"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

"Hadits Shahih adalah Madzhab-ku" (Imam As-Syafi'i)

4 Arah Godaan Setan



4 Arah Godaan Setan


Dalam menghadapi kehidupan dunia ini, manusia memiliki musuh nyata yang harus benar-benar kita jadikan ia sebagai musuh. Musuh tersebut adalah setan, baik dari golongan jin maupun manusia.

Terkait hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat Fathir ayat 6,

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ

“Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Kemudian, setan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu dari golongan jin dan dari golongan manusia.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat al-An’am ayat 112,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.”

Kedua ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa setan dari golongan jin maupun manusia merupakan musuh yang nyata sehingga marilah kita jadikan keduanya sebagai musuh kita bersama.

Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah,jilid 3, halaman 184, lafal setan diambil dari akar kata bahasa Arab, sya-tha-na yang berarti jauh dan menentang dari kebenaran. Sehingga, setiap jin dan manusia yang menghalang-halangi dari kebenaran dan berusaha menyesatkan manusia, maka hakikatnya adalah setan.

Setan pun dapat dikatakan memiliki raja, bernama Iblis yang sejak penciptaan Nabi Adam ‘alaihissalam telah membangkang dari perintah Allah Ta’ala. Bahkan ia berjanji untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar.

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat al-A’raf ayat 17,

ثُمَّ لَاٰتِيَنَّهُمْ مِّنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ اَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَاۤىِٕلِهِمْۗ وَلَا تَجِدُ اَكْثَرَهُمْ شٰكِرِيْنَ

“Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Dalam ayat tersebut, sangat jelas bahwa Iblis dan setan-setan bala tentaranya pasti akan berusaha menyesatkan manusia, baik dari depan, belakang, kanan maupun kiri manusia. Untuk itu, mari kita mengenal berbagai godaan tersebut.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan ayat ini dengan mengutip pendapat dari sahabat mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhiim, makna godaan setan dari 4 arah :

Pertama:Godaan Setan dari depan

Iblis dan setan-setan bala tentaranya akan menyesatkan manusia dari perkara-perkara akhirat.

Sehingga ia ragu akan kehidupan akhirat. Ia ragu akan adanya balasan atas segala perbuatan yang dilakukan, ia ragu akan adanya siksaan yang teramat pedih dan kenikmatan yang tiada duanya di surga, dan lain sebagainya.

Kedua: Godaan Setan dari belakang

Iblis dan setan-setan bala tentaranya akan menjadikan manusia cinta akan dunia.

Sehingga ia selalu mengejar dunia dan melupakan akhirnya. Ia mencari harta dengan berbagai cara tanpa memperhatikan syariat, ia memuaskan dirinya dengan segala kenikmatan walaupun melanggar syariat, dan lain sebagainya.

Ketiga: Godaan Setan dari kanan

Iblis dan setan-setan bala tentaranya akan mencegah manusia dari kebaikan-kebaikan.

Sehingga, manusia ragu-ragu dan waswas dalam melakukan kebaikan, ia tidak ikhlas dalam melaksanakan ketaatan dan lain sebagainya.

Keempat: Godaan Setan dari kiri

Maksud godaan setan dari kiri yaitu Iblis dan setan-setan bala tentaranya akan menghiasi keburukan dan kemaksiatan.

Sehingga, manusia terjerumus ke dalam kemaksiatan dan keburukan, ia merasa seakan-akan keburukan tersebut merupakan kebaikan serta kenikmatan yang perlu dilakukan, dan lain sebagainya.

Melihat berbagai godaan yang dilakukan oleh Iblis dan bala tentaranya, marilah kita selalu tunduk, berdoa, meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Sementara itu, al-Hakam bin Abban menuturkan dari ‘Ikrimah dari sahabat mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas, “Allah Ta’ala tidak berfirman ‘dari atas mereka’ kerana rahmat itu diturunkan dari arah atas.”

Al-Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

آتَاك يَا اِبْن آدَم مِنْ كُلّ وَجْه غَيْر أَنَّهُ لَمْ يَأْتِك مِنْ فَوْقك لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَحُول بَيْنك وَبَيْن رَحْمَة اللَّه

Dia (Iblis) mendatangimu dari seluruh segi (arah) akan tetapi dia tidak mendatangimu dari arah atasmu, dia tidak mampu menghalangi antara dirimu dengan rahmat tuhanmu (Allah). (Tafsir al-Qur'an al-Adzim, al-Imam Abu Fida Ibnu Katsir, tafsir al-A'raf ayat 17) Allah tinggi di atas seluruh makhluknya, baik dzatnya maupun sifat kemulian dan kekuasaannya.

