Banyak sekali anggapan-anggapan yang beredar di masyarakat mengenai kepercayaan roh gentayangan atau roh yang kembali ke rumah pada malam Jumat. Bahkan kepercayaan ini sudah mendarah daging di masyarakat kita, yang sebagian besar masih awam akan ilmu agama.
Keyakinan bahwa roh akan kembali kepada keluarganya di alam nyata setiap malam jumat, roh gentayangan, kemudian ia berdiam di rumah selama 40 hari adalah keyakinan yang tidak dibenarkan (menyimpang) dan bertentangan dengan syariat Islam. Mengapa demikian? Simak alasannya,
Dalil Terkait Arwah Gentayangan, Apakah Shahih?
Ada beberapa hadits yang dijadikan oleh sebagian orang sebagai dasar kepercayaan semacam ini. Hadits tersebut dinyatakan bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan terdapat dalam kitab Durratun-Nashihin.
(Diriwayatkan) dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bahwa apabila seorang mukmin meninggal dunia, maka rohnya berkeliling-keliling di seputar rumahnya selama satu bulan. Ia memperhatikan keluarga yang ditinggalkannya bagaimana mereka membagi hartanya dan membayarkan hutangnya. Apabila telah sampai satu bulan, maka rohnya itu dikembalikan ke makamnya dan ia berkeliling-keling di seputar kuburannya selama satu tahun, sambil memperhatikan orang yang mendatanginya dan mendoakannya serta orang yang bersedih atasnya. Apabila telah sampai satu tahun, maka rohnya dinaikkan ke tempat di mana para roh berkumpul menanti hari ditiupnya sangkakala.
Namun dalam kitab-kitab hadits seperti al-Jami’ al-Kabir juga ditemukan ada matan lain yang mirip dengan hadits di atas. Matan lain yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“Seseorang apabila meninggal, maka rohnya dibawa berputar-putar di sekeliling rumahnya selama satu bulan, dan di sekeliling makamnya selama satu tahun, kemudian roh itu dinaikkan ke suatu tempat di mana roh orang hidup bertemu dengan roh orang mati.”
{Matan ini dicatat oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722], dari Abu ad-Darda’ tanpa menyebutkan sanadnya. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262). Namun Al Imam As Suyuthi dalam kedua kitab ini hanya mengutip dari ad-Dailami, dan ia menyatakan bahwa ad-Dailami tidak menyebutkan sanadnya. Dengan demikian matan ini pun juga tidak terdapat dalam sumber-sumber orisinal hadits.}
1. Allah mengingkari permintaan orang yang mati untuk dikembalikan ke dunia
(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal yang saleh yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang dia ucapkan saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (Q.S. Al-Mukminun 23: 99-100)
Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada alam barzakh yaitu dinding pemisah antara dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki alam barzakh, tidak akan lagi bisa keluar lagi darinya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559)
2. Roh mereka berada di alam yang lain, alam kubur, yang berbeda dengan alam dunia
Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada alam barzakh (dinding pemisah) antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka.
