"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Ibadah Qurban Cerminan Seorang Muhbitin




Ibadah Qurban Cerminan Seorang Muhbitin


KIsah Qurban Pertama Kali 
Qobil dan Habil adalah dua putra Nabi Adam yang pertama. Dari pernikahan Nabi Adam dan Ibu Hawa, lahirlah 2 pasang anak. Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung bernama Iqlima, yang terkenal dengan kecantikannya. Sementara itu, Habil lahir dengan saudari kandung bernama Labuda, yang kecantikannya tidak secantik Iqlima.

Menurut syariat yang berlaku pada saat itu, Qabil diharuskan menikahi Labuda, sedangkan Habil menikahi Iqlima. Aturan ini mengharuskan mereka untuk tidak menikahi saudara “kandung”nya. Namun, Qabil tidak menerima ketentuan ini. Ia ingin menikahi Iqlima yang cantik. Dengan ketidakpuasan hatinya, Qabil menyampaikan pendapatnya, mengatakan bahwa ketentuan tersebut hanya berasal dari pemikiran ayah mereka, Nabi Adam, dan bukan dari Allah SWT.

Kata Qobil dalam ketidakpuasannya:

أَنَا أَحَقُّ بِهَا، وَهُوَ أَحَقُّ بِأُخْتِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنَ اللَّه تَعَالَى، وَإِنَّمَا هُوَ رَأْيُكَ

Artinya: “Saya lebih berhak untuk Iqlima. Dan Habil pun lebih berhak dengan saudari perempuan sekandungnya. Ketentuan ini sebenarnya bukan dari Allah, melainkan hanya akal-akalanmu (Adam) saja!” (keterangan di kitab Mafatih al-Ghaib: Syekh Fakhruddin al-Razi)

Kisah ini kemudian mengarah kepada perintah Nabi Adam kepada kedua putranya untuk berkurban. Allah SWT akan menerima kurban dari salah satu di antara mereka, yang menunjukkan siapa yang lebih layak mendapatkan ridha-Nya. Menurut penjelasan Syekh Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, jika kurban mereka diterima, tanda yang muncul adalah api yang turun dari langit untuk menyambar kurban tersebut.

Qabil, sebagai seorang petani, mempersembahkan kurban berupa hasil bumi miliknya. Namun, hasil bumi yang ia persembahkan sangat buruk. Di sisi lain, Habil, sebagai seorang peternak, mempersembahkan kurban berupa seekor kambing terbaik yang dimilikinya. Persembahan mereka tersebut menggambarkan tingkat ketulusan dan keikhlasan. Habil tampak lebih ikhlas karena menyembelih kambing terbaiknya, sementara Qabil dengan tanaman buruk hasil panennya. Hal ini mengindikasikan bahwa Qabil kurang bertakwa dan tidak taat kepada Allah SWT.

Allah SWT menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban miliknya. Namun, kurban yang dipersembahkan oleh Qabil tidak mendapatkan respon dari-Nya. Menyadari bahwa kurban Habil diterima sedangkan kurban Qabil ditolak, Qabil merasa iri dan tidak terima. Dipenuhi oleh emosi dan kecemburuan, Qabil mengambil sebuah batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil hingga menyebabkan kematiannya.

Dalam penjelasan Syekh Fakhruddin al-Razi, Allah SWT menerima kurban Habil dengan menurunkan api, yang kemudian menjadi penyebab kematian Habil. Qabil membunuh Habil karena merasa iri dan dengki terhadapnya.

قَبِلَ اللَّه تَعَالَى قُرْبَانَ هَابِيلَ بِأَنْ أَنْزَلَ اللَّه تَعَالَى عَلَى قُرْبَانِهِ نَارًا، فَقَتَلَهُ قَابِيلُ حَسَدًا لَهُ

Artinya: “Allah ta’ala menerima kurban Habil dengan menurunkan api untuk menyambar kurban milik Habil. Kemudian Qabil membunuhnya karena merasa dengki.”

Kisah ini diabadikan di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah:

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱبۡنَيۡ ءَادَمَ بِٱلۡحَقِّ إِذۡ قَرَّبَا قُرۡبَانٗا فَتُقُبِّلَ مِنۡ أَحَدِهِمَا وَلَمۡ يُتَقَبَّلۡ مِنَ ٱلۡأٓخَرِ قَالَ لَأَقۡتُلَنَّكَۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡمُتَّقِينَ

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Ma’idah [5]: 27)

Dari kisah Qabil dan Habil, kita dapat belajar pentingnya niat yang ikhlas dalam segala hal, termasuk dalam berqurban. Kehadiran Qabil yang tidak menerima aturan dan kurban yang dipersembahkan dengan hati yang tidak ikhlas mengajarkan kita untuk senantiasa menguji dan memperbaiki niat kita dalam beribadah. Mari kita jadikan kisah ini sebagai pengingat bahwa qurban bukan sekadar ritual, tetapi sebuah kesempatan untuk mengasah kesalehan dan ketulusan hati kita. Semoga kita dapat belajar dari kisah Qabil dan Habil, dan dengan ikhlas serta memberikan yang terbaik, kita menjalankan ibadah qurban dengan penuh penghormatan kepada Allah SWT.

