"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Safar dituduh bulan SIAL



Safar dituduh bulan SIAL

Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Dari segi bahasa, Safar mempunyai beberapa makna, diantaranya kosong, kuning dan nama penyakit. Sebagaimana penafsiran Ibnu Katsir dalan surah At-Taubah ayat 36 yang membicarakan tentang bilangan bulan dalam setahun, beliau menjelaskan bahwa alasan dinamakan Safar dalam artian ‘kosong’ karena kebiasaan orang Arab pada zaman dahulu meninggalkan rumah mereka untuk berperang atau bepergian jauh pada bulan tersebut sehingga rumah menjadi kosong. Menurut pendapat lainnya karena mereka banyak memerangi kafilah yang lain dan mengambil harta benda mereka sehingga kafilah tersebut menjadi kosong; tidak lagi mempunyai harta.

Dinamakan Safar dalam artian ‘kuning’ karena biasanya bulan tersebut bertepatan dengan musim panas yang menyebabkan dedaunan menjadi kering dan berwarna kuning. Adapun dinamakan Safar dalam artian ‘nama penyakit’ karena masyarakat Arab pada zaman jahiliyah meyakini adanya penyakit perut yang menyerang unta yang berpindah dari satu unta ke unta yang lain.

Pada zaman itu, masyrakat Arab mempunyai anggapan yang buruk terhadap bulan Safar. Mereka meyakini bulan Safar adalah bulan sial atau dikenal dengan tasya’um (pesimis). Bulan ini diyakini mengandung keburukan-keburukan sehingga mereka takut untuk melakukan hal-hal tertentu. Anggapan ini bahkan menjalar hingga zaman sekarang.

Sebagian orang meyakini hari-hari tertentu itu membawa keberuntungan sedangkan hari-hari yang lain mengandung kesialan. Begitu juga dengan bulan Safar yang diyakini sebagai bulan sial. Padahal sama seperti bulan-bulan lainnya, bulan Safar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. 

Dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW pernah bersabda:

لَاعَدْوَ وَلَاطِيَرَةَ وَلَاهَامَةَ وَلَاصَفَرَ وَفِرَّ مِن الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِن الْأَسَدِ

Artinya: “Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, safar dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa”. (HR.Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Rajab al Hanbali Rahimahullah, hadits tsb merupakan bantahan Rasulullah terhadap tradisi yang berkembang di masa Jahiliyah. Masyarakat Jahiliyah meyakini datangnya sial (malapetaka) di bulan Shafar, dan mereka melarang bepergian pada bulan itu. Maka Rasulullah membathilkan pendapat tersebut. Meyakini datangnya sial di bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (menyandarkan sebab kesialan atau keberuntungan) yang diharamkan oleh Syariat Islam. (Lathaif al-Ma’arif, hal 148).

Hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi menyangkal beberapa keyakinan orang Arab zaman dahulu mengenai takdir, diantaranya yaitu ‘adwa, thiyarah dan hamah. 
Adwa adalah keyakinan tentang adanya wabah penyakit yang menular dengan sendirinya, tanpa proses sebelumnya dan tanpa izin Allah Swt. 
Thiyarah adalah keyakinan tentang nasib setelah melihat burung. Dalam masyarakat jahiliyah ada mitos yang mengatakan jika seseorang keluar rumah dan melihat burung terbang di sebelah kanannya, maka tanda nasib baik akan datang. Tetapi jika seseorang melihat burung terbang di sebelah kirinya, maka tanda nasib sial akan segera menghampirinya sehingga sebaiknya tidak melanjutkan perjalanan. 
‘hamah’ adalah sebuah keyakinan bahwa ketika terdapat burung hantu hinggap di atas rumah, maka pertanda nasib sial akan tiba kepada si pemilik rumah tersebut. Begitu juga halnya dengan bulan Safar yang diyakini sebagai bulan yang mendatangkan malapetaka.

Rasulullah Saw sendiri menyangkal anggapan buruk masyarakat jahiliyah tersebut, Diantaranya yaitu pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah, Nabi menikahkan putrinya Sayyidah Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, hingga Nabi memulai hijrah dari Mekkah ke Madinah juga pada bulan ini.

Rebo Wekasan

Mayoritas masyarakat muslim Indonesia mengadakan beberapa tradisi pada hari tersebut, diantaranya seperti ‘Rabu abeh’ di tanah Aceh, ‘Rebo Wekasan’ di wilayah Jawa, bahkan ada tradisi membuat ‘Tajin Sappar’ dari masyarakat Madura yang nantinya dibagikan kepada tetangga sekitar. Semua tradisi tersebut tujuannya adalah meminta perlindungan dan pertolongan dari Allah agar dijauhkan dari segala penyakit dan malapateka yang dipercayai diturunkan pada hari tersebut.

