"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

4 ciri generasi terburuk



4 ciri generasi terburuk


Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw telah mengilustrasikan ciri-ciri generasi terburuk sebagai berikut:

.سَيَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ هِمَّتُهُمْ بُطُوْنُهُمْ. وَشَرَفُهُمْ مَتَاعُهُمْ وَقِبْلَتُهُمْ نِسَاؤُهُمْ. وَدِيْنُهُمْ دَارَهِمُهُمْ وَدَنَانِيْرُهُمْ. اُوْلئِكَ شَرُّ الْخَلْقِ لاَخَلاَقَ لَهُمْ عِنْدَ الله في الأخرة

“Akan tiba suatu zaman atas manusia di mana perhatian (obsesi) mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya pada kekayaan (benda) semata, kiblat mereka hanya urusan wanita (seks) dan agama mereka adalah uang (harta, emas dan perak). Mereka adalah makhluk Allah swt yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian di sisi Allah swt di akhirat kelak.” [HR. Ad-Dailami]

Dalam hadis tersebut, terdapat empat ciri-ciri generasi terburuk, yaitu 
  1. lebih mementingan perut, 
  2. kemuliaan hanya diukur dari kepemilikan materi, 
  3. suka mengagungkan syahwat, dan 
  4. selalu mementingkan harta.

Pertama, mementingkan perut
Salah satu keinginan manusia dalam hidup adalah memiliki perut yang kenyang dengan berbagai jenis makanan. Namun, yang membahayakan adalah jika segala sesuatu dilakukan untuk kepentingan perut.

Fenomena itulah yang kini banyak terjadi pada masyarakat kita. Mementingkan perut berarti seseorang ingin memperoleh kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Bahkan meskipun seseorang sudah mendapatkan rezeki yang secara halal, hal itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya saja sehingga tidak peduli dengan kekurangan yang dialami orang lain.

Akibat lain yang sangat berbahaya dari mementingkan perut adalah seseorang menjadi takut lapar, kuatir tidak mendapatkan rizeki sehingga membuatnya takut menanggung risiko dalam menjalani kehidupan secara benar. Tak heran, orang yang selalu mementingan urusan perut menjadi manusia yang melakukan sesuatu jika menguntungan dirinya secara materi. Dia tidak mau mengerjakan sesuatu ketika sesuatu itu mengakibatkan kesulitan dalam hidupnya, apalagi jika sampai mengakibatkan perutnya menjadi lapar.

Ciri kedua adalah memuliakan perhiasan, kemuliaan hanya diukur dari kepemilikan materi
Dalam hidup ini, manusia menghiasai dirinya dengan berbagai perhiasan hidup seperti rumah, kendaraan, pakaian, emas permata, dan lain sebagainya. Semua itu sering kali dijadikan ukuran bagi kemuliaan seseorang, padahal benda-benda itu hanya aksesoriis belaka. Nah, generasi terburuk menjadikan perhiasan hidup sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang, sementara kemuliaan seseorang di mata Allah akan diukur seberapa besar ketakwaannya.

Ciri ketiga adalah mengagungkan Syahwat/perempuan
yaitu menuruti syahwat terhadap perempuan yang tidak halal baginya atau memenuhi ajakan perempuan untuk melakukan perzinahan. Ini merupakan sesuatu yang sangat hina. Allah berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” [QS. Al-Isra: 32].

Selain itu mengagungkan perempuan juga dapat dipahami sebagai pemenuhan keinginan-keinginan yang tidak baik dari prempuan, termasuk seorang suami yang takut kepada istrinya sehingga harus memenuhi keinginan istrinya yang tidak benar. Ketakutan kepada istri membuat suami tidak berani meluruskan ksesalahan istri, padahal istri merupakan tanggungjawab suami untuk diselamatkan dari api neraka.

Suami yang dayyuts dicela dalam syariat dan ancamannya cukup besar, sebagaimana hadits berikut,

ﺛَﻼَﺛَﺔٌ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟﻰَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻣُﺪْﻣِﻦُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻕُ ﻭَﺍﻟﺪَّﻳُّﻮْﺙُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳُﻘِﺮُّ ﺍﻟْﺨَﺒَﺚَ ﻓِﻲ ﺃَﻫْﻠِﻪِ

“Tiga golongan yang Allah mengharamkan surga atas mereka: pecandu bir, anak yang durhaka kepada orang tuanya, dan dayyuts yang membiarkan kemaksiatan pada istrinya (keluarganya).” (Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 2512)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ أَبَدًا : الدَّيُّوثُ. وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ ، وَمُدْمِنُ الْخَمْرِ ) ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ ، فَمَا الدَّيُّوثُ ؟ ، قَالَ : ( الَّذِي لَا يُبَالِي مَنْ دَخُلُ عَلَى أَهْلِهِ ) ، قُلْنَا : فَمَا الرَّجُلَةُ مِنْ النِّسَاءِ ؟ قَالَ : ( الَّتِي تَشَبَّهُ بِالرِّجَالِ) .

