"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Larangan Mencela Angin, Hujan, Cuaca, dan Musim


📌 Larangan Mencela Angin, Hujan, Cuaca, dan Musim dalam Islam

1. Larangan Mencela Angin

Hadits 1 — Riwayat Tirmidzi

النَّبِيُّ ﷺ قَالَ: «لَا تَسُبُّوا الرِّيحَ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُونَ فَقُولُوا: اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيحِ، وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَخَيْرَ مَا أُمِرَتْ بِهِ، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيحِ، وَشَرِّ مَا فِيهَا، وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ»
“Janganlah kalian mencela angin. Jika kalian melihat sesuatu yang tidak kalian sukai darinya, maka ucapkan: ‘Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang ada padanya, dan kebaikan yang ia perintahkan. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang ada padanya, dan keburukan yang ia perintahkan.’ (HR. Tirmidzi, hasan shahih)

Ibnu Qayyim – Larangan Mencela Angin

"سَبُّ الرِّيحِ مِنَ الجَهْلِ وَسُوءِ الأَدَبِ مَعَ اللهِ؛ فَإِنَّهَا مُسَخَّرَةٌ بِأَمْرِهِ."

“Mencela angin adalah bentuk kejahilan dan buruknya adab kepada Allah, karena angin itu tunduk kepada perintah-Nya.” — Madarij As-Salikin


2. Mencela Waktu / Musim

Hadits Qudsi — Riwayat Bukhari Muslim

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: «يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ، يَسُبُّ الدَّهْرَ، وَأَنَا الدَّهْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ»
Allah Ta‘ala berfirman: “Anak Adam menyakiti-Ku; ia mencela waktu, padahal Aku-lah (yang mengatur) waktu. Akulah yang membolak-balikkan siang dan malam.”(HR. Bukhari & Muslim)

Imam An-Nawawi – Syarah Mencela Waktu

"سَبُّ الدَّهْرِ حَرَامٌ؛ لأَنَّهُ فِيهِ سَبٌّ لِفِعْلِ اللهِ تَعَالَى."

“Mencela waktu itu haram, karena hakikatnya mencela perbuatan Allah Ta’ala.” — Syarh Shahih Muslim.

Mencela musim panas, musim hujan, perubahan cuaca → termasuk mencela “dahr (waktu)”.

3. Larangan Mengaitkan Hujan kepada Selain Allah

Hadits 3 — Riwayat Bukhari Muslim

قَالَ ﷺ: «أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ… فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي... وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالنَّوْءِ»
“Ada hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir… Adapun yang berkata: ‘Kami diberi hujan karena karunia Allah dan rahmat-Nya,’ maka ia beriman kepada-Ku. Dan yang berkata: ‘Kami diberi hujan karena bintang ini dan itu,’ maka ia telah kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang.”(HR. Bukhari Muslim)

Ibnu Hajar – Ucapan tentang Hujan

"النِّسْبَةُ إِلَى النَّوْءِ إِنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ الْمُؤَثِّرُ فَهُوَ كُفْرٌ، وَإِنْ جَعَلَهُ سَبَبًا فَهُوَ مَعْصِيَةٌ."

“Mengaitkan hujan kepada bintang: bila diyakini bintang yang memberi pengaruh, itu kufur. Bila hanya dianggap sebab, maka itu maksiat.”  Fathul Bari.

Catatan:
Yang dilarang: menganggap bintang yang memberi hujan.
Yang tidak dilarang: penjelasan ilmiah tentang meteorologi → sebab biasa (asbab kauniyah).


4. Tidak Mencela Panas dan Dingin

Hadits 4 — Riwayat Muslim

قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «اشْتَكَتِ النَّارُ إِلَىٰ رَبِّهَا فَقَالَتْ: يَا رَبِّ، أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا… فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ: نَفَسٍ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٍ فِي الصَّيْفِ»
“Neraka mengadu kepada Rabb-nya… maka Allah mengizinkannya dua hembusan: hembusan di musim dingin dan hembusan di musim panas.”

Imam Al-Qurthubi – Mencela Cuaca Sama dengan Mencela Allah

"مَنْ سَبَّ الرِّيحَ أَوْ الزَّمَانَ فَقَدْ عَابَ صُنْعَ اللهِ."

“Siapa mencela angin atau waktu, maka ia telah mencela ciptaan Allah.”  Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an

Mencela “panas dan dingin” berarti mencela takdir Allah.


5. Mendoakan ketika Mendengar Petir

Atsar Nabi — Riwayat Malik

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ قَالَ: «سُبْحَانَ مَنْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ»
“Maha Suci Allah yang petir bertasbih memuji-Nya, dan para malaikat bertasbih karena takut kepada-Nya.”

Ini menunjukkan adab menghadapi fenomena alam.


Penutup Ringkas

Prinsip utamanya:

1. Fenomena alam = ciptaan Allah.

Mencelanya → sama dengan mencela Dzat Yang membuatnya.

2. Islam tidak melarang ilmu cuaca / meteorologi.

Yang dilarang:
❌ Menganggap fenomena alam terjadi tanpa takdir Allah
❌ Mengaitkan hujan pada bintang sebagai pemberi pengaruh

Yang dibolehkan:
✔ Penjelasan ilmiah tentang angin, awan, siklus air, tekanan atmosfer
✔ Mengatakan: “Secara ilmiah hujan akan turun karena… dengan izin Allah.”


Hujan dalam Sejarah Perjuangan Nabi dan Para Sahabat

 

Hujan dalam Sejarah Perjuangan Nabi dan Para Sahabat

Rahmat, Pertolongan, dan Ketenangan dari Langit

Hujan bukan hanya fenomena cuaca. Dalam sejarah para nabi dan sahabat, hujan hadir sebagai tentara Allah yang memperkuat dakwah, menyelamatkan orang beriman, dan menggagalkan makar musuh.
Artikel ini membahas tiga kisah besar: Nabi Musa, Perang Khandaq, dan Hudaibiyah, lengkap dengan dalil, penjelasan ulama, serta kisah singkat saat hujan itu turun.


