"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Beramal agar HUSNUL KHATIMAH

Beramal agar HUSNUL KHATIMAH



Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 102,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ


“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim jilid 2, halaman 87, menerangkan bahwa barang siapa menjaga keislamannya dalam menjalani kehidupan dunianya, maka ia akan mati dalam kondisi Islam.

Imam Ibnu Katsir kemudian menyebutkan kaidah penting yang harus kita yakini bersama,


مَنْ عَاشَ عَلَى شَيْءٍ مَاتَ عَلَيْهِ، وَمَنْ مَاتَ عَلَى شَيْءٍ بُعِثَ عَلَيْهِ


“Barang siapa hidup di atas sesuatu (kebiasaan) maka ia akan mati di atasnya. Barang siapa mati di atas sesuatu maka ia akan dibangkitkan atasnya.”

Kaidah ini secara tegas dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat Muslim nomor 2878,

يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

“Setiap hamba akan dibangkitkan (dari kuburnya) sama seperti keadaan ketika ia meninggal.”

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ رواه البخاري وغَيْرُهُ.

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. [HR Bukhari dan selainnya]

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِِنَّ قُلُوْبَ بَنِيْ آدَمَ كُلُّهَا بَيْنَ أَصْبَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ :

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ.

“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kalbu-kalbu keturunan Adam berada di antara dua jari dari jari-jari Allah laksana satu hati, Allah membolak-balikannya sesuai kehendakNya,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikan hati, palingkanlah hati-hati kami kepada ketaatanMu”.


HUSNUL KHATIMAH

Husnul khatimah adalah akhirnya yang baik. Yaitu seorang hamba, sebelum meninggal, ia diberi taufiq untuk menjauhi semua yang dapat menyebakan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia bertaubat dari dosa dan maksiat, serta semangat melakukan ketaatan dan perbuatan-perbuatan baik, hingga akhirnya ia meninggal dalam kondisi ini.

Dalil yang menunjukan makna ini, yaitu hadits shahih dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ. رَواه الإمام أحمـد والترمذي وصحح الحاكم في المستدرك.

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya”. Para sahabat bertanya,”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab,”Allah akan memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum dia meninggal.” 
[HR Imam Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan al Hakim dalam Mustadrak.

Husnul khatimah memiliki beberapa tanda, di antaranya ada yang diketahui oleh hamba yang sedang sakaratul maut, dan ada pula yang diketahui orang lain.

Tanda husnul khatimah, yang hanya diketahui hamba yang mengalaminya, yaitu diterimanya kabar gembira saat sakaratul maut, berupa ridha Allah sebagai anugerahNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. [Fushilat/41 : 30].

Kabar gembira ini diberikan saat sakaratul maut, dalam kubur dan ketika dibangkitkan dari kubur. Sebagai dalilnya, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ لِقَائَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَائَهُ، فَقُلْتُ: يَانَبِيَ الله! أَكَرَهِيَةُ المَوْتِ، فَكُلُّنَا: نَكْرَهُ المَوْتَ؟ فَقَالَ: لَيْسَ كَذَلِكَ، وَلَكِنِ المُؤْمِنُ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضِوَانِهِ وَجَنَّتِهِ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، وَإِنَّ كَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَسُخْطِهِ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ وَكَرِهَ اللهُ لِقَائَهُ.

“Barangsiapa yang suka bertemu Allah, maka Allahpun suka untuk bertemu dengannya. Dan barangsiapa tidak suka bertemu Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya”. ‘Aisyah bertanya,”Wahai Nabi Allah! Apakah (yang dimaksud) adalah benci kematian? Kita semua benci kematian?” Rasulullah menjawab,”Bukan seperti itu. Akan tetapi, seorang mukmin, apabila diberi kabar gembira tentang rahmat dan ridha Allah serta SurgaNya, maka ia akan suka bertemu Allah. Dan sesungguhnya, orang kafir, apabila diberi kabar tentang azab Allah dan kemurkaanNya, maka ia akan benci untuk bertemu Allah, dan Allahpun membenci bertemu dengannya”.

