Bagaimana Membedakan Adab dan Akhlak?
Larangan Mencela Angin, Hujan, Cuaca, dan Musim
📌 Larangan Mencela Angin, Hujan, Cuaca, dan Musim dalam Islam
1. Larangan Mencela Angin
Hadits 1 — Riwayat Tirmidzi
Ibnu Qayyim – Larangan Mencela Angin
"سَبُّ الرِّيحِ مِنَ الجَهْلِ وَسُوءِ الأَدَبِ مَعَ اللهِ؛ فَإِنَّهَا مُسَخَّرَةٌ بِأَمْرِهِ."
“Mencela angin adalah bentuk kejahilan dan buruknya adab kepada Allah, karena angin itu tunduk kepada perintah-Nya.” — Madarij As-Salikin
2. Mencela Waktu / Musim
Hadits Qudsi — Riwayat Bukhari Muslim
Imam An-Nawawi – Syarah Mencela Waktu
"سَبُّ الدَّهْرِ حَرَامٌ؛ لأَنَّهُ فِيهِ سَبٌّ لِفِعْلِ اللهِ تَعَالَى."
“Mencela waktu itu haram, karena hakikatnya mencela perbuatan Allah Ta’ala.” — Syarh Shahih Muslim.
3. Larangan Mengaitkan Hujan kepada Selain Allah
Hadits 3 — Riwayat Bukhari Muslim
Ibnu Hajar – Ucapan tentang Hujan
"النِّسْبَةُ إِلَى النَّوْءِ إِنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ الْمُؤَثِّرُ فَهُوَ كُفْرٌ، وَإِنْ جَعَلَهُ سَبَبًا فَهُوَ مَعْصِيَةٌ."
“Mengaitkan hujan kepada bintang: bila diyakini bintang yang memberi pengaruh, itu kufur. Bila hanya dianggap sebab, maka itu maksiat.” Fathul Bari.
Catatan:
Yang dilarang: menganggap bintang yang memberi hujan.
Yang tidak dilarang: penjelasan ilmiah tentang meteorologi → sebab biasa (asbab kauniyah).
4. Tidak Mencela Panas dan Dingin
Hadits 4 — Riwayat Muslim
Imam Al-Qurthubi – Mencela Cuaca Sama dengan Mencela Allah
"مَنْ سَبَّ الرِّيحَ أَوْ الزَّمَانَ فَقَدْ عَابَ صُنْعَ اللهِ."
“Siapa mencela angin atau waktu, maka ia telah mencela ciptaan Allah.” — Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an
Mencela “panas dan dingin” berarti mencela takdir Allah.
5. Mendoakan ketika Mendengar Petir
Atsar Nabi — Riwayat Malik
Ini menunjukkan adab menghadapi fenomena alam.
Penutup Ringkas
Prinsip utamanya:
1. Fenomena alam = ciptaan Allah.
Mencelanya → sama dengan mencela Dzat Yang membuatnya.
2. Islam tidak melarang ilmu cuaca / meteorologi.
Yang dilarang:
❌ Menganggap fenomena alam terjadi tanpa takdir Allah
❌ Mengaitkan hujan pada bintang sebagai pemberi pengaruh
Yang dibolehkan:
✔ Penjelasan ilmiah tentang angin, awan, siklus air, tekanan atmosfer
✔ Mengatakan: “Secara ilmiah hujan akan turun karena… dengan izin Allah.”
Hujan dalam Sejarah Perjuangan Nabi dan Para Sahabat
Hujan dalam Sejarah Perjuangan Nabi dan Para Sahabat
Rahmat, Pertolongan, dan Ketenangan dari Langit
Hujan bukan hanya fenomena cuaca. Dalam sejarah para nabi dan sahabat, hujan hadir sebagai tentara Allah yang memperkuat dakwah, menyelamatkan orang beriman, dan menggagalkan makar musuh.
Artikel ini membahas tiga kisah besar: Nabi Musa, Perang Khandaq, dan Hudaibiyah, lengkap dengan dalil, penjelasan ulama, serta kisah singkat saat hujan itu turun.
1. Hujan yang Memadamkan Api dari Serangan Fir’aun terhadap Nabi Musa
Kisah Singkat Peristiwa Hujannya
Sebagian ahli sejarah (disebutkan oleh Ibn Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah) menceritakan bahwa Fir‘aun pernah memerintahkan kaumnya untuk mengumpulkan kayu-kayu lalu menyalakan api yang besar dengan tujuan membakar Nabi Musa dan pengikutnya. Api menjulang tinggi dan panasnya terasa dari kejauhan. Namun tiba-tiba langit gelap, lalu turunlah hujan deras yang memadamkan api itu. Fir‘aun dan kaumnya tercengang karena mereka yakin api itu mustahil padam kecuali jika ada kuasa luar biasa.