1. Hujan yang Memadamkan Api dari Serangan Fir’aun terhadap Nabi Musa

Kisah Singkat Peristiwa Hujannya

Sebagian ahli sejarah (disebutkan oleh Ibn Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah) menceritakan bahwa Fir‘aun pernah memerintahkan kaumnya untuk mengumpulkan kayu-kayu lalu menyalakan api yang besar dengan tujuan membakar Nabi Musa dan pengikutnya. Api menjulang tinggi dan panasnya terasa dari kejauhan. Namun tiba-tiba langit gelap, lalu turunlah hujan deras yang memadamkan api itu. Fir‘aun dan kaumnya tercengang karena mereka yakin api itu mustahil padam kecuali jika ada kuasa luar biasa.

Ibn Katsīr menukil ucapan sebagian salaf:

« فَأَرْسَلَ اللّٰهُ مَطَرًا فَأَطْفَأَ النَّارَ وَنَجَّىٰ مُوسَىٰ وَمَنْ مَعَهُ »

“Allah menurunkan hujan yang memadamkan api itu, dan Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya.”

Allah ﷻ berfirman menggambarkan kebinasaan Fir‘aun sebagai akhir dari berbagai makar mereka:

﴿ فَأَرَادَ أَنْ يَسْتَفِزَّهُمْ مِنَ الْأَرْضِ فَأَغْرَقْنَاهُ وَمَنْ مَعَهُ جَمِيعًا ﴾

“Maka Fir‘aun bermaksud untuk mengusir mereka dari bumi (Mesir). Lalu Kami pun menenggelamkan dia bersama semua orang yang bersamanya.” (QS. Al-Isrā’: 103)

Hikmah:
Allah mengubah hujan menjadi “pelindung” bagi Nabi Musa. Api yang dibuat manusia tidak berarti apa-apa jika Allah menurunkan hujan dari langit.

PENYEBAB UTAMA FIR‘AUN INGIN MEMBAKAR MUSA

1. Karena Musa mengancam kekuasaannya.

2. Karena dakwah Musa meruntuhkan propaganda ketuhanan Fir‘aun.

3. Karena rakyat mulai percaya kepada Musa.

4. Karena mukjizat Musa membuat Fir‘aun malu di depan rakyat.

  • tongkat menjadi ular besar,
  • tangan bercahaya putih,
  • kemenangan atas para penyihir,
  • munculnya bencana tūfān (banjir besar), belalang, kutu, katak, darah, dan lainnya, maka masyarakat mulai percaya kepada Musa.

Para penyihir sendiri mengakui:

﴿ آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى ﴾

(QS. Thāhā: 70)

Hal ini membuat Fir‘aun sangat ketakutan karena pengaruh Musa semakin besar.

5. Karena Fir‘aun ingin menakut-nakuti Bani Israil dengan hukuman yang ekstrem.

6. Dalam riwayat tambahan: Fir‘aun frustasi karena berulang kali gagal membunuh Musa.

  • Fir‘aun pernah mencoba membunuh Musa sejak kecil, tetapi selalu gagal.
  • Musa lolos dari segala upaya: dibunuh, dicekik, diracun, dan lainnya.
  • Upaya membakar Musa adalah salah satu rencana puncak.


2. Perang Khandaq: Hujan dan Angin Menghancurkan Koalisi Musuh

Kisah Singkat Peristiwa Hujannya

Pada malam-malam paling genting Perang Khandaq, pasukan musyrikin Ahzab yang berjumlah lebih dari 10.000 orang berkumpul di sekitar Madinah. Mereka membangun tenda, memasak, menghidupkan api, dan menyiapkan logistik untuk serangan besar. Di sisi lain, kaum muslimin sangat kelelahan, kelaparan, dan ketakutan.

Di tengah malam, tiba-tiba angin sangat kencang bertiup dan hujan deras turun. Hujan itu menumbangkan tenda-tenda musuh, memadamkan api mereka, membasahi pakaian, merusak perbekalan, menumpahkan periuk makanan, hingga membuat ternak mereka lari. Abū Sufyān—pemimpin Quraisy saat itu—akhirnya berkata kepada pasukannya:

“Ini bukan tempat tinggal. Pulanglah! Kita tidak mungkin bertahan.”

Koalisi musuh bubar tanpa terjadi perang besar.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا ﴾

“Lalu Kami mengirimkan kepada mereka angin (kencang) dan bala tentara yang tidak dapat kalian lihat.” (QS. Al-Ahzāb: 9)

Ibn Katsīr menafsirkan:

« بَعَثَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ رِيحًا شَدِيدَةً وَمَطَرًا فَقَلَبَ قُدُورَهُمْ وَقَوَّضَ خِيَامَهُمْ »

“Allah mengirimkan angin kencang dan hujan yang menumpahkan periuk mereka dan merobohkan tenda-tenda mereka.”

Rasulullah ﷺ juga memanjatkan doa pada malam itu:

« اللّٰهُمَّ اهْزِمِ الْأَحْزَابَ، اللّٰهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ »

“Ya Allah, hancurkanlah golongan-golongan (pasukan musuh). Ya Allah, hancurkanlah mereka dan goncangkanlah mereka.” (HR. Bukhari)

Dan Allah mengabulkan dengan hujan.

Hikmah:
Hujan bisa menjadi senjata Allah untuk memenangkan kaum beriman tanpa satu pun pedang diangkat.


3. Hujan pada Perjalanan menuju Hudaibiyah: Menguatkan Tanah & Menenangkan Kaum Muslimin

Kisah Singkat Peristiwa Hujannya

Ketika Nabi ﷺ dan para sahabat menuju Hudaibiyah, mereka melewati perjalanan yang berat. Debu sangat tebal, tanah gembur sulit dilewati, dan mereka kekurangan air. Banyak sahabat mulai merasa berat dan gelisah.

Allah kemudian menurunkan hujan yang lembut namun cukup deras. Hujan ini:

  • membersihkan tubuh mereka dari debu,
  • mengisi kembali tampungan air mereka,
  • menenangkan hati yang diliputi rasa takut,
  • dan membuat tanah yang semula gembur menjadi padat, sehingga pasukan bisa berdiri dan berjalan dengan lebih kokoh.

Allah ﷻ berfirman:

﴿ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ … وَلِيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ ﴾

(QS. Al-Anfāl: 11)

Ibn Katsīr berkata:

« ثَبَّتَ الْأَقْدَامَ بِالْمَاءِ، فَإِنَّ التُّرَابَ إِذَا أَصَابَهُ الْمَاءُ لَانَ وَاسْتَقَرَّتْ عَلَيْهِ الْقَدَمُ »

“Allah meneguhkan pijakan mereka dengan air itu, karena tanah yang terkena air menjadi padat hingga kaki dapat berdiri kokoh di atasnya.”

