggal di dalam gua tersebut. Di sana beliau menghabiskan waktu untuk beribadah dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam raya yang begitu sempurna. Selama perenungan tersebut, beliau juga semakin menyadari keterpurukan yang dialami oleh kaumnya. Banyak dari mereka yang terbelenggu dan tidak bisa terlepas dari keyakinan-keyakinan syirik. Namun, beliau belum memiliki jalan yang terang dan pedoman yang jelas mengenai bagaimana jalan yang harus ditempuh agar kaumnya bisa terbebas dan menjauhi belenggu kesyirikan.
Ketika usia Nabi Muhammad genap 40 tahun, tanda-tanda kenabian beliau semakin tampak dan jelas. Di antaranya adalah adanya sebuah batu di Makkah yang mengucapkan salam kepada beliau.
إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ
“Sesungguhnya aku menjumpai sebuah batu di Kota Makkah mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus (menjadi nabi). Sesungguhnya aku masih mengingatnya sampai sekarang.” (H.R. Muslim No. 2277).
Selanjutnya di antara tanda kenabian lainnya adalah mimpi-mimpi beliau yang semakin jelas dan nyata yang disebut dengan istilah “Ru’ya Al-Shalihah” atau “Ru’ya Al-Shadiqah”.
Selanjutnya di antara tanda kenabian lainnya adalah mimpi-mimpi beliau yang semakin jelas dan nyata yang disebut dengan istilah “Ru’ya Al-Shalihah” atau “Ru’ya Al-Shadiqah”.
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Sebuah mimpi yang benar adalah salah satu dari 46 tanda kenabian.” (H.R. Muslim No. 2263).
Ketika uzlah, Nabi Muhammad memasuki tahun ketiga, saat itu beliau berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut penanggalan kalender hijriah atau sekitar 39 tahun, 3 bulan, 20 hari menurut penanggalan kalender masehi. Tepatnya di bulan Ramadan, Allah mengangkat beliau menjadi nabi, ditandai dengan diutusnya malaikat Jibril turun dengan membawa wahyu pertama kepada Nabi Muhammad bagi umat Islam. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari, bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahuanhu berkata, ”Aku tidak ragu bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Al-Quran.” (HR.Ath-Thabarani dan Abu Syaibah).
Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi kemudian menjelaskan, “Malaikat itu memegang dan mendekapku sangat kuat kemudian melepaskanku dan kembali berkata, “Bacalah!” Lalu aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu malaikat itu kembali memegang dan mendekapku dengan sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Malaikat itu kembali memegangku lalu mendekapku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.” (H.R. Bukhari No. 6982).
Setelah menerima wahyu di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. pulang dengan kondisi tubuh yang gemetar dan tergesa-gesa agar bergegas masuk ke rumah Siti Khadijah. Dengan kondisi tubuh yang gemetar, Nabi Muhammad saw. meminta kepada Siti Khadijah dengan berkata kepadanya, “Selimuti aku, selimuti aku.” Siti Khadijah pun menyelimuti beliau yang gemetar dan ketakutan. Kemudian Nabi Muhammad saw. bertanya, “Wahai Siti Khadijah, apa sebenarnya yang terjadi denganku ini?” Lalu Nabi Muhammad saw. menyampaikan kejadian yang telah beliau alami, “Aku sangat khawatir terhadap diriku.” Maka Siti Khadijah mengatakan, “Janganlah sekali-kali engkau takut, demi Allah, dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang selalu menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang yang kesusahan, pemberi kepada orang miskin yang membutuhkan, penjamu tamu, serta penolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Setelah itu Siti Khadijah mengajak Nabi Muhammad saw. pergi bersama menemui Waraqah bin Naufal untuk menanyakan kejadian yang telah dialami oleh suaminya. Waraqah adalah saudara dari ayahnya Siti Khadijah. Dia merupakan pemeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliah yang pandai dalam bahasa Arab sehingga telah banyak menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. Namun, ketika itu usianya telah lanjut dan pandangannya sudah tidak jelas. Siti Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.” Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku, apa yang terjadi kepadamu?” Nabi Muhammad saw. menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa, Wahai Muhammad, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.” Nabi Muhammad saw. bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, pasti. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau, kecuali pasti akan dimusuhi oleh orang. Jika aku masih menjumpai hari itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekuat-kuatnya.” Namun, tidak berselang lama dari kejadian tersebut, Waraqah bin Naufal telah meninggal dunia.” (H.R. Al Bukhari No. 6982).
Ketika uzlah, Nabi Muhammad memasuki tahun ketiga, saat itu beliau berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut penanggalan kalender hijriah atau sekitar 39 tahun, 3 bulan, 20 hari menurut penanggalan kalender masehi. Tepatnya di bulan Ramadan, Allah mengangkat beliau menjadi nabi, ditandai dengan diutusnya malaikat Jibril turun dengan membawa wahyu pertama kepada Nabi Muhammad bagi umat Islam. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadan di malam hari, bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahuanhu berkata, ”Aku tidak ragu bahwa malam 17 Ramadhan adalah malam turunnya Al-Quran.” (HR.Ath-Thabarani dan Abu Syaibah).
Malaikat Jibril datang kepada Nabi Muhammad dan berkata, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Nabi kemudian menjelaskan, “Malaikat itu memegang dan mendekapku sangat kuat kemudian melepaskanku dan kembali berkata, “Bacalah!” Lalu aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu malaikat itu kembali memegang dan mendekapku dengan sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!” Aku menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Malaikat itu kembali memegangku lalu mendekapku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.” (H.R. Bukhari No. 6982).
Setelah menerima wahyu di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. pulang dengan kondisi tubuh yang gemetar dan tergesa-gesa agar bergegas masuk ke rumah Siti Khadijah. Dengan kondisi tubuh yang gemetar, Nabi Muhammad saw. meminta kepada Siti Khadijah dengan berkata kepadanya, “Selimuti aku, selimuti aku.” Siti Khadijah pun menyelimuti beliau yang gemetar dan ketakutan. Kemudian Nabi Muhammad saw. bertanya, “Wahai Siti Khadijah, apa sebenarnya yang terjadi denganku ini?” Lalu Nabi Muhammad saw. menyampaikan kejadian yang telah beliau alami, “Aku sangat khawatir terhadap diriku.” Maka Siti Khadijah mengatakan, “Janganlah sekali-kali engkau takut, demi Allah, dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang selalu menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang yang kesusahan, pemberi kepada orang miskin yang membutuhkan, penjamu tamu, serta penolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Setelah itu Siti Khadijah mengajak Nabi Muhammad saw. pergi bersama menemui Waraqah bin Naufal untuk menanyakan kejadian yang telah dialami oleh suaminya. Waraqah adalah saudara dari ayahnya Siti Khadijah. Dia merupakan pemeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliah yang pandai dalam bahasa Arab sehingga telah banyak menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. Namun, ketika itu usianya telah lanjut dan pandangannya sudah tidak jelas. Siti Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.” Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku, apa yang terjadi kepadamu?” Nabi Muhammad saw. menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa, Wahai Muhammad, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.” Nabi Muhammad saw. bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, pasti. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau, kecuali pasti akan dimusuhi oleh orang. Jika aku masih menjumpai hari itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekuat-kuatnya.” Namun, tidak berselang lama dari kejadian tersebut, Waraqah bin Naufal telah meninggal dunia.” (H.R. Al Bukhari No. 6982).