"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Cara Duduk diantara dua sujud berdasarkan hadits

Cara Duduk diantara dua sujud berdasarkan hadits
Duduk Iftirosy

Duduk antara dua sujud dilakukan setelah sujud pertama dan sebelum sujud kedua dalam setiap sholat. adapun bentuk duduk antara dua sujud adalah duduk iftirosy, yakni kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan. sebagaimana yang tecantum dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.

Hadits Abu Humaid As Sa’idi.

فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ

“Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk setelah melakukan dua raka’at, kaki kiri saat itu diduduki dan kaki kanan ditegakkan. Adapun saat duduk di raka’at terakhir (tasyahud akhir), kaki kiri dikeluarkan, kaki kanan ditegakkan, lalu duduk di lantai.” (HR. Bukhari).


Dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dan imam Abu Daud disebutkan,

ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا

“Kemudian kaki kiri dibengkokkan dan diduduki. Kemudian kembali lurus hingga setiap anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud.”(HR. Tirmidzi dan Abu Daud).

Juga hal ini disebutkan dalam kitab sunan disebutkan hadits Abu Humaid As Sa’idiy,

إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika telah pada dua raka’at yang merupakan raka’at terakhir (terdapat salam), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk di lantai secara tawarruk, kemudian beliau salam.” (HR. An Nasai ).

Mengenai Do'a atau bacaan dalam duduk antara dua sujud, bisa dibaca di sini :
Bacaan Sholat Berdasarkan Hadits-hadits Shahih

Duduk Iftirosy dan Tawarruk dalam Tasyahud

Duduk Iftirosy dan Tawarruk dalam Tasyahud


Pengertian Duduk Iftirosy dan Duduk Tawarruk

Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sebagaimana yang sering kita lakukan, duduk iftirosy adalah duduk seperti pada duduk antara dua sujud dan juga duduk pada saat tasyahud awwal.

Sedangkan Duduk Tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri di bawah kaki kanan, dan duduknya di atas tanah/lantai. hal ini sering kita praktekan pada saat duduk tasyahud akhir.

Perbedaan Pendapat tentang tatacara duduk tasyahud 

Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengetengahkan Perbedaan pendapat dikalangan ulama perihal duduk iftirosy dan duduk tawarruk, adapun perbedaan tersebut sebagai berikut:


  • Pertama : Imam Malik dan pengikutnya

Duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita. Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

“Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu.” (HR. Bukhori)

Dalil lain yang digunakan adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- التَّشَهُّدَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا فَكُنَّا نَحْفَظُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ حِينَ أَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَهُ إِيَّاهُ – قَالَ – فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di pertengahan dan di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia berkata, “Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk tawarruk di atas kaki kirinya, ” (HR. Ahmad) -- sebagian ulama melemahkan hadist ini--

Kedua : Pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya 

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy. beliau  berdalil dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. (iftirosy-pen)” (HR. Muslim)

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata,

قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Aku tiba di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.” (HR. Tirmidzi)

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair) , ia berkata,

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan kaki kanannya.” (HR. Ibnu Hibban)

Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan.


  • Ketiga : Pendapat Imam Asy Syafi’i. 

Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan duduk tasyahud akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk.

Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirosy.

Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.


  • Keempat : Pendapat Imam Ahmad . 

Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat Imam Asy Syafi’i dan pendapat Imam Ahmad, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.

Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.

Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad berdalil dengan berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata :

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).” (HR. Bukhori)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, Mengenai maksud “Jika duduk pada raka’at terakhir …”, ” dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh, حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ. “(Sampai jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”). Dan dalam riwayat Ibnu Hibban,
الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.
“(Pada raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya.”

Al-hafidz Ibnu Hazar berkata : “Hadits ini (dari riwayat abu humaid) merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.

Ibnu Hajar rahimahullah juga mengatakan, Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits, فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة “Di raka’at terakhir.”

Ditempat lain Imam An Nawawi rahimahullah berkata : Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secata tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam.”