Ibn Katsīr menukil ucapan sebagian salaf:
« فَأَرْسَلَ اللّٰهُ مَطَرًا فَأَطْفَأَ النَّارَ وَنَجَّىٰ مُوسَىٰ وَمَنْ مَعَهُ »
“Allah menurunkan hujan yang memadamkan api itu, dan Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya.”
Allah ﷻ berfirman menggambarkan kebinasaan Fir‘aun sebagai akhir dari berbagai makar mereka:
﴿ فَأَرَادَ أَنْ يَسْتَفِزَّهُمْ مِنَ الْأَرْضِ فَأَغْرَقْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ جَمِيعًا ﴾
“Maka Fir‘aun bermaksud untuk mengusir mereka dari bumi (Mesir). Lalu Kami pun menenggelamkan dia bersama semua orang yang bersamanya.” (QS. Al-Isrā’: 103)
Hikmah:
Allah mengubah hujan menjadi “pelindung” bagi Nabi Musa. Api yang dibuat manusia tidak berarti apa-apa jika Allah menurunkan hujan dari langit.
PENYEBAB UTAMA FIR‘AUN INGIN MEMBAKAR MUSA
1. Karena Musa mengancam kekuasaannya.
2. Karena dakwah Musa meruntuhkan propaganda ketuhanan Fir‘aun.
3. Karena rakyat mulai percaya kepada Musa.
4. Karena mukjizat Musa membuat Fir‘aun malu di depan rakyat.
- tongkat menjadi ular besar,
- tangan bercahaya putih,
- kemenangan atas para penyihir,
- munculnya bencana tūfān (banjir besar), belalang, kutu, katak, darah, dan lainnya, maka masyarakat mulai percaya kepada Musa.
Para penyihir sendiri mengakui:
﴿ آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى ﴾
(QS. Thāhā: 70)
Hal ini membuat Fir‘aun sangat ketakutan karena pengaruh Musa semakin besar.
5. Karena Fir‘aun ingin menakut-nakuti Bani Israil dengan hukuman yang ekstrem.
6. Dalam riwayat tambahan: Fir‘aun frustasi karena berulang kali gagal membunuh Musa.
- Fir‘aun pernah mencoba membunuh Musa sejak kecil, tetapi selalu gagal.
- Musa lolos dari segala upaya: dibunuh, dicekik, diracun, dan lainnya.
- Upaya membakar Musa adalah salah satu rencana puncak.
2. Perang Khandaq: Hujan dan Angin Menghancurkan Koalisi Musuh
Kisah Singkat Peristiwa Hujannya
Pada malam-malam paling genting Perang Khandaq, pasukan musyrikin Ahzab yang berjumlah lebih dari 10.000 orang berkumpul di sekitar Madinah. Mereka membangun tenda, memasak, menghidupkan api, dan menyiapkan logistik untuk serangan besar. Di sisi lain, kaum muslimin sangat kelelahan, kelaparan, dan ketakutan.
Di tengah malam, tiba-tiba angin sangat kencang bertiup dan hujan deras turun. Hujan itu menumbangkan tenda-tenda musuh, memadamkan api mereka, membasahi pakaian, merusak perbekalan, menumpahkan periuk makanan, hingga membuat ternak mereka lari. Abū Sufyān—pemimpin Quraisy saat itu—akhirnya berkata kepada pasukannya:
“Ini bukan tempat tinggal. Pulanglah! Kita tidak mungkin bertahan.”
Koalisi musuh bubar tanpa terjadi perang besar.
Allah ﷻ berfirman:
﴿ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا ﴾
“Lalu Kami mengirimkan kepada mereka angin (kencang) dan bala tentara yang tidak dapat kalian lihat.” (QS. Al-Ahzāb: 9)
Ibn Katsīr menafsirkan:
« بَعَثَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ رِيحًا شَدِيدَةً وَمَطَرًا فَقَلَبَ قُدُورَهُمْ وَقَوَّضَ خِيَامَهُمْ »
“Allah mengirimkan angin kencang dan hujan yang menumpahkan periuk mereka dan merobohkan tenda-tenda mereka.”
Rasulullah ﷺ juga memanjatkan doa pada malam itu:
« اللّٰهُمَّ اهْزِمِ الْأَحْزَابَ، اللّٰهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ »
“Ya Allah, hancurkanlah golongan-golongan (pasukan musuh). Ya Allah, hancurkanlah mereka dan goncangkanlah mereka.” (HR. Bukhari)
Dan Allah mengabulkan dengan hujan.
