"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Manusia Dikejar Rezeki dan Ajal

Manusia Dikejar Rezeki dan Ajal



Ajal dan Rezeki merupakan Takdir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)

Dalam hadits lainnya disebutkan,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ

“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin) adalah qalam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.” (HR. Tirmidzi no. 2155. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Setiap manusia itu punya ajal yang terbatas, yang tidak mungkin seseorang melebihinya dan tidak mungkin kurang darinya.

Dalam beberapa ayat disebutkan,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَٰكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An-Nahl: 61)

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali ‘Imran: 145)

Rezeki telah habis dan amalan telah usai

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan sahih oleh Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).

Hakikatnya rizqi sebagaimana sabda rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

إِنَّ الرِّزْقَ لَيَطْلُبُ الْعَبْدَ كَمَا يَطْلُبُهُ أَجَلُهُ.

“Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti ajal mengejarnya” (HR. Ibnu Hibban)

لو أن ابن آدم هرب من رزقه كما يهرب من الموت لأدركه رزقه كما يدركه الموت

​“Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya (untuk menjalankan perintah Allah) sebagaimana ia lari dari kematian, niscaya rezekinya akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya” (HR Ibnu Hibban)

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

وَالخَلْقُ مَيِّتُوْنَ بِآجاَلِهِمْ عِنْدَ نَفَادِ أَرْزَاقِهِمْ وَانْقِطَاعِ آثَارِهِمْ

“Makhluk itu akan mati dan punya ajal masing-masing. Bila ajal tiba berarti rezekinya telah habis dan amalannya telah berakhir.”

Ingatlah, rezeki selain sudah diatur, juga sudah dibagi dengan adil.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 553)

Ibnul Qayyim berkata,

“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.

Rezeki Dipertanggungjawabkan

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قد أفلحَ من أسلمَ ، ورُزِقَ كفافًا ، وقنَّعَه اللهُ بما آتاهُ

“Sungguh beruntung orang yang sudah berislam, lalu Allah beri rezeki yang secukupnya, dan Allah jadikan hatinya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054).

Harta yang diinginkan bukan hanya akan dimiliki tapi kita juga harus ingat bahwa harta juga sebuah pertanggungjawaban di kahirat kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417)


Anak dapat menjadi Penyebab Keburukan



Anak menjadi Lima Penyebab Keburukan


Ada 5 potensi keburukan dari keberadaan anak bagi orangtua yang tidak lulus dalam mendidik mereka menjadi anak yang baik dan menyejukkan mata. Berikut ini ke 5 potensi buruk itu:

1. Menjauhkan dari dzikir kepada Allah

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs Al Munafiqun: 9)

2. Menyebabkan sifat Pengecut
3. Menyebabkan Sifat Pelit
4. Menyebabkan Bodoh
5. Menjadi Sumber kesedihan 

Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ بَكْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ عِيسَى [بْنِ أَبِي وَائِلٍ] عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْوَلَدُ ثَمَرَةُ الْقُلُوبِ، وَإِنَّهُمْ مَجبنة مَبخلة مَحْزَنَةٌ"

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Bakar, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Isa, dari Ibnu Abu Laila, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Anak itu adalah buah hati, dan sesungguhnya mereka itu penyebab hati menjadi pengecut, sifat menjadi kikir, dan sumber kesedihan.

Rasululloh bersabda:

إن الولد مبخلة مجبنة مجهلة محزنة

“Sesungguhnya anak menjadi penyebab sifat pelit, pengecut, bodoh dan sedih.” (HR. Hakim dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits no. 1990)

Anak bagi orang tua Menurut Al-qurán




5 Posisi Anak bagi orang tua Menurut Al-qurán

Al Quran menyampaikan bagi setiap keluarga muslim bahwa anak mempunyai 5 potensi bagi kehidupan orangtuanya. Potensi baik ataupun potensi buruk. Berikut ini ke 5 hal tersebut:

1. Anak sebagai HIASAN HIDUP

Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Qs. Ali Imron: 14)

Anak sebagai hiasan yang menghiasi hidup orangtuanya menjadi berwarna indah. Anak-anak ibarat pelangi. Warna mereka yang berbeda-beda membuat suasana rumah menjadi begitu indah dipandang mata. Kehadiran mereka selalu dinantikan. Terlihat jelas di pelupuk mata orangtuanya pelangi itu, apalagi saat pelangi itu ada di tempat yang jauh. Sehingga kerinduan pada anak-anak begitu membuncah.

