MAKNA dan HAKIKAT SYUKUR
IMAM
ASY-SYAUKANI rahimahullah berkata, “Bersyukur kepada Allah adalah
memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan
ketaatan kepada-Nya” (Fath Al-Qadir, 4:312).
الشُّكْرُ يَكُوْنُ
بِالقَلْبِ وَاللِّسَانُ وَالجَوَارِحُ وَالحَمْدُ لاَ يَكُوْنُ إِلاَّ
بِاللِّسَانِ
“Syukur
haruslah dijalani dengan hati, lisan, dan anggota badan.
Adapun al-hamdu hanyalah di lisan.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 11:135)
الثَّنَاءُ عَلَى
النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ
“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ
وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah
telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu)
orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya” (QS. Ali Imran: 123).
SYUKUR ADALAH SALAH SATU SIFAT ALLAH
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya
Allah itu Ghafur dan Syakur” (QS. Asy-Syura: 23).
IMAM ABU
JARIR ATH-THABARI, menafsirkan ayat ini dengan riwayat dari Qatadah,
“Ghafur artinya Allah Maha Pengampun terhadap dosa, dan Syakur artinya
Maha Pembalas Kebaikan sehingga Allah lipat-gandakan ganjarannya” (Tafsir Ath
Thabari, 21/531).
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Allah itu
Syakur lagi Haliim” (QS. At-Taghabun: 17).
Ibnu Katsir
menafsirkan Syakur dalam ayat ini, “Maksudnya adalah memberi membalas kebaikan
yang sedikit dengan ganjaran yang banyak” (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, 8/141).
ALI BIN ABI
THALIB Berkata :
إذا كنت في نعمة
فارعها ... فإن المعاصي تُزيل النِعَم
وحافظُ
عليها بشكر الإِله ... فشُكر الإله يُزيل النِقم
Jika anda mendapat nikmat, Peliharalah … sesungguhnya maksiat dapat melenyapkan nikmat,
Dan jagalah ia dengan bersyukur kepada Allah Karena Bersyukur kepada Allah dpt mengusir bencana
IBNU ABU
HATIM mengatakan, bahwa Nabi Saw. apabila mengalami suatu kesusahan, maka
beliau menyeru kepada keluarganya: Hai keluargaku, kerjakanlah salat,
kerjakanlah salat oleh kalian!"
Sabit
mengatakan bahwa para nabi itu apabila tertimpa suatu kesusahan, maka mereka bersegera
mengerjakan salat.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ
تَفَرَّغ لِعِبَادَتِي أمْلأ صَدْرَكَ غِنًى، وَأَسُدَّ فَقْرَكَ، وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ ملأتُ صَدْرَكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ "
Allah Swt.
berfirman, "Hai anak Adam, tekunilah beribadah kepadaKu, tentu Aku akan
memenuhi rongga dadamu dengan kecukupan dan Aku akan menutupi kefakiranmu. Jika
kamu tidak melakukannya, tentu Aku penuhi dadamu dengan kesibukan dan Aku tidak
akan menutupi kafakiranmu.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: سَمِعْتُ نَبِيَّكُمْ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ جَعَلَ الْهُمُومَ هَمًّا
وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللَّهُ هَمّ دُنْيَاهُ. وَمَنْ تَشَعَّبَتْ
بِهِ الْهُمُومُ فِي أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ يُبَالِ اللَّهُ فِي أَيِّ
أَوْدِيَتِهِ هَلَكَ "
Ibnu Majah
telah meriwayatkan melalui hadis dari Ibnu Mas'ud yang mendengar Nabi Saw.
bersabda: Barang siapa yang semua kesusahannya hanya satu, yaitu
memikirkan kesusahan di hari kemudian, niscaya Allah akan memberinya kecukupan
dalam kesusahan dunianya. Dan barang siapa kesusahannya bercabang-cabang, hanya
memikirkan susahnya keadaan di dunia, maka Allah tidak mempedulikannya lagi di
lembah mana pun ia binasa.
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا
بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى
اللَّهِ
“Orang yang
cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah
kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa
nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 2459, beliau
mengatakan hadis ini ‘hasan’)
Imam Tirmidzi
mengatakan, “Maksud sabda Nabi ‘Orang yang mempersiapkan diri’ adalah
orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada
hari kiamat.”
HADITS QUDSI:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ
إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Dan tidaklah
seorang hamba mendekat kepada-Ku; yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang
telah Aku fardhukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan
ibadah-ibadah sunnah hingga Aku pun mencintainya” (HR. Bukhari – Fathulbari)