Ibn Qayyim dalam Zād al-Ma‘ād juga menyebutkan:

« وَأَرْسَلَ اللّٰهُ عَلَيْهِمُ الْمَطَرَ فَطَهَّرَهُمْ وَثَبَّتَ أَقْدَامَهُمْ وَأَذْهَبَ عَنْهُمُ التَّعَبَ »

“Allah menurunkan hujan kepada mereka, mensucikan mereka, meneguhkan kaki mereka, dan menghilangkan rasa letih mereka.”

Hikmah:
Hujan yang menenangkan adalah bentuk kasih sayang Allah kepada para pejuang dakwah.


Penegasan Ulama: Hujan adalah Tentara Allah

Imam al-Qurthubi berkata:

« الْمَطَرُ مِنْ جُنُودِ اللّٰهِ يَنْصُرُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ »

Syaikh as-Sa‘di menyatakan:

« وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّ الْمَطَرَ جُنْدٌ مِنْ جُنُودِهِ »


Penutup

Dari ketiga kisah di atas, kita belajar bahwa:

  • Hujan adalah rahmat tetapi juga bisa menjadi pertolongan strategis.

  • Alam semesta adalah alat bagi Allah untuk menolong hamba-Nya.

  • Kaum beriman harus melihat hujan bukan sekadar cuaca, tetapi bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya.



Hujan sebagai Analogi Turunnya Rahmat Allah


Hujan sebagai Analogi Turunnya Rahmat Allah

Menghidupkan Tanah yang Gersang, Sebagaimana Allah Menghidupkan Hati yang Mati

Hujan adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang paling sering disebut dalam Al-Qur’an. Ia bukan sekadar fenomena alam, tetapi simbol spiritual yang sangat mendalam. Banyak ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa hujan diibaratkan sebagai rahmat, bahkan sebagai gambaran turunnya hidayah, yaitu kehidupan yang menghidupkan hati sebagaimana air menghidupkan tanah yang mati.

Para ulama, khususnya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, menjadikan hujan sebagai analogi utama dalam menjelaskan kehidupan ruhani, hidayah, dan perubahan hati.

Artikel ini menguraikan secara rinci bagaimana Al-Qur’an, Sunnah, dan ulama menggambarkan hujan sebagai analogi turunnya rahmat Allah.

I. Hujan dalam Al-Qur’an: Rahmat yang Menghidupkan
1. Hujan Menghidupkan Bumi yang Mati
﴿ وَاللَّهُ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ﴾
“Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan itu Dia menghidupkan bumi setelah matinya.” (QS. An-Nahl: 65)

Di sini Allah mengarahkan perhatian manusia pada:
Tanah yang semula gersang → menjadi hijau
Pohon yang semula mati → berbuah kembali

Sebagaimana hujan menghidupkan bumi, rahmat Allah menghidupkan hati.

2. Hujan sebagai Perumpamaan Ilmu & Hidayah
Ayat yang sangat indah dan mendalam:
﴿ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا ﴾
“Dia menurunkan air dari langit, lalu mengalirlah lembah-lembah menurut ukurannya masing-masing.” (QS. Ar-Ra’d: 17)

Menurut para mufassir:
Air                            = ilmu dan hidayah
Lembah                   = hati manusia
Ukuran lembah     = kadar kesiapan seseorang menerima petunjuk

Sebagian hati luas dan bersih, sehingga banyak menerima kebaikan. Sebagian lainnya sempit, kotor, atau keras sehingga hanya sedikit menerima cahaya kebenaran.

II. Hujan dalam Sunnah: Kajian Nabi tentang Perubahan Hati
Nabi ﷺ bersabda:
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا
“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang Allah utus aku dengannya adalah seperti hujan yang mengenai bumi.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadits itu, Nabi menggambarkan tiga jenis tanah:
1. Tanah Subur (Al-Ardh ath-Thayyibah)
  • Menyerap air
  • Menumbuhkan tanaman
  • Memberikan manfaat bagi diri & orang lain
Inilah hati mukmin yang menerima ilmu dan mengamalkannya.

2. Tanah yang Menahan Air
  • Tidak terlalu subur
  • Tetapi mampu menyimpan air sehingga bermanfaat bagi manusia
Ini seperti orang yang ilmunya tidak mendalam, tapi ia menyampaikan dan mengajarkan kepada orang lain.

3. Tanah Tandus
  • Tidak menyerap air
  • Tidak menumbuhkan tanaman
Ini ibarat hati yang menolak hidayah dan tidak mengambil manfaat dari ilmu.
Hadits ini adalah dasar paling kuat bahwa hujan = hidayah.

III. Analogi Hujan dalam Pemikiran Ibnul Qayyim
1. Dalam Madarij As-Salikin
Ibnul Qayyim menggunakan analogi hujan berulang kali:
  • Hujan adalah rahmat dan hidayah
  • Tanah adalah hati manusia
  • Tumbuh-tumbuhan adalah amal shalih
Beliau menulis (maknanya):
“Hati tidak akan hidup kecuali dengan rahmat Allah, sebagaimana bumi tidak hidup kecuali dengan hujan.”

2. Hujan yang Lembut dan Bertahap
Menurut Ibnul Qayyim:
Hujan tidak turun sekaligus, karena akan merusak
Hidayah pun turun bertahap, sesuai kesiapan hati

Maka jangan heran bila perubahan iman seringkali perlahan. Allah Maha Bijaksana dalam menumbuhkan hati manusia.

3. Tanah Keras dan Hati Keras
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa:
  • Tanah yang keras tidak menyerap air
  • Hati yang keras sulit menerima hidayah
Ilmu dan ayat-ayat Al-Qur’an turun, namun tidak memberi pengaruh. Karena bukan jumlah dalil yang menentukan, tetapi kesiapan hati.

IV. Korelasi Spiritual antara Hujan dan Rahmat Allah

Berikut hubungan langsung yang memudahkan pemahaman:
1. Hujan turun dari langit → hidayah pun turun dari langit
    Allah menurunkan rahmat sesuai kehendak-Nya.
2. Hujan membersihkan → iman membersihkan hati
    Air membersihkan kotoran dunia, Iman membersihkan kotoran dosa
3. Hujan menumbuhkan tanaman → ilmu menumbuhkan amal
    Semakin deras hujan → semakin subur tanaman
    Semakin banyak ilmu → semakin kuat amal shalih
4. Hujan membawa kebahagiaan → hidayah membawa ketentraman
    Tidak ada hati yang lebih tenteram daripada hati yang diberi cahaya iman.