Hadits tentang Cinta dan Benci



Hadits tentang Cinta dan Benci


CINTA dan benci merupakan dua perasaan yang ada di dalam diri setiap manusia. Cinta merupakan kecenderungan menyukai sesuatu, sedangkan benci adalah kecenderungan tidak menyukai sesuatu. Keduanya sama-sama dibutuhkan.

Dalam Islam, barometer yang dijadikan ukuran untuk sebuah kebenaran adalah kesesuaiannya dengan ajaran islam. Jika sesuai, maka itulah kebenaran yang layak untuk dicintai. Jika tidak sesuai, maka itulah kebatilan yang sudah sepantasnya dibenci.

Maka di antara doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah adalah memohon kepada Allah untuk mencintai dan membenci sesuatu atas dasar keimanan. 


اللَّهُمَّ حَبِّبَ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرَّهَ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنَ الرَّاشِدِيْنَ

Artinya: “Ya Allah jadikanlah kami mencintai keimanan dan jadikanlah keimanan itu indah di hati kami serta jadikanlah kami benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dan jadikanlah kami termasuk golongan yang meniti jalan yang lurus.”(HR.Ahmad).

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Al-Baihaqi

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُحِبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلْيَصْدُقِ الْحَدِيثَ ، وَلْيُؤَدِّ الأَمَانَةَ ، وَلا يُؤْذِ جَارَهُ

“Barangsiapa ingin dicintai oleh Allah dan rasulNya, maka hendaklah dia berbicara jujur, menunaikan amanah dan tidak mengganggu tetangganya.”

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Ad-Dailami

مَنْ آثَرَ مَحَبَّةَ اللَّهِ عَلَى مَحَبَّةِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ

“Barangsiapa mengutamakan kecintaan kepada Allah atas kecintaan kepada manusia, maka Allah akan melindunginya dari gangguan manusia.”

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Ath-Thabrani

أوثَقُ عُرَى الإِيمانِ الحُبُّ فِي اللهَ وَ البُغضُ فِي اللهِ

“Sekuat-kuatnya ikatan iman adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Abu Dawud dan Ahmad

حُبُّكَ الشيءَ يُعْمي ويُصِمّ

“Kecintaanmu kepada sesuatu bisa menjadikan kamu buta dan tuli.”

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Bukhari

الْوُدُّ يُتَوَارَثُ، وَالْبُغْضُ يُتَوَارَثُ

“Cinta berkelanjutan (diwariskan) dan benci berkelanjutan (diwariskan).”

Hadist Tentang Cinta dan Benci: HR. Al Hakim

مَنْ كَانَ يُحِبُّ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللَّهِ فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ مَنْزِلَةُ اللَّهِ عِنْدَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنْزِلُ الْعَبْدَ مِنْهُ حَيْثُ أَنْزَلَهُ مِنْ نَفْسِهِ

“Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hamba-Nya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah dalam dirinya.”

Cara Berpuasa di Hari Asyuro



CARA BERPUASA DI HARI ASYURA

1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:

خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ

“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”

Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:

صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ

“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. 
Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245), 
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram

Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236)

As-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishak dan yang lainnya berkata: “Disukai memuasai hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuasai hari kesepuluh dan bertekat untuk berpuasa hari kesembilan.

3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan sebelas Muharram


صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا

“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”[9]

Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat): Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.

4. Berpuasa pada sepuluh Muharram saja

Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal sembilan, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal sembilan dan sebelas. Wallahu a’lam.”

Hikmah Disukainya Puasa Asyura

An-Nawawi –rahimahullah– berkata, “Ulama dari kalangan sahabat kami (ulama Syafi’iah) dan selain mereka menyebutkan hikmah disukainya melaksanakan puasa at–Tasu’a sebagai berikut:
  • Pertama: Maksudnya adalah menyelisihi kaum yahudi yang hanya memuasai hari kesepuluh.
  • Kedua : Untuk menyambung puasa Asyura dengan puasa lain. Sebagaimana dilarangnya memuasai hari jum’at saja. Yang demikian disebutkan oleh al-Khattabi dan yang lainnya.
  • Ketiga : Kehati-hatian dalam ketepatan memuasai hari Asyuro, khawatir hitungan bulan (jumlah harinya) kurang sehingga terjadi ketidaktepatan. Boleh jadi menurut hitungan adalah hari kesembilan tetapi yang sebenarnya hari kesepuluh. –selesai perkataannya-
Yang paling tepat dari pendapat-pendapat itu adalah untuk menyelisihi Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tasyabuh (menyerupai) Ahli Kitab dalam banyak hadits-haditsnya, seperti sabda beliau tentang Asyuro: “Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan (juga) memuasai hari kesembilan.”[7