Untuk itulah, para orangtua siap untuk melakukan apa saja dan membayar berapa saja untuk mendapatkan keturunan. Karena keindahan hidup berkurang ketika keturunan yang dinanti belum juga hadir.

Anak-anak memang indah. Keindahannya tak tergantikan oleh apapun. Gerak mereka, suara mereka, raut wajah mereka, tingkah polah mereka, tertawa mereka, tangis mereka. Ahh…semuanya indah.

2. Anak sebagai COBAAN HIDUP

Allah berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. Al Anfal: 28)

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. At Taghabun: 15)

Allah mengingatkan kembali kepada para orangtua:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs Al Munafiqun: 9)

Seberapa kuat kita menikmati keindahan pelangi. Bisa jadi, kita yang berhenti menikmatinya. Atau pelangi itu akan segera menghilang di antara warna langit lainnya. Jika tidak berhati-hati, saat kenikmatan itu telah pergi, kita baru sadar banyak kewajiban yang telah dilalaikan. Banyak hak orang lain yang terabaikan. Banyak potensi kebesaran orangtua terhenti karenanya. Dan akhirnya bisa kehilangan kesempatan meraih keindahan abadi dan haqiqi; Surga Allah. Sungguh kerugian yang besar.

3. Anak yang LEMAH

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Qs. An Nisa’: 9)

4. Anak sebagai MUSUH

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs At Taghabun: 14)

5. Anak yang BAIK & MENYEJUKKAN PANDANGAN MATA

Allah berfirman:

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Qs. Ali Imron: 38)

Allah juga berfirman:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Furqon: 74)

Inilah anak yang diharapkan oleh setiap keluarga. Untuk itulah, ayat-ayat yang digunakan untuk membahas poin ini berupa doa dan ini berbeda dengan ayat-ayat sebelumnya. Doa adalah harapan dan munajat kepada Yang Menciptakan semuanya.

Amalan Prioritas





Amalan Prioritas


Allah memerintahkan kita untuk muhasabah diri,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)

Inilah yang menjadi dalil agar kita bisa mengoreksi diri (muhasabah). Jika tergelincir dalam kesalahan, maka dikoreksi dan segera bertaubat lalu berpaling dari segala perantara yang dapat mengantarkan pada maksiat. Kalau kita melihat ada kekurangan dalam amalan yang wajib, maka berusaha keras untuk memenuhinya dengan sempurna dan meminta tolong pada Allah untuk dimudahkan dalam ibadah.

Hal ini diingatkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ

Artinya: “Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah akalnya adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (H.R. At-Tirmidzi).

Di antara amal prioritas yang hendaknya dilakukan seseorang terutama di usianya yang sudah tua adalah:

Pertama: Amalan ringan yang bisa dijangkau tapi bisa dikerjakan secara rutin.

Tatkala seseorang memiliki amalan dan amalan tersebut ia jadikan rutinitas atau agenda dalam harian atau pekanannya, maka amalan tersebut akan dicatatkan untuknya meskipun ia terhalangi mengerjakannya karena sakit atau sedang bersafar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ لَهُ مِنَ العَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهوَ صَحِيْحٌ مُقِيْمٌ

“Apabila seseorang mengalami sakit atau sedang bersafar, maka tetap dicatatkan untuk apa yang rutin ia kerjakan di saat sehat dan mukimnya.” [HR. Al-Bukhari 2996].

Catatannya adalah semua ini rutin ia lakukan hingga kondisi fisiknya tidak mampu beramal sakit dan safat atau bahkan tidak mampu lagi untuk diajak beramal karena udzur usia tua. Allah Ta’ala berfirman,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” [Quran At-Tin: 6]

Terkait ayat ini, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, mengatakan,

فَأَيُّمَا رَجُلٌ كَانَ يَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا وَهُوَ قَوِيٌّ شَابٌ، فَعَجَزَ عَنْهُ، جَرَى لَهُ أَجْرُ ذَلِكَ العَمَلُ حَتَّى يَمُوْتَ.

“Seseorang yang memilki kebiasaan beramal shaleh di saat dia kuat dan muda, lalu ia tidak mampu lagi mengerjakan amal tersebut, maka pahala amal tersebut akan tetap ia dapatkan hingga ia meninggal.”