Hadits berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafi’i,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.” (HR. Nasa'i)

Kesimpulan :

Dengan demikian, dari sekian pendapat yang telah dikemukakan maka  pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. yakni Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. sedangkan tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk.


Hadits Shahih tentang Isra mi'raj Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam



Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim; dan lafal hadits ini berdasarkan Imam Muslim.

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ، وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ، وَدُونَ الْبَغْلِ، يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ» ، قَالَ: «فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ» ، قَالَ: «فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ»

Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farruh, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah menceritakan kepada kami Tsabit al-Bunani daripada Anas bin Malik : bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaIhi wasallam bersabda: Didatangkan kepadaku Buraq, seekor tunggangan putih, lebih tinggi dari keledai dan lebih rendah dari baghal, ia berupaya meletakkan telapak kakinya di ujung pandangannya. Setelah menungganginya, maka Buraq itu berjalan membawaku hingga sampai ke Baitul Maqdis. Aku ikat (tambat) tunggangan itu di tempat para Nabi biasa menambatkan tunggangan mereka.

قَالَ " ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ، وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ، فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ، فَقَالَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ،
Lalu aku masuk dan menunaikan sholat dua raka’at di dalamnya. Setelah itu aku keluar dan disambut oleh Jibril dengan secawan arak dan susu. Ketika aku memilih susu, maka Jibril berkata: “Engkau telah memilih fitrah (yaitu Islam dan Istiqomah)”.

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ [ص:146]، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: َ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ، فَرَحَّبَ بِي، وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ،


Kemudian aku dibawa naik ke langit dunia.Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, maka terdengarlah suara yang bertanya, “Engkau siapa?” “Jibril.” Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bertujuan menghadap Rabb-nya)? “Ya.” Jawab Jibril. Setelah masuk, ternyata di sana aku bertemu dengan Nabi Adam 'alaihisalam dan beliau segera menyambutku lalu mendoakan kebaikan untukku.

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِابْنَيْ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ، وَيَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّاءَ، صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمَا، فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ، 

Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit kedua. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?” “Jibril.” Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tangan penjaga pintu langit.”Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya lagi, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?” “Ya.” Jawab Jibril. Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu dua orang yang bersaudara (sepupu), yaituYahya 'alayhissalam dan Isa 'alayhissalam. Setelah menyambut kedatanganku, mereka pun mendoakan kebaikan untukku.


ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنَ أَنْتَ؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا هُوَ قَدِ اُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ،
Kemudian kami dibawa lagi naik ke langit ketiga. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?” “Jibril.” Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?” “Ya.” Jawab Jibril. Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Yusuf 'alaihissalam. Sungguh, beliau telah dianugerahkan dengan separuh ketampanan. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قَالَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا} [مريم: 57] ، 

Kamudian kami diangkat lagi ke langit keempat. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?” “Jibril.” Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah beliau diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?” “Ya”, kembali Jibril menjawab. Setelah pintu langit dibuka, ternyata aku bertemu Nabi Idris 'alaihissalam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berbunyi: 
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam 19: 57)

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ فَقَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَحَّبَ، وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، 


Kemudian kami diangkat lagi ke langit kelima. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”. “Jibril” jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?” “Ya.” Jawab Jibril. Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Harun ‘alayhis Salam. Setelah menyambutku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، قِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ، 


Kemudian kami diangkat ke langit keenam. Dan manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?” “Jibril.” Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penunggu pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus (untuk dinaikkan ke langit bagi tujuan menghadap Rabb-nya)?”. “Ya.” Jawab Jibril. Setelah pintu langit dibuka, aku bertemu Nabi Musa ‘alaihis Salam. Setelah menyambut kedatanganku, beliau pun mendoakan kebaikan untukku.

