"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Mengendalikan Nafsu : Kemerdekaan yang hakiki


MENGENDALIKAN NAFSU 

adalah

KEMERDEKAAN YANG HAKIKI


Dalam bahasa Arab kemerdekaan berasal dari kata “al-Istiqlal”. Sementara dalam padanan kata bebas kemerdekaan juga disebut dengan istilah “al-Hurr” dan bentuk kata kerjanya adalah “al-Hurriyah”.

Menurut Ibnu Asyur dalam bukunya “Maqasid al-Syariah al-Islamiyah”, al-Hurriyah memiliki dua makna. Makna yang pertama adalah kemerdekaan lawan dari perbudakan, dan makna kedua kemerdekaan adalah kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan urusannya sesuka hati tanpa ada tekanan pihak lain.

Bagi seorang muslim, kemerdekaan dan kebahagiaan sejati adalah menjadi hamba Allah sepenuhnya dan merasa bahagia dengan menunaikan hak Allah dalam tauhid. Merasa bahagia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Merasa bahagia berakhlak mulia, membantu sesama, serta memudahkan urusan orang lain.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan mengenai hal ini. Beliau rahimahullah berkata,

الْعُبُودِيَّةُ لِلَّهِ هِيَ حَقِيقَةُ الْحُرِّيَّةِ، فَمَنْ لَمْ يَتَعَبَّدْ لَهُ، كَانَ عَابِدًا لِغَيْرِهِ

“Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barang siapa yang tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya.” (Al-Majmu’ Al-Fatawa, 8: 306)

Menjadi budak dunia dan budak hawa nafsu itu belumlah merdeka. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa manusia bisa menjadi budak dunia dan budak harta. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﻳْﻨَﺎﺭِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺪِّﺭْﻫَﻢِ، ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﺼَﺔِ ﺗَﻌِﺲَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴْﻠَﺔِ ﺇِﻥْ ﺃُﻋْﻄِﻲَ ﺭَﺿِﻲَ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻂَ ﺳَﺨِﻂَ

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamisah dan khamilah (sejenis pakaian yang terbuat dari wool/sutera). Jika diberi, dia senang. Tetapi jika tidak diberi, dia marah.” (HR. Bukhari)

Bagaimana dunia dan harta memperbudak manusia? Yaitu dengan mendorong manusia menjadi tamak dan tidak pernah puas. Misalnya, dunia dan harta yang telah memperbudak dengan seolah-olah mengatakan,

“Carilah harta yang banyak.”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu lembur.”

“Cari lagi harta tersebut, kalau perlu halalkan segala cara.”

Kita pun melakukan semua perintah harta dan dunia tersebut, seolah-olah harta dan dunia memperbudak kita dan kita ikuti semua perintahnya. Adanya ketamakan atas dunia karena kita juga diperbudak oleh hawa nafsu kita. Hawa nafsu inilah yang banyak menjadikan manusia tersesat.

Kerusakan demi kerusakan terjadi karena ulahnya yang terus mengikuti hawa nafsu. Allah berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturut hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS Maryam [19]: 59)



وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-An’am: 119)

Definisi Hawa nafsu

Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan,

اَلْهَوَى مَيْلُ الطَّبْعِ إِلَى مَا يُلَائِمُهُ

“Hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

وَقَدْ يُطْلَقُ الْهَوَى بِمَعْنَى الْمَحَبَّةِ وَالْمَيْلِ مُطْلَقًا، فَيَدْخُلُ فِيهِ الْمَيْلُ إِلَى الْحَقِّ وَغَيْرِهِ

“Terkadang dimutlakkan penyebutan hawa dengan makna cinta dan kecondongan, maka termasuk di dalamnya kecondongan kepada kebenaran dan selainnya” (Jaami’ul Uluum wal Hikam: 2/399).

Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya (ke dalam Neraka-pent)” (Asbabut Takhallaush minal hawa, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, hal. 3). Orang yang memperturutkan nafsu, hakikatnya mencari kenikmatan semu dan kepuasan nafsu sesaat di dunia, tanpa berpikir panjang akibatnya, walaupun harus rela kehilangan kenikmatan yang hakiki di dunia dan Akherat.

1. Nafsu Ammarah Bissu'u

Itulah nafsu yang selalu mengajak pemiliknya untuk berbuat dosa, melakukan yang haram dan memotivasi pemiliknya untuk melakukan perbuatan hina. Hawa nafsu yang tidak terkendali akan membawa kita ke arah keburukan yang terus menerus.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Yusuf,


وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53)

Masih banyak manusia yang terjebak dalam hal ini. Alih-alih menghamba kepada Allah, malah menghamba kepada hawa nafsu dan setan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab An-Nuniyyah,

هَرَبُوا مِنَ الرِّقِّ الَّذِي خُلِقُوا لَهُ فَبُلُوا بِرِقِّ النَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Mereka lari dari penghambaan (menjadi budak Allah) di mana mereka diciptakan untuk itu, lalu mereka dihukum dengan penghambaan kepada hawa nafsu dan setan.” (At-Ta’liqaat Al-Fatawa Al-Hamawiyah, karya Syekh Al-Fauzan, hal. 59)

Dengan menjadi hamba Allah yang sejati yang menunaikan hak Allah itulah kemerdekaan yang mengantarkan kepada kebahagiaan.

2. Nafsu Lawwamah

Nafsu lawamah, cenderung merusak dirinya sendiri (destruktif ke dalam). Mereka adalah mental penyesalan, minder, kekecewaan, putus asa, kecemasan, kekhawatiran, ketakutan, keraguan, kesedihan, meratapi masa lalu, menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan diri sendiri. 