Kalau ada istilah, “Olahraga adalah tabungan Kesehatan di usia tua.”, maka ibadah-ibadah ringan yang bisa kita jangkau dan rutin kita kerjakan adalah tabungan pahala di saat kita tidak lagi mampu mengerjakannya. Karena itu, perbanyaklah ibadah yang menjadi kebiasan.

Kedua: Memperbanyak Taubat dan Istighfar

Istighfar dan taubat adalah amalan manusia-manusia terbaik. Tatkala Rasulullah berusia lanjut, di usia 60 tahun, setelah hidup panjang dengan melakukan banyak ketaatan kepada Allah Ta’ala, di saat itu Allah menurunkan firman-Nya,

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Quran An-Nashr: 1-3].

Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk banyak-banyak bertaubat dan istighfar setelah sekian banyak amalan hebat yang beliau kerjakan. Berdakwah menyebarkan ilmu, berjihad, dll. kemudian Allah perintahkan menutup amalannya dengan istighfar dan taubat.

Demikian juga dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Abdullah bin Amr bin al-Ashr radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

عَلِّمْنِي دُعَاءً أدْعُو به في صَلَاتِي -وَفِيْ رِوَايَةٍ: وفي بَيْتِي- ، قالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، ولَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أنْتَ، فَاغْفِرْ لي مَغْفِرَةً مِن عِندِكَ، وارْحَمْنِي إنَّكَ أنْتَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Abu Bakr ash-Shiddiq bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ajarkan aku sebuah doa yang bisa kubaca di dalam shalatku – dalam Riwayat lain ada tambahan: kubaca saat aku berada di rumah-.

Rasulullah mengatakan, “Bacalah ‘Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku (berbuat dosa) dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali hanya Engkau. Karena itu, ampunilah aku dengan maghfiroh dari sisi-Mu. Sayangilah aku karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” [Shahih al-Bukhari 834].

Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah membaca tasyahhud akhir atau saat berada di rumah. Para ulama juga menyebut doa ini dengan dzikir saat di rumah.

Perhatikan! Kalau orang-orang yang berada di puncak keshalehan dan ketaatan diperintahkan untuk menjadi istigfar dan taubat sebagai amalan penutup dan amalan andalan, apalagi kita orang-orang yang penuh dengan dosa.

Ketiga: Husnus Zhan kepada Allah

Jabir berkata bahwa ia pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat tiga hari sebelum wafatnya beliau,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah” (HR. Muslim no. 2877).

Husnuz zhan itu diiringi dengan amal. Karena seseorang akan memiliki baik sangka tatkala ia sudah berusaha.

Keempat : meminimalisir potensi berbuat zalim kepada orang lain. 

Sufyan Ats Tsauri pernah berkata,

لَأَنْ تَلْقَى اللهَ تَعَالَى بِسَبْعِيْنَ ذَنْباً فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلْقَاهُ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ العِبَادِ

“Andai Anda bertemu Allah dengan memikul tujuh puluh dosa yang kaitannya antara Anda dengan Allah, itu lebih ringan daripada Anda bertemu Allah, dengan membawa satu dosa, namun dosa itu kaitannya antara dirimu dengan manusia.” (Tanbih al Ghofilin, hal. 380).

Mengapa? Karena bertaubat kepada Allah atas dosa yang kaitannya dengan Allah membutuhkan tiga syarat: menyesal, berhenti mengerjakannya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Adapun dosa yang kaitannya dengan sesama manusia, syaratnya empat. Tiga syarat di atas ditambah meminta maaf atau mengembalikan harta yang diambil kalau berkaitan dengan harta.

Ibadah Qurban Cerminan Seorang Muhbitin




Ibadah Qurban Cerminan Seorang Muhbitin


KIsah Qurban Pertama Kali 
Qobil dan Habil adalah dua putra Nabi Adam yang pertama. Dari pernikahan Nabi Adam dan Ibu Hawa, lahirlah 2 pasang anak. Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung bernama Iqlima, yang terkenal dengan kecantikannya. Sementara itu, Habil lahir dengan saudari kandung bernama Labuda, yang kecantikannya tidak secantik Iqlima.

