"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Beberapa Hadits Dho'if Seputar Rajab


BEBERAPA HADITS DHO’IF SEPUTAR BULAN RAJAB

Disusun Oleh : Aris Alfian R
Hadis Pertama

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ نَهْراً يُقَالُ لَهُ رَجَبٌ مَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضاً مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَى مِنَ العَسَلِ، مَنْ صَامَ مِنْ رَجَبٍ يَوْماً وَاحِداً سَقَاهُ اللهُ مِنْ ذَلِكَ النَّهْرِ

“Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.”

Keterangan: HADITS INI BATHIL
(Riwayat Abul Qosim At Taimi dalam At Targhib wat Tarhib, Al Hafidz Al Ashbahani dalam kitab Fadhlus Shiyam, dan Al Baihaqi dalam Fadhail Auqat. Ibnul Jauzi mengatakan dalam Al Ilal Al Mutanahiyah: Dalam sanadnya terdapat banyak perawi yang tidak dikenal, sanadnya dhaif secara umum, namun tidak sampai untuk dihukumi palsu.)
Imam adz-Dzahaby berkata hadits ini bathil [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

Hadits Kedua

فَضْلُ شَهْرِ رَجَبٍ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الْكَلاَمِ وَفَضْلُ شَهْرِ شَعْبَانَ كَفَضْلِي عَلىَ سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ شَهْرِ رَمَضَانَ عَلَى الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى سَائِرِ العِبَادِ.

“Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur-an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany:Hadits ini palsu.” Perawi hadis ini ada yang bernama As Saqathi, dia adalah penyakit dan orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis”).
Lihat : al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H).

Hadits Ketiga

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِيْ وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ.

“Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku.

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:

لاَ تَغْفُلُوْا عَنْ أَوَّلِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ فَإِنَّهَا لَيْلَةٌ تُسَمِّيْهَا الْمَلاَئِكَةُ الرَّغَائِبَ…

“Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaa-ib…”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Ibnul Jauzi, As Shaghani, dan As Suyuthi menyebut hadis ini dengan Hadits Maudhu’
Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]
Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”
Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa-ib.” Periksa : Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879).

Hadits Keempat

مَنْ صَلَّى الْمَغْرِبَ أَوَّلَ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدُ مَرَّةً، وَيُسَلِّمُ فِيْهِنَّ عَشْرَ تَسْلِيْمَاتٍ، أَتَدْرُوْنَ مَا ثَوَابُهُ ؟ فَإِنَّ الرُّوْحَ اْلأَمِيْنَ جِبْرِيْلُ عَلَّمَنِيْ ذَلِكَ. قُلْنَا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ: حَفِظَهُ اللَّهُ فِيْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَأُجِيْرَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَجَازَ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ.

“Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).”
Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).

Hadits Kelima

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍٍ وَصَلَّى فِيْهِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَقْرَأُ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ مِائَةَ مَرَّةٍِ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَ فِي الرَّكَعَةِ الثَّانِيَةِ مِائَةَ مَرَّةٍِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد, لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ أَوْ يُرَى لَهُ.

“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”.

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’
Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124)]
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah.
Lihat : Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)

Hadits Keenam

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ

“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”

Keterangan: HADITS SANGAT LEMAH
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’. Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]

Kata Imam an-Nasa-i: “Furaat bin as-Saa-ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.”
Lihat : adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa-i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).

Hadits Ketujuh

مَنْ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ كُتِبَ لَهُ صِيَامُ شَهْرٍ وَمَنْ صَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبَ أَغْلَقَ اللهُ عَنْهُ سَبْعَةَ أَبْوَابٍ مِنَ النَّارِ وَمَنْ صَامَ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ مِنْ رَجَبٍ فَتَحَ اللهُ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ صَامَ نِصْفَ رَجَبَ حَاسَبَهُ اللهُ حِسَاباً يَسِيْراً.

“Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barangsiapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.”

Keterangan: HADITS INI PALSU
Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky dan Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.”
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.”

Hadits Kedelapan - Hadis Tentang Doa Memasuki Rajab

للّهُمّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, limpahkanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.”

Keterangan : HADITS DHA’IF sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi rahimahullah
Riwayat Ahmad, dan di sanadnya terdapat perawi Zaidah bin Abi Raqqad, dari Ziyadah An Numairi. Tentang para perawi ini, Imam Bukhari mengatakan, “Munkarul hadis”. An Nasa’i mengatakan, “Munkarul hadis”. Sementara Ibn Hibban menyatakan, “Hadisnya tidak bisa dijadikan dalil”.

Hadits-hadits Dho’if lainnya Seputar Rajab

إِنّ شّهرَ رَجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ فِيه يَومًا كَتَبَ اللهُ بِه صَومَ ألْفِ سَنَةٍ.

“Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan itu, maka Allah tuliskan untuknya (pahala) puasa seribu tahun.” [hadits maudhu’ sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah]

صَومُ أَوّلِ يَومٍ مِن رَجَبٍ كَفّارَةُ ثَلاثِ سِنِيْنَ ، وَالثّانِي كَفّارةُ سَنَتَيْنِ ،والثّالِثُ كَفّارةُ سَنَة ثُمّ كُلّ يومٍ شهْراً.

“Berpuasa pada hari pertama bulan Rajab sebagai kaffarah (penebus dosa) selama tiga tahun, pada hari kedua sebagai kaffarah selama dua tahun, dan pada hari ketiga sebagai kaffarah selama setahun, kemudian setiap harinya sebagai kaffarah selama sebulan.” [hadits dha’if]

مَنْ صَلّى بَعدَ الْمَغربِ أَوّلَ لَيْلَةٍ مِن رجبٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ بِلاَ نَجَاسَةٍ.