Hikmah:
Hujan bisa menjadi senjata Allah untuk memenangkan kaum beriman tanpa satu pun pedang diangkat.
3. Hujan pada Perjalanan menuju Hudaibiyah: Menguatkan Tanah & Menenangkan Kaum Muslimin
Kisah Singkat Peristiwa Hujannya
Ketika Nabi ﷺ dan para sahabat menuju Hudaibiyah, mereka melewati perjalanan yang berat. Debu sangat tebal, tanah gembur sulit dilewati, dan mereka kekurangan air. Banyak sahabat mulai merasa berat dan gelisah.
Allah kemudian menurunkan hujan yang lembut namun cukup deras. Hujan ini:
- membersihkan tubuh mereka dari debu,
- mengisi kembali tampungan air mereka,
- menenangkan hati yang diliputi rasa takut,
- dan membuat tanah yang semula gembur menjadi padat, sehingga pasukan bisa berdiri dan berjalan dengan lebih kokoh.
Allah ﷻ berfirman:
﴿ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ … وَلِيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ ﴾
(QS. Al-Anfāl: 11)
Ibn Katsīr berkata:
« ثَبَّتَ الْأَقْدَامَ بِالْمَاءِ، فَإِنَّ التُّرَابَ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ لَانَ وَاسْتَقَرَّتْ عَلَيْهِ الْقَدَمُ »
“Allah meneguhkan pijakan mereka dengan air itu, karena tanah yang terkena air menjadi padat hingga kaki dapat berdiri kokoh di atasnya.”
Ibn Qayyim dalam Zād al-Ma‘ād juga menyebutkan:
« وَأَرْسَلَ اللّٰهُ عَلَيْهِمُ الْمَطَرَ فَطَهَّرَهُمْ وَثَبَّتَ أَقْدَامَهُمْ وَأَذْهَبَ عَنْهُمُ التَّعَبَ »
“Allah menurunkan hujan kepada mereka, mensucikan mereka, meneguhkan kaki mereka, dan menghilangkan rasa letih mereka.”
Hikmah:
Hujan yang menenangkan adalah bentuk kasih sayang Allah kepada para pejuang dakwah.
Penegasan Ulama: Hujan adalah Tentara Allah
Imam al-Qurthubi berkata:
« الْمَطَرُ مِنْ جُنُودِ اللّٰهِ يَنْصُرُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ »
Syaikh as-Sa‘di menyatakan:
« وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّ الْمَطَرَ جُنْدٌ مِنْ جُنُودِهِ »
Penutup
Dari ketiga kisah di atas, kita belajar bahwa:
-
Hujan adalah rahmat tetapi juga bisa menjadi pertolongan strategis.
-
Alam semesta adalah alat bagi Allah untuk menolong hamba-Nya.
-
Kaum beriman harus melihat hujan bukan sekadar cuaca, tetapi bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Hujan sebagai Analogi Turunnya Rahmat Allah
Hujan sebagai Analogi Turunnya Rahmat Allah
Menghidupkan Tanah yang Gersang, Sebagaimana Allah Menghidupkan Hati yang MatiHujan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an. Ia bukan sekadar fenomena alam, tetapi simbol spiritual yang sangat mendalam. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa hujan diibaratkan sebagai rahmat, bahkan sebagai gambaran turunnya hidayah, yaitu kehidupan yang menghidupkan hati sebagaimana air menghidupkan tanah yang mati.
Para ulama, khususnya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, menjadikan hujan sebagai analogi utama dalam menjelaskan kehidupan ruhani, hidayah, dan perubahan hati.
Artikel ini menguraikan secara rinci bagaimana Al-Qur’an, Sunnah, dan ulama menggambarkan hujan sebagai analogi turunnya rahmat Allah.
I. Hujan dalam Al-Qur’an: Rahmat yang Menghidupkan
1. Hujan Menghidupkan Bumi yang Mati
Di sini Allah mengarahkan perhatian manusia pada:
Tanah yang semula gersang → menjadi hijau
Pohon yang semula mati → berbuah kembali
Sebagaimana hujan menghidupkan bumi, rahmat Allah menghidupkan hati.
2. Hujan sebagai Perumpamaan Ilmu & Hidayah
Ayat yang sangat indah dan mendalam:
Menurut para mufassir:
Air = ilmu dan hidayah
Lembah = hati manusia
Ukuran lembah = kadar kesiapan seseorang menerima petunjuk
Sebagian hati luas dan bersih, sehingga banyak menerima kebaikan. Sebagian lainnya sempit, kotor, atau keras sehingga hanya sedikit menerima cahaya kebenaran.