Inilah saudaraku sekalian sembelihan yang telah Allah sebutkan dalam Al-Qur’an sebagai sebuah sembelihan yang agung. Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihish Shalatu was Salam diperintahkan untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Dan Ismail pun menyerahkan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mengikuti kehendak Allah, dan Nabi Ibrahim pun pasrah. Ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih anaknya, maka Allah gantikan dengan sembelihan yang agung. Allah berfirman:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka Kami pun gantikan dengan sembelihan yang agung.” (QS. As-Saffat[37]: 107)

Inilah sembelihan yang agung yang kita persembahkan untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Sebuah sembelihan yang merupakan ibadah yang agung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena setiap mukmin memproklamirkan dirinya, bahwa semua kehidupannya untuk Allah. Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam saja.'” (QS. Al-An’am[6]: 162)

Sesungguhnya sembelihan yang kita sembelih itu, yang sampai kepada Allah bukan dagingnya, bukan pula darahnya. Yang sampai kepada Allah keikhlasan kita dan kesesuaian kita terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Melatih Ketakwaan

Oleh karena itu Allah mengatakan:

لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ…

“Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging hewan kurban itu, tidak pula darah-darahnya, akan tetapi yang sampai kepada Allah ketakwaan (keikhlasan) hati kalian.” (QS. Al-Hajj[22]: 37)

Makna MUHBITHIN

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۗ فَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا ۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan setiap umat itu Kami telah jadikan sembelihan, agar mereka menyebut nama Allah saat mereka menyembelih hewan-hewan tersebut terhadap rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka tersebut, maka Ilah kalian adalah Ilah yang satu, maka hendaklah kalian menyerahkan diri hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang tawadhu’ kepada Rabbnya.” (QS. Al-Hajj[22]: 34)

Kata Mukhbitin secara bahasa berarti “orang yang berjalan di dataran rendah”. Dalam penafsiran Ath-Thabari adalah orang-orang yang tunduk kepada Allah, yang hatinya khusyu’ saat berdzikir kepada Allah, tunduk karena takut kepada-Nya, serta takut dengan hukuman dan murka-Nya. 

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menambahinya dengan orang yang tidak banyak cingcong dalam melaksanakan titah Ilahi.

Sedangkan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah memaknai Mukhbitin dengan orang yang rendah hati, tidak angkuh, tulus, tidak pamrih, serta selalu siap melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Ciri-ciri MUHBITHIN

Allah menyebutkan:

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Yaitu orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah, maka takutlah hati mereka kepada Allah…” (QS. Al-Hajj[22]: 35)


Ciri yang pertama, apabila disebut nama Allah bergetar dihati, ada getaran-getaran tertentu yang membuat ia berlari menuju Allah SWT, bergegas untuk menuju Allah, ia tinggalkan hiruk pikuk dunia. Ketika ia diingatkan dengan ayat-ayat Allah, hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, ia tidak menjadi orang yang sombong, angkuh, melainkan ia menunduk dan mengikuti apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Sebab orang-orang beriman apabila dipanggil dan diseru untuk berhukum mengikuti Allah dan Rasul-Nya tidak ada kata yang terucap dari mereka selain samina wa atana, kami dengar dan kami patuh.

Dan ciri yang kedua, mereka adalah orang-orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk. Ketika ia memiliki harta, materi, jabatan kedudukan, ia tidak akan bersikap sombong ia tetap menundukan hatinya kepada Allah, menjadi hamba yang Mukhbitin, yang merendahkan diri kepada Allah. Karna, mereka menyadari bahwasannya itu adalah amanah/titipan. Kemudian ketika ditimpakan hal buruk, sakit, kekurangan harta, benda, jiwa, ia meyakini bahwa itu tidak semata-mata berasal dari Allah, ia mengevaluasi diri. Bagi orang yang beriman kata Nabi Muhammad SAW tidak ada matinya apabila ia ditimpakan suatu kenikmatan mereka bersyukur, tetapi ketika mereka ditimpa sesuatu yang tidak mengenakan maka mereka bersabar.

Kemudian ciri yang ketiga, mereka adalah orang-orang yang menegakkan shalat. Karena saat shalat orang betul-betul merendehkan dirinya dihadapan Allah, dimana wajah dan kepala yang terkadang ditinggikan dihadapan manusia, namun ketika seseorang mendirikan shalat wajah dan kepala yang berada diatas diletakan dibagian yang paling bawah, didasar, ditempat sujud sejajar dengan bagian tubuh yang lain.

Dan terakhir ciri yang ke empat, (
mencakup aspek produktivitas dan filantropis) mereka yang ketika diberikan rizki oleh Allah, mereka menginfaqan rizki itu dijalan Allah SWT karena orang yang menundukan hatinya kepada Allah begitu ia menerima sesuatu dari Allah ia meyakini bahwa itu adalah karunia dari Allah. Maka sebagiannya ia berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Label