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat setelah maghrib pada malam pertama bulan Rajab sebanyak 20 raka’at, maka dia akan melewati shirath dengan tanpa hisab.” [hadits maudhu’]

إنّ شَهرَ رجبٍ شهرٌ عظيمٌ مَنْ صامَ مِنهُ يَوماً كَتبَ اللهُ لَه صومَ أَلْفِ سَنَةٍ وَمَنْ صامَ يَومَيْنِ كَتَبَ الله له صيامَ أَلْفَيْ سَنَةٍ وَمَنْ صام ثلاثةَ أيّامٍ كَتب الله له صيامَ ثلاثةِ ألفِ سَنة ومَن صامَ مِن رجبٍ سَبعةَ أيّامٍ أُغْلِقَتْ عنه أبوابُ جهنّمَ وَمَن صامَ مِنهُ ثَمانِيَةَ أيّامٍ فُتِحَتْ له أبوابُ الْجَنّةِ الثّمانِيةُ يَدخُلُ مِن أَيِّها يَشَاءُ …

“Sesungguhynya bulan Rajab adalah bulan yang agung, barangsiapa yang berpuasa sehari, Allah tuliskan baginya puasa seribu tahun, barangsiapa berpuasa dua hari, Allah tuliskan baginya puasa 2000 tahun, barangsiapa yang berpuasa tiga hari, Allah tuliskan baginya puasa 3000 tahun, barangsiapa berpuasa di bulan Rajab selama tujuh hari, maka pintu-pintu jahannam tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa delapan hari, pintu-pintu al-jannah yang delapan akan dibuka untuknya, dia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki……” [hadits maudhu’]

مَن صامَ يوماً مِن رجب كانَ كَصِيامِ سَنةٍ، ومن صام سَبعةَ أيّامٍ غُلِّقَتْ عَنهُ أبوابُ جَهَنّمَ ومَن صامَ ثَمانِيةَ أيّامٍ فُتِحَتْ لَه ثَمَانِيةُ أبوابِ الْجَنّةِ وَمن صامَ عَشْرَةَ أيّامٍ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ شيئاً إلاّ أعطاهُ اللهُ ومَن صامَ خَمسةَ عَشَرَ يوماً نَادى مُنادٍ فِي السّماءِ قَدْ غُفِرَ لَكَ مَا سَلَفَ.

“Barangsiapa yang berpuasa sehari pada bulan Rajab, maka dia akan mendapatkan pahala seperti berpuasa selama setahun, barangsiapa yang berpuasa selama tujuh hari, pintu-pintu jahannah akan tertutup darinya, barangsiapa yang berpuasa selama delapan hari, maka delapan pintu al-jannah akan terbuka untuknya, barangsiapa yang berpuasa selama sepuluh hari, maka tidaklah dia memohon sesuatu kepada Allah kecuali pasti Allah beri, dan barangsiapa yang berpuasa selama 15 hari, maka ada penyeru dari langit yang akan memanggil dia: sungguh dosa-dosamu yang telah lalu telah terampuni.” [hadits maudhu’]

خَمسُ لَيالٍ لاَ تُردُّ فِيهِنّ الدّعْوَةُ : أَوّلُ لَيلةٍ مِن رَجَبٍ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِن شَعبانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعةِ، وَليلةُ الْفِطْرِ، وَلَيلةُ النّحْرِ.

“Ada lima malam yang jika sebuah doa dipanjatkan padanya, maka tidak akan tertolak: (1) malam pertama bulan Rajab, (2) malam nishfu (pertengahan) Sya’ban, (3) malam Jum’at, (4) malam ‘idul fithri, (2) malam hari Nahr (malam 10 Dzulhijjah).” [hadits maudhu’]

أَكْثِرُوا مِن الاسْتِغْفارِ فِي شهرِ رَجَبٍ، فَإِنّ لِلّهِ فِي كُلِّ سَاعةٍ مِنه عُتقاءَ مِن النّارِ، وَإِنّ لِلّهِ مَدَائِنَ لاَ يَدخُلُها إِلاّ مَن صامَ رَجَب.

“Perbanyaklah istighfar pada bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap waktu Allah memiliki hamba-hamba-Nya yang akan dibebaskan dari neraka,dan seungguhnya Allah memiliki kota-kota yang tidaklah ada yang bisa memasukinya kecuali orang yang berpuasa Rajab.” [hadits bathil]

بُعِثْتُ نَبِياً فِي السّابِع وَالْعِشْرِينَ مِن رجبٍ، فَمن صامَ ذلك اليومَ كانَ كَفّارَةُ سِتِّيْنَ شَهْراً.

“Aku diutus sebagai nabi pada 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, maka itu sebagai kaffarah (penebus dosa) selama 60 bulan.” [hadits munkar]
____________________________________________________
Beberapa hadits yang disebutkan di atas merupakan sebagiannya saja dari sekian banyak hadits lemah dan palsu terkait bulan Rajab. Wallahul musta’an.

Penjelasan Beberapa Ulama Tentang Masalah Rajab



PENJELASAN BEBERAPA ULAMA TENTANG MASALAH RAJA

Disusun Oleh : Aris Alfian R,

Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa-ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]

Imam an-Nawawy : “Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]

Syaikh Muhammad Abdus Salam Khiidhir penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]

Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut : “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagai-mana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa-ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bid’ah…. Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam…”

Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa-ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka.

Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini… Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa (XXIII/132, 134)]

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah : “Semua hadits tentang shalat Raghaa-ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang di-ada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.” [Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah.]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab: “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan ten-tang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.”

Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa-ib adalah hadits maudhu’ (palsu). [Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)]

Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibrahim al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)]

Riyadus Sholihin BAB 1 -Keikhlasan dan Menghadirkan Niat

Riyadus Sholihin BAB 1 -Keikhlasan dan Menghadirkan Niat

Keikhlasan  dan menghadirkan Niat dalam segala perbuatan, ucapan dan keadaan yang nyata dan yang sama.  

قَالَ اللَّه تعالى : { وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ } .

Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya sama menyembah Allah, dengan tulus ikhlas menjalankan agama untuk-Nya semata-mata, berdiri turus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat dan yang sedemikian itulah agama yang benar.” (al-Bayyinah: 5)

وقَالَ تعالى : { لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ } .

Allah Ta’ala berfirman pula: “Samasekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu, tetapi akan sampailah padaNya ketaqwaan dari engkau sekalian.” [1] (al-Haj: 37)

[1] Orang-orang di zaman Jahiliyah dulu jika menginginkan atau mengharapkan keridhaan Tuhan, mereka sembelihlah unta sebagai kurban, lalu darah unta itu disapukan pada dinding Baitullah atau Ka’bah. Kaum Muslimin hendak meniru perbualan mereka itu, lalu turunlah ayat sebagaimana di atas.

وقَالَ تعالى : { قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ } .

Allah Ta’ala berfirman pula: “Katakanlah – wahai Muhammad [2], sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti diketahui juga oleh Allah.” (ali-Imran: 29)


وعَنْ أَميرِ الْمُؤْمِنِينَ أبي حفْصٍ عُمرَ بنِ الْخَطَّابِ بْن نُفَيْل بْنِ عَبْد الْعُزَّى بن رياح بْن عبدِ اللَّهِ بْن قُرْطِ بْنِ رزاح بْنِ عَدِيِّ بْن كَعْبِ بْن لُؤَيِّ بن غالبٍ القُرَشِيِّ العدويِّ . رضي الله عنه ، قال : سمعْتُ رسُولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقُولُ « إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات ، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى ، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها ، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ » متَّفَقٌ على صحَّتِه. رواهُ إِماما المُحَدِّثِين: أَبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعيل بْن إِبْراهيمَ بْن الْمُغيرة بْن برْدزْبَهْ الْجُعْفِيُّ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو الحُسَيْنِى مُسْلمُ بْن الْحَجَّاجِ بن مُسلمٍ القُشَيْريُّ النَّيْسَابُوريُّ رَضَيَ الله عَنْهُمَا في صَحيحيهِما اللَّذَيْنِ هما أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَة

1. Dari Amirul mu’minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi radhiyallahu anhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda [3]: “Bahwasanya semua amal perbuatan itu dengan disertai niat-niatnya dan bahwasanya bagi setiap orang itu apa yang telah menjadi niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia yang hendak diperolehnya, ataupun untuk seorang wanita yang hendak dikawininya, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang dimaksud dalam hijrahnya itu.” (Muttafaq ‘alaih -disepakati atas keshahihannya hadits ini karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Muttafaq ‘alaih = diriwayatkan oleh dua orang imam ahli hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju’fi Al-Bukhari, -lazim disingkat dengan Bukhari saja- dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, -lazim disingkat dengan Muslim saja- radhiallahu ‘anhuma dalam kedua kitab masing-masing yang keduanya itu adalah seshahih-shahihnya kitab hadits yang dikarangkan.

[3] Saidina Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu itu adalah seorang khalifah dari golongan Rasyidin yang pertama kali menggunakan sebutan Amirul mu’minin pemimpin sekalian kaum mu’minin. Beliau adalah khalifah kedua sepeninggal Rasulullah shalallahu alaihi wasalam Panggilan Amirul mu’minin itu lalu dicontoh dan diteruskan oleh khalifah Usman dan Ali radhiallahu ‘anhuma, juga oleh para khalifah Bani Umayyah, Bani Abbas dan selanjutnya. Jadi di zaman khalifah Abu Bakar sebutan di atas belum digunakan. Adapun Abu Hafs itu adalah gelar kehormatan bagi Sayidina Umar radhiyallahu anhu Abu artinya bapak, sedang hafs artinya singa. Beliau radhiyallahu anhu memperoleh gelar Bapak Singa, sebab memang terkenal berani dalam segala hal, seperti dalam menghadapi musuh di medan perang, dalam menegakkan keadilan diantara seluruh rakyatnya dan tanpa pandang bulu dalam meneterapkan hukuman kepada siapapun. Ringkasnya yang salah pasti ditindak dengan keras, sedang yang teraniaya dibela dan dilindungi.

Keterangan:

Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menyabdakannya itu ialah karena diantara para sahabat Nabi shalallahu alaihi wasalam sewaktu mengikuti untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata sebab terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau shalallahu alaihi wasalam mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.

Oleh karena orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud yang terkandung dalam hatinya, meskipun sedemikian itu boleh saja, tetapi sebenarnya tidak patut sekali sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit, maka ditegurlah secara terang-terangan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam

Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sabat beliau shalallahu alaihi wasalam yang dengan keikhlasan hati bersusah payah menempuh jarak yang demikian jauhnya untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya, pahalanyapun besar sekali karena hijrahnya memang dimaksudkan untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya hadits itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum. Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan diterima serta dapat dianggap sempurna apabila disertai niat. Niat itu ialah sengaja yang disembunyikan dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air shalat atau wudhu’, mandi, shalat dan lain-lain sebagainya.

Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala. Ini berdasarkan hadits yang berbunyi: “Niat seorang itu lebih baik daripada amalannya.” Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat apa-apa.

Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya, agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah. Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah. Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.

Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadah serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadah bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.

وَعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائشَةَ رَضيَ الله عنها قالت: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا ببيْداءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ ». قَالَتْ : قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ يُخْسَفُ بَأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنهُمْ ،؟ قَالَ : «يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُون عَلَى نِيَّاتِهِمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ : هذا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ

2. Dari Ummul mu’minin yaitu ibunya -sebenarnya adalah bibinya- Abdullah yakni Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ada sepasukan tentara yang hendak memerangi -menghancurkan- Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu padang dari tanah lapang lalu dibenamkan -dalam tanah tadi- dengan yang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya.” Aisyah bertanya: “Saya berkata, wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang diantara mereka itu ada yang ahli pasaran -maksudnya para pedagang- serta ada pula orang yang tidak termasuk golongan mereka tadi -yakni tidak berniat ikut menggempur Ka’bah?” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Ya, semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka itu akan diba’ats -dibangkitkan dari masing-masing kuburnya- sesuai niatnya masing-masing.” Disepakati atas hadits ini (Muttafaq ‘alaih) -yakni disepakati keshahihannya oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim-. Lafaz di atas adalah menurut Imam Bukhari.

Keterangan:

Dari uraian yang tersebut dalam hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seorang yang shalih, jika berdiam di lingkungan suatu golongan yang selalu berkecimpung dalam kemaksiatan dan kemungkaran, maka apabila Allah Ta’ala mendatangkan azab atau siksa kepada kaum itu, orang shalih itupun pasti akan terkena pula. Jadi hadits ini mengingatkan kita semua agar jangan sekali-kali bergaul dengan kaum yang ahli kemaksiatan, kemungkaran dan kezaliman.

Namun demikian perihal amal perbuatannya tentulah dinilai sesuai dengan niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya itu. Mengenai gelar Ummul mu’minin itu bukan hanya khusus diberikan kepada Sayidah Aisyah radhiallahu ‘anha belaka, tetapi juga diberikan kepada para istri Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang lain-lain.