Menurut syariat yang berlaku pada saat itu, Qabil diharuskan menikahi Labuda, sedangkan Habil menikahi Iqlima. Aturan ini mengharuskan mereka untuk tidak menikahi saudara “kandung”nya. Namun, Qabil tidak menerima ketentuan ini. Ia ingin menikahi Iqlima yang cantik. Dengan ketidakpuasan hatinya, Qabil menyampaikan pendapatnya, mengatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berasal dari pemikiran ayah mereka, Nabi Adam, dan bukan dari Allah SWT.

Kata Qobil dalam ketidakpuasannya:

أَنَا أَحَقُّ بِهَا، وَهُوَ أَحَقُّ بِأُخْتِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنَ اللَّه تَعَالَى، وَإِنَّمَا هُوَ رَأْيُكَ

Artinya: “Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habil pun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Allah, melainkan hanya akal-akalanmu (Adam) saja!” (keterangan di kitab Mafatih al-Ghaib: Syekh Fakhruddin al-Razi)

Kisah ini kemudian mengarah kepada perintah Nabi Adam kepada kedua putranya untuk berkurban. Allah SWT akan menerima kurban dari salah satu di antara mereka, yang menunjukkan siapa yang lebih layak mendapatkan ridha-Nya. Menurut penjelasan Syekh Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, jika kurban mereka diterima, tanda yang muncul adalah api yang turun dari langit untuk menyambar kurban tersebut.

Qabil, sebagai seorang petani, mempersembahkan kurban berupa hasil bumi miliknya. Namun, hasil bumi yang ia persembahkan sangat buruk. Di sisi lain, Habil, sebagai seorang peternak, mempersembahkan kurban berupa seekor kambing terbaik yang dimilikinya. Persembahan mereka tersebut menggambarkan tingkat ketulusan dan keikhlasan. Habil tampak lebih ikhlas karena menyembelih kambing terbaiknya, sementara Qabil dengan tanaman buruk hasil panennya. Hal ini mengindikasikan bahwa Qabil kurang bertakwa dan tidak taat kepada Allah SWT.

Allah SWT menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban miliknya. Namun, kurban yang dipersembahkan oleh Qabil tidak mendapatkan respon dari-Nya. Menyadari bahwa kurban Habil diterima sedangkan kurban Qabil ditolak, Qabil merasa iri dan tidak terima. Dipenuhi oleh emosi dan kecemburuan, Qabil mengambil sebuah batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil hingga menyebabkan kematiannya.

Dalam penjelasan Syekh Fakhruddin al-Razi, Allah SWT menerima kurban Habil dengan menurunkan api, yang kemudian menjadi penyebab kematian Habil. Qabil membunuh Habil karena merasa iri dan dengki terhadapnya.

قَبِلَ اللَّه تَعَالَى قُرْبَانَ هَابِيلَ بِأَنْ أَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى عَلَى قُرْبَانِهِ نَارًا، فَقَتَلَهُ قَابِيلُ حَسَدًا لَهُ

Artinya: “Allah ta’ala menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban milik Habil. Kemudian Qabil membunuhnya karena merasa dengki.”

Kisah ini diabadikan di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah:

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Ma’idah [5]: 27)

Dari kisah Qabil dan Habil, kita dapat belajar pentingnya niat yang ikhlas dalam segala hal, termasuk dalam berqurban. Kehadiran Qabil yang tidak menerima aturan dan kurban yang dipersembahkan dengan hati yang tidak ikhlas mengajarkan kita untuk senantiasa menguji dan memperbaiki niat kita dalam beribadah. Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat bahwa qurban bukan sekadar ritual, tetapi sebuah kesempatan untuk mengasah kesalehan dan ketulusan hati kita. Semoga kita dapat belajar dari kisah Qabil dan Habil, dan dengan ikhlas serta memberikan yang terbaik, kita menjalankan ibadah qurban dengan penuh penghormatan kepada Allah SWT.

