TIDAK CUKUP DENGAN MENDOÁKAN ORANG TUA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Kewajiban anak yang shaleh terhadap orang tua yang sudah tiada itu tidak hanya mendoakannya. Namun masih ada kwajiban yang lain yang merupakan perwujudan tanda bakti itu.
Setidaknya Ada 4 Hal yang bisa dilakukan untuk berbakti pada orang tua setelah beliau berdua tiada.
Langkah Pertama, selain mendoakan kedua orang tua. yang bisa dilakukan oleh anak adalah Melanjutkan kebaikan-kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang tuanya. Dari sisi agama, sebagaimana hadits Nabi SAW, apa yang dilakukan si anak sudahlah benar, karena ia telah menjadi “waladin salih yad’u lahu”, anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.
Kebiasaan baik dan kebaikan-kebaikan orang tua perlu dilanjutkan, karena itu akan menjadi aliran pahala bagi kedua orang tuanya. Tidak jarang terjadi, ada seorang ayah yang selama hidupnya aktif dan tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid, namun anak-anaknya malah jarang, kalau bukan hampir tidak pernah, shalat berjamaah ke masjid. Padahal, masjid tersebut dirintis oleh orang tuanya.
Ada juga orang tua (ayah ibunya) aktif di organisasi kemasyarakat Islam. Keduanya rajin datang ke pengajian, berdakwah, berinfak dan peduli berbagi, tetapi anak-anaknya tidak ada satupun yang meneruskannya. Mereka justru sibuk dengan urusan dunianya. Bahkan, ada yang malah memusuhi organisasi tempat kedua orang tuanya mengabdikan diri kepada Allah.
Hingga di sini, orang tua perlu mewasiatkan kepada anak-anaknya sebelum meninggal agar bersedia meneruskan perjuangan dan aktivitas dakwahnya sesudah keduanya wafat. Sebagaimana Nabi Ya’kub mewasiatkan keimanan kepada putera-puteranya.
Meneladani kebaikan seseorang, apalagi orang tua, tidak akan mengurangi pahala orang yang meniru, meskipun yang melaksanakan akan mendapatkan pahala yang sama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم : مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ, فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” [HR. Muslim]
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Barangsiapa mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang melakukannya setelahnya; tanpa berkurang sesuatu apapun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam suatu contoh yang buruk, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah dia, tanpa berkurang sesuatu pun dari dosa-dosa mereka.[HR. Muslim, no. 1017]
Langkah kedua, selain mendoakan kedua orang tua adalah Mengingat nasehat-nasehatnya serta menunaikan wasiatnya. Nasehat orang tua sama dengan ilmu yang bermanfaat. Jika nasehat atau ilmu yang disampaikan oleh orang tua itu diamalkan dan disampaikan kembali kepada orang lain serta anak cucu kita, maka orang tua kita akan mendapatkan aliran pahala dari ilmu dan nasehat yang telah disampaikan kepada kita.
Langkah ketiga, Melanjutkan silaturrahim kedua orang tuanya. Suatu hari, Abdullah bin Umar ra. berpapasan dengan seorang laki-laki Badui di jalanan Makkah. Putera Umar bin Khathab itu lalu mengucapkan salam kepadanya, menaikkannya ke kuda yang tadi ia kendarai dan memakaikan surban yang sebelumnya dipakai Ibnu Umar di kepalanya. Melihat hal tersebut, Ibnu Dinar spontan berujar, “Betapa baik engkau terhadapnya. Semoga Allah membalas kebaikanmu. Ia adalah seorang Badui. Mereka adalah orang-orang yang sederhana.” Ibnu Umar lalu menjawab, “Sesungguhnya bapak ini adalah sahabat karib ayahku, Umar bin Khathtab, dan aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
“Sesungguhnya sebaik-baik bentuk berbakti (berbuat baik) adalah seseorang menyambung hubungan dengan keluarga dari kenalan baik ayahnya.” (HR. Muslim no. 2552)
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, sesungguhnya hadits di atas mengajarkan kepada kita cara berbakti kepada kedua orang tua yang telah meninggal. Yaitu, dengan meneruskan silaturahmi orang tua kita kepada sahabat karib dan kerabat dekatnya.
Dalam Tanbihul Ghafilin, Abu Laist as-Samarqandi mengatakan, meneruskan silaturahim orang tua yang telah meninggal dapat memperbaiki kesalahan kita terhadap orang tua yang telah meninggal apabila mereka meninggal dengan tidak ridha terhadap anak-anaknya.
Langkah keempat, Menggunakan kekayaan kedua orang tuanya untuk kebaikan. Jangan sekali-sekali digunakan untuk kemaksiatan. Ketika menggunakan harta peninggalan orang tua untuk kebaikan, maka orang tua yang telah berusaha memperolehnya pun akan mendapat aliran pahala perilaku anak-anaknya. menggunakan harta kekayaannya untuk kepentingan umat. Jangan karena dianggap sebagai harta warisan, harta itu kemudian digunakan untuk kepentingannya dirinya sendiri. Sisihkan dari harta orang tua itu untuk kepentingan Islam. Meskipun orangnya telah meninggal, tetapi harta itu tetaplah milik orang tua. Inilah yang akan menjadi jariyah bagi yang sudah meninggal. Kita yang memiliki inisiatif untuk mensedekahkan harta peninggalan orang tua juga akan mendapatkan ganjaran dari Allah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kedua orang tua kita dan menerima segala amal baiknya. Kita yang ditinggalkan mampu melanjutkan kebiasaan baik dan kebaikan-kebaikannya.
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya ibu dari Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia. Sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sisinya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.” (HR. Bukhari no. 2756)
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)