وعَنْ عَائِشَة رَضِيَ الله عنْهَا قَالَت قالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «لا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلكنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ ، وَإِذَا اسْتُنْفرِتُمْ فانْفِرُوا» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .

وَمَعْنَاهُ : لا هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلامٍ

3. Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, berkata: Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan -Makkah-[4], tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar -oleh imam untuk berjihad,- maka keluarlah –yakni berangkatlah.” (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Maknanya: Tiada hijrah lagi dari Makkah, sebab saat itu Makkah telah menjadi perumahan atau Negara Islam.

[4] Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan Makkah,” oleh para alim-ulama dikatakan bahwa mengenai hijrah dari daerah harb atau perang yang dikuasai oleh orang kafir ke Darul Islam, yakni daerah yang dikuasai oleh orang-orang Islam adalah tetap ada sampai hari kiamat. Oleh sebab itu hadits di atas diberikan penakwilannya menjadi dua macam: 

Pertama: Tiada hijrah setelah dibebaskannya Makkah, sebab sejak saat itu Makkah telah menjadi sebagian dari Darul Islam atau Negara Islam, jadi tidak mungkin lagi akan terbayang tentang adanya hijrah setelah itu. 

Kedua: Inilah yang merupakan pendapat tershahih, yaitu yang diartikan bahwa hijrah yang dianggap mulia yang dituntut, yang pengikutnya itu memperoleh keistimewaan yang nyata itu sudah terputus sejak dibebaskannya Makkah dan sudah lampau pula untuk mereka yang ikut berhijrah sebelum dibebaskannya Makkah itu, sebab dengan dibebaskan Makkah itu, Islam boleh dikata telah menjadi kokoh kuat dan perkasa, yakni suatu kekuatan dan keperkasaan yang nyata. Jadi lain sekali dengan sebelum dibebaskannya Makkah tersebut. Adapun sabda beliau shalallahu alaihi wasalam yang menyebutkan: “Tetapi yang ada adalah jihad dan niat,” maksudnya ialah bahwa diperolehnya kebaikan dengan sebab hijrah itu telah terputus dengan dibebaskannya Makkah itu, tetapi sekalipun demikian masih pula dapat dicapai kebaikan tadi dengan berjihad dan niat yang shalih. Dalam hadits di atas jelas diuraikan adanya perintah untuk suka berniat dalam melakukan kebaikan secara mutlak dan bahwa yang berniat itu sudah dapat memperoleh pahala dengan hanya keniatannya itu belaka.

وعَنْ أبي عَبْدِ اللَّهِ جابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ رضِيَ الله عنْهُمَا قَالَ :كُنَّا مَع النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم في غَزَاة فَقَالَ : «إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيراً ، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِياً إِلاَّ كانُوا مَعكُم حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ» وَفِي روايَةِ : «إِلاَّ شَركُوكُمْ في الأَجْرِ» رَواهُ مُسْلِمٌ


ورواهُ البُخَارِيُّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَقَالَ: «إِنَّ أَقْوَامَاً خلْفَنَا بالمدِينةِ مَا سَلَكْنَا شِعْباً وَلاَ وَادِياً إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا ، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ».

4. Dari Abu Abdillah yaitu Jabir bin Abdullah al-Anshari radhiallahu’anhuma, berkata: Kita berada beserta Nabi shalallahu alaihi wasalam dalam suatu peperangan -yaitu perang Tabuk- kemudian beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda:

“Sesungguhnya di Madinah itu ada beberapa orang lelaki yang engkau semua tidak menempuh suatu perjalanan dan tidak pula menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tadi ada besertamu -yakni sama-sama memperoleh pahala-, mereka itu terhalang oleh sakit -maksudnya andaikata tidak sakit pasti ikut berperang.” Dalam suatu riwayat dijelaskan: “Melainkan mereka -yang tertinggal itu- berserikat denganmu dalam hal pahalanya.” (Riwayat Muslim)

Keterangan:

Hadis sebagaimana di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Kita kembali dari perang Tabuk beserta Nabi shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah, tiada menempuh kita sekalian akan sesuatu lereng ataupun lembah, [5] melainkan mereka itu bersama-sama dengan kita jua -jadi memperoleh pahala seperti yang berangkat untuk berperang itu-, mereka itu terhalang oleh sesuatu keuzuran.”

[5] Syi’ib (lereng) yang dimaksudkan di sini ialah jalan di daerah pegunungan, sedang Wadi (lembah) ialah tempat yang di situ ada airnya mengalir.

وَعَنْ أبي يَزِيدَ مَعْنِ بْن يَزِيدَ بْنِ الأَخْنسِ رضي الله عَنْهمْ، وَهُوَ وَأَبُوهُ وَجَدّهُ صَحَابِيُّونَ، قَال: كَانَ أبي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ في الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتيْتُهُ بِهَا . فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ ، فَخَاصمْتُهُ إِلَى رسول اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فَقَالَ: «لَكَ مَا نويْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخذْتَ يَا مَعْنُ » رواه البخاريُّ

5. Dari Abu Yazid yaitu Ma’an bin Yazid bin Akhnas radhiallahu ‘anhum. Ia, ayahnya dan neneknya adalah termasuk golongan sahabat semua. Kata saya: “Ayahku, yaitu Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang dengannya ia bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seorang di dalam masjid. Saya -yakni Ma’an anak Yazid- datang untuk mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan dinar-dinar tadi.

