"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Amalan Prioritas





Amalan Prioritas


Allah memerintahkan kita untuk muhasabah diri,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18) وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 18-19)

Inilah yang menjadi dalil agar kita bisa mengoreksi diri (muhasabah). Jika tergelincir dalam kesalahan, maka dikoreksi dan segera bertaubat lalu berpaling dari segala perantara yang dapat mengantarkan pada maksiat. Kalau kita melihat ada kekurangan dalam amalan yang wajib, maka berusaha keras untuk memenuhinya dengan sempurna dan meminta tolong pada Allah untuk dimudahkan dalam ibadah.

Hal ini diingatkan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ الاَمَانِيَّ

Artinya: “Orang yang sempurna akalnya ialah yang mengoreksi dirinya dan bersedia beramal sebagai bekal setelah mati. Dan orang yang rendah akalnya adalah orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya dan ia mengharapkan berbagai angan-angan kepada Allah.” (H.R. At-Tirmidzi).

Di antara amal prioritas yang hendaknya dilakukan seseorang terutama di usianya yang sudah tua adalah:

Pertama: Amalan ringan yang bisa dijangkau tapi bisa dikerjakan secara rutin.

Tatkala seseorang memiliki amalan dan amalan tersebut ia jadikan rutinitas atau agenda dalam harian atau pekanannya, maka amalan tersebut akan dicatatkan untuknya meskipun ia terhalangi mengerjakannya karena sakit atau sedang bersafar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ لَهُ مِنَ العَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ وَهوَ صَحِيْحٌ مُقِيْمٌ

“Apabila seseorang mengalami sakit atau sedang bersafar, maka tetap dicatatkan untuk apa yang rutin ia kerjakan di saat sehat dan mukimnya.” [HR. Al-Bukhari 2996].

Catatannya adalah semua ini rutin ia lakukan hingga kondisi fisiknya tidak mampu beramal sakit dan safat atau bahkan tidak mampu lagi untuk diajak beramal karena udzur usia tua. Allah Ta’ala berfirman,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” [Quran At-Tin: 6]

Terkait ayat ini, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, mengatakan,

فَأَيُّمَا رَجُلٌ كَانَ يَعْمَلُ عَمَلًا صَالِحًا وَهُوَ قَوِيٌّ شَابٌ، فَعَجَزَ عَنْهُ، جَرَى لَهُ أَجْرُ ذَلِكَ العَمَلُ حَتَّى يَمُوْتَ.

“Seseorang yang memilki kebiasaan beramal shaleh di saat dia kuat dan muda, lalu ia tidak mampu lagi mengerjakan amal tersebut, maka pahala amal tersebut akan tetap ia dapatkan hingga ia meninggal.”

Kalau ada istilah, “Olahraga adalah tabungan Kesehatan di usia tua.”, maka ibadah-ibadah ringan yang bisa kita jangkau dan rutin kita kerjakan adalah tabungan pahala di saat kita tidak lagi mampu mengerjakannya. Karena itu, perbanyaklah ibadah yang menjadi kebiasan.

Kedua: Memperbanyak Taubat dan Istighfar

Istighfar dan taubat adalah amalan manusia-manusia terbaik. Tatkala Rasulullah berusia lanjut, di usia 60 tahun, setelah hidup panjang dengan melakukan banyak ketaatan kepada Allah Ta’ala, di saat itu Allah menurunkan firman-Nya,

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Quran An-Nashr: 1-3].

Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk banyak-banyak bertaubat dan istighfar setelah sekian banyak amalan hebat yang beliau kerjakan. Berdakwah menyebarkan ilmu, berjihad, dll. kemudian Allah perintahkan menutup amalannya dengan istighfar dan taubat.

Demikian juga dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, manusia terbaik setelah para nabi dan rasul. Abdullah bin Amr bin al-Ashr radhiallahu ‘anhuma mengatakan,

عَلِّمْنِي دُعَاءً أدْعُو به في صَلَاتِي -وَفِيْ رِوَايَةٍ: وفي بَيْتِي- ، قالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، ولَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أنْتَ، فَاغْفِرْ لي مَغْفِرَةً مِن عِندِكَ، وارْحَمْنِي إنَّكَ أنْتَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Abu Bakr ash-Shiddiq bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ajarkan aku sebuah doa yang bisa kubaca di dalam shalatku – dalam Riwayat lain ada tambahan: kubaca saat aku berada di rumah-.

Rasulullah mengatakan, “Bacalah ‘Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku (berbuat dosa) dengan kezaliman yang banyak. Tidak ada yang mengampuni dosa kecuali hanya Engkau. Karena itu, ampunilah aku dengan maghfiroh dari sisi-Mu. Sayangilah aku karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” [Shahih al-Bukhari 834].

Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah membaca tasyahhud akhir atau saat berada di rumah. Para ulama juga menyebut doa ini dengan dzikir saat di rumah.

Perhatikan! Kalau orang-orang yang berada di puncak keshalehan dan ketaatan diperintahkan untuk menjadi istigfar dan taubat sebagai amalan penutup dan amalan andalan, apalagi kita orang-orang yang penuh dengan dosa.

Ketiga: Husnus Zhan kepada Allah

Jabir berkata bahwa ia pernah mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat tiga hari sebelum wafatnya beliau,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah” (HR. Muslim no. 2877).

Husnuz zhan itu diiringi dengan amal. Karena seseorang akan memiliki baik sangka tatkala ia sudah berusaha.

Keempat : meminimalisir potensi berbuat zalim kepada orang lain. 

Sufyan Ats Tsauri pernah berkata,

لَأَنْ تَلْقَى اللهَ تَعَالَى بِسَبْعِيْنَ ذَنْباً فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ؛ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلْقَاهُ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ العِبَادِ

“Andai Anda bertemu Allah dengan memikul tujuh puluh dosa yang kaitannya antara Anda dengan Allah, itu lebih ringan daripada Anda bertemu Allah, dengan membawa satu dosa, namun dosa itu kaitannya antara dirimu dengan manusia.” (Tanbih al Ghofilin, hal. 380).

Mengapa? Karena bertaubat kepada Allah atas dosa yang kaitannya dengan Allah membutuhkan tiga syarat: menyesal, berhenti mengerjakannya, dan bertekad kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Adapun dosa yang kaitannya dengan sesama manusia, syaratnya empat. Tiga syarat di atas ditambah meminta maaf atau mengembalikan harta yang diambil kalau berkaitan dengan harta.

Label