ثُمَّ عُرِجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ، فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ، قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قِيلَ: وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ، فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ،

Kemudian kami diangkat lagi sehingga ke langit ketujuh. Manakala Jibril meminta dibukakan pintu langit, terdengar suara bertanya, “Engkau siapa?”. “Jibril”. Jawabnya. “Engkau bersama siapa?” Tanya penjaga pintu langit. “Muhammad.” Jawab Jibril. Penjaga pintu langit bertanya, “Adakah dia diutus untuk dinaikkan bagi tujuan berjumpa dengan Rabb-nya?” “Ya.” Jawab Jibril. Setelah pintu langit dibukakan, aku bertemu Nabi Ibrahim ‘alaihis Salam. Aku melihatnya sedang duduk bersandar ke Baitul Ma’mur. Tempat tersebut setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat (apabila mereka keluar darinya, maka) mereka tidak akan kembali lagi.

ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ، وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلَالِ "، قَالَ: " فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ، فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا، فَأَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى، فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ،

Kemudian aku dibawa ke Sidaratul Muntaha. Aku melihat daunnya seperti telinga gajah sebesar tempayan/guci besar. Lalu manakala ia diliputi oleh perintah allah (sebagaimana yang dikehendaki Allah) maka ia berubah. Maka tidak ada satu pun makhluk yang dapat melukiskan keindahannya.(Rasulullah meneruskan ceritanya): Lalu Allah mewahyukan kepadaku apa yang Dia kehendaki untuk diwahyukan, yaitu diwajibkan ke atasku dalam sehari semalam lima puluh kali sholat.

فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ "، قَالَ: " فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي، فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا،

Aku pun turun membawa kewajiban itu. Ketika aku bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang diwajibkan oleh Rabb-mu terhadap umatmu?” “Lima puluh kali solat pada setiap hari.” Jawabku. Musa berkata, “Kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah keringanan kepada-Nya untuk umatmu, kerana mereka tidak akan mampu melaksanakannya. Aku telah mencuba dan menguji Bani Israil.” Maka aku pun kembali menghadap Rabb-ku dan berkata, “Wahai Rabb-ku, ringankanlah bagi umatku.” Atas permohonan tersebut, maka Allah menguranginya lima kali solat. 

فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقُلْتُ: حَطَّ عَنِّي خَمْسًا، قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ "، قَالَ: " فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
Setelah itu, aku turun, sehingga bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, beliau berkata, “Apa yang telah engkau lakukan?” Aku menjawab, “Lima kali solat telah digugurkan (dikurangkan) dariku.” “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup, kembalilah kepada Rabb-mu dan mohonlah kepada-Nya keringanan lagi untuk umat-mu”, (pesan Nabi Musa ‘alaihis Salam). (Rasulullah menyatakan): Maka sentiasa aku berulang-alik antara Rabb-ku dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam. Setiap kali aku kembali kepada-Nya, maka Allah meringankan untukku lima kali solat. 

حَتَّى قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً، وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا، فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً "،


Akhirnya Allah berfirman, “Wahai Muhammad, hanya lima kali solat sehari semalam, setiap kali sholat Aku lipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh. Maka perkara itu (menjadi setara dengan) lima puluh kali solat. Sesiapa yang berkeinginan (kuat) untuk melakukan kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka ditulislah satu pahala untuknya. Namun, jika dia melakukannya, maka ditulislah untuknya sepuluh pahala. Dan sesiap yang berkeinginan melakukan perbuatan jahat, lalu dia tidak melakukannya, maka tidak ditulis ke atasnya apa-apa. Namun, jika dia melakukannya, maka ditulislah ke atasnya dosa.”

قَالَ: " فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ "، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " فَقُلْتُ: قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ' 


Lalu aku turun hingga bertemu kembali dengan Nabi Musa ‘alaihis Salam, aku pun memberitahu bahawa telah tinggal lima kali solat sehari semalam. “Kembalilah kepada Rabb-mu, mohonlah kembali keringanan untuk umatmu. Kerana sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melaksanakannya.” Pesan Nabi Musa ‘alaihis Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda, “Aku menjawab, “Sungguh aku telah berulang kali menghadap dan memohon keringanan kepada Rabb-ku, sehingga aku telah merasa malu”. (HR. Imam Muslim)


Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak meriwayatkan sebuah hadits melalui Ibnu Abbas  yang menceritakan, bahwa Rasûlullâh saw telah bersabda, "Aku melihat Rabbku Azza Wajalla."