Asal Usul Rebo Wekasan

Rebu Wekasan jatuh pada hari Selasa, dimulai sejak Maghrib. Bentuk ritual Rebo Wekasan biasanya meliputi empat hal; (1) shalat tolak bala’; (2) berdoa dengan doa-doa khusus; (3) minum air jimat; dan (4) selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul adanya tradisi di hari Rabu terakhir bulan Safar ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Addairabi dalam kitabnya Mujarabat Ad-Dairabi, sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur: seorang ahli kasyaf berkata, “Dalam setiap tahun turun 320.000 bencana. Semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Maka hari itu menjadi hari paling sulit dalam setahun. Maka barang siapa yang mengerjakan shalat 4 rakaat pada hari itu dan membaca dalam setiap rakaat darinya Al-Fatihah, Surah Al-Kautsar 17X, Surah Al-Ikhlas 5X, Surah Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) 1X, dan membaca doa sehabis salam, maka Allah melindunginya dengan kemurahan-Nya dari semua bencana yang turun di hari itu dan tidak terjadi suatu bencana dari bencana itu hingga tahun itu berakhir.

Larangan menganggap sial

Al Quran pun menjelaskan bahwa turunnya bencana tidak ada hubu- ngannya dengan bulan tertentu atau keadaan tertentu, akan tetapi sudah dituliskan oleh Allah sebelum diciptakannya langit dan bumi. Allah Ta’ala berfirman dalam QS.57, Al Hadid : 22 – 23

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ.  لِكَيْلا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.

22. tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.


Menurut almarhum KH Mu’ammal Hamidy, kepercayan seperti itu adalah rusak (fasad), dan menganggap kesialan yang tercela. Merujuk pada berbagai hadits Nabi, Islam sudah tentu melarang semuanya itu.

Misalnya, dalam Musnad Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad, Rasulullah saw bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلاَثًا وَمَا مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

Abdullah meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Merasa sial karena sesuatu itu syirik 3x, dan tidak seorang pun diantara kita melainkan (satu saat ada perasaan seperti itu), tetapi Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal.

Imam Thabrani juga mencatat hadits yang sama, dan menilainya hasan, sebagaimana termaktub dalam al-Jami’ush Shaghir,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ وَلا تُطُيِّرَ لَهُ، وَلا تَكَهَّنَ وَلا تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ

Bukan dari umatku barangsiapa yang menganggap sial karena burung dsb (tathayyur) atau minta ditebakkan kesialannya, tidak pula barangsiapa yang meramal atau minta diramalkan, atau mensihir atau minta disihirkan.

Sementara dalam Musnad Ahmad dan Sunan Thabrani, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ 
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Barangsiapa yang hajatnya digagalkan karena menganggap sial karena sesuatu (tathayuur) maka dia itu syirik. Para sahabat betanya : lalu, apa kaffarahnya ya Rasulallah? Jawab beliau yaitu hendaknya dia mengatakan : “allahumma la khaira illa khairuka wa la thaira illa thairuka wa la ilaha ghairuka” (Ya Allah tidak ada satupun keberunutngan melainkan keberuntungan yang datang dariMu, tidak ada satupun kesialan melainkan kesialan yang datang dariMu dan tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Engkau.)

Masih dalam al-Jami’ush Shaghir, Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا نَوْءَ وَلَا صَفَرَ- وَلاَ غَوْلَ

Abu Hurairah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tidak ada penularan penyakit, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan karena bintang, tidak ada kesialan kerana bulan Shafar dan tidak ada kesialan karena makhluk halus. (HR Ahmad dan Muslim)

Peristiwa penting bulan Safar 

  1. Pernikahan Rasulullah Saw dengan Khadijah binti Khuwailid. 
  2. Menikahkah putrinya Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib
  3. Memulai berhijrah dari Makkah ke Madinah.
  4. Kemenangan kaum Muslimin atas pasukan Hiraklius dalam perang Haibar. 
  5. Pengangkatan Usamah bin Zaid sebagai panglima perang termuda berumur 20 tahun. 
  6. Keempat, penaklukan negeri Persia dizaman khalifah Umar bin Khattab pada tahun 16 Hijriyah. 

Hakikat Hari Sial/naas

Ibnu Rajab berkata:

فَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ المُؤْمِنُ بِطَاعَةِ اللهِ فَهُوَ زَمَانٌ مُبَارَكٌ عَلَيْهِ، وَكُلُّ زَمَانٍ شَغَلَهُ العَبْدُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَهُوَ مَشْؤُمٌ عَلَيْهِ

Artinya, “Setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah, maka merupakan zaman yang diberkahi; dan setiap zaman orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan (tidak diberkahi).” (Zainuddin ‘Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Baghdadi ad-Dimisyqi, Lathâ-iful Ma’ârif, [Dar Ibn Hazm, cetakan pertama: 2004], halaman 81).


Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)

Label