“Ada tiga orang yang tidak masuk surga: (1) ad-dayyuts, (2) wanita yang ar-rajulah, dan (3) pecandu khamr.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Adapun pecandu khamr, kami sudah paham maksudnya. Lalu apa makna ad-dayyuts?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yaitu orang yang tidak peduli siapa yang mendatangi anak-istrinya.” Para sahabat bertanya lagi, “Lalu apa wanita yang ar-rajulah itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 10800, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib no. 2367)

Makna ad-dayyuts adalah seorang suami atau bapak yang membiarkan terjadinya perbuatan buruk dalam keluarganya (Lihat Fathul Baari)


Ciri keempat  adalah gila harta (selalu mementingkan harta).
Dalam Islam, uang dan harta merupakan sesuatu yang boleh dicari dan dimiliki. Namun, semua itu harus dalam kendali manusia, bukan justru manusia yang dikendalikan harta. Banyak orang menjadikan harta seolah sebagai agama baru sehingga melalaikan mereka. Allah telah mengingatkan,

Dari gambaran hadits di atas, sangat terasa bahwa ciri-ciri generasi terburuk sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah saw, itu tercermin pada generasi sekarang. Maka, menjadi kewajiban kita untuk memperbaiki generasi mendatang agar kehidupan masa depan dapat kita songsong dengan keyakinan dan optimisme sesuai tuntunan syariat Islam.

بارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ لَيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.







Man jadda wajada



Man jadda wajada


“Man jadda wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan mencapai apa yang dicita-citakan), demikian ungkapan kata mutiara (mahfudzat) yang sering didengar. Bersungguh-sungguh belajar dan tekun beribadah adalah suatu kewajiban bagi seorang pelajar. Bahkan, kewajiban bersungguh-sungguh dalam belajar Allah swt. tegaskan sendiri dalam surah Al-Ankabut ayat 69 bahwa Kami, kata Allah, benar-benar akan tunjukkan kepada mereka sesuatu yang tidak diketahuinya (lanahdiyannahum subulana). Selengkapnya mari kita simak ulasan di bawah ini.

Tafsir Surah Al-Ankabut Ayat 69

Di dalam surah Al-Ankabut ayat 69, Allah swt. secara tegas menyatakan bahwa Dia pasti memberi petunjuk bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari ridha Allah, tidak terkecuali belajar. Allah swt. berfirman,

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. al-Ankabut [29]: 69).

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Quran menafsirkan kalimat lanahdiyannahum subulana bahwa Allah swt. pasti memberi taufik (hidayah) atau membimbing hamba-hamba-Nya menuju jalan yang lurus (linuwaffiqannahum li ishabati al-thariqi al-mustaqimah), yaitu agama Allah (al-Islam) yang dengannya Allah swt. mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah-Nya.

Sedangkan al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf dan Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Takwil menafsiri kata lanahdiyannahum subulana :
(لَنَزِيدَنَّهُمْ هِدَايَةً إِلَى سُبُلِ الْخَيْرِ وَتَوْفِيقًا.). 
bahwa Allah swt pasti akan menambahkan hidayah dan bimbingan-Nya kepada mereka menuju jalan kebaikan dan kesuksesan 

Selain itu, al-Zamakhsyari menyitir penafsiran Abi Sulaiman al-Darani bahwa mereka yang berjihad (bersungguh-sungguh dalam belajar) di jalan Allah, maka pasti Allah ajarkan dan tunjukkan kepada mereka sesuatu yang belum dia ketahui (‘allimu lanahdiyannahum ila ma lam ya’lamu).

Tidak jauh berbeda, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menafsirkan lanahdiyannahum subulana dengan barang siapa yang berjihad dengan ketaatan, maka Allah menunjukkan jalan surga baginya (man jahada bi al-tha’ah hadahu subula al-jannah). Selain itu, ia menambahkan, orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar maka sungguh dia memperoleh petunjuk dari ilmu-Nya, dan penjelasan yang gamblang atas sesuatu sejelas-jelasnya (linashila fihim al-ilm bina wa linubayyina hadza fadhlu bayan).

Bahkan, menurut al-Mawardi dalam al-Nukat wal ‘Uyun, makna jahadu memunculkan empat penafsiran, yaitu 

Pertama, memerangi kaum musyrik agar patuh kepada kita 
(قاتلوا المشركين طائعين لنا). 