Roh orang baik berada di tempat yang baik. Sebaliknya, roh orang jelek berada di tempat yang jelek. Dalam sebuah riwayat, seorang tabi’in bernama Masruq bin Al-Ajda’ Rahimahullah pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah,
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imran 3: 169)
Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,
“Roh-roh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab: “Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.” Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: “Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan roh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.” Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (H.R. Muslim no. 1887)
Kemudian disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ketika saudara kalian meninggal di perang Uhud, Allah menjadikan roh mereka di perut burung hijau. Mendatangi sungai surga, makan buah surga, dan beristirahat di sarang dari emas, menggantung di bawah ‘Arsy. Ketika mereka merasakan lezatnya makanan, minuman, dan tempat istirahat, mereka mengatakan: ‘Siapa yang bisa memberi tahu kepada saudara-saudara muslim lainnya tentang kabar kami bahwa kami hidup di surga, dan kami mendapat rizki. Agar mereka tidak menghindari jihad dan tidak pengecut ketika perang. Lalu Allah menjawab: ‘Aku yang akan sampaikan kabar kalian kepada mereka.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya” (H.R. Abu Daud no. 2520)
Demikian pula roh orang yang jahat, mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Jika roh itu bisa kembali dan tinggal bersama keluarganya selama rentang tertentu, tentu yang paling layak mendapatkan keadaan ini adalah roh para nabi dan rasul, para sahabat, atau para syuhada yang meninggal di medan jihad. Sementara hadits -hadits di atas merupakan bukti bahwa hal itu tidak terjadi. Allah tempatkan roh mereka di surga dan terpisah sepenuhnya dari alam dunia.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak pernah ditanya, benarkah roh orang yang meninggal akan kembali ke keluarganya dan bisa melihat semua keadaan keluarganya selama 40 hari? Jawaban beliau,
Seseorang setelah meninggal, dia menghilang dari kehidupan dunia ini, dan berpindah ke alam akhirat. Dan rohnya tidak kembali ke keluarganya, dan tidak mengetahui semua keadaan keluarganya. Kabar yang menyebutkan bahwa roh kembali ke keluarga selama 40 hari adalah khurafat, yang sama sekali tidak memiliki dalil. Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. (Fatwa Islam, 13183).
Apa kesimpulan dari semua permasalahan ini? Kesimpulannya adalah kembalikan permasalahan ini kepada dalil!
Prinsip ini jangan sampai lepas dari lubuk hati kita. Apapun yang kita dengar, siapapun yang menyampaikan, kembalikan keterangan itu kepada dalil. Tidak semua keterangan yang disampaikan da’i benar adanya. Mereka yang punya dalil, itulah yang menjadi pegangan. Karena informasi tentang syariat, apalagi terkait keyakinan baru boleh kita terima ketika ada dasar pijakannya. Mengingat semua harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sebagaimana yang Allah tegaskan,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Isra’ 17: 36).
Ada beberapa hadits yang dijadikan oleh sebagian orang sebagai dasar kepercayaan semacam ini. Hadits tersebut dinyatakan bersumber dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan terdapat dalam kitab Durratun-Nashihin.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَاتَ اْلمُؤْمِنُ حَامَ رُوْحُهُ حَوْلَ دَارِهِ شَهْراً فَيَنْظُرُ إِلَى مَنْ خَلَفَ مِنْ عِياَلِهِ كَيْفَ يَقْسِمُ مَالَهُ وَكَيْفَ يُؤَدِّيْ دُيُوْنَهُ فَإِذاَ أَتَمَّ شَهْراً رُدَّ إِلَى حَفْرَتِهِ فَيَحُوْمُ حَوْلَ قَبْرِهِ وَيَنْظُرُ مَنْ يَأْتِيْهِ وَيَدْعُوْ لَهُ وَيَحْزِنُ عَلَيْهِ فَإِذَا أَتَمَّ سَنَةً رُفِعَ رُوْحُهُ إِلَى حَيْثُ يَجْتَمِعُ فِيْهِ اْلأَرْوَاحُ إِلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِيْ الصُّوْرِ .