II. Hujan dalam Sunnah: Kajian Nabi tentang Perubahan Hati
Nabi ﷺ bersabda:
Dalam hadits itu, Nabi menggambarkan tiga jenis tanah:
- Menyerap air
- Menumbuhkan tanaman
- Memberikan manfaat bagi diri & orang lain
2. Tanah yang Menahan Air
- Tidak terlalu subur
- Tetapi mampu menyimpan air sehingga bermanfaat bagi manusia
3. Tanah Tandus
- Tidak menyerap air
- Tidak menumbuhkan tanaman
Hadits ini adalah dasar paling kuat bahwa hujan = hidayah.
III. Analogi Hujan dalam Pemikiran Ibnul Qayyim
1. Dalam Madarij As-Salikin
Ibnul Qayyim menggunakan analogi hujan berulang kali:
- Hujan adalah rahmat dan hidayah
- Tanah adalah hati manusia
- Tumbuh-tumbuhan adalah amal shalih
“Hati tidak akan hidup kecuali dengan rahmat Allah, sebagaimana bumi tidak hidup kecuali dengan hujan.”
2. Hujan yang Lembut dan Bertahap
Menurut Ibnul Qayyim:
Hujan tidak turun sekaligus, karena akan merusak
Hidayah pun turun bertahap, sesuai kesiapan hati
Maka jangan heran bila perubahan iman seringkali perlahan. Allah Maha Bijaksana dalam menumbuhkan hati manusia.
3. Tanah Keras dan Hati Keras
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa:
- Tanah yang keras tidak menyerap air
- Hati yang keras sulit menerima hidayah
IV. Korelasi Spiritual antara Hujan dan Rahmat Allah
Berikut hubungan langsung yang memudahkan pemahaman:
1. Hujan turun dari langit → hidayah pun turun dari langit
Allah menurunkan rahmat sesuai kehendak-Nya.
2. Hujan membersihkan → iman membersihkan hati
Air membersihkan kotoran dunia, Iman membersihkan kotoran dosa
3. Hujan menumbuhkan tanaman → ilmu menumbuhkan amal
Semakin deras hujan → semakin subur tanaman
Semakin banyak ilmu → semakin kuat amal shalih
4. Hujan membawa kebahagiaan → hidayah membawa ketentraman
Tidak ada hati yang lebih tenteram daripada hati yang diberi cahaya iman.
1. Hati yang Subur
- Cepat tersentuh ayat
- Mudah menerima nasihat
- Melahirkan amal dan perbaikan diri
- Tidak langsung berubah
- Tetapi menyampaikan kebaikan kepada orang lain
- Termasuk orang bermanfaat bagi masyarakat
- Mendengar ayat tapi tidak tergerak
- Mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya
- Letih dengan nasihat, bosan dengan kebenaran
“Termasuk tanah jenis apa hati kita ketika rahmat Allah turun?”
VI. Dalil Tambahan tentang Hujan sebagai Rahmat
1. Hujan sebagai rahmat setelah keputusasaan
Allah menurunkan hujan setelah manusia putus asa — begitu juga Allah memberikan hidayah setelah seseorang berada di ujung kelelahan spiritual.
2. Angin sebelum hujan disebut “pembawa kabar gembira”
3. Allah memerintahkan manusia melihat tanda-tanda rahmat-Nya
“Maka perhatikanlah tanda-tanda rahmat Allah itu…” (QS. Ar-Rum: 50)
Sebagian ulama menafsirkan bahwa rahmat yang dimaksud adalah hujan.VII. Penutup
Hujan adalah tanda nyata bagaimana Allah menurunkan rahmat-Nya kepada makhluk. Ia bukan hanya bermanfaat secara fisik, tetapi juga menjadi cermin bagi kehidupan spiritual manusia.
Sebagaimana tanah gersang yang kembali hidup dengan tetes-tetes hujan, demikian pula hati manusia akan kembali hidup dengan dzikir, ilmu, Al-Qur’an, dan hidayah dari Allah.
“Maka sambutlah rahmat Allah sebagaimana tanaman menyambut turunnya hujan.”
Keimanan yang berkaitan dengan Hujan
KEIMANAN YANG BERKAITAN DENGAN HUJAN
Kajian Dalil-dalil Shahih dan Penjelasan UlamaHujan bukan sekadar fenomena meteorologi, namun dalam Islam ia adalah tanda tauhid, bukti kekuasaan Allah, bagian dari takdir, serta ujian dan rahmat bagi manusia. Karena itu, para ulama memasukkan pembahasan hujan dalam aqidah iman kepada Allah, kepada qadha-qadar, dan kepada hal-hal ghaib.
1. HANYA ALLAH YANG MENURUNKAN HUJAN
A. Dalil Al-Qur'an
1. QS. Fâthir (35): 2
Para mufassir seperti Ibn Katsîr menyebut “rahmat” di sini mencakup hujan karena hujan adalah salah satu bentuk rahmat terbesar.