Kedua, jihad melawan hawa nafsu dan perasaan khawatir atau was-was 
(جاهدوا أنفسهم في هواها خوفاً منا). 

Ketiga, jihad dengan amal perbuatan dalam rangka meraih ketaatan dan menghindari kemaksiatan dengan mengharap pahala Allah swt 
(اجتهدوا في العمل بالطاعة والكف عن المعصية رغبة في ثوابنا وحذراً من عقابنا). 

Dan keempat, berjihadlah kepada dirimu sendiri dengan cara taubat kepada Allah atas dosa-dosamu 
(جاهدوا أنفسهم في التوبة من ذنوبهم).

Adapun makna lanahdiyannahum subulana (memperoleh petunjuk dan keberuntungan), Al-Mawardi membaginya menjadi empat hal. 

Pertama, surga sebagaimana penafsiran al-Saddi. 
Kedua, Allah membimbingnya menuju agama yang benar sebagaimana periwayatan al-Naqasy. 
Ketiga, diberi petunjuk dan bimbingan dari sesuatu yang belum diketahui seperti yang dikemukakan oleh Abbas Abu Ahmad. 
Keempat, Allah swt sungguh memberikan rasa ikhlas dan tulus kepada hamba-Nya atas segala yang perbuatannya, baik sedekahnya, selawatnya, salatnya, maupun puasanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf bin Asbath.

Perintah bersungguh-sungguh dalam belajar

Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim pernah berpesan dalam syairnya, bagi seorang pelajar harus mampu menahan diri dari hawa nafsu yang menggebu karena itu bagian daripada bersungguh-sungguh dalam belajar.

إنَّ الْهَوَى لَهُوَ الْهَوَانُ بِعَيْنِهِ
وَصَرِيعُ كُلِّ هَوًى صَرِيعُ هَوَانِ

“Sungguh hawa nafsu itu rendah nilainya, barangsiapa terkalahkan oleh hawa nafsunya berarti ia terkalahkan oleh kehinaan”.

Lanjut Az-Zarnuji, bagi seorang pelajar harus memanfaatkan di usia mudanya untuk menuntut ilmu dengan sebaik-baiknya (afdhalu al-auqati syarakhu al-syababi). Dan pelajar harus memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar (wa yanbagi an yastaghriqa jami’a auqatihi), apabila ia bosan dengan satu bidang ilmu, maka selinganlah dengan bidang ilmu yang lain (faidza malla ‘an ‘ilmin yasytaghilu bi ‘ilmin akhara).

Mengendalikan Nafsu : Kemerdekaan yang hakiki


MENGENDALIKAN NAFSU 

adalah

KEMERDEKAAN YANG HAKIKI


Dalam bahasa Arab kemerdekaan berasal dari kata “al-Istiqlal”. Sementara dalam padanan kata bebas kemerdekaan juga disebut dengan istilah “al-Hurr” dan bentuk kata kerjanya adalah “al-Hurriyah”.

Menurut Ibnu Asyur dalam bukunya “Maqasid al-Syariah al-Islamiyah”, al-Hurriyah memiliki dua makna. Makna yang pertama adalah kemerdekaan lawan dari perbudakan, dan makna kedua kemerdekaan adalah kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan urusannya sesuka hati tanpa ada tekanan pihak lain.

Bagi seorang muslim, kemerdekaan dan kebahagiaan sejati adalah menjadi hamba Allah sepenuhnya dan merasa bahagia dengan menunaikan hak Allah dalam tauhid. Merasa bahagia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Merasa bahagia berakhlak mulia, membantu sesama, serta memudahkan urusan orang lain.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata,

الْعُبُودِيَّةُ لِلَّهِ هِيَ حَقِيقَةُ الْحُرِّيَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَّدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306)

Menjadi budak dunia dan budak hawa nafsu itu belumlah merdeka. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa manusia bisa menjadi budak dunia dan budak harta. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi, dia senang. Tetapi jika tidak diberi, dia marah.” (HR. Bukhari)

Bagaimana dunia dan harta memperbudak manusia? Yaitu dengan mendorong manusia menjadi tamak dan tidak pernah puas. Misalnya, dunia dan harta yang telah memperbudak dengan seolah-olah mengatakan,

“Carilah harta yang banyak.”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu lembur.”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu halalkan segala cara.”

Kita pun melakukan semua perintah harta dan dunia tersebut, seolah-olah harta dan dunia memperbudak kita dan kita ikuti semua perintahnya. Adanya ketamakan atas dunia karena kita juga diperbudak oleh hawa nafsu kita. Hawa nafsu inilah yang banyak menjadikan manusia tersesat.

