Kerugian yang Hakiki
Semua orang pasti ingin selalu bahagia dan tidak pernah menginginkan kesengsaraan walau sejenak. Semua orang ingin senantiasa beruntung dan berusaha maksimal menghindari kerugian, namun apa hendak dikata, fakta berbicara lain.
Tidak semua yang diinginkan manusia di dunia terwujud, terkadang apa yang justru dihindari menjadi fakta yang harus diterima, meski terasa pahit. Kenyataan pahit ini disikapi dengan sikap yang berbeda-beda, mulai dari sikap ekstrim sampai yang biasa-biasa saja. Terkadang sikap itu justru mendatangkan kerugian atau penderitaan baru, seperti bunuh diri –na’udzu billah-, merusak harta-benda, mencederai diri sendiri atau mencederai orang lain.
Tapi ada juga yang menyikapi dengan santai, tenang dan penuh kesabaran. Dia menyadari bahwa kerugian yang dialami di dunia ini bukanlah kerugian hakiki, bukan kerugian yang akan mendatangkan penderitaan abadi; itu bukanlah kerugian yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fiman-Nya:
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَّ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Karugian yang disebutkan dalam ayat di atas itulah kerugian yang hakiki, yang akan menyebabkan penyesalan yang kekal. Kerugian pada Hari Kiamat; kerugian di saat kebaikan dan keburukan manusia ditimbang dengan timbangan teradil yang tidak mengandung kecurangan sama sekali.
Ayat ini merupakan penekanan keras terhadap kesalahan fatal dalam memilih jalan hidup di dunia yang berakibat pada kerugian abadi di akhirat. Berikut adalah rincian penafsiran dari para ulama:
1. Perintah dan Penegasan (Katakanlah)
Perintah "قُلْ" (Katakanlah) di awal ayat menunjukkan bahwa ini adalah kebenaran mutlak yang wajib disampaikan oleh Rasulullah ﷺ kepada umat manusia. Ini bukan sekadar pandangan, melainkan sebuah proklamasi ilahi tentang siapa yang benar-benar rugi.
2. Makna "Merugikan Diri Sendiri"
خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ (Merugikan diri mereka sendiri)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa kerugian diri ini terjadi ketika seseorang:
Kehilangan Surga dan Kekal di Neraka: Ini adalah bentuk kerugian terbesar. Dengan memilih kekafiran, kemusyrikan, atau meninggalkan ketaatan kepada Allah, mereka telah menukar tempat tinggal abadi di surga (tempat kebahagiaan) dengan tempat yang kekal di neraka (tempat penderitaan). Mereka menyia-nyiakan fitrah dan tujuan penciptaan mereka.
Kehilangan Pahala dan Amal: Seluruh usaha dan amal baik (jika ada) yang dilakukan di dunia tanpa dasar tauhid yang benar menjadi sia-sia (habis terhapus) pada Hari Kiamat.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka telah merugikan diri mereka sendiri karena mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kebinasaan dan tempat kembali yang buruk.
3. Makna "Merugikan Keluarga Mereka"
وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (Dan keluarganya pada hari Kiamat)
Bagian ini seringkali menjadi titik fokus dalam tafsir karena menunjukkan dimensi kerugian yang lebih luas dan menyakitkan:
Kehilangan Kesempatan Bersama: Orang-orang yang beriman akan dikumpulkan bersama pasangan dan keturunan mereka yang saleh di surga. Adapun orang yang merugi ini, ia kehilangan kesempatan untuk bersama keluarganya di tempat kebahagiaan.
Merugikan Keluarga Karena Kesesatan: Dengan kesesatannya, ia mungkin telah menyesatkan, atau setidaknya tidak membimbing, anggota keluarganya yang lain menuju jalan tauhid dan kebaikan. Akibatnya, ia merugikan mereka di akhirat, dan bahkan mungkin dipersalahkan atas kesesatan mereka.
_____________________________
Tafsir Ibnu Abbas dan Mujahid: Kedua ulama ini memiliki penafsiran yang mendalam berdasarkan riwayat yang menjelaskan bahwa setiap orang di surga akan memiliki tempatnya di neraka (seandainya ia kafir) dan tempat orang kafir di surga (seandainya ia beriman). Pada hari Kiamat, orang kafir akan melihat tempat-tempat mereka di surga yang seharusnya mereka tempati jika mereka beriman, tetapi tempat itu diwarisi oleh orang-orang beriman. Kerugian inilah yang dimaksud dengan merugikan keluarga. Mereka telah kehilangan rumah-rumah, pasangan, dan pelayan (bidadari atau pelayan surga) yang disediakan Allah untuk mereka di surga seandainya mereka beriman.