V. Tipe Hati Berdasarkan Analogi Hujan
1. Hati yang Subur
  • Cepat tersentuh ayat
  • Mudah menerima nasihat
  • Melahirkan amal dan perbaikan diri
2. Hati yang Menahan Air
  • Tidak langsung berubah
  • Tetapi menyampaikan kebaikan kepada orang lain
  • Termasuk orang bermanfaat bagi masyarakat
3. Hati yang Tandus
  • Mendengar ayat tapi tidak tergerak
  • Mengetahui kebenaran namun tidak mengamalkannya
  • Letih dengan nasihat, bosan dengan kebenaran
Refleksi bagi pembaca:
“Termasuk tanah jenis apa hati kita ketika rahmat Allah turun?”

VI. Dalil Tambahan tentang Hujan sebagai Rahmat
1. Hujan sebagai rahmat setelah keputusasaan
﴿ وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا ﴾
“Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka putus asa.” (QS. Asy-Syura: 28)

Allah menurunkan hujan setelah manusia putus asa — begitu juga Allah memberikan hidayah setelah seseorang berada di ujung kelelahan spiritual.

2. Angin sebelum hujan disebut “pembawa kabar gembira”
﴿ وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ﴾
“Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai kabar gembira sebelum (turunnya) rahmat-Nya.” (QS. Al-A’raf: 57)

Rahmat Allah selalu datang dengan tanda.

3. Allah memerintahkan manusia melihat tanda-tanda rahmat-Nya
﴿ فَانْظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ ﴾

“Maka perhatikanlah tanda-tanda rahmat Allah itu…” (QS. Ar-Rum: 50)

Sebagian ulama menafsirkan bahwa rahmat yang dimaksud adalah hujan.

VII. Penutup

Hujan adalah tanda nyata bagaimana Allah menurunkan rahmat-Nya kepada makhluk. Ia bukan hanya bermanfaat secara fisik, tetapi juga menjadi cermin bagi kehidupan spiritual manusia.

Sebagaimana tanah gersang yang kembali hidup dengan tetes-tetes hujan, demikian pula hati manusia akan kembali hidup dengan dzikir, ilmu, Al-Qur’an, dan hidayah dari Allah.

“Maka sambutlah rahmat Allah sebagaimana tanaman menyambut turunnya hujan.”


Keimanan yang berkaitan dengan Hujan


KEIMANAN YANG BERKAITAN DENGAN HUJAN

Kajian Dalil-dalil Shahih dan Penjelasan Ulama

PENDAHULUAN

Hujan bukan sekadar fenomena meteorologi, namun dalam Islam ia adalah tanda tauhid, bukti kekuasaan Allah, bagian dari takdir, serta ujian dan rahmat bagi manusia. Karena itu, para ulama memasukkan pembahasan hujan dalam aqidah iman kepada Allah, kepada qadha-qadar, dan kepada hal-hal ghaib.

1. HANYA ALLAH YANG MENURUNKAN HUJAN
A. Dalil Al-Qur'an 
1. QS. Fâthir (35): 2
مَا يَفْتَحِ ٱللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
Artinya: “Apa saja yang Allah bukakan bagi manusia berupa rahmat, tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang Allah tahan maka tidak ada yang dapat melepaskannya. Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”

Para mufassir seperti Ibn Katsîr menyebut “rahmat” di sini mencakup hujan karena hujan adalah salah satu bentuk rahmat terbesar.

2. QS. An-Nûr (24): 43
﴿ أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُزْجِى سَحَابًۭا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُۥ ثُمَّ يَجْعَلُهُۥ رُكَامًۭا فَتَرَى ٱلْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَـٰلِهِ … ﴾
Artinya: “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menggerakkan awan, lalu mengumpulkan antara (bagian-bagiannya), kemudian menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau melihat hujan keluar dari celah-celahnya…”

Ayat ini jelas menyandarkan turunnya hujan kepada Allah, bukan kepada alam semata.

2. TURUNNYA HUJAN TERMASUK ILMU GHAIB
A. Dalil Al-Qur'an - QS. Luqmân (31): 34
﴿ إِنَّ اللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ … ﴾
Artinya: “Sesungguhnya Allah-lah yang memiliki ilmu tentang hari Kiamat, DAN DIALAH yang menurunkan hujan…”

Ini menunjukkan bahwa kapan, di mana, dan berapa banyak hujan turun adalah urusan ghaib.

B. Dalil Hadits Shahih
HR. Bukhari no. 1039
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: مَفَاتِحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ… وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يُغْدِي الْغَدَ… وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَتَى يُنْزِلُ الْغَيْثَ…
Artinya: Nabi ﷺ bersabda: “Kunci-kunci perkara ghaib ada lima yang tidak diketahui kecuali Allah… Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan hujan akan turun….” (Sumber: Shahih Bukhari, Kitab Tafsir)

3. ADA MALAIKAT YANG DIBERI TUGAS DALAM URUSAN HUJAN (DALAM MAKNA UMUM)
Catatan Penting:
Hadits-hadits spesifik tentang nama malaikat tertentu yang menurunkan hujan banyak yang lemah.
Namun konsep bahwa Allah menugaskan malaikat dalam pengaturan alam adalah benar.

Hadits Shahih tentang malaikat yang bertugas mengatur awan
HR. Muslim no. 2995
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ … فَقَالَ: هَلْ تَدْرِي مَا يَقُولُ الْمَلَكُ؟ قَالَ: يُنَادِي فِي السَّمَاءِ: اللهم اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ…
Artinya: Malaikat di langit memohon kepada Allah: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada hamba-hamba-Mu dan hewan-hewan-Mu…”

Walau bukan menunjukkan “malaikat khusus hujan”, namun menunjukkan peran malaikat dalam urusan hujan.

Kesimpulan:

Aqidah: Allah-lah yang menurunkan hujan.
Malaikat: hanyalah perantara yang taat menjalankan perintah.