Bulan Rajab : Bulan Haram (Keutamaan dan amalan)

Bulan Rajab : Bulan Haram (Keutamaan dan amalan)

Bulan Rajab adalah Bulan Haram

Bulan Rajab adalah bulan yang  terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab termasuk bulan haram sebagaimana bulan Muharram. Allah Ta’ala berfirman,


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Mengenai empat bulan yang dimaksud, disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679). 

Apa Maksud Bulan Haram

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah berkata, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna:

  • Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
  • Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”


Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” Bahkan Ibnu ’Umar, Al Hasan Al Bashri dan Abu Ishaq As Sa’ibi melakukan puasa pada seluruh bulan haram, bukan hanya bulan Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya.

Dengan demikian, bukan berarti harus mengkhususkan puasa atau amalan lainnya di hari-hari tertentu pada bulan Rajab karena menganjurkan seperti ini butuh dalil. Sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.

Maksiat di Bulan Haram

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun Imam Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab Al Hambali.

Semoga Allah Ta'ala memberikan kemampuan kepada kita, agar kita senantiasa beramal shalih dengan maksimal, terutama dibulan-bulan haram yang diagungkan oleh-Nya..

Seputar Isra’ dan Mi’raj Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam

isra mi'raj


Definisi Isra dan Mi’raj

Isra’ dan Mi’raj merupakan dua cerita perjalanan yang berbeda. Isra’ merupakan kisah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalem. Sedangkan Mi’raj merupakan kisah perjalanan Nabi dari bumi naik ke langit ketujuh dan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah dari Allah SWT.

Isra Mi’raj adalah dua bagian dari perjalanan singkat yang dilakukan oleh Nabi Muhammad yang ditemani Malaikat Jibril dengan menunggangi Buraq dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasallam mendapat perintah untuk menunaikan shalat lima waktu sehari semalam.

Dalil tentang Isra dan Mi'raj

Al-Qur‘an telah mengisyaratkan tentang isra‘ dan mi’raj dalam dua surat yaitu surat al-Isra‘ dan an-Najm. Dalam surat al-Isra‘, Allah menyebutkan tentang isra‘ dan hikmahnya:

سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ ﴿١﴾

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Isra‘ [17]: 1)

Adapun tentang mi’raj, maka diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ ﴿١٣﴾ عِندَ سِدْرَةِ ٱلْمُنتَهَىٰ ﴿١٤﴾ عِندَهَا جَنَّةُ ٱلْمَأْوَىٰٓ ﴿١٥﴾ إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ ﴿١٦﴾ مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ ﴿١٧﴾ لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ ءَايَـٰتِ رَبِّهِ ٱلْكُبْرَىٰٓ ﴿١٨﴾
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (QS an-Najm [53]: 13–18)

Waktu terjadi Isra dan Mi'raj

Kapan sebenarnya Isra’ dan Mi’raj terjadi, benarkah pada tanggal 27 Rajab ? Banyak orang beranggapan bahwa peristiwa isra Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab, (sebagaimana diyakini di negeri kita) sehingga seakan telah menjadi sesuatu yang tak dapat terlupakan di masyarakat kita sekarang, jika datang waktu tersebut, maka mereka mengadakan perayaan isra‘ mi’raj.

Dalam tinjauan sejarah, waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperdebatkan oleh para ulama. Jangankan tanggalnya, bulan bahkan tahunnyapun masih diperselisihkan hingga kini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani memaparkan perselisihan tersebut dalam Fathul Bari hingga mencapai lebih dari sepuluh pendapat, Kemudian beliau menyebutkan pendapat para ulama tersebut satu persatu.