Intinya: Kerugian yang paling pedih adalah melihat kebahagiaan abadi yang telah hilang, termasuk pasangan dan keluarga dari surga yang seharusnya mereka miliki.
4. Penutup: Kerugian yang Nyata
أَلاَّ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.)
Al-Khusrānul Mubīn (Kerugian yang Nyata/Jelas): Para mufassir menekankan bahwa kerugian di dunia—kehilangan harta, pangkat, atau jabatan—adalah kerugian yang kecil dan sementara. Kerugian sejati dan yang paling jelas adalah yang abadi dan tak terpulihkan di akhirat. Kerugian ini tampak nyata karena melibatkan kehilangan segala-galanya: diri, kebahagiaan, dan keluarga.
Pelajaran Penting dari Ayat
Ayat ini memberikan peringatan yang sangat penting bagi setiap Muslim:
Prioritas Akhirat: Kerugian duniawi apa pun tidak sebanding dengan kerugian akhirat. Fokus utama kehidupan haruslah untuk menyelamatkan diri dari azab neraka.
Tanggung Jawab Keluarga: Ayat ini menyiratkan adanya tanggung jawab untuk tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga membimbing dan menyelamatkan keluarga dari jalan yang merugi, sesuai dengan firman Allah, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6).
Hanya Keimanan yang Menyelamatkan: Jaminan kerugian atau keberuntungan di Hari Kiamat semata-mata bergantung pada keimanan (tauhid) dan amal saleh seseorang selama di dunia.
Kerugian terburuk yang menimpa seseorang adalah kerugian yang menimpa agamanya, karena kerugian ini akan menyebabkan penderitaan abadi di akhirat. Kerugian yang menimpa agama seseorang merupakan musibah terparah bagi seseorang. Oleh karena itu, diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
… وَلا تجعل مُصِيبَتنا في ديننا
Janganlah Engkau menjadikan musibah pada agama kami
Diantara ciri orang yang menderita kerugian dengan kerugian hakiki
adalah ia melalaikan kesempatan beramal shaleh dalam kehidupannya. Dia membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja, sehingga akhirnya saat kematian tiba, amal kebaikan yang pernah dilakukannya masih sedikit, sementara keburukannya menggunung.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 8-9)
Termasuk orang-orang yang merugi pada Hari Kiamat adalah orang yang hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat dia mendapatkan anugerah kebaikan, di saat hidupnya nyaman, enak dan makmur atau dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disaat apa yang dilakukan itu bisa mendatangkan keuntungan atau kebaikan duniawi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)
Berikut adalah ringkasan tafsir dari berbagai ulama terkemuka:
1. Makna "يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ" (Menyembah Allah di Tepi)
Ini adalah inti dari ayat tersebut, dan para ulama memberikan penafsiran yang saling melengkapi:
Imam Ibnu Katsir dan Imam Ath-Thabari (dan mayoritas ulama salaf): Mereka menjelaskan bahwa "حَرْفٍ" (harf) secara bahasa berarti tepi, pinggir, atau ujung. Dalam konteks ini, maknanya adalah:
Keimanan yang Rapuh dan Bersyarat: Orang ini beribadah kepada Allah tidak dengan ketetapan hati, tetapi berada di ambang batas (di tepi keimanan). Keimanannya seperti berdiri di ujung jurang, mudah goyah dan jatuh.
Penafsiran Asbabul Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Diriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai sebagian orang yang baru masuk Islam di Madinah. Mereka masuk Islam dengan harapan mendapat kemudahan dan rezeki. Jika mereka mendapatkan kesenangan dan kekayaan (rezeki melimpah dan anak-anak yang sehat), mereka berkata, "Agama ini baik." Namun, jika ditimpa musibah (sakit, miskin, atau kesulitan), mereka kembali kepada kekafiran dan berkata, "Tidak ada kebaikan dalam agama ini."