Ibnu Hajar –rahimahullah– berkata dalam footnote mengenai hadits [Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku (juga) akan memusai hari kesembilan]: “Bahwa tekad Nabi untuk berpuasa tanggal sembilan maknanya bukan mencukupkan pada hari itu saja, akan tetapi menggabungkannya dengan hari kesepuluh; bisa untuk kehati-hatian, bisa juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nasrani, dan alasan ini yang lebih kuat. Pendapat inilah yang diisyaratkan sebagian perawi Muslim. (Fathul Baari 4/245)

Hukum Memuasai Hari Asyura Saja

  • Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Puasa hari Asyuro menghapus dosa setahun. Memuasai hari ini saja tidak dimakruhkan (dibenci). (al-Fatawa al-Kubro jilid.5)
  • Di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj oleh Ibnu Hajar al-Haitami disebutkan: “Tidak mengapa hanya memuasai hari itu saja (tanggal 10).” (Bab Soum Tatawu’ jilid 3)
  • Asyura Tetap Dipuasai Meskipun Bertepatan Dengan Hari Sabtu Atau Jum’at

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA

  1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
  2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
  3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
  4. Membakar kemenyan.
  5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
  6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
  7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
  8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
  9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
  10. Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

مَنِ ا غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,

ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).

Dengan demikian puasa Asyuro ada beberapa tingkatan; yang paling rendah memuasai tanggal sepuluh saja, tingkat di atasnya memuasai hari kesembilan dan kesepuluh. Semakin banyak berpuasa pada bulan ini maka semakin utama dan baik.

Amarah : Keutamaan dan Kiat Meredamnya



Amarah : Keutamaan dan Kiat Meredamnya


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ

“Aku ini hanya manusia biasa, aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah” (HSR Muslim (no. 2603).

Bersamaan dengan itu, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga dia bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya.

Keutamaan menahan marah dan mengendalikan diri ketika emosi

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ 

“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah” [HSR al-Bukhari no. 5763 dan Muslim no. 2609].

Imam al-Munawi berkata,“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini membawa makna kekuatan yang lahir kepada kekuatan batin. Dan barangsiapa yang mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan paling berbahaya (hawa nafsunya)”.

Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan (HSR Muslim no. 2664).

Arti kuat dalam hadits ini adalah kuat dalam keimanan dan kuat dalam berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah.

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ »

“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Ta’ala akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allah membiarkannya memilih bidadari bermata jeli yang disukainya”[9].

Imam ath-Thiibi berkata, “(Perbuatan) menahan amarah dipuji (dalam hadist ini) karena menahan amarah berarti menundukkan nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan, oleh karena itu Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,

Inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allah Ta’ala sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ على أَلاَّ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS al-Maaidah:8).

Imam Ibnul Qayyim menukil ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran”.

Menahan marah adalah kunci segala kebaikan


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ رَوَاهُ البُخَارِي

Hadits Ke-16 arbaín

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 6116]

Imam Ja’far bin Muhammad berkata: “(Melampiaskan) kemarahan adalah kunci segala keburukan”.

Imam Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi, ketika dikatakan kepada beliau: Sampaikanlah kepada kami (nasehat) yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat. Beliau berkata: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”.

Demikian pula imam Ahmad bin Hambal dan imam Ishak bin Rahuyah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka berdua mengatakan: “(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan”
.

Marah yang terpuji


Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena (urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika dilanggar batasan  syariat Allah, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan pelanggaran tersebut karena Allah”.

‘Aisyah berkata: “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”. Dalam riwayat lain ada tambahan: “…Beliau marah/benci terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur’an dan ridha dengan apa yang dipuji dalam al-Qur’an”.

Hati Adalah ...

Hati Adalah ...



Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

«أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ، فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ»

“Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh badannya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya.” [Muttafaqun ‘alaihi]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Jika hati tersebut baik, tidak ada padanya melainkan kecintaan dia kepada Allah dan kecintaan kepada hal-hal yang dicintai-Nya, padanya rasa takut kepada Allah dan takut terjatuh kedalam hal-hal yang Allah benci, maka akan baik pula gerakan (amalan) seluruh tubuhnya, akan membuahkan dari hati yang baik tersebut (kekuatan) untuk meninggalkan segala hal yang diharamkan. Dia mampu melindungi (dirinya) dari syubhat, waspada agar tidak terjatuh kedalam perkara yang diharamkan. Adapun jika hatinya rusak, hatinya dikuasai oleh hawa nafsu dan lebih mengikuti apa yang diinginkan nafsunya meskipun Allah membencinya, maka akan rusak pula amalan tubuhnya, mendorongnya untuk berbuat kemaksiatan dan melakukan hal-hal yang masih syubhat sesuai dengan hawa nafsunya.

Sabda Rasulullah saw:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ صَالِحٌ تَحَنَّنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا أَنْتُمْ بَنِي آدَمَ أَكْرَمُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amalan kalian. Siapa saja yang memiliki hati yang bersih, maka Allah menaruh simpati padanya. Kalian hanyalah anak cucu Adam. Tetaplah yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa (HR Al-Thabrani).