Ayah berkata: “Demi Allah, bukan engkau yang kukehendaki -untuk diberi sedekah itu.” Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau bersabda: “Bagimu adalah apa yang engkau niatkan hai Yazid –yakni bahwa engkau telah memperoleh pahala sesuai dengan niat sedekahmu itu- sedang bagimu adalah apa yang engkau ambil, hai Ma’an -yakni bahwa engkau boleh terus memiliki dinar-dinar tersebut, karena juga sudah diizinkan oleh orang yang ada di masjid, yang dimaksudkan oleh Yazid tadi.” (Riwayat Bukhari)

6. Dari Abu Ishak, yakni Sa’ad bin Abu Waqqash, yakni Malik bin Uhaib bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luai al-Qurasyi az-Zuhri radhiyallahu anhu, yaitu salah satu dari sepuluh orang yang diberi kesaksian akan memperoleh syurga radhiallahu ‘anhum, katanya: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam datang padaku untuk menjengukku pada tahun haji wada’ -yakni haji Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang terakhir dan sebagai haji pamitan- karena kesakitan yang menimpa diriku, lalu saya berkata :

“Ya Rasulullah, sesungguhnya saja kesakitanku ini telah mencapai sebagaimana keadaan yang Tuan ketahui, sedang saya adalah seorang yang berharta dan tiada yang mewarisi hartaku itu melainkan seorang puteriku saja. Maka itu apakah dibenarkan sekiranya saya bersedekah dengan dua pertiga hartaku?” Beliau menjawab: “Tidak dibenarkan.” Saya berkata pula: “Separuh hartaku ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Tidak dibenarkan juga.” Saya berkata lagi: “Sepertiga, bagaimana ya Rasulullah?” Beliau lalu bersabda: “Ya, sepertiga boleh dan sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta pada orang banyak. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan istrimu.” Abu Ishak meneruskan uraiannya: Saya berkata lagi: “Apakah saya ditinggalkan -di Makkah- setelah kepulangan sahabat-sahabatku itu?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau itu tiada ditinggalkan, kemudian engkau melakukan suatu amalan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau malahan bertambah derajat dan keluhurannya. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan -karena usia masih panjang lagi-, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat memperoleh kemanfaatan dari hidupmu itu -yakni sesama kaum Muslimin, baik manfaat duniawiyah atau ukhrawiyah- dan akan ada kaum lain-lainnya yang memperoleh bahaya dengan sebab masih hidupmu tadi -yakni kaum kafir, sebab menurut riwayat Abu Ishak ini tetap hidup sampai dibebaskannya Irak dan lain-lainnya, lalu diangkat sebagai gubernur di situ dan menjalankan hak dan keadilan. Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk sahabat-sahabatku dalam hijrah mereka itu dan janganlah engkau balikkan mereka pada tumit-tumitnya -yakni menjadi murtad kembali sepeninggalnya nanti. Tetapi yang miskin -rugi- itu ialah Sa’ad bin Khaulah.” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Makkah. (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Sa’ad bin Khaulah itu dianggap sebagai orang yang miskin dan rugi, karena menurut riwayat ia tidak mengikuti hijrah dari Makkah, jadi rugi karena tidak ikutnya hijrah tadi. Sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa ia sudah mengikuti hijrah, bahkan pernah mengikuti perang Badar pula, tetapi akhirnya ia kembali ke Makkah dan terus wafat di situ sebelum dibebaskannya Makkah saat itu. Maka ruginya ialah karena lebih sukanya kepada Makkah sebagai tempat akhir hayatnya, padahal masih di bawah kekuasaan kaum kafir. Ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah pula mengikuti hijrah ke Habasyah, mengikuti pula perang Badar, kemudian mati di Makkah pada waktu haji wada’ tahun 10, ada lagi yang meriwayatkan matinya itu pada tahun 7 di waktu perletakan senjata antara kaum Muslimin dan kaum kafir. Jadi kerugiannya di sini ialah karena ia mati di Makkah itu, karena kehilangan pahala yang sempurna yakni sekiranya ia mati di Madinah, tempat ia berhijrah yang dimaksudkan semata-mata sebab Allah Ta’ala belaka.

وَعَنْ أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قال : قالَ رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم ، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعمالِكُمْ » رواه مسلم

7. Dari Abu Hurairah, yaitu Abdur Rahman bin Shakhr radhiyallahu anhu, katanya: Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu tidak melihat kepada tubuh-tubuhmu, tidak pula kepada bentuk rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hatimu sekalian.” (Riwayat Muslim)

وعَنْ أبي مُوسَى عبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ الأَشعرِيِّ رضِي الله عنه قالَ: سُئِلَ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عَنِ الرَّجُلِ يُقاتِلُ شَجَاعَةً ، ويُقاتِلُ حَمِيَّةً ويقاتِلُ رِياءً ، أَيُّ ذلِك في سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مَنْ قاتَلَ لِتَكُون كلِمةُ اللَّهِ هِي الْعُلْيَا فهُوَ في سَبِيلِ اللَّهِ » مُتَّفَقٌ عليه

8. Dari Abu Musa, yakni Abdullah bin Qais al-Asy’ari radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam ditanya perihal seorang yang berperang dengan tujuan menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang dengan tujuan kesombongan -ada yang artinya kebencian- ada pula yang berperang dengan tujuan pamer -menunjukkan pada orang-orang lain karena ingin berpamer. Manakah diantara semua itu yang termasuk dalam jihad fisabilillah? Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah -Agama Islam- itulah yang luhur, maka ia disebut jihad fisabilillah.” (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Hadis di atas dengan jelas menerangkan semua amal perbuatan itu hanya dapat dinilai baik, jika baik pula niat yang terkandung dalam hati orang yang melakukannya. Selain itu dijelaskan pula bahwa keutamaan yang nyata bagi orang-orang yang berjihad melawan musuh di medan perang itu semata-mata dikhususkan untuk mereka yang berjihad fisabilillah, yakni tiada maksud lain kecuali untuk meluhurkan kalimat Allah, yaitu Agama Islam.

وعن أبي بَكْرَة نُفيْعِ بْنِ الْحارِثِ الثَّقفِي رَضِي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال: «إِذَا الْتقَى الْمُسْلِمَانِ بسيْفيْهِمَا فالْقاتِلُ والمقْتُولُ في النَّارِ» قُلْتُ : يَا رَسُول اللَّهِ ، هَذَا الْقَاتِلُ فمَا بَالُ الْمقْتُولِ ؟ قَال: «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصاً عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ» متفقٌ عليه

9. Dari Abu Bakrah, yakni Nufai’ bin Haris as-Tsaqafi radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda : “Apabila dua orang Muslim berhadap-hadapan dengan membawa masing-masing pedangnya -dengan maksud ingin berbunuh-bunuhan- maka yang membunuh dan yang terbunuh itu semua masuk di dalam neraka.” Saya bertanya: “Ini yang membunuh -patut masuk neraka- tetapi bagaimanakah halnya orang yang terbunuh -yakni mengapa ia masuk neraka pula?” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab: “Karena sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali hendak membunuh kawannya.” (Muttafaq ‘alaih)