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ وَمَن خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ بِمَاكَانُوا بِئَايَاتِنَا يَظْلِمُونَ
Termasuk orang-orang yang merugi pada Hari Kiamat adalah orang yang hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di saat dia mendapatkan anugerah kebaikan, di saat hidupnya nyaman, enak dan makmur atau dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disaat apa yang dilakukan itu bisa mendatangkan keuntungan atau kebaikan duniawi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Berikut adalah ringkasan tafsir dari berbagai ulama terkemuka:
1. Makna "يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ" (Menyembah Allah di Tepi)
Ini adalah inti dari ayat tersebut, dan para ulama memberikan penafsiran yang saling melengkapi:
Imam Ibnu Katsir dan Imam Ath-Thabari (dan mayoritas ulama salaf): Mereka menjelaskan bahwa "حَرْفٍ" (harf) secara bahasa berarti tepi, pinggir, atau ujung. Dalam konteks ini, maknanya adalah:
Keimanan yang Rapuh dan Bersyarat: Orang ini beribadah kepada Allah tidak dengan ketetapan hati, tetapi berada di ambang batas (di tepi keimanan). Keimanannya seperti berdiri di ujung jurang, mudah goyah dan jatuh.
Penafsiran Asbabul Nuzul (Sebab Turunnya Ayat): Diriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai sebagian orang yang baru masuk Islam di Madinah. Mereka masuk Islam dengan harapan mendapat kemudahan dan rezeki. Jika mereka mendapatkan kesenangan dan kekayaan (rezeki melimpah dan anak-anak yang sehat), mereka berkata, "Agama ini baik." Namun, jika ditimpa musibah (sakit, miskin, atau kesulitan), mereka kembali kepada kekafiran dan berkata, "Tidak ada kebaikan dalam agama ini."
Kesimpulan: Ini adalah penyembahan yang tidak tulus dan tergantung pada imbalan duniawi.
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di: Beliau menafsirkan 'ala harf sebagai kekurangan dalam pemahaman, ilmu, dan amal. Mereka tidak teguh di atas 'ilmu yaqin (ilmu yang meyakinkan) yang akan menguatkan mereka menghadapi cobaan.
2. Sifat dan Sikap Orang Tersebut
Ayat ini merinci perilaku mereka dalam dua kondisi:
A. فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ (Jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu)
Makna Tafsir: Jika orang tersebut mendapatkan kebaikan duniawi seperti kesehatan, harta, atau kemudahan dalam hidup setelah masuk Islam, ia merasa tenang (ithma'anna) dengan agamanya. Ia melihat keimanannya sebagai sumber keberuntungan di dunia.
Inti: Kebaikannya bukan didasari karena ia yakin pada kebenaran Islam, melainkan karena ia melihat manfaat materialnya.
B. وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ (Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang)
Makna Tafsir: "فِتْنَةٌ" (fitnah) di sini bermakna cobaan, ujian, musibah, atau kesulitan (sakit, kemiskinan, kegagalan).
"انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ" (berbalik ke belakang) adalah ungkapan yang berarti kembali kepada kekafiran, murtad, atau meninggalkan agama dan ketaatan. Ia menyalahkan agama atas musibah yang menimpanya.
Inti: Mereka berbalik dari keimanan secepat dan semudah berbalik arah. Hal ini menunjukkan bahwa akidah mereka sejak awal tidak meresap ke dalam hati.
3. Akibat dan Kerugian
Ayat tersebut menutup dengan kesudahan yang amat buruk bagi orang ini:
خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.)
Kerugian di Dunia: Karena ia berbalik dari Islam, ia kehilangan dukungan, perlindungan, dan petunjuk Allah di dunia. Ia hidup dalam kegelisahan, kesesatan, dan tidak akan mencapai ketenangan hakiki. Jika ia murtad, ia juga kehilangan hak-hak seperti warisan dan status pernikahan dalam Islam.
Kerugian di Akhirat: Kerugian terbesar, karena ia mati dalam kekafiran, ia diancam dengan azab neraka yang kekal.
"الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ" (Kerugian yang nyata): Ini adalah kerugian yang paling jelas, karena ia menukar kesenangan yang kekal di akhirat dengan kesenangan duniawi yang fana yang bahkan tidak ia dapatkan.
Kesimpulan Umum Ayat
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras terhadap:
Iman yang Bersyarat: Keimanan sejati tidak bersyarat pada kesenangan duniawi. Seorang mukmin sejati menyembah Allah karena Allah berhak disembah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Ujian (Fitnah): Allah pasti menguji keimanan seseorang. Ujian adalah pembeda antara mukmin semukmin sejati dan orang munafik atau orang yang keimanannya di tepi.
Prioritas Dunia: Mengutamakan keuntungan duniawi daripada keyakinan agama adalah sifat orang yang digambarkan dalam ayat ini, dan ini berujung pada kerugian total.
Ayat ini mengajarkan bahwa keteguhan (Istiqamah) adalah tanda keimanan yang murni. Seorang mukmin yang kokoh akan menerima kesulitan dengan sabar, meyakini bahwa semua datang dari Allah dan bahwa cobaan adalah sarana untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat.