2. QS. An-Nûr (24): 43
Ayat ini jelas menyandarkan turunnya hujan kepada Allah, bukan kepada alam semata.
2. TURUNNYA HUJAN TERMASUK ILMU GHAIB
A. Dalil Al-Qur'an - QS. Luqmân (31): 34
Ini menunjukkan bahwa kapan, di mana, dan berapa banyak hujan turun adalah urusan ghaib.
B. Dalil Hadits Shahih
HR. Bukhari no. 1039
Catatan Penting:
Hadits-hadits spesifik tentang nama malaikat tertentu yang menurunkan hujan banyak yang lemah.
Namun konsep bahwa Allah menugaskan malaikat dalam pengaturan alam adalah benar.
Hadits Shahih tentang malaikat yang bertugas mengatur awan
HR. Muslim no. 2995
Walau bukan menunjukkan “malaikat khusus hujan”, namun menunjukkan peran malaikat dalam urusan hujan.
Kesimpulan:
Aqidah: Allah-lah yang menurunkan hujan.
Malaikat: hanyalah perantara yang taat menjalankan perintah.
4. HUJAN SUDAH DITAKDIRKAN DALAM LAUHUL MAHFÛDZ
Hadits Shahih Muslim no. 2653
Termasuk di dalam takdir itu adalah kapan hujan turun, berapa banyak, dan kepada siapa manfaatnya.
5. ISTIGHFAR ADALAH SEBAB TURUNNYA HUJAN
A. Dalil Al-Qur'an
QS. Nûh (71): 10–12
Ayat ini tegas menunjukkan hubungan antara istighfar dan rizki hujan.
B. Atsar dari Hasan Al-Bashri
Seorang lelaki mengadu kekeringan, beliau menjawab:
ٱسْتَغْفِرِ اللَّهَ – “Perbanyaklah istighfar.” (Sumber: Tafsir Al-Qurthubi, 18/302)
6. PETIR DAN GUNTUR ADALAH TANDA KEKUASAAN ALLAH
A. Dalil Al-Qur’an
QS. Ar-Ra’d (13): 13
Ayat ini paling shahih dalam menjelaskan fenomena guntur.
B. Doa Ketika Mendengar Petir
(dari Abdullah bin az-Zubair)
Hadits Shahih – HR. Ibn Majah no. 4019 (dishahihkan Al-Albani)
Hadits ini shahih, dan menunjukkan hubungan antara ketaatan sosial dan keberkahan alam.
8. ADAB KETIKA HUJAN
1. Membaca doa ketika hujan:
HR. Bukhari no. 1032
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat.”
2. Doa setelah hujan reda:
HR. Bukhari no. 1033
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
Artinya: “Kita diberi hujan ini berkat karunia dan rahmat Allah.”
Ini sekaligus bantahan terhadap keyakinan jahiliyah yang mengaitkan hujan dengan bintang-bintang.
3. Tidak mencaci hujan
Karena hujan adalah rahmat Allah.
4. Dianjurkan menampakkan diri sedikit saat hujan pertama
HR. Muslim no. 898
Nabi ﷺ membuka pakaiannya untuk terkena hujan. Beliau bersabda:
"لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ"
“Karena hujan itu baru saja diciptakan oleh Rabb-nya.”
9. HIKMAH KEIMANAN DARI HUJAN
- Menguatkan tauhid – bahwa alam tunduk kepada Allah, bukan bergerak sendiri.
- Menguatkan iman kepada qadar – takdir hujan telah ditulis.
- Mendorong taubat – karena istighfar adalah sebab turunnya hujan.
- Mendorong sedekah & zakat – karena kedurhakaan sosial mempengaruhi keberkahan alam.
- Mendorong kepedulian lingkungan – Islam memandang alam sebagai amanah.
- Menyadarkan manusia pada kelemahan diri – meskipun teknologi berkembang, tetap tidak bisa memastikan hujan secara pasti.
10. KESIMPULAN BESAR
Hujan adalah rahmat, tanda kekuasaan Allah, dan bagian dari iman.
Dalil shahih menunjukkan:
- Allah-lah yang menurunkan hujan
- Hujan termasuk perkara ghaib
- Malaikat menjalankan perintah Allah dalam pengaturan alam
- Hujan telah ditulis dalam takdir
- Istighfar dan zakat mempengaruhi keberkahan hujan
- Petir dan guntur adalah tanda kebesaran Allah
- Seorang mukmin mesti melihat hujan sebagai sarana syukur, taubat, tawakal, dan menghidupkan sunnah.