Kerusakan demi kerusakan terjadi karena ulahnya yang terus mengikuti hawa nafsu. Allah berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturut hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS Maryam [19]: 59)



وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-An’am: 119)

Definisi Hawa nafsu

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan,

اَلْهَوَى مَيْلُ الطَّبْعِ إِلَى مَا يُلَائِمُهُ

“Hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

وَقَدْ يُطْلَقُ الْهَوَى بِمَعْنَى الْمَحَبَّةِ وَالْمَيْلِ مُطْلَقًا، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَيْلُ إِلَى الْحَقِّ وَغَيْرِهِ

“Terkadang dimutlakkan penyebutan hawa dengan makna cinta dan kecondongan, maka termasuk di dalamnya kecondongan kepada kebenaran dan selainnya” (Jaami’ul Uluum wal Hikam: 2/399).

Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya (ke dalam Neraka-pent)” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3). Orang yang memperturutkan nafsu, hakikatnya mencari kenikmatan semu dan kepuasan nafsu sesaat di dunia, tanpa berpikir panjang akibatnya, walaupun harus rela kehilangan kenikmatan yang hakiki di dunia dan Akherat.

1. Nafsu Ammarah Bissu'u

Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina. Hawa nafsu yang tidak terkendali akan membawa kita ke arah keburukan yang terus menerus.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yusuf,


وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)

Masih banyak manusia yang terjebak dalam hal ini. Alih-alih menghamba kepada Allah, malah menghamba kepada hawa nafsu dan setan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab An-Nuniyyah,

هَرَبُوا مِنَ الرِّقِّ الَّذِي خُلِقُوا لَهُ فَبُلُوا بِرِقِّ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Mereka lari dari penghambaan (menjadi budak Allah) di mana mereka diciptakan untuk itu, lalu mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan setan.” (At-Ta’liqaat Al-Fatawa Al-Hamawiyah, karya Syekh Al-Fauzan, hal. 59)

Dengan menjadi hamba Allah yang sejati yang menunaikan hak Allah itulah kemerdekaan yang mengantarkan kepada kebahagiaan.

2. Nafsu Lawwamah

Nafsu lawamah, cenderung merusak dirinya sendiri (destruktif ke dalam). Mereka adalah mental penyesalan, minder, kekecewaan, putus asa, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, keraguan, kesedihan, meratapi masa lalu, menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan diri sendiri. 

Jiwa yang seperti ini tidak akan mengenal arti sabar dan syukur. Mereka tuli, buta, bisu, dan mati rasa terhadap realita, karunia dari Allah, dan lupa terhadap Qodho Qodar dari Allah.

Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
_________

Celaan Terhadap Mengikuti Hawa Nafsu dalam Kitabullah

Allah mencela ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) di beberapa ayat yang banyak dalam Al-Qur`an, diantaranya adalah firman-Nya,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43).

Allah Ta’ala berfirman :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُون

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23).

Allah Ta’ala berfirman :

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Al-Qashash:50).

Hawa Nafsu Meliputi Dua Hal: Syubhat dan Syahwat

Mengikuti nafsu yang tercela, bisa dalam masalah beragama (penyakit syubhat) atau dalam masalah syahwat dunia (penyakit syahwat), atau dalam kedua penyakit tersebut sekaligus.

Ulama merinci sebagai berikut:Jika terkait dengan nafsu jenis syubhat, maka bisa sampai menjerumuskan seseorang ke dalam status ahli bid’ah dan dinamakan ahlul ahwa`. Dan kebiasaan salaf menamai ahli bid’ah dengan nama ahlul ahwa`.
Adapun nafsu jenis syahwat, maka terbagi dua, yaitu dalam perkara yang mubah, seperti makan, minum, dan pakaian dan bisa juga dalam perkara yang diharamkan, seperti zina, khamr, dan pelakunya dinamakan dengan fajir, fasiq, atau pelaku maksiat.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Seluruh maksiat tumbuh dari sikap mendahulukan hawa nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya”,

Beliau juga berkata,

“Dan demikian pula bid’ah, sesungguhnya bid’ah hanyalah muncul dari sikap mendahulukan nafsu di atas syari’at, oleh karena itu mereka disebut dengan ahlul ahwa`. Demikian pula kemaksiatan, sesungguhnya maksiat hanyalah terjadi karena sikap mendahulukan nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada apa yang Dia cintai”. (Jami’ul Uluum wal Hikam: 2/397-398).

Mengikuti Syubhat Lebih Parah dibandingkan Dalam Urusan Syahwat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَاتِّبَاعُ الْأَهْوَاءِ فِي الدِّيَانَاتِ أَعْظَمُ مِنْ اتِّبَاعِ الْأَهْوَاءِ فِي الشَّهَوَاتِ

“Mengikuti hawa nafsu dalam beragama (syubhat) lebih parah dibandingkan Mengikuti hawa nafsu dalam urusan syahwat”

3. Nafsu muthmainnah [النفس المطمئنة]

Itulah jiwa yang tenang karena iman, amal soleh, dan ketaatan kepada Rabnya.

