3 Asas Bermuamalah
Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jāmiʿ beliau dari hadis Muadz bin Jabal bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,
(اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا ، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ)
“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Wahai hamba-hamba Allah, hadis agung ini mengumpulkan pokok-pokok wasiat yang terangkum dalam tiga wasiat agung yang diwasiatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepada Muadz —semoga Allah Meridainya— yang mana tiga wasiat agung ini merupakan asas dan prinsip dalam muamalah, yaitu:muamalah seorang hamba dengan Tuhannya,
muamalah seorang hamba dengan dirinya,
dan muamalah seorang hamba dengan sesama hamba Allah.
Adapun muamalah seorang hamba dengan Tuhannya, maka muamalah itu didasarkan pada asas ketakwaan.
Takwa kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā adalah wasiat Allah untuk seluruh makhluk-Nya yang telah lalu dan yang akan datang, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā (yang artinya),
وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ
“Kami telah Mewasiatkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa’: 131)
Itulah wasiat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepada umat beliau, dan menjadi wasiat yang saling diwasiatkan oleh para Salafus Shalih. Takwa kepada Allah Jalla wa ʿAlā adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena mengharap pahala-Nya dan meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena takut terhadap azab-Nya.
Adapun muamalah seorang hamba dengan dirinya sendiri, maka didasarkan pada asas memandang dirinya sendiri sebagai sosok yang serba kurang, terjatuh dalam kesalahan, pelaku maksiat, dan pemikul dosa, sehingga dalam keadaan begini dirinya dituntut untuk melakukan perjuangan yang tiada henti untuk melawan nafsunya.
Itulah wasiat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepada umat beliau, dan menjadi wasiat yang saling diwasiatkan oleh para Salafus Shalih. Takwa kepada Allah Jalla wa ʿAlā adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena mengharap pahala-Nya dan meninggalkan kemaksiatan terhadap Allah dengan cahaya (ilmu) dari Allah karena takut terhadap azab-Nya.
Adapun muamalah seorang hamba dengan dirinya sendiri, maka didasarkan pada asas memandang dirinya sendiri sebagai sosok yang serba kurang, terjatuh dalam kesalahan, pelaku maksiat, dan pemikul dosa, sehingga dalam keadaan begini dirinya dituntut untuk melakukan perjuangan yang tiada henti untuk melawan nafsunya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, maka Kami akan Tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Seorang hamba harus melawan dirinya untuk memperbanyak kebaikan memanfaatkan musim-musim ketaatan dan waktu-waktu ibadah agar dirinya mendapatkan kesempatan dan bagian di dalamnya.
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا
“Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, darinya…” (HR. At-Tirmidzi)
Ini hanya bisa dilakukan oleh hamba dengan cara melawan nafsu dalam dirinya untuk memperbanyak kebaikan.
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan.” (QS. Hud: 114)
Sedangkan muamalah seorang hamba dengan sesama hamba Allah, maka muamalah itu didasarkan pada akhlak yang mulia,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“…dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Akhlak mulia dibangun di atas dua pondasi agung dan dua asas yang kokoh, yaitu:
Pertama: Hati yang bersih terhadap hamba-hamba Allah, dengan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana dia cintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,
Seorang hamba harus melawan dirinya untuk memperbanyak kebaikan memanfaatkan musim-musim ketaatan dan waktu-waktu ibadah agar dirinya mendapatkan kesempatan dan bagian di dalamnya.
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا
“Iringilah kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, darinya…” (HR. At-Tirmidzi)
Ini hanya bisa dilakukan oleh hamba dengan cara melawan nafsu dalam dirinya untuk memperbanyak kebaikan.
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan.” (QS. Hud: 114)
Sedangkan muamalah seorang hamba dengan sesama hamba Allah, maka muamalah itu didasarkan pada akhlak yang mulia,
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“…dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi)
Akhlak mulia dibangun di atas dua pondasi agung dan dua asas yang kokoh, yaitu:
Pertama: Hati yang bersih terhadap hamba-hamba Allah, dengan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana dia cintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua: Memperlakukan manusia dengan perkataan dan perbuatan yang dia sendiri ingin diperlakukan demikian dan bermuamalah dengan mereka dengan cara muamalah yang dia sendiri ingin mereka bermuamalah kepadanya dengan cara demikian, sebagaimana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,
Kedua: Memperlakukan manusia dengan perkataan dan perbuatan yang dia sendiri ingin diperlakukan demikian dan bermuamalah dengan mereka dengan cara muamalah yang dia sendiri ingin mereka bermuamalah kepadanya dengan cara demikian, sebagaimana Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda,
وَتَأْتِي إِلَى النَّاسِ مَا تُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْكَ
“Datangilah (perlakukan) manusia sebagaimana engkau ingin manusia mendatangi (memperlakukan) dirimu.” (HR. Muslim)
Wahai hamba-hamba Allah, dalam akhlak mulia menuntut jiwa untuk berusaha keras agar seseorang bisa menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan adab yang adiluhung tersebut, di samping dia juga butuh pertolongan total dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā, karena akhlak adalah karunia dan anugerah ilahi, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang Salaf,
Wahai hamba-hamba Allah, dalam akhlak mulia menuntut jiwa untuk berusaha keras agar seseorang bisa menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan adab yang adiluhung tersebut, di samping dia juga butuh pertolongan total dari Allah Subẖānahu wa Taʿālā, karena akhlak adalah karunia dan anugerah ilahi, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang Salaf,
إن هذه الأخلاق وهائب وإن الله إذا أحب عبده وهبه منها
“Sesungguhnya akhlak-akhlak ini adalah karunia. Ketika Allah sudah Mencintai hamba-Nya, maka Dia akan Mengaruniakannya kepadanya.”
Disebutkan dalam sebuah doa yang warid,
Disebutkan dalam sebuah doa yang warid,
اللهم اهْدِنِي لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah, Bimbinglah aku kepada akhlak yang baik, karena tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik melainkan Engkau, dan Palingkan aku dari akhlak yang buruk, karena tidak ada yang dapat menjauhkanku dari keburukannya melainkan Engkau.” (HR. Muslim)