Disclaimer: Islam Bukan Anti Ilmu Pengetahuan, Termasuk Astronomi dan Meteorologi
Islam tidak pernah melarang mempelajari fenomena alam seperti pergerakan awan, tekanan udara, angin, kelembapan, atau siklus hidrometeorologi yang dikaji oleh meteorologi dan astronomi. Bahkan, Islam mendorong umatnya untuk meneliti dan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya.
Justru Al-Qur’an berulang kali memerintahkan manusia untuk mengamati, meneliti, dan memahami alam semesta, seperti:
Ayat-ayat ini menjadi dasar bahwa Islam sangat pro-ilmu pengetahuan, termasuk ilmu atmosfer dan ilmu falak.
1. Ilmu meteorologi menjelaskan mekanisme turunnya hujan
Hujan terjadi karena:
- evaporasi,
- kondensasi,
- tekanan udara,
- angin,
- perubahan suhu,
- pergerakan awan cumulonimbus, dll.
Dalam Islam:
👉 Mengakui sebab alamiah = boleh, bahkan dianjurkan
👉 Namun meyakini sebab tersebut bekerja mandiri tanpa izin Allah = syirik
2. Islam menegaskan yang menciptakan dan mengatur hujan tetap Allah
Al-Qur’an sangat jelas:
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ
“Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) dengan suatu ukuran.” (QS. Al-Mu’minun: 18)
Meteorologi menjelaskan bagaimana hujan turun.
Allah menjelaskan Siapa yang mengizinkan hujan turun.
Ini bukan pertentangan — keduanya saling melengkapi.
Rasulullah ﷺ mengecam keyakinan jahiliyah yang menyebut hujan turun karena bintang tertentu, seperti hadits:
مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا
“Kita diberi hujan karena bintang ini dan itu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesalahan mereka bukan pada mengamati bintang,
tetapi pada meyakini bintang memiliki kuasa menurunkan hujan.
Dalam aqidah Islam:
✔ Boleh mengatakan: “Hujan turun karena ada awan dari arah barat, tekanan turun, suhu lembap.”
✘ Tidak boleh mengatakan: “Awan ini pasti mendatangkan hujan tanpa kehendak Allah.”
✘ Tidak boleh mengatakan: “Hujan turun karena kekuatan bintang atau alam.”
Meteorologi menjelaskan fenomena alam berdasarkan sunnatullah (hukum alam yang Allah tetapkan).
2. Islam = menegaskan bahwa Allah adalah pencipta hukum alam
Contoh:
Api membakar → sunnatullah
Awan membawa hujan → sunnatullah
Tapi keduanya hanya bekerja dengan izin Allah (Ibrahim: 27).
📌 Meteorologi = mempelajari “mesin” hujan
📌 Tauhid = mengakui “pemilik dan pengendali” mesin tersebut adalah Allah
Mempelajari mesin sama sekali tidak mengurangi kemuliaan Sang Pencipta.
Justru semakin detail manusia memahami sistem hujan, semakin kuat keyakinannya bahwa sistem ini mustahil terjadi tanpa kehendak Allah.
Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa mempelajari sebab-sebab alam tidaklah bertentangan dengan akidah, bahkan termasuk “ilmu yang mubah dan bermanfaat”.
Imam Ibn Taymiyyah (Majmu’ Fatawa, 32/239) berkata:
“Mengetahui tanda-tanda alam bukanlah syirik. Yang syirik adalah meyakini bahwa tanda itu dapat menciptakan atau menurunkan hujan tanpa izin Allah.”
Artinya:
Mempelajari awan, angin, suhu → boleh
Menyimpulkan hujan terjadi karena sistem atmosfer → boleh
Meyakini sistem tersebut bekerja tanpa campur tangan Allah → haram
“Meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah pada makhluk-Nya adalah ilmu yang menguatkan iman. Karena melalui alam, seseorang melihat kesempurnaan ciptaan Allah.”
Ini menegaskan bahwa meteorologi, klimatologi, dan astronomi menguatkan iman — bukan melemahkannya.
Syaikh Ibn ‘Utsaimin dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah mengatakan:
“Tidak masalah kita mengatakan bahwa hujan turun karena terbentuknya awan. Yang dilarang adalah mengatakan bahwa awan sendiri yang menurunkan hujan.”
Ini disiplin penting:
✔ Boleh menyebut sebab ilmiah
✘ Tidak boleh memberi kekuasaan independen pada sebab tersebut
- Islam tidak anti meteorologi maupun astronomi.
- Islam membolehkan menjelaskan penyebab ilmiah turunnya hujan.
- Yang dilarang adalah meyakini sebab-sebab alam bekerja mandiri tanpa Allah.
- Ilmu pengetahuan dan iman kepada Allah dalam fenomena hujan saling melengkapi, bukan bertentangan.