Hati Merupakan Sarangnya Iman.


Tentang hati sebagai tempat tinggalnya iman ini dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, dalam QS Alhujurat 14;

قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ

“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu.’’ (QS Al-Hujurat 14).

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iman akan masuk dan bersemayam didalam hati, kalau kondisi hati kita besih maka imanpun akan nyaman dan tentram bersemayam didalam hati kita sehingga terlahirlah ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan kita, akan tetapi kalau kondisi hati kita kotor dan berantakan imanpun menjadi tidak betah, sehingga terlahirlah kegelisahan dan kerisauan dalam kehidupan kita.

Hati Merupakan Rajanya Raga.


Rasulallah shallahu ‘alahi waslam dalam sabdanya:

ألا وإنَّ في الجَسَدِ مُضْغَةً، إذا صَلَحَتْ، صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وإذا فَسَدَتْ، فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، ألا وهي القَلْبُ

“Sesungguhnya dalam hati ini ada mudgoh, (segumpal darah), bila mudgoh ini berperan dengan baik maka seluruh aktivitas anggota tubuhpun akan baik, tapi bila mudgoh ini berperan dengan buruk maka seluruh aktivitas anggota tubuhpun akan menjadi buruk. Ketahuilah mudgoh ini adalah hati.’’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnul Qoyyim juga dalam kitabnya Raudotul muhibbin wa nuzhatul musytaqiin, menukil perkataan sahabat Abu Hurairah Radiallahu ‘Anhu, dimana Abu Hurairah berkata;

القلبُ ملكٌ والأعضاءُ جنودُه، إذا طابَ الملكُ طابَتِ الجنودُ، وإذا خبِثَ الملك خبثَتِ الجنودُ

Hati adalah raja, sedangkan angota badan adalah prajuritnya, jika raja baik maka prajuritnyapun akan menjadi baik, tapi jika rajanya buruk maka prajuritnyapun akan menjadi buruk. (Raudotul Muhibbin Wa Nuzhatul Musytaqiin, Ibnul Qoyyim).

Jadi hati ini merupakan titik setral atau motorik bagi amalan-amalan seseorang, sehingga bila hati seseorang baik, maka lisannya, matanya, telinganya tangan dan kakinya akan menjadi baik dan tidak dipergunakan kecuali untuk amalan yang baik. tapi sebaliknya kalau hatinya buruk, maka matanya, lisannya, telingnya, tangan dan kakinya akan menjadi buruk dan tidak digunakan kecuali untuk amalan ang buruk.

Penilaian Allah Terpusat Pada Amalan Hati.


Sebagaimana rasulallah shallahu ‘alihi waslam bersabda:

إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وأعمالكم. ” رواه مسلم

“Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad-jasad kalian, rupa-rupa kalian, tapi aku melihat kepada hati hati kalian.’’ (HR Muslim. No 2564)

Bahkan amalan yang terlihat baikpun Allah tidak akan menerimanya jika hatinya tidak baik, sebagaimana Allah jelaskan dalam firmannya;

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. (QS Al-Haj 37)

Amalan Hati Lebih Utama Dari Amalan Badan, Dan Maksiat Hati Itu Lebih Besar Dari Maksiat Angota Badan.


Iman dan tauhid adalah amalan yang paling agung, tidak ada amalan yang lebih agung daripada hal tersebut, dan iman serta tauhid letaknya ada dalam hati.

kemudian kufur dan syirik merupakan dosa yang paling besar, tidak ada dosa yang lebih besar dari pada dua hal tersebut, dan kufur serta syirik letaknya ada dalam hati.

Ibnul qoyyim rahimakumullah berkta:

أعْمَالُ القُلُوْبِ هيَ الأصْلُ وَأَعْمَالُ الجَوَارِحْ تَبعٌ ومُكَمِّلَةٌ، فَمَعْرِفَةُ أحكامِ القُلُوْبِ أَهَمُّ مِنْ مَعْرِفَةِ أحكامِ الْجَوَارِحِ

Amalan hati adalah yang paling pokok dan utama, sedangkan amalan badan merupakan pengikut dan penyempurna, sehingga mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan hati itu lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan badan. (Badi’iul Fawaid, Ibnul Qoyyim).

Ibnul mubarok berkata:

ربَّ عملٍ صغير تكبره النية ورب عمل كبير تصغره النية

Banyak amlan kecil yang bisa menjadi besar karna niat, dan banyak amalan besar menjadi kecil karna niat. (Tarikhul Islam, Syamsudin Ad-Dzahabi).

Allah Taála Berfirman :

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ.  إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (bersih).” [QS. Asy Syu’araa’: 88-89]

Label