Mengenai makna hadits ini, al Imam al Khatthabi mengatakan : “Maksud dari kecintaan hamba untuk bertemu Allah, yaitu ia lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Karenanya, ia tidak senang tinggal terus-menerus di dunia, bahkan siap meninggalkannya. Sedangkan makna kebencian adalah sebaliknya”.

Imam Nawawi berkata,”Secara syari’at, kecintaan dan kebencian yang diperhitungkan adalah, saat sakaratul maut, saat taubat tidak diterima (lagi). Ketika itu, semuanya diperlihatkan bagi yang sedang naza’ (proses pengambilan nyawa), dan akan nampak baginya tempat kembalinya.”

Kisah Inspiratif

Pertama: Kisah Amir bin Abdullah bin Zubair

Dinukilkan dalam kitab Tarikh al-Islam karya Imam adz-Dzahabi, jilid 3, halaman 438, bahwa Mush’ab bin Abdullah bercerita tentang Amir bin Abdullah bin Zubair yang sedang dalam kondisi sakit parah.

سُمِعَ عَامِرٌ الْمُؤَذِّنُ وَهُوَ يَجُوْدُ بِنَفْسِهِ فَقَالَ: خُذُوْا بِيَدِيْ إِلَى الْمَسْجِدِ. فَقِيلَ: إِنَّكَ عَلِيلٌ! فَقَالَ: أَسْمَعُ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَا أُجِيْبُهُ! فَأَخَذُوْا بِيَدِهِ فَدَخَلَ مَعَ الْإِمَامِ فِيْ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَرَكَعَ مَعَ الْإِمَامِ رَكْعَةً، ثُمَّ مَاتَ.

“Amir bin Abdullah mendengar muazin mengumandangkan azan untuk shalat Magrib, padahal ia sedang dalam kondisi sakit parah, maka ia pun berkata,‘Peganglah tanganku ke masjid.’ Mereka berkata,‘Engkau dalam kondisi sakit!’ Ia kemudian berkata,‘Aku mendengar muazin mengumandangkan azan sedangkan aku tidak menjawabnya!’

Maka mereka pun memapahnya, kemudian ia shalat Magrib bersama imam. Ia mendapat shalat satu rakaat bersamanya dan kemudian meninggal dunia.”
Kedua: Meninggal Dunia Saat Berhaji

Diriwayatkan oleh al-Bukhari nomor 1186 dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

بَيْنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ، إِذْ وَقَعَ عَنْ رَاحِلَتِهِ، فَوَقَصَتْهُ – أَوْ قَالَ: فَأَوْقَصَتْهُ – قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِغْسِلُوْهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوْهُ فِيْ ثَوْبَيْنِ، وَلَا تُحَنِّطُوْهُ، وَلَا تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا.

“Ada seorang laki-laki ketika sedang wukuf di Arafah terjatuh dari hewan tunggangannya sehingga ia terinjak—atau dia (Ibnu Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata,‘Hingga orang itu mati seketika.’

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,‘Mandikanlah dia dengan air yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (serban) karena dia nanti akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyyah”



Tujuh Pertanyaan Musa Kepada Allah


Tujuh Pertanyaan Musa Kepada Allah


Ibnu Hibban (Muhammad bin Hibban Al-Busti), seorang ilmuwan muslim keturunan Arab, fukaha, ahli hadis, linguis, ahli geografi, ahli kedokteran, astronom, sejarawan, mutakalim, dalam salah satu bukunya yang berjudul “Shahih Ibnu Hibban”, menulis sebuah hadits tentang tujuh perkara yang ditanyakan Nabi Musa kepada Allah subhanahu wata’ala.

dari Abu Hurairah secara marfu’ yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda,


سأل موسى ربه عن ست خصال كان يظن انها له خالصة والسابعة لم يكن موسى يحبها قال

“Musa bertanya kepada Rabbnya ihwal tujuh perkara yang dia sangka hanya dimilikinya, sedang perkara yang ketujuh tidak disukai Musa.