Pertama mengatakan: “setahun sebelum hijroh, tepatnya bulan Rabi’ul Awal”. Ini pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya dan dirajihkan An Nawawi
Kedua mengatakan: “delapan bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Rajab”. Ini isyarat perkataan Ibnu Hazm, ketika berkata: “Terjadi di bulan rajab tahun 12 kenabian”.
Ketiga mengatakan: “enam bulan sebelum hijroh, tepatnya bulan Romadhon”. Ini disampaikan oleh Abu Ar Rabie’ bin Saalim.
Keempat mengatakan: “sebelas bulan sebelum hijroh tepatnya di bulan Robiul Akhir”. Ini pendapat Ibrohim bin Ishaq Al Harbiy, ketika berkata: “Terjadi pada bulan Rabiul Akhir, setahun sebelum hijroh”. Pendapat ini dirojihkan Ibnul Munayyir dalam syarah As Siirah karya Ibnu Abdil Barr.
Kelima mengatakan: “setahun dua bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Abdilbar.
Keenam mengatakan: “setahun tiga bulan sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faaris.
Ketujuh mengatakan: “setahun lima bulan sebelum hijroh”. Ini pendapat As Suddiy.
Kedelapan mengatakan: “delapan belas bulan sebelum hijroh, tepatnya dibulan Ramadhan”. Pendapat ini disampaikan Ibnu Sa’ad, Ibnu Abi Subrah dan Ibnu Abdilbar.
Kesembilan mengatakan: ” Bulan Rajab tiga tahun sebelum hijroh”. Pendapat ini disampaikan Ibnul Atsir
Kesepuluh mengatakan: “lima tahun sebelum hijroh”. Ini pendapat imam Az Zuhriy dan dirojihkan Al Qadhi ‘Iyaadh.

Al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan dari az-Zuhri dan Urwah bahwa Isra’ Mi’raj terjadi setahun sebelum Nabi hijrah ke kota Madinah, yaitu bulan Rabi’ul Awwal. Adapun pendapat as-Suddi, waktunya adalah enam belas bulan sebelum hijrah, yaitu bulan Dzulqa’dah. Al-Hafizh Abdul Ghani bin Surur al-Maqdisi membawakan dalam Sirahnya hadits yang tidak shahih sanadnya tentang waktu Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab. Dan sebagian manusia menyangka bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada malam Jum’at pertama bulan Rajab, yaitu malam Ragha’ib, yang ditunaikan pada waktu tersebut sebuah shalat yang masyhur tetapi tidak ada asalnya.

Dari perkataan para ulama di atas, dapat disimpulkan, bahwa Isra’ Mi’raj merupakan malam yang agung, kejadian yang wajib diimani oleh seluruh umat islam namun tidak diketahui dengan pasti tentang waktu kejadiannya.

Peristiwa ketika Isra dan Mi'raj 

Kejadian-kejadian sekitar isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Namun harus diakui bahwa keterangan seputar isra’ mi’raj penuh dengan misteri, rahasia, teka teki, dan kontroversi. Tentang kebenaran yang sejatinya seperti apa, hanya Allah dan Rasululllah yang paling tahu. Hal penting yang pasti disepakati bahwa isra’ dan mi’raj adalah benar terjadi dan merupakan mukjizat Rasul yang wajib umat Islam beriman kepadanya. Menurut Tafsir al-Qurtuby, lebih kurang ada 20 sahabat yang meriwayatkan tentang isra’, semua penulis kitab hadits mencantumkan tentang hadits isra’. Menurutnya, kebanyakan haditsnya mutawatir dan shahih, diantaranya yang diriwayatkan Anas Bin Malik, seperti yang dicatat dalam kitab sohih Bukhori dan Muslim.


Langit Ke-1 (ar-Rafii'ah): Adam

Akupun pergi bersama Jibril hingga kami mendatangi Langit Dunia. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya lagi: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Ditanya lagi: "Dan sudah waktunya ia diutus kepada-Nya?", dia menjawab: "Ya". Dikatakanlah: "Selamat datang untuknya dan sungguh sebaik-baik pendatang telah tiba". Begitu menjumpai Adam, aku memberinya salam. Diapun berkata: "Selamat datang untukmu wahai anak dan nabi!".