Namun dalam kitab-kitab hadits seperti al-Jami’ al-Kabir juga ditemukan ada matan lain yang mirip dengan hadits di atas. Matan lain yang dimaksud adalah sebagai berikut:
اَلْمَيِّتُ إِذاَ مَاتَ دِيْرَ بِهِ دَارُهُ شَهْرًا يَعْنِيْ بِرُوْحِهِ وَحَوْلَ قَبْرِهِ سَنَةً ثُمَّ تُرْفَعُ إِلَى السَّبَبِ الَّذِيْ تَلْتَقِيْ فِيْهِ أَرْواَحُ اْلأَحْياَءِ وَاْلأَمْواَتِ
{Matan ini dicatat oleh ad-Dailami (w. 509 H / 1115 M) dalam kitabnya al-Firdaus fi Ma’tsur al-Khithab [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1417/1996), IV: 240, nomor 6722], dari Abu ad-Darda’ tanpa menyebutkan sanadnya. Selain itu matan ini juga dicatat oleh as-Sayuthi (w. 911 H / 1505 M) dalam dua kitabnya, yaitu Busyra al-Ka’ib bi Liqa’ al-Habib (h. 11) dan Syarh ash-Shudur bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur (h. 262). Namun Al Imam As Suyuthi dalam kedua kitab ini hanya mengutip dari ad-Dailami, dan ia menyatakan bahwa ad-Dailami tidak menyebutkan sanadnya. Dengan demikian matan ini pun juga tidak terdapat dalam sumber-sumber orisinal hadits.}
1. Allah mengingkari permintaan orang yang mati untuk dikembalikan ke dunia
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Kemudian Allah menyatakan bahwa setelah mereka mati akan ada alam barzakh yaitu dinding pemisah antara dirinya dengan kehidupan dunia. Mereka yang sudah memasuki alam barzakh, tidak akan lagi bisa keluar lagi darinya. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 559)
2. Roh mereka berada di alam yang lain, alam kubur, yang berbeda dengan alam dunia
Pada surat Al-Mukminun di atas, Allah telah menegaskan bahwa ada alam barzakh (dinding pemisah) antara orang yang telah meninggal dan kehidupan dunia. Dan itu terjadi sejak mereka meninggal dunia. Selanjutnya masing-masing sudah sibuk dengan balasan yang Allah berikan kepada mereka.
Roh orang baik berada di tempat yang baik. Sebaliknya, roh orang jelek berada di tempat yang jelek. Dalam sebuah riwayat, seorang tabi’in bernama Masruq bin Al-Ajda’ Rahimahullah pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu tentang tafsir firman Allah,
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,
“Roh-roh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab: “Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.” Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: “Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan roh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.” Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (H.R. Muslim no. 1887)
Kemudian disebutkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ketika saudara kalian meninggal di perang Uhud, Allah menjadikan roh mereka di perut burung hijau. Mendatangi sungai surga, makan buah surga, dan beristirahat di sarang dari emas, menggantung di bawah ‘Arsy. Ketika mereka merasakan lezatnya makanan, minuman, dan tempat istirahat, mereka mengatakan: ‘Siapa yang bisa memberi tahu kepada saudara-saudara muslim lainnya tentang kabar kami bahwa kami hidup di surga, dan kami mendapat rizki. Agar mereka tidak menghindari jihad dan tidak pengecut ketika perang. Lalu Allah menjawab: ‘Aku yang akan sampaikan kabar kalian kepada mereka.’ Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya” (H.R. Abu Daud no. 2520)
Demikian pula roh orang yang jahat, mereka mendapat hukuman dari Allah sesuai dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Jika roh itu bisa kembali dan tinggal bersama keluarganya selama rentang tertentu, tentu yang paling layak mendapatkan keadaan ini adalah roh para nabi dan rasul, para sahabat, atau para syuhada yang meninggal di medan jihad. Sementara hadits -hadits di atas merupakan bukti bahwa hal itu tidak terjadi. Allah tempatkan roh mereka di surga dan terpisah sepenuhnya dari alam dunia.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak pernah ditanya, benarkah roh orang yang meninggal akan kembali ke keluarganya dan bisa melihat semua keadaan keluarganya selama 40 hari? Jawaban beliau,
Seseorang setelah meninggal, dia menghilang dari kehidupan dunia ini, dan berpindah ke alam akhirat. Dan rohnya tidak kembali ke keluarganya, dan tidak mengetahui semua keadaan keluarganya. Kabar yang menyebutkan bahwa roh kembali ke keluarga selama 40 hari adalah khurafat, yang sama sekali tidak memiliki dalil. Demikian pula mayit, dia tidak mengetahui keadaan keluarganya, karena dia tidak ada di tengah-tengah mereka. Mereka sibuk dalam kenikmatan atau adzab. (Fatwa Islam, 13183).
Apa kesimpulan dari semua permasalahan ini? Kesimpulannya adalah kembalikan permasalahan ini kepada dalil!