Inilah saudaraku sekalian sembelihan yang telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an sebagai sebuah sembelihan yang agung. Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam diperintahkan untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Dan Ismail pun menyerahkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mengikuti kehendak Allah, dan Nabi Ibrahim pun pasrah. Ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih anaknya, maka Allah gantikan dengan sembelihan yang agung. Allah berfirman:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka Kami pun gantikan dengan sembelihan yang agung.” (QS. As-Saffat[37]: 107)

Inilah sembelihan yang agung yang kita persembahkan untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Sebuah sembelihan yang merupakan ibadah yang agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena setiap mukmin memproklamirkan dirinya, bahwa semua kehidupannya untuk Allah. Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam saja.'” (QS. Al-An’am[6]: 162)

Sesungguhnya sembelihan yang kita sembelih itu, yang sampai kepada Allah bukan dagingnya, bukan pula darahnya. Yang sampai kepada Allah keikhlasan kita dan kesesuaian kita terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Melatih Ketakwaan

Oleh karena itu Allah mengatakan:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ…

“Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging hewan kurban itu, tidak pula darah-darahnya, akan tetapi yang sampai kepada Allah ketakwaan (keikhlasan) hati kalian.” (QS. Al-Hajj[22]: 37)

Makna MUHBITHIN

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan setiap umat itu Kami telah jadikan sembelihan, agar mereka menyebut nama Allah saat mereka menyembelih hewan-hewan tersebut terhadap rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka tersebut, maka Ilah kalian adalah Ilah yang satu, maka hendaklah kalian menyerahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang tawadhu’ kepada Rabbnya.” (QS. Al-Hajj[22]: 34)

Kata Mukhbitin secara bahasa berarti “orang yang berjalan di dataran rendah”. Dalam penafsiran Ath-Thabari adalah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yang hatinya khusyu’ saat berdzikir kepada Allah, tunduk karena takut kepada-Nya, serta takut dengan hukuman dan murka-Nya. 

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menambahinya dengan orang yang tidak banyak cingcong dalam melaksanakan titah Ilahi.

Sedangkan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah memaknai Mukhbitin dengan orang yang rendah hati, tidak angkuh, tulus, tidak pamrih, serta selalu siap melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Ciri-ciri MUHBITHIN

Allah menyebutkan:

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Yaitu orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah, maka takutlah hati mereka kepada Allah…” (QS. Al-Hajj[22]: 35)


Ciri yang pertama, apabila disebut nama Allah bergetar dihati, ada getaran-getaran tertentu yang membuat ia berlari menuju Allah SWT, bergegas untuk menuju Allah, ia tinggalkan hiruk pikuk dunia. Ketika ia diingatkan dengan ayat-ayat Allah, hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, ia tidak menjadi orang yang sombong, angkuh, melainkan ia menunduk dan mengikuti apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab orang-orang beriman apabila dipanggil dan diseru untuk berhukum mengikuti Allah dan Rasul-Nya tidak ada kata yang terucap dari mereka selain samina wa atana, kami dengar dan kami patuh.

Dan ciri yang kedua, mereka adalah orang-orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk. Ketika ia memiliki harta, materi, jabatan kedudukan, ia tidak akan bersikap sombong ia tetap menundukan hatinya kepada Allah, menjadi hamba yang Mukhbitin, yang merendahkan diri kepada Allah. Karna, mereka menyadari bahwasannya itu adalah amanah/titipan. Kemudian ketika ditimpakan hal buruk, sakit, kekurangan harta, benda, jiwa, ia meyakini bahwa itu tidak semata-mata berasal dari Allah, ia mengevaluasi diri. Bagi orang yang beriman kata Nabi Muhammad SAW tidak ada matinya apabila ia ditimpakan suatu kenikmatan mereka bersyukur, tetapi ketika mereka ditimpa sesuatu yang tidak mengenakan maka mereka bersabar.

Kemudian ciri yang ketiga, mereka adalah orang-orang yang menegakkan shalat. Karena saat shalat orang betul-betul merendehkan dirinya dihadapan Allah, dimana wajah dan kepala yang terkadang ditinggikan dihadapan manusia, namun ketika seseorang mendirikan shalat wajah dan kepala yang berada diatas diletakan dibagian yang paling bawah, didasar, ditempat sujud sejajar dengan bagian tubuh yang lain.

Dan terakhir ciri yang ke empat, (
mencakup aspek produktivitas dan filantropis) mereka yang ketika diberikan rizki oleh Allah, mereka menginfaqan rizki itu dijalan Allah SWT karena orang yang menundukan hatinya kepada Allah begitu ia menerima sesuatu dari Allah ia meyakini bahwa itu adalah karunia dari Allah. Maka sebagiannya ia berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Label