Langit Ke-2 (al-Maa'uun): Isa dan Yahya

Kemudian kami mendatangi Langit Kedua. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya lagi: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Ditanya lagi: "Sudah waktunya ia diutus kepada-Nya?", dia menjawab: "Ya". Dikatakanlah: "Selamat datang untuknya dan sungguh sebaik-baik pendatang telah tiba". Ketika menjumpai Isa dan Yahya, keduanya berkata: "Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi!".

Langit Ke-3 (al-Maziinah): Yusuf

Lalu kami mendatangi Langit Ketiga. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya lagi: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Ditanya lagi: "Dan sudah waktunya ia diutus kepada-Nya?", dia menjawab: "Ya". Dikatakanlah: "Selamat datang untuknya dan sungguh sebaik-baik pendatang telah tiba". Saat menjumpai Yusuf, aku memberinya salam. Dia berkata: "Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi!".

Langit Ke-4 (az-Zahirah): Idris

Lantas kami mendatangi Langit Keempat. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Ditanya lagi: "Dan telah waktunya ia diutus kepada-Nya?", dia menjawab: "Ya". Dikatakanlah: "Selamat datang untuknya dan sebaik-baik pendatang telah tiba". Tatkala menjumpai Idris, aku memberinya salam. Diapun berkata: "Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi!".

Langit Ke-5 (al-Muniirah): Harun

Kemudian kami mendatangi Langit Kelima. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Ditanya lagi: "Dan sudah waktunya ia diutus kepada-Nya?", dia menjawab: "Ya". Dikatakanlah: "Selamat datang untuknya dan sungguh sebaik-baik pendatang telah tiba". Saat kami menjumpai Harun, aku memberinya salam. Diapun menjawab: "Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi!".

Langit Ke-6 (al-Khaliishah): Musa

Lantas kami mendatangi Langit Keenam. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Dikatakan: "Dan sudah waktunya ia diutus kepada-Nya? Selamat datang untuknya dan sebaik-baik pendatang telah tiba." Ketika menjumpai Musa, aku memberinya salam. Diapun dia berkata: "Selamat datang untukmu, wahai saudara dan nabi!". Tatkala aku berlalu, dia menangis sehingga ditanya: "Apa yang menyebabkanmu menangis?". Dia menjawab: "Wahai Tuhan, (yang menyebabkanku menangis yaitu) pemuda ini yang diutus sesudahku. Umatnya yang masuk surga lebih utama daripada umatku yang memasukinya."

Langit Ke-7 (al-Ajiibah): Ibrahim

Lalu kami mendatangi Langit Ketujuh. Ada yang bertanya: "Siapa ini?", dia menjawab: "Jibril". Ditanya: "Siapa bersamamu?", dia menjawab: "Muhammad". Dikatakanlah: "Dan telah waktunya ia diutus kepada-Nya? Selamat datang untuknya dan sungguh sebaik-baik pendatang telah tiba." Saat menjumpai Ibrahim, aku memberinya salam. Diapun berkata: "Selamat datang untukmu, wahai putra dan nabi!".

Bait al-Makmur

Tatkala dinaikkan ke Baitul Makmur, aku menanyai Jibril. Maka ia menjawab: "Ini adalah Baitul Makmur. Setiap hari di dalamnya shalat tujuh puluh ribu (70.000) malaikat. Jika mereka telah keluar, mereka tidak akan pernah kembali lagi ke sana sampai yang terakhir dari mereka."

Peristiwa di Sidratul Muntaha

Dan aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha yang mana buahnya seperti bejana batu dan daunnya seperti telinga gajah. Pada akarnya terdapat empat sungai: dua sungai batin dan dua sungai lahir. Begitu kutanyai Jibril, ia menjawab: "Adapun dua yang batin (tidak tampak dari dunia) berada di surga, sedangkan dua yang lahir (tampak di dunia) adalah Nil dan Eufrat." Kemudian aku diwajibkan lima puluh shalat. (HR al-Bukhari (3207).