______________________________
Bagaimanakah cara kita menghindari kerugian tersebut? Manakah usaha yang bisa mendatangkan keuntungan hakiki?
Jawabannya telah dijelaskan dalam Alquran dengan penjelasan gamblang dalam Alquran surat al-A’ashr.
Dalam ayat lain dijelaskan rambu-rambu bisnis yang mendatangkan keuntungan serta dijamin tidak akan tersentuh kerugian.. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Ash-Shaff: 10-11)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir: 29)
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di: Beliau menafsirkan 'ala harf sebagai kekurangan dalam pemahaman, ilmu, dan amal. Mereka tidak teguh di atas 'ilmu yaqin (ilmu yang meyakinkan) yang akan menguatkan mereka menghadapi cobaan.
2. Sifat dan Sikap Orang Tersebut
Ayat ini merinci perilaku mereka dalam dua kondisi:
A. فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ (Jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu)
Makna Tafsir: Jika orang tersebut mendapatkan kebaikan duniawi seperti kesehatan, harta, atau kemudahan dalam hidup setelah masuk Islam, ia merasa tenang (ithma'anna) dengan agamanya. Ia melihat keimanannya sebagai sumber keberuntungan di dunia.
Inti: Kebaikannya bukan didasari karena ia yakin pada kebenaran Islam, melainkan karena ia melihat manfaat materialnya.
B. وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ (Dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang)
Makna Tafsir: "فِتْنَةٌ" (fitnah) di sini bermakna cobaan, ujian, musibah, atau kesulitan (sakit, kemiskinan, kegagalan).
"انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ" (berbalik ke belakang) adalah ungkapan yang berarti kembali kepada kekafiran, murtad, atau meninggalkan agama dan ketaatan. Ia menyalahkan agama atas musibah yang menimpanya.
Inti: Mereka berbalik dari keimanan secepat dan semudah berbalik arah. Hal ini menunjukkan bahwa akidah mereka sejak awal tidak meresap ke dalam hati.
3. Akibat dan Kerugian
Ayat tersebut menutup dengan kesudahan yang amat buruk bagi orang ini:
خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.)
Kerugian di Dunia: Karena ia berbalik dari Islam, ia kehilangan dukungan, perlindungan, dan petunjuk Allah di dunia. Ia hidup dalam kegelisahan, kesesatan, dan tidak akan mencapai ketenangan hakiki. Jika ia murtad, ia juga kehilangan hak-hak seperti warisan dan status pernikahan dalam Islam.
Kerugian di Akhirat: Kerugian terbesar, karena ia mati dalam kekafiran, ia diancam dengan azab neraka yang kekal.
"الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ" (Kerugian yang nyata): Ini adalah kerugian yang paling jelas, karena ia menukar kesenangan yang kekal di akhirat dengan kesenangan duniawi yang fana yang bahkan tidak ia dapatkan.
Kesimpulan Umum Ayat
Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras terhadap:
Iman yang Bersyarat: Keimanan sejati tidak bersyarat pada kesenangan duniawi. Seorang mukmin sejati menyembah Allah karena Allah berhak disembah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.
Ujian (Fitnah): Allah pasti menguji keimanan seseorang. Ujian adalah pembeda antara mukmin semukmin sejati dan orang munafik atau orang yang keimanannya di tepi.
Prioritas Dunia: Mengutamakan keuntungan duniawi daripada keyakinan agama adalah sifat orang yang digambarkan dalam ayat ini, dan ini berujung pada kerugian total.
Ayat ini mengajarkan bahwa keteguhan (Istiqamah) adalah tanda keimanan yang murni. Seorang mukmin yang kokoh akan menerima kesulitan dengan sabar, meyakini bahwa semua datang dari Allah dan bahwa cobaan adalah sarana untuk menghapus dosa dan menaikkan derajat.
______________________________
Bagaimanakah cara kita menghindari kerugian tersebut? Manakah usaha yang bisa mendatangkan keuntungan hakiki?
Jawabannya telah dijelaskan dalam Alquran dengan penjelasan gamblang dalam Alquran surat al-A’ashr.
Dalam ayat lain dijelaskan rambu-rambu bisnis yang mendatangkan keuntungan serta dijamin tidak akan tersentuh kerugian.. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ . تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
اللهم افتح بيننا وبين قومنا بالحق وأنت خير الفاتحين.
اللهم إنا نسألك علما نافعا ورزقا طيبا وعملا متقبلا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