4. HUJAN SUDAH DITAKDIRKAN DALAM LAUHUL MAHFÛDZ
Hadits Shahih Muslim no. 2653
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Artinya: “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”

Termasuk di dalam takdir itu adalah kapan hujan turun, berapa banyak, dan kepada siapa manfaatnya.

5. ISTIGHFAR ADALAH SEBAB TURUNNYA HUJAN
A. Dalil Al-Qur'an
QS. Nûh (71): 10–12
﴿ فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا (١٠) يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا (١١) وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍۢ وَبَنِينَ ﴾
Artinya: “Nuh berkata: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan akan menambah harta dan anak-anak kalian.”

Ayat ini tegas menunjukkan hubungan antara istighfar dan rizki hujan.

B. Atsar dari Hasan Al-Bashri
Seorang lelaki mengadu kekeringan, beliau menjawab:
ٱسْتَغْفِرِ اللَّهَ – “Perbanyaklah istighfar.” (Sumber: Tafsir Al-Qurthubi, 18/302)

6. PETIR DAN GUNTUR ADALAH TANDA KEKUASAAN ALLAH
A. Dalil Al-Qur’an
QS. Ar-Ra’d (13): 13
﴿ وَيُسَبِّحُ ٱلرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِۦ ﴾
Artinya: “Guntur bertasbih memuji-Nya, dan para malaikat pun bertasbih karena takut kepada-Nya.”

Ayat ini paling shahih dalam menjelaskan fenomena guntur.

B. Doa Ketika Mendengar Petir
(dari Abdullah bin az-Zubair)
سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ
Artinya: “Maha suci Allah yang guntur bertasbih memuji-Nya dan para malaikat pun karena takut kepada-Nya.” (Sumber: Al-Adab Al-Mufrad, karya Al-Bukhari)

7. ENGGAN MENUNAIKAN ZAKAT MENYEBABKAN HUJAN DITAHAN

Hadits Shahih – HR. Ibn Majah no. 4019 (dishahihkan Al-Albani)
مَا مَنَعَ قَوْمٌ زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
Artinya: “Tidaklah satu kaum menahan zakat harta mereka kecuali Allah menahan hujan dari langit. Bila bukan karena hewan-hewan (yang butuh air), niscaya hujan sama sekali tidak akan turun kepada mereka.”

Hadits ini shahih, dan menunjukkan hubungan antara ketaatan sosial dan keberkahan alam.

8. ADAB KETIKA HUJAN
1. Membaca doa ketika hujan:
HR. Bukhari no. 1032
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat.”

2. Doa setelah hujan reda:
HR. Bukhari no. 1033
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ
Artinya: “Kita diberi hujan ini berkat karunia dan rahmat Allah.”

Ini sekaligus bantahan terhadap keyakinan jahiliyah yang mengaitkan hujan dengan bintang-bintang.

3. Tidak mencaci hujan
Karena hujan adalah rahmat Allah.

4. Dianjurkan menampakkan diri sedikit saat hujan pertama
HR. Muslim no. 898
Nabi ﷺ membuka pakaiannya untuk terkena hujan. Beliau bersabda:
"لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ"
“Karena hujan itu baru saja diciptakan oleh Rabb-nya.”

9. HIKMAH KEIMANAN DARI HUJAN

  • Menguatkan tauhid – bahwa alam tunduk kepada Allah, bukan bergerak sendiri.
  • Menguatkan iman kepada qadar – takdir hujan telah ditulis.
  • Mendorong taubat – karena istighfar adalah sebab turunnya hujan.
  • Mendorong sedekah & zakat – karena kedurhakaan sosial mempengaruhi keberkahan alam.
  • Mendorong kepedulian lingkungan – Islam memandang alam sebagai amanah.
  • Menyadarkan manusia pada kelemahan diri – meskipun teknologi berkembang, tetap tidak bisa memastikan hujan secara pasti.

10. KESIMPULAN BESAR

Hujan adalah rahmat, tanda kekuasaan Allah, dan bagian dari iman.
Dalil shahih menunjukkan:
  • Allah-lah yang menurunkan hujan
  • Hujan termasuk perkara ghaib
  • Malaikat menjalankan perintah Allah dalam pengaturan alam
  • Hujan telah ditulis dalam takdir
  • Istighfar dan zakat mempengaruhi keberkahan hujan
  • Petir dan guntur adalah tanda kebesaran Allah
  • Seorang mukmin mesti melihat hujan sebagai sarana syukur, taubat, tawakal, dan menghidupkan sunnah.

Disclaimer: Islam Bukan Anti Ilmu Pengetahuan, Termasuk Astronomi dan Meteorologi

Islam tidak pernah melarang mempelajari fenomena alam seperti pergerakan awan, tekanan udara, angin, kelembapan, atau siklus hidrometeorologi yang dikaji oleh meteorologi dan astronomi. Bahkan, Islam mendorong umatnya untuk meneliti dan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya.

Justru Al-Qur’an berulang kali memerintahkan manusia untuk mengamati, meneliti, dan memahami alam semesta, seperti:
اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الۡاَلۡبَابِ ۚۖ‏ ١٩٠
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang berakal.” (Ali ‘Imran: 190)

وَفِى ٱلسَّمَآءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat sebab-sebab rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (Adz-Dzariyat: 22)

Ayat-ayat ini menjadi dasar bahwa Islam sangat pro-ilmu pengetahuan, termasuk ilmu atmosfer dan ilmu falak.

Bagaimana Islam Mengatur Pemahaman tentang Hujan?
1. Ilmu meteorologi menjelaskan mekanisme turunnya hujan
Hujan terjadi karena:
  • evaporasi,
  • kondensasi,
  • tekanan udara,
  • angin,
  • perubahan suhu,
  • pergerakan awan cumulonimbus, dll.
Ini adalah sebab-sebab ilmiah (asbâb kauniyyah) yang benar, nyata, dapat diukur dan dibuktikan.

Dalam Islam:
👉 Mengakui sebab alamiah = boleh, bahkan dianjurkan
👉 Namun meyakini sebab tersebut bekerja mandiri tanpa izin Allah = syirik

2. Islam menegaskan yang menciptakan dan mengatur hujan tetap Allah
Al-Qur’an sangat jelas:
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ
“Dan Kami turunkan dari langit air (hujan) dengan suatu ukuran.” (QS. Al-Mu’minun: 18)

Meteorologi menjelaskan bagaimana hujan turun.
Allah menjelaskan Siapa yang mengizinkan hujan turun.
Ini bukan pertentangan — keduanya saling melengkapi.