Peristiwa di Surga

Dari Anas bin Malik, dari Nabi {{{SAW}}}, beliau telah bersabda: Ketika aku jalan-jalan di Surga, aku mendekati sungai yang di kedua bantarannya terdapat kubah-kubah dari rangkaian mutiara. Aku bertanya: "Apa ini wahai Jibril?" Ia menjawab: "Ini adalah al-Kautsar yang diberikan Tuhanmu kepadamu." Maka ingatlah (ketahuilah) oleh kalian bahwa tanahnya atau debunya adalah kesturi yang harum semerbak.
HR al-Bukhari (6581), Kitab Kelembutan Hati, Bab Tentang al-Kautsar.
Peristiwa di Neraka

Dari Anas bin Malik, ia telah berkata: Telah bersabda RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam: Ketika aku dimi'rajkan [Tuhanku yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi], aku melewati suatu kaum yang mempunyai kuku-kuku dari tembaga. Mereka mencakari wajah-wajah dan dada-dada mereka. Aku bertanya: "Siapa mereka wahai Jibril?" Ia menjawab: "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan menumpuk-numpuk harta."
HR Abu Dawud (4878), Kitab Adab, Bab Tentang Ghibah.

Faedah Kisah Isra dan Mi'raj


  • Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya :
  • Kisah Isra’ Mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah ‘Azza wa Jalla.
  • Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wasalaam
  • Peristiwa yang agung ini menunjukkan keimanan para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy.
  • Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Al-Isra` : 1)

Penyebutan kata ‘hamba’ digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang terdapat dalam hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa salaam melakukan Isra` dan Mi’raj dengan jasad beliau dalam keadaan terjaga.


  • Penetapan akan ketinggian Allah Ta’ala dengan ketinggian zat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keagungan Allah, yakni Allah tinggi berada di atas langit ketujuh, di atas ‘arsy-Nya. Ini merupakan akidah kaum muslimin seluruhnya dari dahulu hingga sekarang.

  • Mengimani perkara-perkara ghaib yang disebutkan dalam hadits di atas, seperti: Buraq, Mi’raj, para malaikat penjaga langit, adanya pintu-pintu langit, Baitul Ma’mur, Sidratul Muntaha beserta sifat-sifatnya, surga, dan selainnya.

  • Penetapan tentang hidupnya para Nabi ‘alaihimus salaam di kubur-kubur mereka, akan tetapi dengan kehidupan barzakhiah, bukan seperti kehidupan mereka di dunia. Oleh karena itulah, di sini tidak ada dalil yang membolehkan seseorang untuk berdoa, bertawasul, atau meminta syafa’at kepada para Nabi dengan alasan mereka masih hidup. Syaikh Shalih Alu Syaikh rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salaam dalam Mi’raj menemui ruh para Nabi kecuali Nabi Isa ‘alaihis salaam. Nabi menemui jasad Nabi Isa karena jasad dan ruh beliau dibawa ke langit dan beliau belum wafat.
  • Banyaknya jumlah para malaikat dan tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah.
  • Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga adalah kalimur Rahman (orang yang diajak bicara langsung oleh Ar Rahman).
  • Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (berbicara) dengan pembicaraan yang sebenar-benarnya.
  • Tingginya kedudukan shalat wajib dalam Islam, karena Allah langsung yang memerintahkan kewajiban ini.
  • Kasih sayang dan perhatian Nabi Musa’alaihis salaam terhadap umat Islam, ketika beliau menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diringankan kewajiban shalat.
  • Penetapan adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam syariat Islam, serta bolehnya me-nasakh suatu perintah walaupun belum sempat dikerjakan sebelumnya, yakni tentang kewajiban shalat yang awalnya lima puluh rakaat menjadi lima rakaat.
  • Surga dan neraka sudah ada sekarang, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat keduanya ketika Mi’raj.







Label