Allah berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du: 28)

Allah juga berfirman,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).

Tiga hal yang membinasakan dan menyelamatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا

“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: (1) kebakhilan dan kerakusan yang ditaati; (2) hawa nafsu yang diikuti; dan (3) seseorang yang membanggakan diri sendiri. Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah: (1) takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak; (2) sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan; dan (3) (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan rida.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802)

Menjadi hamba Allah, beribadah mentauhidkan Allah, serta menjalankan perintah-Nya adalah sumber kebahagiaan. Hal ini dibahas dalam kitab tauhid agar kita benar-benar menghambakan diri kepada Allah. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah menjelaskan tanda hamba yang bertauhid. Beliau rahimahullah berkata,

إِذَا أَعْطَى شَكَرَ، وَإِذَا ابْتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَذْنَبَ اسْتَغْفَرَ، فَإِنَّ هَؤُلاَءِ الثَّلاَثَ عُنْوَانُ السَّعَادَةِ.“

(1) Jika diberi kenikmatan, dia bersyukur; (2) jika diuji dengan ditimpa musibah, dia bersabar; (3) dan jika melakukan dosa, dia beristighfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.” (Matan Al-Qawa’idul Arba’)

Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada-Nya dan tidak menjadi budak dunia dan hawa nafsu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab An-Nuniyyah,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ 
 مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـا قُـطْبَـانِ
وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ 
 مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ 
وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ 
 لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Ibadah kepada Allah adalah puncak cinta kepada-Nya …

Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros ibadah …

Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar …

Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak …

Dengan melaksanakan agama yang merupakan perintah Rasul-Nya …

Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan mengikuti setan … ” (Syarh Qashidah Ibnil Qayyim, 1: 253)

Do'a dan Kiat agar Istiqomah



Do'a dan Kiat agar Istiqomah


Dalam shalat maghrib, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. [Quran Ali Imran: 8].

Doa ini dibaca Abu Bakar sekitar lima hari setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana banyak orang-orang murtad sepeninggal beliau. Dan Abu Bakar sendiri adalah orang yang memerangi orang-orang murtad tersebut. Karena fenomena banyaknya orang murtad dan tergelincir setelah sebelumnya memeluk Islam, Abu Bakar pun memanjatkan doa ini dalam shalatnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang Allah janjikan akan memberinya suatu pemberian yang membuatnya ridha. Beliau mendapatkan kedudukan yang mulia di surga. Kedudukan yang tidak didapatkan seorang pun selain beliau. Dijamin ampunan dosa, baik yang telah dilakukan maupun yang belum dilakukan. Dan keutamaan-keutamaan lainnya. Tapi beliau tetap meminta istiqomah kepada Allah Ta’ala.

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ ‏”‏ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ ‏”‏ ‏.‏ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ آمَنَّا بِكَ وَبِمَا جِئْتَ بِهِ فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا قَالَ ‏”‏ نَعَمْ إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أَصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ ‏”‏ ‏

Dari Anas, ia berkata, “Merupakan kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak doa ‘Yaa muqollibal qulub tsabbit qalbi ‘ala diinik (Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu)’. Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada Anda dan apa yang Anda bawa. Apakah Anda masih khawatir terhadap kami?’ Beliau menjawab, ‘Iya. Karena sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari Allah. Lalu Dia bolak-balikkan sekehendak-Nya’.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Turmudzi]. 
(note : dibaca sebelum salam)

Hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati yang paling jauh dari ketergelinciran. Bahkan bisa kita katakana mustahil hati beliau tergelincir dari hidayah Islam. Tapi beliau memperbanyak membaca doa ini. Dan beliau pun mengkhawatirkan para sahabatnya yang ketakwaan mereka sudah dipuji oleh Allah Ta’ala.

عَنِ النَّوَّاسُ بْنُ سَمْعَانَ الْكِلابِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: «مَا مِنْ قَلْبٍ إِلاَّ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ إِنْ شَاءَ أَنْ يُقِيمَهُ أَقَامَهُ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُزِيغَهُ أَزَاغَهُ»

Dari Nawas bin Sam’an al-Kilabi, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada satu hati pun kecuali berada di antara dua jari Ar-Rahman. Jika Dia menginginkan hati tersebut istiqomah, ia akan istiqomah. Kalau Dia menghendaki hati tersebut tergelincir, ia akan tergelincir’.” [HR. Ahmad].