Dimana Letak Kesalahpahaman yang Diluruskan Islam?

Rasulullah ﷺ mengecam keyakinan jahiliyah yang menyebut hujan turun karena bintang tertentu, seperti hadits:
مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا
“Kita diberi hujan karena bintang ini dan itu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kesalahan mereka bukan pada mengamati bintang,
tetapi pada meyakini bintang memiliki kuasa menurunkan hujan.

Dalam aqidah Islam:
Boleh mengatakan: “Hujan turun karena ada awan dari arah barat, tekanan turun, suhu lembap.”
Tidak boleh mengatakan: “Awan ini pasti mendatangkan hujan tanpa kehendak Allah.”
Tidak boleh mengatakan: “Hujan turun karena kekuatan bintang atau alam.”

Korelasi Islam dengan Ilmu Alam: Bukan Konflik, Justru Selaras

1. Meteorologi = mengkaji hukum sebab-akibat
Meteorologi menjelaskan fenomena alam berdasarkan sunnatullah (hukum alam yang Allah tetapkan).
2. Islam = menegaskan bahwa Allah adalah pencipta hukum alam
Contoh:
Api membakar → sunnatullah
Awan membawa hujan → sunnatullah
Tapi keduanya hanya bekerja dengan izin Allah (Ibrahim: 27).

Analogi Mudah & Tepat

📌 Meteorologi = mempelajari “mesin” hujan
📌 Tauhid = mengakui “pemilik dan pengendali” mesin tersebut adalah Allah

Mempelajari mesin sama sekali tidak mengurangi kemuliaan Sang Pencipta.
Justru semakin detail manusia memahami sistem hujan, semakin kuat keyakinannya bahwa sistem ini mustahil terjadi tanpa kehendak Allah.

Pandangan Para Ulama tentang Ilmu Astronomi & Meteorologi
Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa mempelajari sebab-sebab alam tidaklah bertentangan dengan akidah, bahkan termasuk “ilmu yang mubah dan bermanfaat”.

Imam Ibn Taymiyyah (Majmu’ Fatawa, 32/239) berkata:

“Mengetahui tanda-tanda alam bukanlah syirik. Yang syirik adalah meyakini bahwa tanda itu dapat menciptakan atau menurunkan hujan tanpa izin Allah.”
Artinya:
Mempelajari awan, angin, suhu → boleh
Menyimpulkan hujan terjadi karena sistem atmosfer → boleh
Meyakini sistem tersebut bekerja tanpa campur tangan Allah → haram

Imam Ibn Qayyim dalam Miftah Dar As-Sa’âdah menjelaskan:
“Meneliti tanda-tanda kekuasaan Allah pada makhluk-Nya adalah ilmu yang menguatkan iman. Karena melalui alam, seseorang melihat kesempurnaan ciptaan Allah.”
Ini menegaskan bahwa meteorologi, klimatologi, dan astronomi menguatkan iman — bukan melemahkannya.

Syaikh Ibn ‘Utsaimin dalam Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah mengatakan:

“Tidak masalah kita mengatakan bahwa hujan turun karena terbentuknya awan. Yang dilarang adalah mengatakan bahwa awan sendiri yang menurunkan hujan.”
Ini disiplin penting:
✔ Boleh menyebut sebab ilmiah
✘ Tidak boleh memberi kekuasaan independen pada sebab tersebut

Kesimpulan Discalimer
  1. Islam tidak anti meteorologi maupun astronomi.
  2. Islam membolehkan menjelaskan penyebab ilmiah turunnya hujan.
  3. Yang dilarang adalah meyakini sebab-sebab alam bekerja mandiri tanpa Allah.
  4. Ilmu pengetahuan dan iman kepada Allah dalam fenomena hujan saling melengkapi, bukan bertentangan.
  5. Semakin mendalam seseorang mempelajari alam, semakin nyata tanda-tanda kekuasaan Allah.

Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam



Dosa Jariyah: Jejak Keburukan yang Tak Pernah Padam

(Kajian Ilmiah Tematik tentang Atsar al-‘Amal dalam Islam)

1. Pendahuluan

Segala puji bagi Allah ﷻ yang telah menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian siapa di antara kita yang terbaik amalnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, suri teladan yang meninggalkan jejak amal paling agung bagi umatnya.

Fenomena zaman modern menunjukkan bahwa jejak manusia tidak pernah benar-benar hilang. Di dunia digital, satu tulisan, gambar, atau video dapat bertahan bertahun-tahun dan dilihat jutaan orang. Dalam pandangan Islam, ini bukan sekadar fenomena teknologi, melainkan bagian dari “atsar al-‘amal” — bekas atau jejak perbuatan manusia yang dicatat oleh Allah.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang nyata.” (QS. Yā-Sīn: 12)

Ayat ini menjadi fondasi penting untuk memahami bahwa amal manusia memiliki dampak yang berkelanjutan, bahkan setelah kematiannya.

2. Landasan Teologis: Amal dan Tanggung Jawab Pribadi

Islam menegaskan bahwa setiap manusia hanya menanggung amalnya sendiri, tanpa memikul dosa orang lain. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isrā’: 15)

Dan firman-Nya lagi:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ .
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
“Bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain,
dan bahwa manusia tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 38–39)

Makna Umum Dua Ayat Ini

Dua ayat ini menegaskan prinsip keadilan ilahi yang sangat mendasar dalam Islam, yaitu:
  • Setiap manusia bertanggung jawab atas amalnya sendiri.
  • Tidak ada dosa yang diwariskan atau ditanggung oleh orang lain.
  • Pahala dan dosa bergantung pada usaha pribadi, bukan keturunan, status, atau klaim semata.
Tafsir Al-Ṭabarī (Jāmi‘ al-Bayān)
Imam al-Ṭabarī menjelaskan bahwa:
"Makna ayat ini adalah penegasan bahwa Allah tidak akan menghukum seorang hamba atas dosa orang lain. Setiap jiwa hanya akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya sendiri."
Beliau menukil perkataan Ibnu ‘Abbās:
لَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى» أَيْ: لَا تُؤْخَذُ نَفْسٌ بِذَنْبِ غَيْرِهَا
“Tidaklah satu jiwa diambil (dihukum) karena dosa jiwa yang lain.” [Tafsir al-Ṭabarī, 27/60]