- Semakin mendalam seseorang mempelajari alam, semakin nyata tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam
Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam
(Kajian Ilmiah Tematik tentang Atsar al-‘Amal dalam Islam)Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian siapa di antara kita yang terbaik amalnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan yang meninggalkan jejak amal paling agung bagi umatnya.
Fenomena zaman modern menunjukkan bahwa jejak manusia tidak pernah benar-benar hilang. Di dunia digital, satu tulisan, gambar, atau video dapat bertahan bertahun-tahun dan dilihat jutaan orang. Dalam pandangan Islam, ini bukan sekadar fenomena teknologi, melainkan bagian dari “atsar al-‘amal” — bekas atau jejak perbuatan manusia yang dicatat oleh Allah.
Allah ﷻ berfirman:
Ayat ini menjadi fondasi penting untuk memahami bahwa amal manusia memiliki dampak yang berkelanjutan, bahkan setelah kematiannya.
2. Landasan Teologis: Amal dan Tanggung Jawab Pribadi
Islam menegaskan bahwa setiap manusia hanya menanggung amalnya sendiri, tanpa memikul dosa orang lain. Allah ﷻ berfirman:
Dan firman-Nya lagi:
Makna Umum Dua Ayat Ini
Dua ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahi yang sangat mendasar dalam Islam, yaitu:
- Setiap manusia bertanggung jawab atas amalnya sendiri.
- Tidak ada dosa yang diwariskan atau ditanggung oleh orang lain.
- Pahala dan dosa bergantung pada usaha pribadi, bukan keturunan, status, atau klaim semata.
Imam al-Ṭabarī menjelaskan bahwa:
"Makna ayat ini adalah penegasan bahwa Allah tidak akan menghukum seorang hamba atas dosa orang lain. Setiap jiwa hanya akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri."
Beliau menukil perkataan Ibnu ‘Abbās:
Ibn Kathīr menjelaskan ayat ini dengan mengaitkannya pada ayat-ayat lain yang senada:
“Ini sebagaimana firman Allah di tempat lain:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya: Tidak seorang pun menanggung dosa orang lain.”
Kemudian beliau menafsirkan ayat ke-39:
“Maknanya, manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari amal yang ia lakukan sendiri, baik kebaikan maupun keburukan. Hal ini membatalkan keyakinan kaum jahiliah yang menganggap seseorang bisa diselamatkan karena jasa nenek moyangnya.” [Tafsir Ibn Kathīr, 7/502]
Tafsir Al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī menambahkan dimensi keadilan dan tanggung jawab moral:
“Ayat ini menjadi dasar bahwa tidak ada dosa yang diwariskan, dan tidak ada balasan tanpa amal. Namun, rahmat Allah bisa menambah pahala seseorang karena doa, sedekah, atau amalan orang lain yang diniatkan untuknya — bukan karena amal orang lain itu secara otomatis berpindah kepadanya.” [Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 19/60]
3. Terputusnya Amal Saat Kematian
Rasulullah ﷺ bersabda:
Hadits ini menjelaskan kaidah umum bahwa amal seseorang berhenti saat kematian, kecuali tiga hal yang terus memberi manfaat — inilah yang disebut amalan jariyah.
Namun dari sini juga lahir kaidah sebaliknya: sebagaimana pahala bisa terus mengalir, dosa pun bisa mengalir, apabila pengaruh buruk seseorang tetap hidup di dunia.
4. Konsep Jejak Amal (Āthār al-‘Amal) dalam Al-Qur’an
Allah ﷻ berfirman:
“Maksudnya ialah apa yang mereka tinggalkan dari amal kebaikan maupun keburukan yang diikuti oleh orang lain setelah mereka meninggal.”
(Tafsīr al-Ṭabarī, Juz 20, hlm. 516)
Al-Qurṭubī juga menegaskan :
Mujahid menafsirkan ayat ini, beliau berkata:
5. Dosa Jariyah: Definisi dan Klasifikasi
Konsep “dosa jariyah” bersumber dari hadits Nabi ﷺ:
Dari hadits ini, para ulama mendefinisikan dosa jariyah sebagai:
“Dosa yang terus bertambah akibat pengaruh buruk seseorang yang diikuti orang lain, meskipun pelakunya telah mati.”
Dosa jariyah langsung: (Pelopor) perbuatan buruk yang ditiru, seperti mengajarkan maksiat atau menyebar ide sesat.
Dosa jariyah tidak langsung: akibat dari sistem, tulisan, konten, atau kebijakan yang melahirkan keburukan jangka panjang.