Doa Abu Bakar adalah doa yang dibaca oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (Ulama). Sebagaimana di ayat sebelumnya:

وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Quran Ali Imran: 7]

Kemudian mereka membaca doa seperti di ayat yang ke-8.

Kalau kita renungkan, siapakah yang memiliki kemugkinan tergelincir lebih besar? Orang-orang yang tidak berilmu atau orang-orang yang mendalam ilmunya? Atau dengan bahasa lain, siapakah yang lebih besar kemungkinan tersesat, ulama atau orang awam? Tidak diragukan lagi, orang awamlah yang kemungkinan menyimpangnya lebih besar. Tapi mereka berdoa:

وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (7) رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (8)

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. Mereka berkata “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. [Quran Ali Imran: 7-8].

Merekalah orang-orang yang takut dan khawatir menyimpang. Mereka meneladani nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperbanyak doa:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ ‏

“Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”

Kiat agar kita istiqomah 

  • Perasaan butuh akan istiqomah dalam agama. 
Dan hanya Allah saja yang bisa meneguhkan kita di atas agama ini. Kalau Allah tidak meneguhkan kita, pasti kita akan tersesat. Di antara tipu daya terbesar dari Iblis adalah seseorang merasa teguhnya dia dalam Islam karena usahanya sendiri. Istiqomahnya karena kuatnya hatinya. Demi Allah, tidak demikian hakikatnya. Semua ini hanyalah dari Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَوْلَآ أَن ثَبَّتْنَٰكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْـًٔا قَلِيلًا

“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” [Quran Al-Isra: 74]

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

استَقِيمُوا ولنْ تُحْصُوا

“Istiqomahlah dan kalian tidaklah akan mampu (untuk istiqomah dalam semua ketaatan dengan sebenar-benar istiqomah).” [HR. Malik].

  • Bersegera dalam ketaatan. 
Jangan tunda. Dan jangan remehkan kebaikan sedikit pun. Semua yang bermanfaat untuk akhirat Anda, segera amalkanlah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” [HR. Muslim]

  • Berusaha berislam secara kafah. 
Mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [Quran Al-Baqarah: 208].

Dan melaksanakan perintah Allah adalah sebab seseorang istiqomah. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا۟ مَا يُوعَظُونَ بِهِۦ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” [Quran An-Nisa: 66].

  • Perhatian besar terhadap Alquran.

Membacanya, menadabburinya, mempelajarinya, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ نَزَّلَهُۥ رُوحُ ٱلْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِٱلْحَقِّ لِيُثَبِّتَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. [Quran An-Nahl: 102]

Kita memohon kepada Allah agar meneguhkan kita di atas agama Islam. Dan wafat dalam keadaan memeluk agama yang mulia ini.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ




Manhaj Tarjih Muhammadiyah bag. 2

  


Manhaj Tarjih Muhammadiyah bag. 2
Cakupan, Produk, Kelebihan & kelemahan serta sinergitas dengan Majelis Tabligh

Manhaj Tarjih ini menjadi kerangka metodologis bagi ulama-ulama Muhammadiyah dalam melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa keagamaan, baik yang bersifat normatif maupun yang responsif terhadap permasalahan kontemporer.

Secara lebih komprehensif, Manhaj Tarjih mencakup seperangkat:

  1. Wawasan (Spirit/Perspektif): Meliputi toleransi, keterbukaan, dan wasathiyyah (moderasi), serta semangat tajdid (pembaruan) dalam beragama. Putusan tarjih tidak mengklaim kebenaran mutlak dan terbuka terhadap kritik konstruktif.

  2. Sumber: Utama adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah (hadis yang maqbulah). Hadis dipahami secara komprehensif dan integralistik. Dalam masalah akidah, hanya digunakan dalil-dalil atau hadis mutawatir.

  3. Pendekatan: Muhammadiyah menggunakan tiga pendekatan utama yang saling melengkapi dan bersifat sirkular:

    • Bayani: Pendekatan yang mendasarkan pada teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akal berfungsi sebagai alat pembenar dan penjelas teks.

    • Burhani: Pendekatan yang menggunakan akal, ilmu pengetahuan, dan penalaran logis dalam memahami dan merespons permasalahan.

    • Irfani: Pendekatan yang melibatkan pengalaman spiritual dan kepekaan terhadap masalah kemanusiaan dan pengembangan peradaban, yang dijiwai oleh fitrah ilahiyah.

  4. Prosedur Teknis (Metode): Dalam menghadapi dalil-dalil yang tampak bertentangan (ta'arudl al-adillah), Majelis Tarjih mengutamakan kompromi (al-jam'u wa at-taufiq) terlebih dahulu, kemudian baru melakukan tarjih (memilih yang lebih kuat), nasakh (jika ada dalil yang menghapus hukum sebelumnya), atau tawaqquf (menghentikan penelitian jika tidak ditemukan solusi). Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada satu mazhab tertentu, namun dapat mempertimbangkan pendapat mazhab sebagai bahan kajian.