Tafsir Ibn Kathīr
Ibn Kathīr menjelaskan ayat ini dengan mengaitkannya pada ayat-ayat lain yang senada:
“Ini sebagaimana firman Allah di tempat lain:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى 
(QS. Al-An‘ām: 164, Al-Isrā’: 15, Fāṭir: 18, Az-Zumar: 7).
Artinya: Tidak seorang pun menanggung dosa orang lain.”
Kemudian beliau menafsirkan ayat ke-39:
“Maknanya, manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari amal yang ia lakukan sendiri, baik kebaikan maupun keburukan. Hal ini membatalkan keyakinan kaum jahiliah yang menganggap seseorang bisa diselamatkan karena jasa nenek moyangnya.” [Tafsir Ibn Kathīr, 7/502]

Tafsir Al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī menambahkan dimensi keadilan dan tanggung jawab moral:
“Ayat ini menjadi dasar bahwa tidak ada dosa yang diwariskan, dan tidak ada balasan tanpa amal. Namun, rahmat Allah bisa menambah pahala seseorang karena doa, sedekah, atau amalan orang lain yang diniatkan untuknya — bukan karena amal orang lain itu secara otomatis berpindah kepadanya.” [Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, 19/60]
Inilah pintu masuk untuk memahami dosa jariyah: bukan karena dosa orang lain ditimpakan kepadanya, tetapi karena ia menjadi penyebab tersebarnya dosa itu.

3. Terputusnya Amal Saat Kematian

Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim, no. 1631)

Hadits ini menjelaskan kaidah umum bahwa amal seseorang berhenti saat kematian, kecuali tiga hal yang terus memberi manfaat — inilah yang disebut amalan jariyah.

Namun dari sini juga lahir kaidah sebaliknya: sebagaimana pahala bisa terus mengalir, dosa pun bisa mengalir, apabila pengaruh buruk seseorang tetap hidup di dunia.

4. Konsep Jejak Amal (Āthār al-‘Amal) dalam Al-Qur’an

Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang nyata.” (QS. Yā-Sīn: 12)

Kata “آثَارَهُمْ” dalam QS. Yā-Sīn: 12 bermakna “bekas-bekas perbuatan mereka.”

Imam At-Ṭabarī menjelaskan:
“Maksudnya ialah apa yang mereka tinggalkan dari amal kebaikan maupun keburukan yang diikuti oleh orang lain setelah mereka meninggal.”
(Tafsīr al-Ṭabarī, Juz 20, hlm. 516)

Al-Qurṭubī juga menegaskan :
Bahwa ayat ini mencakup seluruh pengaruh manusia — baik berupa tradisi, tulisan, ilmu, maupun kebiasaan. Semua itu menjadi jejak amal yang akan Allah catat dan balas di akhirat.

Demikian juga Allah berfirman bahwa orang yang mengajarkan atau mencontohkan perbuatan dosa, ia akan menanggung dosa orang yang mengikutinya,
ﻟِﻴَﺤْﻤِﻠُﻮﺍ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭَﻫُﻢْ ﻛَﺎﻣِﻠَﺔً ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﺃَﻟَﺎ ﺳَﺎﺀَ ﻣَﺎ ﻳَﺰِﺭُﻭﻥَ
“Mereka akan memikul dosa-dosanya dengan penuh pada Hari Kiamat, dan MEMIKUL DOSA-DOSA ORANG YANG MEREKA SESATKAN, yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).” (QS. an-Nahl: 25)

Mujahid menafsirkan ayat ini, beliau berkata:
يَحْمِلُونَ أَثْقَالَهُمْ: ذُنُوبَهُمْ وَذُنُوبَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَلَا يُخَفَّفُ عَمَّنْ أَطَاعَهُمْ مِنَ الْعَذَابِ شَيْئًا.
“Mereka menanggung dosa mereka sendiri dan dosa orang lain yang mengikuti mereka. Mereka sama sekali tidak diberi keringanan azab karena dosa orang yang mengikutinya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/566)


5. Dosa Jariyah: Definisi dan Klasifikasi

Konsep “dosa jariyah” bersumber dari hadits Nabi ﷺ:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, maka baginya dosa keburukannya dan dosa orang-orang yang melakukannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa mereka.” (HR. Muslim, no. 1017)

Dari hadits ini, para ulama mendefinisikan dosa jariyah sebagai:

“Dosa yang terus bertambah akibat pengaruh buruk seseorang yang diikuti orang lain, meskipun pelakunya telah mati.”

Klasifikasi:

Dosa jariyah langsung: (Pelopor) perbuatan buruk yang ditiru, seperti mengajarkan maksiat atau menyebar ide sesat.
Anak adam yang pertama kali membunuh (Qobil), dia dilimpahi tanggung jawab atas semua kasus pembunuhan karena kedzaliman di alam ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا
“Tidak ada satu jiwa yang terbunuh secara dzalim, melainkan anak adam yang pertama kali membunuh akan mendapatkan dosa karena pertumpahan darah itu.” (HR. Bukhari, Ibn Majah, dan yang lainnya).

Dosa jariyah tidak langsung: akibat dari sistem, tulisan, konten, atau kebijakan yang melahirkan keburukan jangka panjang.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa yang mengajak kepada kesesatan, dia mendapatkan dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim)

Anda bisa perhatikan para propagandis yang menyebarkan aliran sesat, menyebarkan pemikiran menyimpang, menyerukan masyarakat untuk menyemarakkan kesyirikan dan bid’ah, menyerukan masyarakat untuk memusuhi dakwah tauhid dan sunah, merekalah contoh yang paling mudah terkait hadis di atas.

Imam An-Nawawī dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menjadi penyebab perbuatan dosa, maka ia menanggung dosa orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu.”
(Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz 7, hlm. 120)

6. Manifestasi Dosa Jariyah di Era Modern

  • Menyebarkan Konten Maksiat atau Hoaks di Media Sosial
Misalnya seseorang membuat atau membagikan video berisi gosip, fitnah, atau pornografi di TikTok, Instagram, atau YouTube.

Di era digital, konsep dosa jariyah menjadi sangat relevan.
Beberapa contoh nyata:
  1. Menyebarkan konten maksiat, fitnah, hoaks, atau ide sesat.
  2. Menciptakan musik, film, atau karya yang menormalisasi dosa.
  3. Menjadi influencer yang mengajak gaya hidup jauh dari syariat.
  4. Membuat komentar atau postingan yang menimbulkan kebencian dan perpecahan.