Jiwa yang seperti ini tidak akan mengenal arti sabar dan syukur. Mereka tuli, buta, bisu, dan mati rasa terhadap realita, karunia dari Allah, dan lupa terhadap Qodho Qodar dari Allah.

Allah bersumpah dengan menyebut nafsu jenis ini dalam al-Quran,

وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Aku bersumpah dengan menyebut nafsu lawwamah.” (QS. al-Qiyamah: 2)
_________

Celaan Terhadap Mengikuti Hawa Nafsu dalam Kitabullah

Allah mencela ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) di beberapa ayat yang banyak dalam Al-Qur`an, diantaranya adalah firman-Nya,

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43).

Allah Ta’ala berfirman :

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُون

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jaatsiyah: 23).

Allah Ta’ala berfirman :

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (Al-Qashash:50).

Hawa Nafsu Meliputi Dua Hal: Syubhat dan Syahwat

Mengikuti nafsu yang tercela, bisa dalam masalah beragama (penyakit syubhat) atau dalam masalah syahwat dunia (penyakit syahwat), atau dalam kedua penyakit tersebut sekaligus.

Ulama merinci sebagai berikut:Jika terkait dengan nafsu jenis syubhat, maka bisa sampai menjerumuskan seseorang ke dalam status ahli bid’ah dan dinamakan ahlul ahwa`. Dan kebiasaan salaf menamai ahli bid’ah dengan nama ahlul ahwa`.
Adapun nafsu jenis syahwat, maka terbagi dua, yaitu dalam perkara yang mubah, seperti makan, minum, dan pakaian dan bisa juga dalam perkara yang diharamkan, seperti zina, khamr, dan pelakunya dinamakan dengan fajir, fasiq, atau pelaku maksiat.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Seluruh maksiat tumbuh dari sikap mendahulukan hawa nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya”,

Beliau juga berkata,

“Dan demikian pula bid’ah, sesungguhnya bid’ah hanyalah muncul dari sikap mendahulukan nafsu di atas syari’at, oleh karena itu mereka disebut dengan ahlul ahwa`. Demikian pula kemaksiatan, sesungguhnya maksiat hanyalah terjadi karena sikap mendahulukan nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada apa yang Dia cintai”. (Jami’ul Uluum wal Hikam: 2/397-398).

Mengikuti Syubhat Lebih Parah dibandingkan Dalam Urusan Syahwat

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

وَاتِّبَاعُ الْأَهْوَاءِ فِي الدِّيَانَاتِ أَعْظَمُ مِنْ اتِّبَاعِ الْأَهْوَاءِ فِي الشَّهَوَاتِ

“Mengikuti hawa nafsu dalam beragama (syubhat) lebih parah dibandingkan Mengikuti hawa nafsu dalam urusan syahwat”

3. Nafsu muthmainnah [النفس المطمئنة]

Itulah jiwa yang tenang karena iman, amal soleh, dan ketaatan kepada Rabnya.

Allah berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du: 28)

Allah juga berfirman,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ . ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. al-Fajr: 27-28).

Tiga hal yang membinasakan dan menyelamatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ فَأَمَّا ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ و ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللَّهِ فِي السِّرِّ والعلانيةِ وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا

“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: (1) kebakhilan dan kerakusan yang ditaati; (2) hawa nafsu yang diikuti; dan (3) seseorang yang membanggakan diri sendiri. Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah: (1) takut kepada Allâh di waktu sendirian dan dilihat orang banyak; (2) sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan; dan (3) (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan rida.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802)

Menjadi hamba Allah, beribadah mentauhidkan Allah, serta menjalankan perintah-Nya adalah sumber kebahagiaan. Hal ini dibahas dalam kitab tauhid agar kita benar-benar menghambakan diri kepada Allah. Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah menjelaskan tanda hamba yang bertauhid. Beliau rahimahullah berkata,

إِذَا أَعْطَى شَكَرَ، وَإِذَا ابْتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَذْنَبَ اسْتَغْفَرَ، فَإِنَّ هَؤُلاَءِ الثَّلاَثَ عُنْوَانُ السَّعَادَةِ.“

(1) Jika diberi kenikmatan, dia bersyukur; (2) jika diuji dengan ditimpa musibah, dia bersabar; (3) dan jika melakukan dosa, dia beristighfar (bertaubat). Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.” (Matan Al-Qawa’idul Arba’)

Semoga kita bisa menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada-Nya dan tidak menjadi budak dunia dan hawa nafsu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab An-Nuniyyah,

وَعِبَادَةُ الرَّحْمٰنِ غَايَةُ حُبِّــهِ 
 مَعَ ذُلِّ عَابِـدِهِ هُمَـا قُـطْبَـانِ
وَعَلَيْهِمَا فَلَكُ الْعِبَادَةِ دَائِرٌ 
 مَا دَارَ حَتَّى قَامَتِ الْقُـطْبَـانِ 
وَمَدَارُهُ بِالْأَمْرِ أَمْرِ رَسُوْلِـهِ 
 لَا بِالْهَوَى وَالنَّفْسِ وَالشَّيْطَانِ

“Ibadah kepada Allah adalah puncak cinta kepada-Nya …

Disertai ketundukan hati orang yang beribadah kepada-Nya, keduanya adalah poros ibadah …

Di atas kedua poros tersebutlah garis ibadah berputar …

Dia tidak akan berputar sampai dua poros tersebut tegak …

Dengan melaksanakan agama yang merupakan perintah Rasul-Nya …

Bukan mengikuti hawa nafsu, dorongan hati, dan mengikuti setan … ” (Syarh Qashidah Ibnil Qayyim, 1: 253)

Label