Manhaj Tarjih ini menjadi kerangka metodologis bagi ulama-ulama Muhammadiyah dalam melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa keagamaan, baik yang bersifat normatif maupun yang responsif terhadap permasalahan kontemporer.

Produk Tarjih Muhammadiyah

Produk Tarjih adalah hasil dari kegiatan ketarjihan yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. Secara umum, produk tarjih Muhammadiyah terbagi menjadi tiga bentuk:

  1. Putusan Tarjih: Ini adalah keputusan resmi Majelis Tarjih yang menjadi pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam masalah akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah. Putusan ini mengikat secara organisasi. Contoh:

    • Himpunan Putusan Tarjih (HPT): Ini adalah kitab induk yang berisi berbagai keputusan tarjih dari waktu ke waktu, mencakup berbagai aspek kehidupan beragama, seperti tata cara shalat, puasa, zakat, haji, pernikahan, dan lain-lain.

    • Penetapan awal bulan Hijriah (Ramadan, Syawal, Zulhijah) dengan metode hisab hakiki wujudul hilal: Ini adalah salah satu produk tarjih yang paling dikenal dan membedakan Muhammadiyah dari sebagian ormas Islam lain di Indonesia yang menggunakan metode rukyat.

    • Tata Cara Shalat Tarawih 11 rakaat: Ini merupakan salah satu putusan yang populer di kalangan warga Muhammadiyah.

  2. Fatwa Tarjih: Fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih atas pertanyaan atau permasalahan keagamaan yang diajukan oleh perseorangan, lembaga, atau pimpinan persyarikatan. Fatwa ini biasanya lebih spesifik dan responsif terhadap isu-isu aktual. Contoh:

    • Fatwa tentang hukum-hukum terkait ibadah haji kontemporer: Misalnya, fatwa tentang haji dengan visa non-haji, murur di Muzdalifah, dan tanazul di Mina.

    • Fatwa tentang penggunaan parfum beralkohol.

    • Fatwa tentang hukum oral sex dan onani dengan tangan istri.

    • Fatwa tentang status nasab dan tanggung jawab anak hasil zina.

    • Fatwa tentang hukum mengucapkan selamat hari raya agama lain.

  3. Wacana Tarjih: Ini adalah hasil kajian atau pemikiran awal Majelis Tarjih yang belum menjadi putusan atau fatwa resmi, namun menjadi bahan diskusi dan pengembangan pemikiran keagamaan di Muhammadiyah. Wacana tarjih mendorong pemikiran inovatif dan adaptasi keagamaan. Contoh:

    • Risalah Akhlak Islami Filosofis: Dokumen ini menunjukkan pendekatan moderat Muhammadiyah dalam pemikiran hukum Islam dan etika.

    • Konsep Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT): Sebuah gagasan besar untuk menyatukan penetapan tanggal-tanggal penting Islam secara global.

Kelebihan dan Kelemahan Manhaj Tarjih Muhammadiyah

Kelebihan:

  1. Purifikasi dan Dinamisasi: Manhaj Tarjih berupaya melakukan pemurnian ajaran Islam (kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah) sekaligus mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman, terutama dalam bidang muamalah duniawiyah.

  2. Keterbukaan dan Toleransi: Putusan tarjih tidak mengklaim kebenaran mutlak dan bersifat terbuka terhadap pandangan lain serta menerima kritik konstruktif, asalkan didasarkan pada dalil dan argumentasi yang lebih kuat. Ini menunjukkan wawasan wasathiyah (moderasi) dalam beragama.

  3. Rasional dan Ilmiah: Penggunaan pendekatan burhani dan irfani menunjukkan bahwa Manhaj Tarjih tidak hanya terpaku pada teks, tetapi juga mempertimbangkan akal, ilmu pengetahuan, dan konteks sosial.

  4. Konsistensi dan Keseragaman: Dengan adanya Manhaj Tarjih, Muhammadiyah memiliki pedoman yang jelas dan konsisten dalam menetapkan hukum dan fatwa, sehingga mengurangi perbedaan pendapat di internal organisasi dan menjaga persatuan warga.

  5. Responsif terhadap Problematika Kontemporer: Majelis Tarjih berupaya aktif merespons berbagai persoalan baru yang muncul di masyarakat, baik dalam konteks keumatan maupun kemanusiaan universal.

  6. Memperkuat Jaringan Sosial: Konsistensi dalam berorganisasi melalui produk Tarjih memperkuat persatuan dan kesatuan internal Muhammadiyah, yang penting untuk membangun peradaban Islam yang berkeadaban.