Imam Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn (Juz 3, hlm. 127) berkata:
“Barang siapa membuka jalan dosa bagi orang lain, maka ia telah menanggung beban atas setiap langkah orang yang berjalan di atasnya.”

Dunia digital membuat atsar al-amal menjadi viral dan abadi, bahkan setelah pelakunya meninggal dunia. Inilah bentuk baru dosa jariyah yang sering tidak disadari: dosa berantai digital.
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ."
(متفق عليه)
“Sesungguhnya orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat gambar (yang haram).” (HR. Bukhari dan Muslim)

1. Imam an-Nawawī رحمه الله
Dalam Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Juz 14, hlm. 81–84):
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membuat gambar makhluk bernyawa adalah dosa besar, karena terdapat ancaman keras berupa azab pada hari kiamat.
Dan yang dimaksud dengan al-muṣawwirūn adalah mereka yang membuat gambar makhluk bernyawa dengan maksud menyerupai ciptaan Allah.”

“Adapun gambar-gambar benda tak bernyawa seperti pohon, gunung, atau benda mati — tidak termasuk larangan ini.”

2. Imam Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī رحمه الله
Dalam Fatḥ al-Bārī (Juz 10, hlm. 385):
“Larangan ini berlaku bagi orang yang membuat gambar makhluk hidup dengan tujuan untuk dihormati atau diagungkan.

Namun, bila gambar itu tidak utuh (seperti tanpa kepala) atau tidak dimaksudkan sebagai ciptaan tandingan Allah, maka hukumannya lebih ringan.”

3. Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah رحمه الله
Dalam Majmū‘ al-Fatāwā (Juz 32, hlm. 234):
“Membuat gambar makhluk hidup adalah haram berdasarkan ijma‘ para sahabat, kecuali bila dalam konteks pendidikan, kebutuhan mendesak, atau bukan makhluk bernyawa.

Adapun gambar bayangan (seperti di cermin atau air) dan bayangan tanpa bentuk (seperti pantulan) maka tidak termasuk dalam larangan.”
  • Mendirikan Tempat Maksiat
Contohnya membuka tempat perjudian, karaoke maksiat, atau warung minuman keras. Selama orang berbuat dosa di tempat itu, dosanya juga mengalir pada pemilik atau pendirinya.
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. المائدة [5]: 2)

  • Menyebarkan Ajaran Sesat atau Bid‘ah yang Menyesatkan
Misalnya menulis buku, membuat ceramah, atau postingan yang menyesatkan akidah umat. Selama ajaran itu dipelajari dan diamalkan, dosa terus mengalir.
عن جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ."
(رواه مسلم، رقم 1017)
“Barang siapa yang membuat teladan buruk dalam Islam, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017)

  • Memberi Contoh Buruk di Lingkungan
Misalnya seorang tokoh, pejabat, atau orang tua terbiasa korupsi, berbohong, atau meninggalkan shalat, lalu orang lain menirunya. Itu menjadi dosa jariyah jika terus ditiru setelah ia meninggal.
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله :
"كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ."
(متفق عليه)
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

  • Menyumbang untuk Kegiatan Haram
Misalnya membantu dana untuk pembangunan klub malam, film yang menormalisasi maksiat, atau platform judi online. Selama hasilnya digunakan untuk hal haram, dosa jariyah tetap mengalir.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله :
"إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا."
(رواه مسلم، رقم 1015)
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, no. 1015)

7. Implikasi Moral dan Sosial

Dosa jariyah tidak hanya merusak pelakunya, tetapi juga menular secara sosial.
Setiap keburukan yang diikuti oleh banyak orang akan membentuk budaya maksiat yang sulit dihentikan.
Inilah yang disebut ulama dengan al-ma‘ṣiyah al-muta‘addiyah — dosa yang meluas pengaruhnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ، وَمَنْ دَلَّ عَلَى شَرٍّ فَلَهُ مِثْلُ وِزْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala seperti pelakunya. Dan barang siapa menunjukkan kepada keburukan, maka ia mendapat dosa seperti pelakunya.” (HR. Tirmiżī, no. 2675)

Maka setiap dai, penulis, pendidik, dan pengguna media sosial memikul tanggung jawab besar atas dampak moral dari kontennya.

8. Upaya Pencegahan dan Penebusan

Islam memberi ruang untuk menutup pintu dosa jariyah, melalui tiga langkah:
1️⃣ Taubat Nasuha
Allah ﷻ berfirman:
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal saleh; maka Allah akan mengganti keburukan mereka dengan kebaikan.” (QS. Al-Furqān: 70)

Dalam hadits:
اَلتَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang telah bertaubat dari dosa-dosanya (dengan sungguh-sungguh) adalah seperti orang yang tidak punya dosa“. [HR Ibnu Majah no. 4250, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah]

2️⃣ Menutup Jejak Dosa

Hapus konten yang menyesatkan.
Luruskan kesalahan yang pernah diajarkan.
Sampaikan klarifikasi dan ajakan menuju kebaikan.

3️⃣ Mengganti dengan Amal Jariyah yang Baik

Gunakan pengaruh, ilmu, dan teknologi untuk membuka pintu kebaikan.

Ibnul Mubārak رحمه الله berkata:

“Barang siapa menanam kebaikan, maka ia menuai pahala setelah kematiannya; dan barang siapa menanam keburukan, maka keburukan itu hidup bersamanya di alam kubur.” (Az-Zuhd lil-Imām Ibn al-Mubārak, hlm. 359)

9. Kesimpulan

Dosa jariyah adalah cermin betapa seriusnya dampak sosial dari amal manusia.
Setiap perbuatan — baik atau buruk — memiliki jejak yang tidak terhapus oleh waktu.

Di era digital, kita dituntut lebih berhati-hati, karena satu klik dapat menjadi pahala yang mengalir selamanya atau dosa yang tak pernah padam.


اللَّهُمَّ اجْعَلْ آثَارَنَا فِي الْخَيْرِ، وَلَا تَجْعَلْنَا مِمَّنْ تَبْقَى سَيِّئَاتُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
“Ya Allah, jadikanlah jejak kami dalam kebaikan, dan jangan Engkau jadikan kami termasuk orang yang keburukannya terus hidup setelah kematiannya.”


Label