وَعَنْ أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عنه قال: قال رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «صَلاَةُ الرَّجُلِ في جماعةٍ تزيدُ عَلَى صَلاَتِهِ في سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بضْعاً وعِشْرينَ دَرَجَةً ، وذلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِد لا يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ ، لا يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ ، لَمْ يَخطُ خُطوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِها دَرجةٌ ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطيئَةٌ حتَّى يَدْخلَ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا دخل الْمَسْجِدَ كانَ في الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاةُ هِيَ التي تحبِسُهُ ، وَالْمَلائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدكُمْ ما دام في مَجْلِسهِ الَّذي صَلَّى فِيهِ ، يقُولُونَ : اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ ، مالَمْ يُؤْذِ فِيهِ ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ » متفقٌ عليه ،وهَذَا لَفْظُ مُسْلمٍ . وَقَوْلُهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «ينْهَزُهُ » هُوَ بِفتحِ الْياءِ وَالْهاءِ وَبالزَّاي : أَي يُخْرِجُهُ ويُنْهِضُهُ

10. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: “Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Shalatnya seorang lelaki dengan berjamaah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya -secara sendirian atau munfarid- dengan duapuluh lebih -tiga sampai sembilan tingkat derajatnya.

Yang sedemikian itu ialah karena apabila seorang itu berwudhu’ dan memperbaguskan cara wudhu’nya, kemudian mendatangi masjid, tidak menghendaki ke masjid itu melainkan hendak bershalat, tidak pula ada yang menggerakkan kepergiannya ke masjid itu kecuali hendak shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali ia dinaikkan tingkatnya sederajat dan karena itu pula dileburlah satu kesalahan daripadanya -yakni tiap selangkah tadi- sehingga ia masuk masjid. Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala seperti dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid tadi, juga para malaikat mendoakan untuk mendapatkan kerahmatan Tuhan pada seorang dari engkau semua, selama masih berada di tempat yang ia bershalat disitu. Para malaikat itu berkata: “Ya Allah, kasihanilah orang ini; wahai Allah, ampunilah ia; ya Allah, terimalah taubatnya.” Hal sedemikian ini selama orang tersebut tidak berbuat buruk -yakni berkata-kata soal keduniaan, mengumpat orang lain, memukul dan lain-lain- dan juga selama ia tidak berhadas -yakni tidak batal wudhu’nya. (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Dan yang tersebut di atas adalah menurut lafaznya Imam Muslim. Sabda Nabi shalallahu alaihi wasalam: Yanhazu dengan fathahnya ya’ dan ha’ serta dengan menggunakan zai, artinya: mengeluarkannya dan menggerakkannya.

وَعَنْ أبي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَِّلب رَضِي الله عنهما، عَنْ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم ، فِيما يَرْوى عَنْ ربِّهِ ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ : «إِنَّ الله كتَبَ الْحسناتِ والسَّيِّئاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذلك : فمَنْ همَّ بِحَسَنةٍ فَلمْ يعْمَلْهَا كتبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِنْدَهُ حسنةً كامِلةً وَإِنْ همَّ بهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عَشْر حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمَائِةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كثيرةٍ ، وَإِنْ هَمَّ بِسيِّئَةِ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً ، وَإِنْ هَمَّ بِها فعَمِلهَا كَتَبَهَا اللَّهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً» متفقٌ عليه

11. Dari Abul Abbas, yaitu Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shalallahu alaihi wasalam dalam suatu uraian yang diceritakan dari Tuhannya Tabaraka wa Ta’ala -Hadis semacam ini disebut hadits Qudsi- bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu -yakni mana-mana yang termasuk hasanah dan mana-mana yang termasuk sayyiah.

Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah yang Maha Suci dan Tinggi sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya, dan barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah sebagai sepuluh kebaikan di sisiNya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan dapat sampai menjadi berganda-ganda yang amat banyak sekali. Selanjutnya barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi melakukannya maka dicatatlah oleh Allah Ta’ala sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisiNya dan barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh Allah Ta’ala sebagai satu keburukan saja di sisiNya.” (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Ada perkataan Indahuu (bagiNya), inilah suatu tanda kesungguhan Allah dalam memperhatikannya itu. Juga ada perkataan kaamitah (sempurna), ini adalah untuk mengokohkan artinya dan sangat perhatian padanya. Dan Allah berfirman di dalam kejahatan yang disengaja (dimaksud) akan dilakukan, tetapi tidak jadi dilakukan, bagi Allah ditulis menjadi satu kebaikan yang sempurna dikokohkan dengan kata-kata “sempurna”. Dan kalau jadi dilakukan, ditulis oleh Allah “satu kejahatan saja” dikokohkan dengan kata-kata “satu saja” untuk menunjukkan kesedikitannya, dan tidak dikokohkan dengan kata-kata “sempurna”.

Maka bagi Allah segenap puji dan karunia. Maha Suci Allah, tidak dapat kita menghitung pujian atasNya. Dan dengan Allah jualah adanya pertolongan.

وعن أبي عَبْد الرَّحْمَن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخطَّابِ، رضي الله عنهما قال: سَمِعْتُ رسول الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يَقُولُ: «انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نفر مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى آوَاهُمُ الْمبِيتُ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرةٌ مِنَ الْجبلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ، فَقَالُوا : إِنَّهُ لا يُنْجِيكُمْ مِنْ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوا الله تعالى بصالح أَعْمَالكُمْ .

قال رجلٌ مِنهُمْ : اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوانِ شَيْخَانِ كَبِيرانِ ، وكُنْتُ لاَ أَغبِقُ قبْلهَما أَهْلاً وَلا مالاً فنأَى بي طَلَبُ الشَّجرِ يَوْماً فَلمْ أُرِحْ عَلَيْهمَا حَتَّى نَامَا فَحَلبْت لَهُمَا غبُوقَهمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِميْنِ ، فَكَرِهْت أَنْ أُوقظَهمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدِى أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُما حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ وَالصِّبْيَةُ يَتَضاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمى فَاسْتَيْقظَا فَشَربَا غَبُوقَهُمَا . اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَة ، فانْفَرَجَتْ شَيْئاً لا يَسْتَطيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهُ .

قال الآخر : اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانتْ لِيَ ابْنَةُ عمٍّ كانتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ » وفي رواية : « كُنْتُ أُحِبُّهَا كَأَشد مَا يُحبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءِ ، فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهِا عِشْرينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ففَعَلَت ، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا » وفي رواية : « فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْليْهَا ، قَالتْ : اتَّقِ الله ولا تَفُضَّ الْخاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ ، فانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِليَّ وَتركْتُ الذَّهَبَ الَّذي أَعْطَيتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعْلتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ ، فانفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا .

وقَالَ الثَّالِثُ : اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجرَاءَ وَأَعْطَيْتُهمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذي لَّه وذهب فثمَّرت أجره حتى كثرت منه الأموال فجائنى بعد حين فقال يا عبد الله أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي ، فَقُلْتُ : كُلُّ مَا تَرَى منْ أَجْرِكَ : مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَم وَالرَّقِيق فقال: يا عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتهْزيْ بي ، فَقُلْتُ : لاَ أَسْتَهْزيُ بك، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فاسْتاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْه شَيْئاً ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتغَاءَ وَجْهِكَ فافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فخرَجُوا يَمْشُونَ » متفقٌ عليه

12. Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik.

Seorang dari mereka itu berkata: “Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu -yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur.

Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, anak-anak kecil sama menangis karena kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini.

.” Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua. Yang lain berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita -jadi sepupu wanita- yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia -dalam sebuah riwayat disebutkan:

Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita- kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. Iapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya berhubungan intim. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan:

Setelah saya dapat duduk diantara kedua kakinya- sepupuku itu lalu berkata: “Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin -maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini- melainkan dengan haknya -yakni dengan perkawinan yang sah-, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya.

Orang yang ketiga lalu berkata: “Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku.

Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Ada beberapa kandungan yang penting-penting dalam hadits di atas, yaitu:

a. Kita disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan yang sulit, misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan, sedang sakit dan lain-lain.

b. Kita disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih, agar kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta’ala. Bertawassul artinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan kita dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang tidak membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya. Juga tidak diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Umar radhiyallahu anhu dengan bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan. Yang diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang sudah wafat, maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan beliau-beliau yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita dikabulkan. Sebagian alim-ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan. Jadi bukan orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah Ta’ala jua, tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni itu orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua alim-ulama Islam sependapat bahwa perbuatan sedemikian itu haram hukumnya. Sebab hal itu termasuk syirik atau menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta’ala yang Maha Kuasa Mengabulkan segala permohonan. Namun demikian hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal furu’iyah (bukan akidah pokok), maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.

MASUK SURGA DAN NERAKA KARENA SEEKOR LALAT



MASUK SURGA DAN NERAKA KARENA SE EKOR LALAT


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ , ﻭَﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲْ ﺫُﺑَﺎﺏٍ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ : ﻭَﻛَﻴْﻒَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺮَّ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺻَﻨَﻢٌ ﻻَ ﻳَﺠُﻮْﺯُﻩُ ﺃَﺣَﺪٌ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘَﺮِّﺏَ ﻟَﻪُ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ ﻷَﺣَﺪِﻫِﻤَﺎ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻗَﺎﻝَ : ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﺷَﻲْﺀٌ ﺃُﻗَﺮِّﺏُ، ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟَﻪُ : ﻗَﺮِّﺏْ ﻭَﻟَﻮْ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ، ﻓَﻘَﺮَّﺏَ ﺫُﺑَﺎﺑًﺎ ﻓَﺨَﻠُّﻮْﺍ ﺳَﺒِﻴْﻠَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ، ﻭَﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ﻟِﻶﺧَﺮِ : ﻗَﺮِّﺏْ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺖُ ﻷُﻗَﺮِّﺏَ ﻷﺣَﺪٍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻀَﺮَﺑُﻮْﺍ ﻋُﻨُﻘَﻪُ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ

“Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat pula.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana itu bisa terjadi ya Rasulullah? Rasul menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati sebuah kaum yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorangpun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sesuatu untuknya terlebih dahulu, maka mereka berkata kepada salah satu di antara kedua orang tadi: “Persembahkanlah sesuatu untuknya!” Ia menjawab: “Saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan”, mereka berkata lagi: “Persembahkan untuknya walaupun seekor lalat!” Maka iapun mempersembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka membiarkan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan iapun masuk ke dalam neraka. Kemudian mereka berkata lagi kepada seseorang yang lain: “Persembahkalah untuknya sesuatu!” Ia menjawab: “Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apapun untuk selain Allah, maka merekapun memenggal lehernya, dan iapun masuk ke dalam surga” (HR. Ahmad).

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang terkadang terjatuh dalam kesyirikan dan ia tidak menyadarinya.

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh Menjelaskan,

“Dalam hadits ini terdapat peringatan keras agar tidak terjerumus dalam kesyirikan, karena manusia terkadang terjerumus dalam kesyirikan padahal ia tidak menyadarinya bahwa itu dapat memasukkan ke dalam neraka.” (Fathul Majid hal. 200)

Poin dari hadist ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut meremehkan kesyirikan dan tidak terlalu peduli dengan agama.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

“Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak menganggap besar perkara kesyirikan dan tidak mengingkari dalam hatinya, bahkan ia lakukan dengan ridha. Semisal ini tidak diragukan lagi telah kafir” (Fatwa Sual Wal Jawab no. 280192).

Hendaknya kita sebagai muslim belajar agama kita yang menunjukkan bahwa kita peduli dengan agama Islam. Sangat penting kita pelajari, mana tauhid dan mana syirik. Bahaya syirik sangat besar yaitu pelaku kesyirikan diancam masuk neraka dan diharamkan masuk surga.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِين

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Qs. al-An’aam: 162-163).

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa termasuk orang musyrik yang menyembelih kepada selain Allah, beliau berkata:

يأمره تعالى أن يخبر المشركين الذين يعبدون غير هللا ويذبحون لغير اسمه ، أنه مخالف لهم في ذلك

“Allah memberintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberi tahu kepada orang-orang musyrik yang menyembah kepada selain Allah dan menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka (tidak sesuai dengan ajaran Islam).” (Tafsir Ibnu Katsir)

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun” (QS. Al Maidah: 72).

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah: 6).

Pelaku kesyirikan tidak akan diampuni oleh Allah jika mati dan belum bertaubat dari kesyirikannya

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An Nisa’: 48).