Kelemahan (Beberapa kritik atau tantangan):

  1. Kurangnya Pemahaman Menyeluruh: Tidak semua warga atau bahkan pimpinan Muhammadiyah memahami Manhaj Tarjih secara mendalam, sehingga terkadang muncul kritik atau perbedaan pandangan yang didasari kurangnya rujukan pada metodologi yang ada.

  2. Interpretasi yang Beragam: Meskipun ada metodologi, interpretasi terhadap dalil dan penerapannya dalam kasus tertentu bisa tetap menimbulkan variasi atau dinamika dalam pandangan di kalangan internal, meskipun pada akhirnya harus tunduk pada putusan organisasi.

  3. Penerimaan di Luar Muhammadiyah: Beberapa produk Tarjih, seperti metode hisab dalam penetapan awal bulan, terkadang belum sepenuhnya diterima oleh sebagian kelompok Muslim di luar Muhammadiyah, yang menyebabkan perbedaan dalam pelaksanaan hari raya.

  4. Tantangan Isu Baru yang Kompleks: Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat menimbulkan berbagai isu baru yang sangat kompleks, yang memerlukan kajian mendalam dan berkelanjutan, sehingga Majelis Tarjih dituntut untuk selalu adaptif dan proaktif.

Hubungan dengan Majelis Tabligh

Majelis Tarjih dan Tajdid serta Majelis Tabligh adalah dua majelis penting dalam struktur organisasi Muhammadiyah yang memiliki hubungan erat dan saling melengkapi dalam menjalankan misi dakwah.

  • Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) memiliki tugas utama dalam bidang pemikiran keagamaan, yaitu merumuskan, menelaah, dan menetapkan hukum-hukum Islam berdasarkan Manhaj Tarjih. MTT berfungsi sebagai lembaga ijtihad dan fatwa di Muhammadiyah. Produk-produk yang dihasilkan oleh MTT (Putusan Tarjih, Fatwa Tarjih, Wacana Tarjih) adalah panduan normatif bagi seluruh warga Muhammadiyah.

  • Majelis Tabligh memiliki tugas utama dalam bidang dakwah dan penyebaran ajaran Islam. Majelis Tabligh bertanggung jawab untuk menyampaikan, menjelaskan, dan mengimplementasikan hasil-hasil dari Majelis Tarjih dan Tajdid kepada masyarakat luas, baik internal Muhammadiyah maupun umat Islam secara umum. Majelis Tabligh adalah "corong" atau "pelaksana" dari pemikiran keagamaan yang telah dirumuskan oleh Majelis Tarjih.

Hubungan Sinergis:

  1. Tarjih sebagai Sumber Materi Dakwah: Produk-produk Tarjih (putusan dan fatwa) menjadi materi dasar yang sahih dan teruji secara ilmiah untuk disampaikan oleh para mubaligh dan mubalighah di bawah naungan Majelis Tabligh. Ini memastikan bahwa dakwah Muhammadiyah memiliki landasan hukum yang kuat dan konsisten.

  2. Tabligh sebagai Ujung Tombak Sosialisasi: Majelis Tabligh berperan penting dalam menyosialisasikan dan menyebarluaskan pemahaman tentang Manhaj Tarjih dan produk-produknya kepada warga Muhammadiyah dan masyarakat. Melalui ceramah, pengajian, seminar, media massa, dan kegiatan dakwah lainnya, Majelis Tabligh memastikan bahwa ajaran Islam yang berdasarkan putusan Tarjih dapat dipahami dan diamalkan.

  3. Umpan Balik (Feedback): Majelis Tabligh seringkali menjadi garda terdepan yang berhadapan langsung dengan problematika dan pertanyaan keagamaan di masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan atau isu-isu baru yang muncul di lapangan dapat disampaikan kepada Majelis Tarjih untuk dikaji lebih lanjut dan menghasilkan fatwa atau putusan baru. Ini menunjukkan hubungan dua arah yang dinamis.

  4. Keselarasan Pemahaman: Adanya pemahaman yang utuh tentang Manhaj Tarjih di kalangan pimpinan Majelis Tabligh sangat penting agar pesan dakwah yang disampaikan selaras dengan kerangka metodologis Muhammadiyah. Daurah ilmiah dan pelatihan bersama sering diadakan untuk meneguhkan pemahaman ini.

Singkatnya, Majelis Tarjih adalah "dapur" pemikiran keagamaan, sedangkan Majelis Tabligh adalah "juru masak" yang menyajikan hasil pemikiran tersebut kepada umat, memastikan ajaran Islam yang berkemajuan dapat dipahami dan diamalkan secara luas.

Label