"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

Orang-orang yang dicintai Allah

Orang-orang yang dicintai Allah

Di antara sifat yang mulia dari Rabb kita, Allah ‘Azza wa Jalla adalah Dia mencintai hamba-hamba-Nya. Padahal Dia sama sekali tidak membutuhkan kita. Padahal Dia Maha Berkuasa, tapi mencintai ciptaan-Nya yang lemah. Padahal Dia Maha Mulia, tapi mencintai para hamba yang kedudukannya tidak ada apa-apa-Nya dibanding kemuliaan-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

فَسَوْفَ يَأْتِى ٱللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Quran Al-Maidah: 54].

Yang kita lakukan adalah mengetahui bagaimana cara masuk ke dalam golongan yang Allah cintai. Bagaimana caranya mendapatkan cinta dari Yang Maha Kuasa, Maha Raja, dan Maha segalanya. Agar kita menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan pertolongan serta pembelaan dari-Nya karena kita menjadi orang yang Dia cintai.

Pertama: menjadi seorang yang bertakwa

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَّقِينَ

“maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” [Quran Ali Imran: 76]

Artinya, untuk menjadi seorang yang bertakwa seseorang harus memiliki pengetahuan mana yang dikatakan perintah untuk dikerjakan. Dan mana yang dilarang untuk dijauhi. Tanpa pengetahuan seperti ini mustahil seseorang bisa menjadi insan yang bertakwa. Karena itu, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu mengatakan,

لَا تَكُوْنُ تَقِيًا حَتَّى تَكُوْنَ عَالِمًا، وَلَا تَكُوْنُ بِالْعِلْمِ جَمِيْلًا حَتَّى تَكُوْنَ بِهِ عَامِلًا

“Kalian tidak akan menjadi orang yang bertakwa sampai kalian menjadi seorang yang berpengetahuan (agama). Dan kalian tidak akan berhias dengan ilmu tersebut sampai kalian mengamalkan.”

Kedua: Mengikuti dan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Cintailah Rasulullah karena Allah mencintai orang-orang yang mencintai beliau. Berpegang teguhlah dengan sunnahnya. Jadikanlah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan. Dan jangan sampai kita malah termasuk orang-orang yang menyelisihi perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Ali Imran: 31].

Ketiga: berbuat baik kepada semua makhluk.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ اللهَ كتَبَ الإحسانَ على كلِّ شيءٍ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat baik dalam segala hal.” [HR. Muslim, no. 1955]

Seseorang berbuat baik kepada dirinya sendiri, orang tua, istri dan anak bahkan kepada hewan. Semuanya memiliki nilai pahala dan semuanya diperintahkan oleh syariat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

“Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Quran Ali Imran: 134].

Keempat: menyucikan zahir dan batin kita.

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Quran Al-Baqarah: 222]

Kelima: mengerjakan amal shaleh baik wajib maupun sunat.

Amaan shaleh itu bertingkat-tingkat kedudukannya. Pahala dan kedudukannya tidak sama berada dalam satu level. Tentu saja yang paling Allah cintai adalah amalan-amalan yang hukumnya wajib kemudian yang sunat. Berdasarkan hadits qudsi yang diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman,

ما تقرَّبَ إليَّ عبدي بشيءٍ أفضل من أداء ما افترضتُ عليْهِ، وما يزالُ يتقرَّبُ عبدي إليَّ بالنَّوافلِ حتَّى أحبَّهُ،

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai melebihi hal-hal yang Aku wajibkan. Dan apabila hamba-hamba-Ku terus melakukan amalan sunat, pasti Aku akan mencintai mereka.” [HR. Al-Bazzar].

Artinya, amalan wajib lebih tinggi kedudukannya dibanding amalan sunat. Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba tatkala melakukan amalan wajib jangan membatasi dirinya karena takut berdosa kalau meninggalkannya. Tapi, tanamkan pada dirinya ia mengerjakan amal tersebut karena Allah mencintai perbuatan itu.

Label