Prinsip ini jangan sampai lepas dari lubuk hati kita. Apapun yang kita dengar, siapapun yang menyampaikan, kembalikan keterangan itu kepada dalil. Tidak semua keterangan yang disampaikan da’i benar adanya. Mereka yang punya dalil, itulah yang menjadi pegangan. Karena informasi tentang syariat, apalagi terkait keyakinan baru boleh kita terima ketika ada dasar pijakannya. Mengingat semua harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Sebagaimana yang Allah tegaskan,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Isra’ 17: 36).
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, hakikat ruh itu tidak sama dengan jasad. Walaupun misalnya ruh itu ada di langit yang penuh kenikmatan layaknya surga, ruh tetap dapat berhubungan dengan kubur di mana tempat ia dimakamkan atau tempat ia meninggal. Hal itu karena ruh bisa bergerak dengan cepat.
Selain itu, ruh pun bisa merasakan sakit (karena disiksa atau mendapat penderitaan) yang rasa sakitnya bisa melebihi sakit di dunia. Ruh juga bisa merasa sehat, senang, susah, merintih, dan bisa merasakan kebebasan serta terbelenggu. Saat ruh masih berada dalam jasadnya, maka ia seperti bayi dalam kandungan. Sementara saat ruh keluar dari jasadnya, maka ia seperti bayi yang telah keluar dari kandungan ibunya.
Tempat ruhnya manusia itu berbeda-beda. Ada yang tempatnya mulia di tempat yang tertinggi (langit ketujuh) yang indah layaknya surga. Namun, ada juga yang masih di bumi dan tidak bisa naik ke langit. Tempat-tempat tinggal ruh yang berbeda-beda ini berdasarkan penglihatan langsung Nabi Muhammad Saw. ketika diajak Malaikat Jibril melakukan perjalanan Isra Mi’raj ke Sidratul Muntaha di langit ketujuh. Berikut penjelasan tempat tinggal ruh seperti yang redaksi rangkum dalam buku Fiqih Sunah Sayyid Sabiq:
1. Ruh para syuhada tempatnya di dalam tempat makanan burung hijau yang beterbangan di surga ke sana kemari.
2. Ruh para syuhada yang masih memiliki utang ruhnya masih tertahan belum bisa masuk surga karena utangnya yang belum dibayar.
3. Ada ruh yang tertahan di pintu surga seperti yang disampaikan dalam hadits Nabi saw., “Aku melihat saudara kalian tertahan di pintu surga.”
4. Ada ruh yang masih tertahan di kuburannya, sebagaimana hadits seorang pencuri mantel yang mati sebagai syahid. Ketika kaum muslimin berkata, “Ia akan masuk surga.” Rasulullah lalu bersabda, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya mantel yang ia curi akan menjadi api di dalam kuburannya.”
5. Ada ruh yang tempatnya di pintu surga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas, “Para syuhada berada di sungai yang berada di pintu surga di dalam sebuah kubah hijau. Rezeki mereka datang pagi dan sore.” (H.R. Ahmad).
6. Ada ruh yang khusus diberikan dua sayap oleh Allah Swt. seperti pada Ja’far bin Abu Thalib yang bisa terbang ke mana saja di surga.
7. Ada ruh yang tertahan di bumi dan tidak bisa terbang ke langit. Ruh yang seperti ini adalah ruh yang sebelumnya adalah ruh yang hina karena hanya mementingkan urusan duniawi dan hanya layak berada di bumi dan tidak pantas naik ke langit. Ruh ini juga yang selama hidup di dunia tidak berusaha mengenal Allah Swt., mencintai, dan mendekat kepada-Nya.
8. Ada ruh yang setelah terlepas dari jasadnya dikumpulkan dengan orang-orang yang mulia kawan-kawan seperjuangannya dan akan tinggal bersama mereka karena selama di dunia selalu berusaha mencintai dan medekat kepada Allah Swt.
9. Ada ruh yang berada di dalam tungku para pelacur dan ada ruh yang berada di dalam sugai darah. Di sana mereka berenang di sana dan menelan batu.