يا ربّ أيُّ عِبادِك اِتَّقَى ... قال الذي يَذكرُ ولا يَنسَى 

Pertama (Wahai Rabb! Siapakah hamba-Mu yang paling bertakwa?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, dan itu wajar karena Musa adalah nabi, dan kaum yang dihadapinya adalah kaum yang sangat ingkar yaitu kaum Bani Israil atau kaum Yahudi. Namun Allah tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa. 
Allah menjawab, (orang yang paling bertakwa adalah) yang selalu ingat kepada-Ku dan yang tidak pernah lupa.

فأيُّ عبادِك اَهدَى ... قال الذي تَتَبَعَ الهُدَى 

Kedua (Siapa hamba-Mu yang paling mendapat petunjuk?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena ia memang mendapat petunjuk langsung dengan turunnya Kitab Taurat kepadanya. Namun tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa. 
Allah menjawab, (Orang yang paling mendapat petunjuk yaitu) yang mengikuti petunjuk, yaitu petunjuk dari Allah dan Rasul.

فأيُّ عبادِكَ اَحكَم ... قال الذي يحكُمُ لِلنَّاسِ مَا يَحكُمُ لِنَفسِهِ 

Ketiga (Siapa hamba-Mu yang paling bijaksana). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak menjawab begitu. 
Allah menjawab, (Orang yang paling bijaksana yaitu) yang memberi keputusan terhadap manusia seperti dia memberi keputusan untuk dirinya sendiri.

أيُّ عبادِكَ اَعلَم ... قال عَالِمُ لَا يَشبَعُ مِن العِلمِ يَجمَعُ عِلمَ النَّاسِ اِلى عِلمِهِ 
Keempat (Siapa hamba-Mu yang paling berilmu?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena Nabi Musa menerima langsung wahyu dari Allah, tetapi Allah tidak menjawab begitu.
Jadi meskipun ia seorang doktor, seorang profesor, tapi ia berhenti belajar, berhenti membaca, berhenti menambah ilmu, maka sesungguhnya ia bukan orang yang paling berilmu. 
Allah menjawab, (Orang berilmu yaitu) yang tidak pernah puas dari ilmu, yang menyatukan ilmu-ilmu manusia dengan ilmunya.

فأيُّ عبادك اَعزَ ... قال الذي اذا قدَّرَ عَفَا 

Kelima (Siapa dari hamba-Mu yang paling mulia?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, karena ia adalah nabi sehinga ia tentu orang yang paling mulia di tengah kaumnya. Namun Allah tidak menjawab begitu, 
Allah menjawab (Orang yang paling mulia yaitu) yang ketika mampu membalas, dia malah memilih untuk memaafkan.

فأيُّ عبادِك اَغنَي ... قال الذي يَرضَى بِمَا اُوتِىَ 
Keenam (Siapa pula hamba-Mu yang paling kaya?). Nabi Musa berharap Allah menjawab, “Kamu wahai Musa”, namun Allah tidak menjawab seperti yang diharapkan Nabi Musa.
Allah menjawab (Orang yang paling kaya yaitu) yang ridho atas apa yang diberikan oleh Allah kepadanya.

فايُّ عبادِك اَفقَرُ ... قال صاحِبُ مَنقُوصٍ


Ketujuh (Siapakah hamba yang paling fakir?). Perkara ketujuh yang ditanyakan ini tidak disukai oleh Nabi Musa. Ia tidak mengharapkan Allah menjawab, “Kamu wahai Musa.”
Dan Allah menjawab (Orang yang paling fakir yaitu) yang merasa serba kekurangan. Sudah punya banyak harta, tapi masih merasa kurang.


Label