TIDAK CUKUP DENGAN MENDOÁKAN ORANG TUA


TIDAK CUKUP DENGAN MENDOÁKAN ORANG TUA


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

Kewajiban anak yang shaleh terhadap orang tua yang sudah tiada itu tidak hanya mendoakannya. Namun masih ada kwajiban yang lain yang merupakan perwujudan tanda bakti itu.

Setidaknya Ada 4 Hal yang bisa dilakukan untuk berbakti pada orang tua setelah beliau berdua tiada.

Langkah Pertama, selain mendoakan kedua orang tua. yang bisa dilakukan oleh anak adalah Melanjutkan kebaikan-kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang tuanya. Dari sisi agama, sebagaimana hadits Nabi SAW, apa yang dilakukan si anak sudahlah benar, karena ia telah menjadi “waladin salih yad’u lahu”, anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.

Kebiasaan baik dan kebaikan-kebaikan orang tua perlu dilanjutkan, karena itu akan menjadi aliran pahala bagi kedua orang tuanya. Tidak jarang terjadi, ada seorang ayah yang selama hidupnya aktif dan tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid, namun anak-anaknya malah jarang, kalau bukan hampir tidak pernah, shalat berjamaah ke masjid. Padahal, masjid tersebut dirintis oleh orang tuanya.

Ada juga orang tua (ayah ibunya) aktif di organisasi kemasyarakat Islam. Keduanya rajin datang ke pengajian, berdakwah, berinfak dan peduli berbagi, tetapi anak-anaknya tidak ada satupun yang meneruskannya. Mereka justru sibuk dengan urusan dunianya. Bahkan, ada yang malah memusuhi organisasi tempat kedua orang tuanya mengabdikan diri kepada Allah.

Hingga di sini, orang tua perlu mewasiatkan kepada anak-anaknya sebelum meninggal agar bersedia meneruskan perjuangan dan aktivitas dakwahnya sesudah keduanya wafat. Sebagaimana Nabi Ya’kub mewasiatkan keimanan kepada putera-puteranya.

Meneladani kebaikan seseorang, apalagi orang tua, tidak akan mengurangi pahala orang yang meniru, meskipun yang melaksanakan akan mendapatkan pahala yang sama.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” [HR. Muslim]

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya; tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.[HR. Muslim, no. 1017]

Langkah kedua, selain mendoakan kedua orang tua adalah Mengingat nasehat-nasehatnya serta menunaikan wasiatnya. Nasehat orang tua sama dengan ilmu yang bermanfaat. Jika nasehat atau ilmu yang disampaikan oleh orang tua itu diamalkan dan disampaikan kembali kepada orang lain serta anak cucu kita, maka orang tua kita akan mendapatkan aliran pahala dari ilmu dan nasehat yang telah disampaikan kepada kita.

Langkah ketiga, Melanjutkan silaturrahim kedua orang tuanya. Suatu hari, Abdullah bin Umar ra. berpapasan dengan seorang laki-laki Badui di jalanan Makkah. Putera Umar bin Khathab itu lalu mengucapkan salam kepadanya, menaikkannya ke kuda yang tadi ia kendarai dan memakaikan surban yang sebelumnya dipakai Ibnu Umar di kepalanya. Melihat hal tersebut, Ibnu Dinar spontan berujar, “Betapa baik engkau terhadapnya. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Ia adalah seorang Badui. Mereka adalah orang-orang yang sederhana.” Ibnu Umar lalu menjawab, “Sesungguhnya bapak ini adalah sahabat karib ayahku, Umar bin Khathtab, dan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ

“Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, sesungguhnya hadits di atas mengajarkan kepada kita cara berbakti kepada kedua orang tua yang telah meninggal. Yaitu, dengan meneruskan silaturahmi orang tua kita kepada sahabat karib dan kerabat dekatnya.

Dalam Tanbihul Ghafilin, Abu Laist as-Samarqandi mengatakan, meneruskan silaturahim orang tua yang telah meninggal dapat memperbaiki kesalahan kita terhadap orang tua yang telah meninggal apabila mereka meninggal dengan tidak ridha terhadap anak-anaknya.

Langkah keempat, Menggunakan kekayaan kedua orang tuanya untuk kebaikan. Jangan sekali-sekali digunakan untuk kemaksiatan. Ketika menggunakan harta peninggalan orang tua untuk kebaikan, maka orang tua yang telah berusaha memperolehnya pun akan mendapat aliran pahala perilaku anak-anaknya. menggunakan harta kekayaannya untuk kepentingan umat. Jangan karena dianggap sebagai harta warisan, harta itu kemudian digunakan untuk kepentingannya dirinya sendiri. Sisihkan dari harta orang tua itu untuk kepentingan Islam. Meskipun orangnya telah meninggal, tetapi harta itu tetaplah milik orang tua. Inilah yang akan menjadi jariyah bagi yang sudah meninggal. Kita yang memiliki inisiatif untuk mensedekahkan harta peninggalan orang tua juga akan mendapatkan ganjaran dari Allah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kedua orang tua kita dan menerima segala amal baiknya. Kita yang ditinggalkan mampu melanjutkan kebiasaan baik dan kebaikan-kebaikannya.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia. Sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sisinya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756)

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,

بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».

“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)


MEMAHAMI MAKNA IKHLAS


MEMAHAMI MAKNA IKHLAS


PENGERTIAN IKHLAS

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan bahwa secara bahasa kata ikhlas itu diambil dari kata kerja أخْلَصَ – يُخْلِصُ Akhlasha–yukhlishu dengan bentuk mashdarnya إخلاصا Ikhlaashan yang berarti menjadikan sesuatu menjadi murni dan tidak tidak tercampuri sesuatu yang lain.

Imam Al-Jurjani ,”Ikhlas adalah memurnikan hati dari segala noda yang mencampuri kemurnian hati tersebut.” [At-Ta’rifat: 28]

Al ‘Izz bin Abdis Salam : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

Abu ‘Utsman : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”[Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Imam An Nawawi (I/16-17)]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Ikhlas adalah mengarahkan tujuan ketaatan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Madarijus salikin 2/91]

Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”

DALIL SEPUTAR IKHLAS

Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.” HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Khattab.

Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ

“Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.” (HR. An Nasa-i no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
  1. Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
  2. Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
  3. Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
  4. Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.

Label