Anda bisa perhatikan para propagandis yang menyebarkan aliran sesat, menyebarkan pemikiran menyimpang, menyerukan masyarakat untuk menyemarakkan kesyirikan dan bid’ah, menyerukan masyarakat untuk memusuhi dakwah tauhid dan sunah, merekalah contoh yang paling mudah terkait hadis di atas.
“Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menjadi penyebab perbuatan dosa, maka ia menanggung dosa orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu.”
(Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 7, hlm. 120)
6. Manifestasi Dosa Jariyah di Era Modern
- Menyebarkan Konten Maksiat atau Hoaks di Media Sosial
- Menyebarkan konten maksiat, fitnah, hoaks, atau ide sesat.
- Menciptakan musik, film, atau karya yang menormalisasi dosa.
- Menjadi influencer yang mengajak gaya hidup jauh dari syariat.
- Membuat komentar atau postingan yang menimbulkan kebencian dan perpecahan.
Imam Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Juz 3, hlm. 127) berkata:
“Barang siapa membuka jalan dosa bagi orang lain, maka ia telah menanggung beban atas setiap langkah orang yang berjalan di atasnya.”
Dunia digital membuat atsar al-amal menjadi viral dan abadi, bahkan setelah pelakunya meninggal dunia. Inilah bentuk baru dosa jariyah yang sering tidak disadari: dosa berantai digital.
Dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Juz 14, hlm. 81–84):
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membuat gambar makhluk bernyawa adalah dosa besar, karena terdapat ancaman keras berupa azab pada hari kiamat.
Dan yang dimaksud dengan al-muṣawwirūn adalah mereka yang membuat gambar makhluk bernyawa dengan maksud menyerupai ciptaan Allah.”
“Adapun gambar-gambar benda tak bernyawa seperti pohon, gunung, atau benda mati — tidak termasuk larangan ini.”
2. Imam Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī رحمه الله
Dalam Fatḥ al-Bārī (Juz 10, hlm. 385):
“Larangan ini berlaku bagi orang yang membuat gambar makhluk hidup dengan tujuan untuk dihormati atau diagungkan.
Namun, bila gambar itu tidak utuh (seperti tanpa kepala) atau tidak dimaksudkan sebagai ciptaan tandingan Allah, maka hukumannya lebih ringan.”
3. Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله
Dalam Majmū‘ al-Fatāwā (Juz 32, hlm. 234):
“Membuat gambar makhluk hidup adalah haram berdasarkan ijma‘ para sahabat, kecuali bila dalam konteks pendidikan, kebutuhan mendesak, atau bukan makhluk bernyawa.
Adapun gambar bayangan (seperti di cermin atau air) dan bayangan tanpa bentuk (seperti pantulan) maka tidak termasuk dalam larangan.”
- Mendirikan Tempat Maksiat
- Menyebarkan Ajaran Sesat atau Bid‘ah yang Menyesatkan
- Memberi Contoh Buruk di Lingkungan
- Menyumbang untuk Kegiatan Haram
Dosa jariyah tidak hanya merusak pelakunya, tetapi juga menular secara sosial.
Setiap keburukan yang diikuti oleh banyak orang akan membentuk budaya maksiat yang sulit dihentikan.
Inilah yang disebut ulama dengan al-ma‘ṣiyah al-muta‘addiyah — dosa yang meluas pengaruhnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
Maka setiap dai, penulis, pendidik, dan pengguna media sosial memikul tanggung jawab besar atas dampak moral dari kontennya.
8. Upaya Pencegahan dan Penebusan
Islam memberi ruang untuk menutup pintu dosa jariyah, melalui tiga langkah:
1️⃣ Taubat Nasuha
Allah ﷻ berfirman:
2️⃣ Menutup Jejak Dosa
Hapus konten yang menyesatkan.
Luruskan kesalahan yang pernah diajarkan.
Sampaikan klarifikasi dan ajakan menuju kebaikan.
3️⃣ Mengganti dengan Amal Jariyah yang Baik
Gunakan pengaruh, ilmu, dan teknologi untuk membuka pintu kebaikan.
Ibnul Mubārak رحمه الله berkata:
“Barang siapa menanam kebaikan, maka ia menuai pahala setelah kematiannya; dan barang siapa menanam keburukan, maka keburukan itu hidup bersamanya di alam kubur.” (Az-Zuhd lil-Imām Ibn al-Mubārak, hlm. 359)
9. Kesimpulan
Dosa jariyah adalah cermin betapa seriusnya dampak sosial dari amal manusia.
Setiap perbuatan — baik atau buruk — memiliki jejak yang tidak terhapus oleh waktu.
Di era digital, kita dituntut lebih berhati-hati, karena satu klik dapat menjadi pahala yang mengalir selamanya atau dosa yang tak pernah padam.





